Rabu, 29 Juli 2009

Biografi Orang Iban dari Embaloh

Oleh Yusriadi

Kejutan. Saya merasa benar-benar terkejut ketika membaca biografi “Menggong Pemburu dari Sarawak”. Buku ini ditulis oleh Harun Johari, diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur tahun 1997.
Buku itu menyajikan sesuatu yang tidak pernah saya duga.


Sebab pada mulanya, saat saya membeli buku itu, yang ada dalam bayangan saya adalah cerita soal keberanian orang Sarawak, kehebatan seseorang yang disebut sebagai ‘wira’ (hero) dalam menghadapi komunis di tanah Malaya. Bayangan itu sesuai dengan ‘promosi’ bagian depan sampul: Gambar Menggong dengan fotonya bersama pasukan tentara: Platun dari Batalion Pertama Rejimen Ranjer Diraja pada tahun 1955 di Port Dickson.
Port Dickson adalah sebuah kota pelabuhan kecil di Negeri Sembilan.
Saya selalu tertarik dengan buku tentang Sarawak dan penduduknya. Ketertarikan bermula karena ‘kewajiban’ saya menyerap sebanyak mungkin informasi tentang Sarawak dan penduduk Sarawak. Maklum, salah satu bagian dari penyelidikan untuk disertasi saya dahulu adalah tentang komunitas di Sarawak. Orang Melayu di Spaoh. Jadi, saya mesti mengetahui banyak hal.
Lebih dari itu, saya harus mengetahui banyak hal tentang Sarawak karena masyarakat Sarawak sebenarnya bagian dari masyarakat Kalimantan Barat juga. Memahami masyarakat Kalbar dengan baik, mestilah mengambil kira tentang masyarakat lain di sekitar Kalbar- termasuk Sarawak. Pemahaman yang holistic hanya dapat diperoleh melalui informasi yang menyeluruh.
Sebab itulah, setiap informasi tentang Sarawak saya pungut. Setiap ada buku tentang Sarawak saya tengok: yang penting-penting, dan yang murah akan saya beli. Nah, buku biografi itu harganya cuma RM2. Nilainya sama dengan Rp6 ribu.
“Pokoknya murah banget”.
Setelah membeli buku itu, saya memang tidak langsung membacanya. Saya pikir, belum terlalu penting untuk saya mengetahui informasi itu sekarang.
Saya membaca buku itu beberapa hari kemudian.
Buku itu disajikan dengan gaya bertutur orang pertama. Pada bagian awal, buku itu menceritakan tentang Desa Nanganteli, tempat lahir Menggong. Nanga Nteli berada di dekat Lubuk Antu.
Kemudian, keluarga Menggong pindah ke Kuala Embaluh, Kalimantan Barat. Saya kira maksudnya Nanga Embaloh, Kalimantan Barat. Tempat ini disebutkan di wilayah Lanjak.
Menggong mengenyam pendidikan di Lubuk Antu. Dan apabila tamat sekolah Kelas 6, dia kembali ke Nanga Embaloh, membantu orang tuanya.
Buku ini berkisah secara singkat tentang kegiatan Menggong sehari-hari memburu pelanduk dan ntapuh di hutan di belakang rumah panjang mereka.
Lalu, singkat cerita, dikisahkan bagaimana Menggong dan kawan-kawannya merantau ke Kapit sebagai penebang kayu. Kemudian mereka mendaftar sebagai tentara, dan kemudian menjalani latihan. Setelah itu, Menggong dan sejumlah orang Iban lainnya dikirim ke Semenanjung Malaysia, memburu pemberontak komunis.
Dalam tugas, Menggong bertugas sebagai penjejak kesan musuh. Pengintai. Posisinya di depan pasukan. Tugas yang penuh resiko. Kepandaiannya dan mungkin nasib juga membawanya dalam beberapa kemenangan. Kerap kali dia terserempak musuh; dan pada saat seperti itu dia harus memberikan isyarat kepada pasukan di belakangnya agar siaga. Tetapi ada kalanya dia menembak musuh lebih dahulu.
Sepanjang dia bertugas di Port Dickson, kemudian ke Kuala Kansar, Sungai Siput, Batu Arang, Batang Bejuntai, dan banyak lagi tempat, kemampuan mengesan jejak ini benar-benar ditunjukkan. Yang menarik, dia menyebutkan pengalamannya menjejak kancil dan ntipuh di Nanga Embaloh menjadi bekal berharga dalam tugas-tugasnya itu. Keberaniannya itu membuat dia mendapat medali, penghargaan dari Ratu Inggris.
Setelah 10 tahun bertugas di Semenanjung, dia kembali ke kampung halamannya. Menjadi orang biasa. Tetapi, tak lama kemudiannya dia kembali menjadi polisi hutan, mengabdi untuk Negara.
Dalam tugas ini, dia dilibatkan sebagai pasukan polis yang memburu gerombolan komunis di Sarawak. Salah satu prestasinya adalah pasukannya berhasil menangkap salah seorang pimpinan pengacau di Sarawak.
Prestasi Menggong sungguh gemilang. Ceritanya sungguh mengesankan. Tetapi, bagi saya, lebih mengesankan lagi karena tokoh cerita ini pernah menjadi ‘orang Embaloh’.
Walaupun Menggong adalah hero di Malaysia, walaupun dia mungkin tidak lagi dianggap orang Kapuas Hulu, tetapi, saya tetap melihat bahwa suatu ketika dahulu dia adalah orang Orang Ulu. Orang Ulu yang berhasil di rantau. Ini yang mengejutkan!.




Baca Selengkapnya...

Sekeping Sejarah Penerbitan di Kampus STAIN Pontianak

Tulisan ini, dikembangkan dari ceramah saya di depan peserta Pelatihan Anggota Baru, Lembaga Pers Mahasiswa STAIN Pontianak, tahun 2007.





Sebelumnya, mohon maaf kalau terdengar narsis. Terserah. Ini cara yang mudah yang saya pilih untuk menceritakan bagian dari sejarah penerbitan di kampus STAIN Pontianak.
Tahun 2002 saya dilantik menjadi Plt. Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Jurusan Dakwah, STAIN Pontianak. Ada kemudahan yang saya rasakan waktu itu. Dengan posisi ini, saya bisa langsung mengambil kebijakan, dan kebijakan itu bisa langsung diterapkan.
Mulanya, saya berusaha mengevaluasi mata kuliah (MK) yang ada hubungan dengan kompetensi mahasiswa. Kompetensi dianggap penting karena ini akan menjadi nilai jual KPI. Maklum ketika itu, KPI adalah pilihan kedua dan menjadi prodi nomor dua pula.
Waktu itu, saya merasakan mahasiswa tidak memiliki ghirah. Semangat kurang. Sering saya dengar ada kata: “KPI tidak jelas. KPI ngambang. Tidak jelas mau jadi apa?”
Saya berusaha menepis anggapan itu. Melawannya. Tidak benar KPI tidak jelas. Tidak benar KPI ngambang.
Saya mengkampanyekan KPI adalah prodi paling jelas. Prodi yang paling prosfek. KPI adalah program studi elit.
Untuk mewujudkan hal itu, saya melakukan evaluasi terhadap kurikulum. Saya hitung isi kurikulum yang sesuai kompetensi hanya 8 sks saja. Selebihnya matakuliah yang berhubungan dengan keislaman, dll.
Ketua Jurusan Dakwah waktu itu, Pak Munawar, Pembantu Ketua I STAIN Pontianak Pak Dwi Surya Atmaja mendukung semua perubahan itu. Ketua STAIN Pak Haitami Salim juga memberikan dukungan. Lalu saya mulai merancang matakuliah baru dan membuang matakuliah “yang umum” atau menggabungkannya.
Untuk menyiasati banyaknya beban MK yang ditawarkan, saya membuat matakuliah pilihan. Pilihan disesuaikan dengan kompetensi. Ada kompetensi jurnalistik, dan ada penyiaran. Ibu Fitri Kusumayanti, dosen KPI yang menjadi mitra kerja di KPI, titip satu kompetensi Humas.
Sesungguhnya banyak pihak yang keberatan dengan format ini. Banyak alasan. Beberapa di antaranya masuk akal. Namun, ada juga yang aneh-aneh: “Nanti ngajar apa?”
Tetapi, saya bersikukuh. Bahkan dengan “arogan” – begitu kata seorang ibu dosen kemudian, saya menggaransikan jabatan saya: kalau saya telah melakukan kesalahan sila tunjukkan kesalahan, tunjukkan aturan mana yang saya langgar. Kalau saya salah, lakukan evaluasi, dan copot saya.
Kalau tidak, biarkan saya terus berjalan dengan program saya. Biar saya bertanggung jawab pada kebijakan yang saya ambil. Saya bertanggung jawab terhadap masa depan mahasiswa KPI.

***

Di antara perubahan itu adalah penawaran MK Jurnalistik, Berita 1, Berita 2. Jurnalistik berisi teori. Dan Berita 1,2 adalah praktik. Untuk mendukungnya, kami di KPI sepakat membentuk Laboratirum Dakwah, tempatnya di lorong bangunan STAIN lama. Lorong itu disekat dengan triplek. Meskipun sederhana, kami semua sangat terharu pada perhatian lembaga – dalam hal ini: Pak Haitami, Pak Dwi, Pak Hamzen Bunsu – Kepala Bagian TU, juga Pak Dimyati – Kepala Bagian Keuangan.
Pada mulanya mahasiswa menerbitkan media, secara berkelompok ada 4 kelompok. Tetapi kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan kelompok itu disatukan, dan kemudian hanya satu media yang diteritkan. Tujuannya agar kontinyuitas dapat dijaga.
Lalu, lahirlah Bulletin Syiar.
Agar media ini dapat hidup subur, kami mencarikan dana – siaplah dana itu Rp 500 ribu. Untuk penerbitan. Uang itulah yang dikelola oleh mahasiswa di situ. Beberapa mahasiswa yang saya ingat; ada Kundori, Ramdlon, Kurniawan, Andre, Mujidi, Habibi, selain itu ada Desi Asiska, yang merupakan tenaga inti. Saya minta computer bekas kepada lembaga. Dan mereka memberikannya. Komputer yang tua ini sangat berjasa untuk memuluskan pekerjaan penerbitan.
Selain nama yang disebutkan di atas, ada Dyah Kurnia Herawati. Dyah, juga bagian dari Team Syiar. Dia meminjamkan karpet milik keluarganya agar awak redaksi bisa bujur-bujur pinggang ketika capek. Belakangan, karpet itu tidak pernah kembali ke rumah mereka: menjadi barang infaq.
Mahasiswa juga melakukan sumbangan uang untuk membeli heater, agar mereka dapat membuat kopi atau teh.
Kerja sama mereka sangat mengesankan. Semangat mereka juga luar biasa. Idealisme dan kejujuran, patut dicontohi.
Syiar bisa terbit selama 50 edisi, dengan 12 halaman. Rutin. Kecuali libur. Harga jual Rp 500 per eks. Penjualan setiap edisi cukup untuk menutup biaya cetak. Saya tahu itu karena setiap pengeluaran dan pemasukan dilaporkan di halaman akhir Syiar.
Beberapa edisi sempat menimbulkan ‘hiruk pikuk di kampus’. Mahasiswa bergairah. Jerih payah mereka tidak sia-sia.

***

Perhatian lembaga meningkat. Kami di KPI mengajukan rencana pendirian radio. Waktu itu ada Saya, Patmawati,M.Ag, Fitri Kusumayanti, S.Kom, Hermansyah, M.Ag (Sekarang Doktor), Kartini, M.Ag, dari kalangan mahasiswa ada Baharudin. Ada juga Syarifah Aminah. Inilah pioneer pendirian radio di STAIN.
Disetujui. Lembaga mengalokasikan dana Rp 5 juta. Kami berbagai tugas. Saya ke Kapuas Hulu mencari teman yang bisa membuat radio sederhana. Karena dari dialah saya mendapatkan informasi bahwa membuat radio kecil tidak sulit. Biayanya pun juga murah. Namun, malangnya, saya gagal menemuinya kembali. Orang yang saya cari itu sudah pergi ke danau menangkap ikan. Maklum waktu itu musim kering. Dia tak bisa dikontak. Waktu itu belum zaman HP.
Lalu, saya mendapat informasi ada seorang pemuda bernama Bahari di Senai yang mungkin dapat merakit radio. Tetapi, Bahari yang saya temui, ragu. Dia tidak yakin bisa. Saya kembali ke Pontianak dengan kecewa.
Namun, kawan-kawan memberikan harapan. Saya dan Hermansyah mencari orang di toko-toko elektronik di Nusa Indah, yang mungkin bisa membantu. Lalu kami disarankan orang pasar menghubungi petugas di BLKI—Balai Latihan Kerja. Mungkin ada seorang di sana yang bisa membantu. Susah payah kami mencarinya.
Jumpa juga akhirnya.
Lalu, kami berkenalan dengan Pak Tisno (?). Mulailah kami membeli peralatan sederhana dengan dana yang masih tersedia. Radio, VCD, amplie, mike, dan beberapa peralatan elektronik untuk bahan pemancar radio.
Semua peralatan itu dirakit di ruang kuliah STAIN di samping Laboratorium Dakwah. Pada masa yang sama sekat ruangan dibuat.
Dan, alhamdulillah jadi. Walaupun jaraknya hanya beberapa meter. Saya katakan jadi karena waktu itu, ada Kartini yang memiliki HP yang ada fasilitas radio. Kartini pergi ke ujung komplek Suprapto, dekat Ahmad Yani, dan bisa. Lalu dia pergi ke depan Gedung Kartini, masih bisa. Sampai di situlah jangkauannya.
Tetapi walaupun begitu, kami merasakan kegembiraan yang luar biasa. Rasanya, masih ingat betapa senyum mengembang di wajah kami semua.
Saya memberi nama radio itu dengan Radio Pro Kom. Maksudnya Radio Program Komunikasi. Sekalian suaranya mirip-mirip Prominda Dirgantara, atau Pro 2 FM. Baharudin, Desi Asiska, termasuk penyiar radio pertama kami. Peresmian lembaga ini dilakukan oleh Pak Haitami dihadiri Puket 1, Pak Dwi, Pak Munawar, sejumlah ketua prodi, dan pejabat kepala bagian di STAIN. Peresmian disiarkan secara langsung oleh radio tersebut. Keren sekali!
Setelah percobaan itu berhasil, kami membeli antenna yang agak lebih bagus. Dengan antena itu jangkauannya bisa mencapai dua kilometer.
Kehadiran dua media ini dan gairah yang ditunjukkan mahasiswa membuka mata dunia luar kampus. Polnep dengan radio Polnepnya bersedia membagi pengalaman mereka kepada kami. Koneksinya melalui jaringan Desi Asiska. Di Polnep, koneksinya melalui jaringan Anton Perdana. Mereka berkenalan – kata Desi, karena sama-sama aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Aktivis media di STAIN ini juga mulai terhubung kepada lembaga pers kampus di Untan – include juga pengelola Mimbar Untan juga mulai tahu keberadaan media di STAIN itu.
Mahasiswa mulai diajak bergabung dalam jaringan lembaga pers. Kundori sempat diajak untuk turut dalam pelatihan yang selenggarakan lembaga pers kampus di Yogyakarta.

***

Setelah itu, tidak banyak lagi yang saya tahu. Saya bolak balik ke Kuala Lumpur untuk menyelesaikan disertasi. Kadang satu minggu, dua minggu, bahkan kadang satu bulan. Saya melihat perkembangan dari jauh.
Yang saya tahu kemudian, Syair mulai tidak lagi diurus. Kundori dan kawan-kawan mulai lebih aktif di luar dan kegiatan-kegiatan lain. Ada yang di HMI, ada yang di masjid.
Tetapi, untungnya, Radio tambah besar karena perhatian Pak Haitami. Alokasi dananya tambah besar. Ada alokasi keuangan. Belakangan, ada dosen khusus yang ditempatkan sebagai direktur Radio.
Lalu, setelah generasi berganti, kemudian lahirlah Lembaga Pers Mahasiswa STAIN Pontianak.
Saya tidak tahu perkembangannya. Saya juga tidak tahu sejarah dan latar belakang pembubaran Syiar yang kemudian muncul media baru bernama Warta.




Baca Selengkapnya...

Problem Memilih Identitas

Oleh Yusriadi

Saya paling bingung kalau ditanya orang, kamu orang apa? Saya menjadi orang bodoh kalau sudah berhadapan dengan pertanyaan ini. Paling bodoh.
Dan celakanya, orang sering bertanya seperti ini. Orang-orang yang baru saya kenal, di Kalbar ini, doyan sekali bertanya seperti itu.
Kadang-kadang, karena saya bingung, saya dibentak orang.
“Kok bingung? Kamu orang apa?”


Benar, sangat bingung. Saya harus bilang saya orang apa? Terlalu banyak. Dalam mind saya, ada banyak identitas bisa dipilih. Saya orang Riam Panjang. Saya orang Pengkadan. Orang Embau, Saya orang Ulu. Saya orang Dayak. Saya orang Melayu. Saya orang Islam. Saya orang STAIN Pontianak. Saya orang Borneo Tribune. Saya alumni ATMA, UKM. Saya orang Pontianak. Saya orang Kalbar. Saya orang Indonesia. Saya orang Jalan Karet. Saya bapaknya Caca. Saya tetangganya Anu.
Banyak lagi identitas yang bisa saya pilih. Inilah yang secara teoritis disebut every day defene.
Karena itu saya bingung orang yang bertanya mau mendengar saya identitas yang mana? Memikirkan itu, perlu waktu. Waktu berpikir ini yang membuat jadi nampak sangat bodoh.
“Orang apa-lah?”
Karena itu kerap kali saya serahkan pada orang yang bertanya itu untuk menebak identitas saya. Kadang tebakannya betul. Kadang salah.
Ada yang menebak saya orang Ulu. Orang Dayak. Macam-macam. Sampai ada yang mengira saya orang Cina.
Kalau sudah begitu, saya tertawa saja. Tidak membenarkan. Tidak menyalahkan. Sesekali saja saya bilang:
“Boleh,”
Biarkanlah. Paling banter, saya bertanya, mengapa mereka mengira saya orang ini atau orang itu.
Karena itu ada beberapa pengalaman saya, orang menuduh saya orang plan plin. Orang tidak jelas.
Biar. Bagi saya, orang itu tidak mengerti. Dia tidak tahu bahwa dalam pikirannya juga ada banyak identitas. Hanya saja dia tidak menyadari. Bagi saya itu orang ego. Gak usah diurusin.
Selain dalam stock pribadi, identitas kita juga ada dalam stock pikiran orang lain. Karena pengalaman individu, seseorang dapat menebak atau menerka identitas orang yang ada di depannya.
Tentu saja, ada kalanya tebakan itu sesuai dengan identitas yang ada dalam pikiran orang yang dinyatakan. Tetapi adakalanya tidak. Ada kalanya identitas yang dinyatakan tidak diterima oleh orang yang menyatakan. Inilah yang secara teoritis disebut outhority defene.


Banyaknya identitas dalam pikiran --ini yang saya sebut sebagai stock of knowledge yang dimiliki setiap orang, yang bisa dikeluarkan kapan saja. Tergantung kebutuhan. Mana yang sesuai. Pertimbangannya pragmatis. Bisa memilih identitas yang dipikirkan akan sama dan diterima dalam pandangan orang yang bertanya, sehingga muncul kesan ‘orang kita’, bisa juga memilih identitas yang dipikirkan lain dan menempatkan orang yang bertanya sebagai ‘orang lain’.
Oleh sebab itu, para ilmuan yang mengkaji soal identitas manusia mengatakan identitas itu cair (fluid). Dinamis.
Kalau kita di Kalbar, identitas Dayak menjadi contohnya. Istilah Dayak digunakan sejak abad ke-18. Pada mulanya istilah ini digunakan oleh orang luar. Oleh colonial. Ada yang menyebutnya oleh orang Melayu, dll. Sedangkan orang yang disebut orang Dayak ketika itu tidak mau disebut sebagai Dayak. Bagi mereka, sebutan itu negative. Mereka malu.
Tetapi dalam perkembangannya kemudian, di tahun 1980-an sebutan Dayak mulai diterima orang pribumi ini. Lalu, di tahun 1990-an akhir, sebutan ini diterima secara penuh. Pada masa itu, kita sering melihat kebanggaan orang pribumi mengaku sebagai Dayak.
Keberterimaan ini juga kemudian menunjukkan pada kita bahwa jika dahulu hampir selalu orang Dayak yang memeluk agama Islam bertukar identitas mereka menjadi Melayu, sekarang tidak lagi. Sekarang ada banyak orang Dayak yang memeluk agama Islam yang menggunakan identitas Dayak Islam.
Dalam perjalanan politik di tahun 1990-sampai sekarang, identitas Dayak menjadi salah satu ikon penting dalam politik Kalbar. Ikatan identitas ini sangat solid dan diterima secara meluas untuk kelompok masyarakat tertentu.

***

Begitu juga dengan penggunaan identitas di kalangan masyarakat Cina di Indonesia, khususnya di Pontianak. Orang Cina di Kalbar menggunakan beberapa identitas yang sejajar. Misalnya, orang Tionghoa. Ada juga yang lebih sering pakai Cin.
Di kalangan orang luar, keadaan ini masih cenderung dilihat sama. Sebutan Cina. Beberapa orang mulai menggunakan sebutan Tionghoa, atau Cina.
Bagi orang luar, orang Tionghoa, atau apalah namanya itu, dikaitkan dengan penggunaan symbol-simbol graf Cina. Bahasa yang digunakan. Pola pemberian nama dan ini menyangkut budaya keluarga. Beberapa atraksi budaya lain juga diperlihatkan. Misalnya permainan barongsai dan naga. Tradisi-tradisi lama. Sembahyang kubur. Kue bulan.
Saya sering menjadi sangat bodoh kalau sudah bicara soal identitas Cina di Kalbar. Bodoh, karena sedikit sekali yang diketahui. Setiap kali berinteraksi, setiap kali bertambah pengetahuan, setiap kali saya menemukan hal yang baru. Ketika tahu hal baru, makin terasa betapa terbatassnya pengetahuan. Semakin terasa dungunya.
Saya bisa menyebutkan contoh tulisan tentang Cina = Melayu misalnya. Bagi saya, informasi dari tulisan itu sangat baru. Saya tahu ada orang Han yang Muslim. Saya tahu Laksamana Cheng Ho orang Islam. Tetapi saya baru tahu kalau kata Cina itu berarti Melayu.
Sampai sekarang saya belum bisa bedakan mana bahasa Khek, mana Hokkien, mana Tio Chew. Dahulu saya pernah belajar kelas bahasa Mandarin, namun, berhenti pada level 1. Baru tahu sebut: Ni Haw Ma? Atau Wo Ai Ni. Ansaw Aa… . Anciang Oww… Kecuali, tentu saya “Kam sia,” sering saya ucapkan.
Saya memiliki kontak dengan orang Cina sejak bersekolah Madrasah Tsanawiyah di Jongkong. Itu kali pertama. Di Jongkong terdapat beberapa orang Cina. Pedagang. Di kampung saya, di Riam Panjang tidak ada.
Saya pernah punya teman dekat orang Cina. Tetapi, belum banyak informasi yang saya serap. Saya juga punya ipar orang Cina. Adik saya menikah dengan orang Cina. Saya cukup akrab bergaul dengan mertua adik saya. Dia Cina yang ramah dan menyenangkan. Sangat baik dan mengesankan.
Di Pontianak saya kenal dengan bermacam-macam orang Cina. Mulai dari kelas kaki lima hingga kelas elit. Mulai dari yang menyenangkan, hingga yang cuek bebek. Mulai yang kebaikannya bagi saya sangat luar biasa, hingga yang jahat pun ada. Mulai dari yang pendidikan tinggi, hingga yang tidak sekolah pun ada. Mulai yang mengerti bahasa Indonesia, hingga yang hanya bisanya bahasa Cina pun, ada.
Saya juga mengumpulkan beberapa buku tentang Cina. Misalnya, Hari Poerwanto yang menulis tentang China Khek dari Singkawang, hingga James Jackson yang menulis tentang Gold Minner . Marry Sommers Hedhuis, Yan Bing Ying Cina Kongsi. Saya juga mengingat buku ‘Elite Bisnis Cina di Indonesia’ karya Twang Peck Yang (Niagara, 2005), ‘Chinese Democracies, A Study of the Kongsis of West Borneo karya Yuan Bingling (Leiden, 2000), dan ‘Chinese Live’ tulisan Zhang Xinxin dan SangYe (MACMILLAN, London, 1986).
Tetapi, meski begitu pengetahuan tentang komunitas ini terbatas. Saya mencoba menulis beberapa artikel tentang Cina, namun saya rasa artikel-artikel yang saya tulis tidak memuaskan hati. Masih banyak yang kurang. Pengetahuan saya terbatas, data juga terbatas. Untung-untung teman yang orang Cina tidak mentertawakan tulisan saya itu.

***

Sesungguhnya penggunaan identitas di kalangan orang Melayu juga sama. Ada yang rumit, ada yang tidak. Siapa Melayu di Kalbar? Apa ciri mereka? Bagaimana identitas orang Melayu Kalbar?
Kalau saya ditanya begitu pasti saya akan kelabakan menjawabnya. Sungguh pun saya sudah menulis banyak artikel tentang Melayu, namun, ciri Melayu di Kalbar sesungguhnya belum saya pahami dengan betul.
Apakah ciri Melayu Kalbar pada budaya? Budaya mana yang jadi cirinya? Apakah ciri Melayu Kalbar pada arsitekturnya? Ciri arsitektur seperti apa? Apakah ciri Melayu Kalbar itu pada bahasanya? Seperti apa bahasa Melayu Kalbar? Apakah ciri Melayu Kalbar pada fisiknya? Seperti apa ciri fisik itu? Apa yang membedakan Melayu Kalbar dengan Melayu di luar Kalbar? Apa ciri khas budaya Melayu Kalbar?
Ada teman pernah mencoba menjawab: gasing itu ciri Melayu Kalbar. (Karena itu dia mengusulkan paten gasing itu). Ya, dia tidak tahu bahwa gasing juga dimainkan orang Melayu di belahan bumi lainnya. Dia mungkin tidak tahu bahwa ada orang Dayak yang juga punya gasing.
Lalu, di tengah masyarakat dikenal ada kelompok Melayu lagi. Ada Melayu Pontianak, Melayu Sambas, Melayu Ketapang, Melayu Sanggau, Melayu Pinoh, Melayu Embau, dll. Apa beda mereka satu dengan yang lain? Apa ciri khas masing-masing?
Oleh sebab itulah, saya jadi teringat seorang peneliti mengatakan identitas Melayu Kalbar ditandai dengan pengakuan. Kalau dia mengaku Melayu, Melayulah dia. Kalau dia tidak mengaku Melayu, bukan Melayu-lah dia. Inilah yang lagi-lagi kita kenal dengan sebutan “identitas harian”.
Namun, tentu saja itu tidak cukup. Orang luar (bukan Melayu) juga memberikan identitas terhadap kelompok ini. Identitas bagi orang luar ini, bisa jadi sama dengan yang orang Melayu pakai, bisa jadi berbeda. Sama atau berbeda, bukan untuk diperdebatkan. Sama atau berbeda adalah untuk dipahami. Mengapa tidak diperdebatkan? Karena pilihan ini pragmatis, menyangkut juga rasa dan selera. Hanya orang lupa diri dan ego saja yang ingin memaksakan seleranya pada orang lain. Hanya orang yang begitu yang ingin orang lain ikut selera dia.
“Kok begitu?”
“Ya, iyalah… masa’ iya dong”.
Sepintas lalu tentu rumit dan sukar dipahami.
Kerumitan inilah yang bikin saya jadi bodoh. Bukan mudah memikirkan latar belakang, alasan, penjelasan di balik semua itu.
Pada akhirnya, pertanyaan sederhana adalah: apa manfaat dari semua itu. Apa manfaat bagi saya? Apakah apa yang bermanfaat bagi saya itu, bermanfaat juga bagi orang lain?
Ah, dunia memang aneh. Aneh, tetapi juga menarik.



Baca Selengkapnya...

Selasa, 28 Juli 2009

Pelatihan, Mendekatkan Diri Pada Komunitas Penulis

Oleh Yusriadi

Rasanya, sampai hari ini saya tidak percaya ada orang yang dapat menulis secara alami, seperti simsalabim saja.
Sepanjang pengalaman saya – yang tentu terbatas, orang dapat menulis karena mereka melatih kemampuan menulis. Mereka menulis dan menulis. Mereka berlatih dan berlatih. Hanya melalui latihan menulis secara kontinyulah yang membuat orang dapat menulis. Oleh sebab itu, sebaiknya kita tidak berpikir bahwa keterampilan menulis dapat diperoleh secara instant.



Justru itu, sebenarnya yang tidak begitu mudah adalah melatih diri menulis secara terus menerus. Melatih mendisiplinkan diri pekerjaan yang gampang-gampang susah. Gampang bagi mereka yang mau dan memiliki azam yang kuat, tetapi sangat susah bagi orang yang tidak mau dan orang yang tidak memiliki semangat yang kuat.
Salah satu pilihan yang mungkin dilakukan agar seseorang dapat menulis secara kontinyu adalah dia hidup dalam komunitas menulis. Dia hidup di lingkungan orang-orang yang terbiasa menulis. Hidup di antara orang-orang yang hidup dalam budaya tulis. Bergaul bersama orang yang mencintai peradaban tulis menulis.
Perumpamaan seperti seorang anak yang masuk dalam kamp militer. Seseorang yang lalai sekalipun, kalau masuk dalam kamp latihan ala militer, lambat laun mestilah dia jadi disiplin juga. Lambat laun mestilah dia ikut gaya orang dalam kamp itu.
Bukankah ada juga kata bijak mengatakan: dekat dengan penjual minyak wangi, bau wangilah kita. Dekat dengan penjual ikan, bau amis jugalah.
Saya memiliki beberapa pengalaman dalam soal ini. Beberapa waktu lalu saya mendapatkan email dan tulisan dari beberapa teman yang terkesan dengan pelatihan penulisan yang kami selenggarakan – Pelatihan Menulis Kisah Perjalanan Malay Corner, STAIN Pontianak.
Pelatihan itu, bukanlah seperti pelatihan biasa. Peserta dikumpulkan dalam ruangan sederhana, setiap pertemuan ada peserta yang membaca karya mereka, lalu dikomentari sedikit. Setelah itu, ada materi ala kadarnya. Lalu, di tengah pelatihan, peserta diajak berjalan bersama ke sebuah kampung dan menulis hasil pengamatan dan wawancara dengan masyarakat. Lalu tulisan itu diterbitkan. Baik dalam bentuk buku, maupun di koran Harian Borneo Tribune, Potntianak.

Tulisan pertama, dibuat oleh Ff, berisi kesan terhadap kegiatan ini dan apa yang dia dapatkan kemudian.

“Assalamualaikum,
Membaca judul pelatihannya saja aku kurang tertarik. Saat Pak Yus yang menawarkan dan meyakinkanku kalau pelatihan ini sangat bermanfaat untuk melatihku agar dapat menulis dengan lebih baik lagi aku langsung mengambil formulir namun tidak langsung membayarnya karena aku harus meminta izin emakku dulu.
Atas persetujuan emak besoknya aku langsung menghadap pak Yus dan bersedia ikut pelatihan ini. Pertama kali masuk kelas ini aku terkejut ternyata tidak ada teman sekelasku yang ikut pelatihan ini, seangkatan pun tidak ada. Rasanya ingin batal saja ikut pelatihan ini, bayangkan saja aku akan menjadi orang yang paling bodoh dalam pelatihan ini. Tapi lagi-lagi Pak Yus dan Pak Ibrahim memotifasiku dan kembali meyakinkan kalau pelatihan ini sangat bermanfaat.
Hari pertama tak ada satu pertanyaanpun yang kuajukan untuk pemateri. Hemh… di situ semakin jelas kebodohanku, ketika menjadi mahasiswa bukan orang yang bertanyalah yang bodoh, tapi orang yang tak bertanya sama sekali itulah orang yang bodoh karena tidak bias menangkap apa yang telah dijelaskan.
Setiap pertemuan diwajibkan untuk membuat satu karangan, akupun mengarang dengan mengalir apa adanya. Pelatihan ini diadakan tiap hari Sabtu dan hari inilah yang paling membuatku pucat gemetar. Saat aku cerita pada tiga teman dekatku, mereka hanya berkomentar.
“Berat … kau ngambil kelas ini, maaf ya kita hanya bisa bantu dengan do’a”.
Tapi aku tetap saja terus berjalan, yang paling bikin aku semangat ketika aku disuruh membaca karyaku di depan seluruh peserta awalnya sangat gemetar sampai-sampai terdengar jelas nada gemetarnya pada saat aku membaca karyaku. Tapi alhamdulillah ada pujian. Tapi rasa gemetarku tidak hilang tetap saja tiap hari Sabtu deg-degan.
Yang paling berkesan adalah ketika ke Desa Durian, aku bisa menulis apa yang aku lihat dan aku rasakan. Di situ aku percaya bahwa tulisan adalah bentuk dari ekspresi penulis. Rasa syukur terus kuucap karena aku mengikuti pelatihan ini, semakin termotivasilah rasa ingin terus belajar menulis.
Hanya ucapan terima kasih yang bisa Saya ucapkan pada Pak Yus, pak Ibrahim para dosen yang lain dan kakak seniorku yang bersedia memberiku satu tempat untuk belajar, sekali lagi terima kasih pak, Saya juga minta maaf bila selama pelatihan ini melanggar atau melakukan kesalahan. Pada intinya Saya sangat senang mengikuti pelatihan ini, sangat amat senang…
Terima kasih banyak semoga saya bisa mengamalkan apa yang telah saya dapat.
……
FF

Email kedua, dikirim oleh ESM:

“Assalamualaikum
pa kabar pak..
eh...ya, Saya mo bilang terima kasih yang sebesar-besarnya....
dengan kesabaran bapak mengajar dan membimbing Saya, kini Saya sedikit demi sedikit menyukai dunia menulis. yach...walaupun terkandang bandel mau menulis...
tapi Saya akan tetap berusaha menumbuhkan semangat Saya dalam menulis.....

tau ngak pak?
dulu sewaktu sekolah Saya paaa....ling ngak suka yang namanya menulis, kecuali catat mata pelajaran, karena itu adalah kewajiban sebagai pelajar aja...
jangankan mau menulis buku harian, keinginan untuk menulisnya saja saya nggak punya...tragis ya pak?...hehe...
dulu ketika Saya masih SMA pernah buat teman menangis, karena dia suka menulis buku harian. dan saya ejek terus, bahkan tiap hari. kebetulan saja teman Saya orangnya pendiam banget melebihi eSaya...hehe....
kalau nggak salah ingat Saya selalu bilang "Buat apa sich menulis? toh buku itu nggak bisa ngomong sama kamu....nggak bisa beri solusi lagi. mendingan ngomong aja ma orang, udah gitu capek lagi nulisnya", habis gitu Saya ambil diarynya, dan Saya baca keras-keras di depan kelas...
kalau Saya ingat. Saya banyak dosanya sama dia....
kira-kira dia mau maafin Saya nggak ya......
ngomong-ngomong Saya kok jadi curhat ya sama bapak.....tapi nggak papa kan pak...

Wassalamualaikum....

Selain itu, salah seorang peserta pelatihan, Nita namanya, meninggalkan komentarnya di http://www.jonru.net/bagaimana-cara-menjadi-penulis.


Salam pena, bang! Saya, sebenarnya, tidak punya pemikiran atau cita-cita menjadi penulis. Namun, setelah saya bekerja sebagai peneliti di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan UPT daerah dari Pusat Bahasa Jakarta, saya terpaksa harus berkutat dengan tulisan. Pekerjaan sebagai peneliti tentu saja harus akrab dengan tulisan karena hasil kerja peneliti harus terdokumentasi dalam bentuk tulisan. Pada akhirnya, saya tercebur dalam dunia komunikasi tulisan. Berjalannya waktu membawa saya masuk lebih dalam lagi dalam dunia penulisan. Saya baru saja mengikuti pelatihan Ayo Menulis Kisah Perjalanan yang diadakan oleh STAIN Pontianak. Selama pelatihan, peserta diharuskan mengumpulkan tulisan mengenai apapun yang berupa cerita pengalaman pribadi peserta. Didorong oleh tanggung jawab melaksanakan tugas, lama kelamaan saya semakin tertarik untuk selalu curhat pada buku dan pena. Apalagi setelah selesai pelatihan tersebut, kami peserta diberi kesempatan untuk menulis artikel yang diterbitkan di harian lokal di Pontianak, yakni Borneo Tribune. Sekarang pun, saya sedang mengerjakan makalah ilmiah untuk diikutkan dalam pembuatan buku bersama makalah dari peserta lain. Buku tersebut akan diterbitkan oleh STAIN Pontianak Press. Pelajaran dari pengalaman yang dapat kuambil ini adalah selain bangga bahwa karya curhatan saya dipublikasikan, saya jadi tercambuk untuk terus menulis dan semakin meningkatkan kemampuan saya.


Email berikut ini dikirim oleh ENV, temannya Nita. Isi mail ini menyinggung tentang pelatihan itu:


“Assalamualaikum.
Bagaimana kabarnya Bang?
Menyesal rasanya tidak dapat ikut kegiatan pelatihan penulisan yang Bang Yus adakan di STAIN. Apalagi kalau melihat kemajuan teman-teman yang ikut. Sebenarnya, keinginan untuk ikut cukup besar. Tapi harus terpaksa diurungkan, karena ada hal yang tak dapat dihindari. Jadi terpaksa keinginan itu harus dipendam. Saya berharap kegiatan ini dapat terus berlangsung, sehingga saya punya kesempatan untuk ikut pada kegiatan selanjutnya.

EN


Semua email dan tulisan di atas, sangat mengesankan. Setidaknya, email ini memberikan bayangan semangat dan motivasi menulis tumbuh di kalangan mereka karena mereka melihat orang lain – teman-teman mereka menulis. Semangat tumbuh karena dorongan yang sistematis melalui pelatihan.

Tetapi tentu tidak semua pelatihan adalah pelatihan yang baik. Ada kalanya pelatihan membosankan. Ada kalanya pelatihan hanya membuang masa – dan peserta hanya mendapatkan sertifikat.
Bagaimana pelatihan yang tidak baik? Pelatihan yang tidak baik adalah pelatihan yang diselenggarakan orang yang jarang menulis.
Bayangkan, bagaimana dia mau membentuk orang lain jadi penulis jika dia sendiri tidak suka menulis. Saya membayangkan, pasti pelatih seperti itu akan mengajarkan peserta tentang betapa bagusnya tulisan – sehingga saking bagusnya, membuat berkarya jadi sukar. Saya membayangkan, pasti pelatih seperti itu akan meninggalkan peserta setelah pelatihan selesai.
Kali-kali ajalah!





Baca Selengkapnya...

Mengapa Gadis Melayu Tak Boleh Duduk di Depan Pintu?

Oleh: Yusriadi

Orang Melayu mengenal pantang larang: anak gadis dilarang duduk di depan pintu. Mengapa? Susah dapat jodoh. Lho, memang apa hubungannya? Saya mendapat jawabannya dari orang Jawa di Telaga Arum, Seponti, Kabupaten Kayong Utara, Kalbar.

Sebulan lalu, (bulan Juni), saya mengunjungi mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak (STAIN) yang sedang melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di Desa Telaga Arum, Seponti Jaya, Kabupaten Kayong Utara. Kampung ini, adalah kampung transmigrasi. Penduduk kampung, berasal dari berbagai desa di Jawa – ada orang Jawa dan Sunda.
Saya berkenalan dengan beberapa orang warga yang paling asyik jika diajak ngomong. Mbah Syahril, Mbah Jai, Mbah Ti', Mbah Yem … dan banyak lagi mbah – selain beberapa lagi orang muda dan anak-anak.
Nah, pagi itu, setelah saya dan Zulfikar – ketua Kelompok 6, menghubungi tetangga yang memiliki sumur bor (sumur galian), kami mengikuti Mbah Syahril melihat stok air hujan di rumah beliau. Beliau menunjukkan beberapa tong berisi air hujan, yang boleh diambil untuk air minum. (Air minum di sini ‘hanya’ air hujan).
Mbah dikenal paling suka ngomong. Omongnya panjang lebar. Mulai cerita mereka saat masuk ke lokasi trans, hingga pengalamannya ketika menjadi bagian dari pejuang kemerdekaan di Jawa.
Entah mengapa, tiba-tiba beliau menyajukan pertanyaan,
“Mengapa anak gadis tak boleh duduk di depan pintu?”
Saya terkejut. Zul juga nampaknya begitu. Pertanyaan itu sering kali didengar. Mengapa tiba-tiba ditanyakan?
Kami memikirkan jawabannya.
“Katanya biar ndak susah cari jodoh”.
“Kalau duduk di depan pintu mengganggu orang lewat”.
“Itu kata orang”.
“Yang bener, dahulu khan perempuan tidak pakai celana dalam. Jadi kalau duduk di depan pintu, takut nanti nampak itunya…”
Saya benar-benar terpana.
Ketika itu pikiran saya mengelana ke masa lalu. Terbayang dalam pandangan mata saya seorang perempuan duduk di depan pintu, kakinya menjulur ke bawah – karena antara pintu rumah dan teras (jungkar) biasanya tidak sejajar, teras lebih rendah. Perempuan yang duduk itu mengenakan kain. Meskipun dia sudah berusaha duduk dengan baik, dan membetul-betulkan letak kainnya agar tak ada barang yang ganjil nampak, namun, tanpa dia sadari karena kakinya tak bisa diam sepanjang waktu dia duduk, lalu ‘bendenye’ nampak di celah-celah kain.
Saya membayangkan, mana-mana orang muda yang melihatnya tersenyum kecut. Yang nakal memandang terus sambil tersenyum lebar, sedangkan yang agak alim memandang sekejap dan kemudian tersenyum kecut.
Orang tua yang bermarwah membuang muka. Menggelak marah karena perempuan itu cuai.
Peristiwa seperti itu sangat besar kemungkinan terjadi. Tanpa disengaja. Maklum, dahulu memang mana ada perempuan yang memakai celana dalam. Belum ada celana dalam. Bahkan, seingat saya, orang di pedalaman baru mengenal celana dalam dalam tahun-tahun 1980-an. Sebelum itu, kalau pun pakai celana, celana yang mereka pakai adalah celana pendek yang dijahit sendiri.
Nah, bayangkan sendiri bagaimana keadaan sebelum itu. Bayangkan juga bagaimana keadaannya dahulu sewaktu orang hanya memakai pakaian dari kulit kayu “kapua’” yang dijadi-jadikan penutup tubuh. Bayangkan waktu orang hanya berselimut karung untuk melindungi tubuh mereka, karena tidak ada pakaian.
Seorang wanita pasti rentan!
“Wow.. itu benar jawabannya”.
Saya lihat Zul masih mikir-mikir. Mbah, tertawa…
“Kalau “bende” itu dilihat orang rame, khan ga boleh,” kata Mbah lagi.
Kami semua tertawa. Tekekeh.
“Benar Mbah”.
Saya berbisik pada Zul.
“Zul, kalau bukan di sini, mungkin kita belum dapat-dapat jawaban yang sebenarnya”.
Ya, menurut saya, itulah jawaban yang paling masuk akal, paling relevan. Hubungannya jelas:
Perempuan yang menampakkan “itunya” pasti dianggap perempuan tidak sopan. Perempuan yang sopan pasti melindungi ‘itunya’ sebaik mungkin. Bahkan melindungi semuanya – yang termasuk auratnya.
Bayangkan saja kalau kita sedang berjalan di tengah kampung, lalu tiba-tiba melihat ada seorang perempuan muda duduk di depan pintu rumahnya – pada saat yang sama nampak pula ‘itunya’. Bayangkan bagaimana perasaan orang tua melihat seorang yang akan dijadikan calon menantu ‘mempertontonkan itunya’ di depan orang ramai.
Mungkin semunya ‘emoh’. Jika semua emoh, dengan siapa lagi perempuan yang nampak ‘itunya’ akan mendapat jodoh? Itulah yang disebut sukar dapat jodoh. Itulah yang dikhawatirkan orang tua-tua terhadap anak mereka, sehingga orang tua menerbitkan pantang larang: anak dara dilarang duduk di depan pintu.
Bagi saya, jawaban ini sangat mudah diterima. Kaitan antara duduk di depan pintu dengan kesulitan mendapatkan jodoh itu jelas.
Bandingkan dengan ‘pengetahuan’ kita selama ini. Anak dara dilarang duduk di depan pintu nanti sukar dapat jodoh. Lalu penjelasannya, duduk di depan pintu mengganggu orang lewat. Di mana kaitannya? Tak nampak. Tak jelas. Malah, tak ada kaitannya pun! Sekalipun masuk akal, namun tidak nyambung.
Bagi saya, yang menarik, mengapa jawaban dari pantang larang orang Melayu, baru saya dapatkan setelah sekian lama hidup, dan saya dapatkan dari orang Jawa lagi!
Makanya, setelah kami kembali ke posko, saya bilang kepada Zul, “Kita harus lebih banyak mendengar dan menggali informasi dari masyarakat. Kita harus terus belajar dari mereka. Mereka, karena pengalamannya, lebih pandai dari kita, sekalipun kita kononnya pendidikannya lebih tinggi”.


Baca Selengkapnya...

Rabu, 22 Juli 2009

Pasar Malam di Kajang

Oleh Yusriadi

Pasar Malam di Pusat Hentian Kajang, Malaysia, selalu ramai. Dua kali seminggu, setiap hari Senin dan hari Jumat. Pedagang mula membuka lapak sekitar pukul 15.00, di atas aspal, di lahan parkir di depan flat. Lokasi itu luasnya, seluas jalan antara bangunan di kawasan ruko Nusa Indah.




Para pedagang memasang tenda kecil di atas aspal itu, lalu menyusun meja dan kemudian meletakkan barang dagangan di atasnya. Ada juga yang menyertakan kursi plastic yang bisa digunakan pembeli duduk sambil menikmati makanan yang mereka sediakan. Maklum di antara pedagang ada yang menjual bakso Jawa, ada juga yang jual jamu.
Orang yang datang ke pasar malam, macam-macam. Ada orang kelas rendah dan menengah di Malaysia suka mengunjungi pasar malama karena di pasar itu banyak pilihan.
Mereka lebih suka ke pasar malam karena di sana bisa memilih aneka barang. Mulai mie goreng, apam pinang, bakso, buah durian, sayur mayor, hingga jenis kerudung, baju, celana, kain, dan sepatu serta sendal. Harganya pun relative murah dibandingkan harga di minimarket.
Ya, tentu murah karena barang yang dijual di sini bukan jenis barang bagus. Untuk pakaian, barang yang dijual adalah jenis pakaian lelong. Sepatu --yang bak kata, beberapa kali pakai sudah koyak, dll.
Tetapi, bukan soal harga murah saja yang bikin orang datang ke pasar malam. Pasar malam juga menjadi semacam tempat ‘rekreasi’, cuci mata.
“Sambil lihat-lihat,” kata seorang teman.
Entah apa yang dilihat. Mungkin mereka melihat aneka barang, mungkin juga pengunjung pasar malam. Tapi, walau begitu, pasar malam di sini sama sekali tidak jorok dan tidak ada yang buruk di sana.
Inilah yang membuat suasana pasar malam jadi meriah. Banyak yang datang, banyak pedagang yang menggelar lapak di sana. Ekonomi nampak rancak. Walaupun transaksi dilakukan dalam jumlah yang kecil, hitung-hitung semua, pasti jumlahnya besar.
Kabarnya ada banyak pedagang kecil yang hidup dari pasar malam saja. Maklum, jika dikira semua wilayah, setiap malam ada pasar malam. Hanya lokasinya saja yang berbeda. Misalnya, Hentian Kajang kebagian jadi tempat pada hari Senin malam dan Jumat malam. Di Kajang Utama, atau di Bandar Baru Bangi, pada malam berikutnya.
Jika melihat sepintas lalu, pasti orang tidak akan tahu bahwa tempat parkir bisa disulap menjadi tempat usaha, hanya 1 malam – dalam beberapa jam. Orang pasti tidak terbayang, tempat parkir yang begitu itu, bisa mendatangkan uang jutaan rupiah.
Orang tidak akan tahu, sebab, setelah usai pasar malam, selesai pukul 21.00, tempat parkir itu menjadi tampak seperti semula. Bersih. Tempat menjadi kosong lagi. Macam tidak pernah ada lapak di situ.
Pikiran saya melayang. Melayang pada pasar malam di Sambas. Di beberapa tempat di Sambas, dahulu, yang saya ingat, ada pasar malam. Saya pernah mengunjungi pasar malam di Galing tahun 1997. Ramai. Namun, juga unik. Transaksi jual beli barang rancak. Kontak antara anak muda juga rancak. Pasar malam malah membawa kesan agak negative. Tempat “ketemuan”.
Di Pontianak dahulu juga pernah ada pasar malam. Namun pasar malam ditutup. Kabarnya, penutupan itu terjadi karena terlalu banyak dampak yang tidak baiknya dibandingkan baiknya. Salah satu yang disebut-sebut, pasar malam menyebabkan macet.
Saya sempat berpikir jika pasar malam kembali dibuka di Pontianak. Di lima wilayah kota. Dua kali seminggu. Pasti geliat ekonomi di kalangan pedagang kecil akan meningkat.
Rasanya banyak tempat yang bisa digunakan sebagai tempat usaha. Misalnya Jalan MT Haryono, Jalan Jeranding, atau mana-mana jalan yang pendek, yang lalu lintasnya bisa dialihkan ke jalur lain, dalam semalam. Atau halaman-halaman kantor pemerintah yang masih lapang.
Saya membayangkan mereka dibina Dinas Koperasi. Lalu, pedagang berjualan dengan tertib. Pedagang menyediakan sendiri lapak dan lampu mereka.
Saya membayangkan lapak yang bersih, dan barang yang mereka jual juga harus bersih. Kebersihan pascajualan juga diatur. Harga barang terstandar – daftar harga dicantumkan. Tidak ada yang boleh berbuat sesuka hati.
Pengelolaan pasar malam ditangani setertib mungkin, dan seaman mungkin. Hatta, tak ada pembeli yang khawatir ditipu pedagang, tak ada tukang copet yang gentayang, tak ada tukang parkir yang sering kali membuat orang risau.
Saya yakin kalau pemerintah mau membuka peluang berusaha, hal seperti itu bisa dilakukan. Mudah saja.

Baca Selengkapnya...

Selasa, 14 Juli 2009

Dari Sambas ke Sulawesi, Kok... Lewat Kuala Lumpur?

Oleh Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Rasanya, belum pernah terlintas dalam pikiran saya ada orang Sambas pergi ke Sulawesi lewat Malaysia. Setakat ini, yang saya tahu para pejabat Kalbar dahulu kalau mau ke Kapuas Hulu, melintasi lewat Sarawak.



Tetapi itulah yang saya jumpai ketika bulan lalu kembali ke Pontianak. Hari itu, dalam perjalanan dari Kuching ke Pontianak, saya duduk bersebelahan dengan seorang lelaki paroh baya. Lelaki itu, bersama istri dan anaknya. Istri dan anak lelaki itu duduk di deretan kursi kami.
Semula saya tidak menyangka mereka orang Kalbar. Hatta, orang Sambas.
Sejak naik dari Kuching saya mendengar percakapan mereka. Kesan saya, percakapan mereka seperti gaya orang Jakarta bercakap. Malah mereka begitu asyik membicarakan ‘pengalaman’ dalam perjalanan.
Mereka sempat bertanya pada sopir tentang perjalanan bis dari Pontianak ke Kuching.
“Kalau sampai ke Kuching pukul berapa, Pak?”
“Sekitar pukul 8”.
“Terlambat gak ya, kalau naik bis malam, mau kejar penerbangan ke Kuala Lumpur pukul 10 pagi”.
“Tidak”.
Sopir meyakinkan mereka.
“Kalau gitu kami pesan tiket nanti Pak. Ada 10 orang”.
Saya sendiri yang mendengar ingin menyeletuk, tidak yakin. Bagi saya terlalu mepet waktunya. Tetapi, tentu saya tidak enak mau nimbrung. Kenal saja tidak.
Jam 8 sampai. Ini itu di terminal, mungkin 15 menit atau setengah jam. Kononnya mereka mau makan dahulu, cuci muka, buang air, dll.
Peraturan Air Asia, sedikit menyeramkan: terlambat tiket hangus! Saya bersama Dedy teman saya, sudah pernah merasakan hal itu, sewaktu mula-mula ikut penerbangan ini. Terlambat sedikit saja karena nyasar di Kuala Lumpur International Airport. Padahal, terbang dengan Air Asia harusnya di LCCT. Kami kira, penerbangan Air Asia sama dengan penerbangan Malaysia Air Line (MAS).
Perjalanan dari Terminal Bis Kuching ke Terminal Kapal Terbang Kuching memang tidak jauh. Paling 20-30 menit sampai. Tetapi kadang kala urusan check in, dll juga tidak bisa dengan cepat.
“Terlalu beresiko”.
Tetapi, saya kira mereka pasti sudah tahu itu. Apalagi saya sempat menduga mereka adalah orang Indonesia yang bekerja di Kuala Lumpur. Entah pegawai kedutaan, entah apa.
Kami turun di perbatasan, cop passport.

***

Setelah turun di perbatasan, setelah naik kembali ke bis, barulah kami berkenalan. Kami bercakap-cakap banyak hal.
Mula-mula tentang cop passport. Lalu, berpindah ke soal prilaku orang Bea Cukai di perbatasan yang memeriksa barang penumpang, tentang jalan yang sempit, dll.
Pembicaraan kami agak panjang ketika membahas soal pemilihan presiden. Analisis ‘bapak itu’ sangat menarik. Saya menyukai diskusi soal mengapa pilih siapa.
Nah, lama kemudian pembicaraan mengalir pada siapa bapak itu.
“Kami dari Sambas”.
Lalu dia menceritakan tentang dirinya, istrinya dan anaknya.
“Kami baru dari Sabah”.
Rupanya mereka melancong ke puncak Gunung Kinibalu mengisi liburan sekolah anak. Anak mereka baru selesai ujian. Rencananya, setelah pengumuman –dan mereka yakin anaknya lulus, mereka semua akan berangkat ke Sulawesi.
“Biar dia sekolah di sana”.
“Kok ke Sulawesi lewat Malaysia?”
“Ya, jauh lebih murah. Banyak tiket promosi”.
Katanya, istrinya sangat rajin melihat-lihat internet untuk melihat booking Air Asia.
“Promosinya gila-gilaan.” Katanya, takjub.
Ya, tiket Air Asia memang terkenal murah. Untuk dapat tiket murah lihat saja situs boking tiket.
Sebagai contoh, kadang kala penerbangan dari Kuching ke Kuala Lumpur, bisa lebih murah daripada naik bis dari Pontianak ke Putussibau. Harganya berbeda-beda tergantung keberuntungan. Kadang kala bisa dapat 30 ringgit (dikalikan Rp 3 ribu = Rp90 ribu). Kadang kala malah RM 0. Penumpang hanya bayar administrasi saja.
“Bandingkan kita terbang dari Pontianak ke Jakarta, lalu dari Jakarta ke Sulawesi. Mungkin Rp2 juta tidak lari, pulang perginya. Apalagi kalau musim sibuk,” katanya.
Saya terus melongo-longo mendengar penjelasan dia. Sungguh, seumur-umur baru kali ini dengar rute perjalanan tersebut. Padahal, saya sudah naik pesawat Air Asia lebih dari 10 kali. Tak pernah terpikir tentang hal seperti itu.
Cerita bapak ini membuat saya menghayal, suatu saat saya akan terbang ke Sulawesi juga dengan menggunakan Air Asia, melalui Kuala Lumpur. Mungkin saya akan terbang ke Bali, atau ke Aceh menggunakan jalur yang sama. Toh, walaupun nampaknya agak berputar-putar, namun, jauh lebih hemat. Bayangkan saja kalau ke Bali hanya Rp 200-an ribu saja. Mengapa tidak?!





Baca Selengkapnya...

Kuota Pendidikan Pontianak

Oleh Yusriadi

Kebijakan Walikota Pontianak Sutarmidji, soal kuota 5 per sen untuk anak daerah masuk ke sekolah negeri di Kota Pontianak, sungguh mengejutkan.
Itulah yang dirasakan banyak orang ketika membaca berita media pekan ini. Orang terkejut karena menilai kebijakan ini ‘luar biasa’. Masalahnya, biasanya, pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak agar dapat sekolah. Malahan, anak didorong-dorong agar belajar. Diwajibkan! Ada program Wajar 9 tahun! Pemerintah meningkatkan anggaran pendidikan. Pemerintah menaikkan gaji guru. Sekolah yang kurang ditambah. Sekolah yang rendah mutunya ditingkatkan. Yang kurang biaya, dibantu. Pemerintah sangat bergairah menyediakan kesempatan belajar kepada anak: tanpa mengira apakah anak tersebut anak orang kampung atau orang kota, atau apakah anak tersebut Melayu, Dayak atau Tionghoa.



Satu-satunya system yang agak menghambat – yang kemudian coba diatasi-- yaitu seleksi alam. Sistem ini yang menentukan orang yang pintar dan kaya masuk ke sekolah yang bagus dan mahal, sedangkan orang yang kurang mampu masuk ke sekolah yang ‘biasa’. Sekolah-sekolah tertentu melawan system ini dengan system silang, agar segregasi sosial tidak semakin melebar. Pemerintah juga menerapkan kebijakan soal itu – yang jelas sangat berpihak pada semua anak agar mendapatkan kesempatan belajar.
Pemerintah (biasanya) memberikan perhatian lebih pada pendidikan semua orang tanpa mengira batas-batas.
Seorang teman yang kuliah di Universiti Kebangsaan Malasyai yang membaca berita tentang kuota itu sempat mengungkapkan keheranannya: “Pontianak adalah pusat kota di Kalbar, seharusnya kebijakan tidak begitu. Terlalu vulgar cara dia membatasi orang daerah”.
Ini seperti kontraproduktif dibandingkan dengan kebijakan pendidikan nasional selama ini.
Saya sempat membaca berita, Dr. Aswandi pakar pendidikan Kalbar malah menilai kebijakan ini diskriminatif untuk orang daerah. Membatasi kesempatan.
Saya juga merasa heran dengan kebijakan ini.
Apakah impak diskriminatif ini sempat terpikirkan oleh Walikota? Apakah dasar dan dampak kebijakan ini benar-benar sudah dikaji oleh beliau melalui para ekspert?
Memang, kebijakan ini juga untuk melindungi warga kota. Dengan cara ini, bangku sekolah akan lebih banyak diisi oleh pelajar dari dalam kota ketimbang anak daerah.
Kebijakan ini nampaknya senyampang dengan kebijakan system rayonisasi yang diterapkan di beberapa sekolah. Sistem rayon agak lebih mudah diterima – karena ‘bunyi redaksi yang agak lebih logis’. Tujuannya pembinaan. Penerapannya bertahap. Dimulai dari SMP 1, baru kemudian diterapkan di sekolah lain.
Tetapi rupanya, rayonisasi tidak cukup. Walikota nampaknya ingin bunyi yang lebih tegas. Kuota. Pembatasan. Jatah.
Jika niatnya untuk melindungi anak-anak kota, kebijakan ini sungguh mulia. Beliau boleh dianggap pahlawan. Jasanya untuk pendidikan orang kota sungguh besar.
Namun, apakah benar selama ini ada masalah bagi anak kota Pontianak dalam mendapatkan bangku di sekolah negeri? Berapa banyak anak kota yang ingin masuk sekolah negeri, dan gagal karena kalah seleksi dengan anak daerah? Apakah selama ini jatah kursi sekolah negeri terbatas? Semuanya?
Apakah angka tidak bersekolah anak-anak di Pontianak tinggi? Apakah angka-angka itu muncul setelah mereka gagal masuk ke sekolah negeri?
Rasanya, sebaiknya orang mendengarkan hal itu dahulu, untuk memahami latar belakang kebijakan ini. Rasanya, sebaiknya setiap kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang bijak, dari pilihan yang terbaik.




Baca Selengkapnya...

Setelah Lewat Lengah Hari ...

Oleh Yusriadi

Hari itu, aku bongkar-bongkar file. Ada berkas yang kucari.
Berkas-berkas lama kuungkai satu per satu. Kubelek-belek map penyimpanan. Cukup lama juga mencarinya.
Kadang kala ada rasa kesal: karena harus susah payah mencari. Kadang juga ada rasa meluat karena berkas kadang pindah-pindah tempat. Ingatanku tidak kuat. Maklumlah.
Tetapi, ya.. mau apa lagi. Terpaksa … ya harus sabar.
Aku berusaha.




Kadang-kala ada rasa sukanya: melihat berkas lama itu memberikan kesempatanku untuk mengingat banyak hal yang sudah terlewati dalam hidup ini.
Ya, perjalanan hidupku sudah panjang. Jika umur nabi Muhammad dijadikan rujukan, berarti umurku sudah lebih separoh jalan. Kata orang tua, perbandingannya, sudah lewat tengah hari. Kini, dengan umurku itu, aku menapak senja.
Apa yang diinginkan orang di kehidupan senjanya? Orang di kehidupan senja, mestinya mulai bersiap-siap istirahat. Jika perumpamaan kehidupan manusia: manusia di kehidupan senjanya seharusnya sudah memikirkan bagaimana memulangkan ayam dan ternak lain balik ke kandang. Sudah mulai menyiapkan diri menghadapi alam yang gelap. Manusia di saat senja seharusnya sudah memikirkan saat-saat istirahat panjang.
Apakah aku begitu? Apakah aku sudah memikirkan istirahat panjang itu? Berat benar memikirkannya. Bukan, maksudku, berat benar menjawabnya. Aku malu menjawabnya. Apakah aku sudah siap (siap-siap) untuk istirahat panjang? Ibadahku bagaimana? Apakah aku sudah memenuhi panggilan Tuhan yang menciptakanku?
Apakah aku sudah berusaha mengembalikan ayam dan ternak lain kembali ke kandang? Rasanya belum. Pada saat senja ini aku masih lebih banyak memikirkan diri sendiri, ketimbang orang yang menjadi tanggung jawabku. Aku sering mengabaikan ayam dan ternakku. Kalaupun aku memikirkan mereka, aku hanya memikirkan mereka. Memikirkan saja. Tidak melakukan apa-apa.
Sering aku berpikir, jika aku mati saat ini, bagaimana ayam dan ternakku itu? Apakah mereka akan kembali sendiri ke kandang? Apakah mereka akan bertempiaran?
Justru kadang kala, aku bukannya memikirkan apa persiapanku di senja ini dan di malam hari saat aku hanya bisa terbaring. Aku, lebih sering duduk terdiam: memikirkan apa yang kubuat di pagi hari. Apa yang kubuat menjelang ufuk. Apa yang kubuat ketika matahari sepenggalan naik. Apa yang kubuat ketika hari menjelang siang.

***

Tiba-tiba, tanganku terhenti pada sebuah kartu: kartu mahasiswa. Kartu itu milikku ketika aku masih kuliah di IAIN Pontianak, tahun 1991/2, saat aku duduk di semester 5. Lagi-lagi, kartu ini mengingatkan aku pada masa muda dahulu.
Aku menilik foto yang terpampang di balik laminating. Foto hitam putih. Wajahku masih comel. Pipiku masih gemuk, dahulu ada lesung pipinya. Rambutku masih lebih lebat. Walaupun tidak rapi karena hampir tak pernah bersisir, dan tak jarang pula terkena cecair minyak Tancho. Kata orang, masih ganteng waktu itu. Banyak yang gemas – sehingga seringkali mereka membuatku takut. Bayangkan (tapi beberapa tahun sebelumnya), ada tiga orang teman Mbok Lena – Mbok Lena itu kakakku, mengepungku di atas jembatan di Jongkong, hanya karena ingin mencubit pipiku.
Beda jauhlah dibandingkan aku sekarang ini. Walaupun aku merasa tetap ganteng (hm! Maaf narsis), tapi kata orang-orang, wajahku sekarang sudah menyeramkan, kalau bisa jangan dilihat, kalau bisa dihindari. Sekarang pipiku sudah kempes sehingga semuanya jadi seperti lesung pipi, rambutku sudah tipis hampir-hampir kulit kepala yang nampak. Rambutku tetap awut-awutan karena tak berbekal sisir dan tak tersentuh minyak Gatsby. Warna putih, uban, ada di mana-mana mengkilap, mudah dilihat dari kejauhan.
Ya, aku merasakan ada perbedaan yang sangat kontras sekarang. Mengapa?
Inilah perbedaan waktu. Inilah perbedaan usia.
Perbedaan yang tak bisa dihindarkan. Perbedaan yang harus diterima sebagai sesuatu yang alami. Perbedaan yang membuatku hanya bisa mengingat, dan mengingat. Merenung dan menghayal.
Ya Rab, berikan aku husnul khatimah.

Baca Selengkapnya...

Senin, 13 Juli 2009

Naskah Klasik dari Kalbar

Oleh: Yusriadi

Hari itu, satu bulan lalu, Nindya Noergraha, Pejabat dari Perpustakaan Nasional RI berceramah di depan civitas akademika Universiti Kebangsaan Malaysia. Beliau bercerita tentang naskah klasik, khususnya naskah Melayu yang ada di perpustakaan RI, di Jakarta. Ceramahnya panjang lebar. Menurutnya, ada banyak naskah klasik Melayu yang ada di perpustakaan RI. Naskah itu kini tersimpan dengan selamat. Namun jarang digunakan. Setidaknya, orang yang memanfaatkan naskah itu sebagai sumber penelitian, masih terbatas pada kalangan tertentu.
Ceramahnya seputarnya naskah klasik Melayu, menyinggung pula tentang naskah klasik dari Kalbar. Itu karena moderator, Prof. Dr.Noriah Mohamed, atau lebih dikenal sebagai Ibu Ning, melemparkan kesempatan kepada saya selepas kesempatan tanya jawab diberikan.
“Ayo, bagaimana Pontianak, ada komen?”



Profesor sudah lama kenal dengan saya, melalui pembimbing saya – Profesor Dr. James T. Collins. Dia tahu saya berasal dari Pontianak.
Saya memang tidak buka suara sejak awal pertemuan. Saya ingin mengungkaikan kembali kenangan lama, 13 tahun lalu, ketika pertama kali saya datang ke Universiti Kebangsaan Malaysia. Jadi, ceramah itu menyentuh ingatan saya.
Karena semua pandangan tertuju pada saya, seperti ingin mendengar sesuatu dari Pontianak, saya terpaksa buka mulut. Memberikan informasi yang pasti mengecewakan mereka.
“Tidak banyak yang saya ketahui tentang naskah lama di Pontianak. Memang pernah ada penelitian yang dilakukan oleh teman-teman di STAIN POntianak, bagian dari proyek penelitian Departemen Agama, tetapi apa hasilnya? Saya tidak tahu,”
Ya, benar, saya tidak tahu apa kesimpulan penelitian itu. Apa hasil akhirnya. Tidak ada publikasi. Setidaknya, saya tidak mendengarnya. Pasti, ini terjadi karena keterbatasan saya menyerap informasi, sekalipun saya sebenarnya sangat tertarik terhadap penelitian ini.
“Kalau tidak salah, penelitian itu berhasil mendokumentasikan semua buku yang ditulis oleh Maharaja Imam Sambas, Basiuni Imran. Tetapi, di mana sekarang file-file itu disimpan, saya tidak tahu perkembangannya”.
Lalu, seorang pelajar Indonesia, asal Jakarta bicara. Pelajar itu, yang juga dosen Universitas Islam Negeri Jakarta, mengaku pernah terlibat dalam proyek penelitian naskah klasik di bawah proyek Depag RI mengatakan, naskah Kalbar sekarang ini banyak yang sudah pindah ke Brunei. Dia bicara dengan nada yang meyakinkan. Tidak ada keraguan.
Setelah komentar itu, tak ada informasi lain tentang naskah asal Kalbar. Peserta pun tidak mendalami informasi ini, kecuali komentar tentang usaha Brunei itu.

***

Saya memang pernah mendengar perjalanan naskah dari Kalbar ke Brunei. Jalurnya, melalui jalan darat. Ada orang Kalbar yang membawa naskah itu ke sana. Ada orang Brunei – yang tertarik dengan naskah Kalbar itu dan ‘menampungnya’.
Sebenarnya tidak hanya naskah yang berjalan ke Brunei. Barang-barang lain juga begitu. Masalahnya, barang ada, peminatnya ada.
Saya memaklumi cerita itu. Maklum karena sudah pasti, orang Kalbar tertarik dengan ‘proyek’ mengumpulkan naskah lama setelah tahu ada orang di Brunei yang mencarinya. Sekadar memenuhi pesanan. Cuma tidak bisa ditebak apakah naskah itu dibeli – dalam arti sesungguhnya, atau tidak. Mungkin saja ada transaksi dolar Brunei.
Tetapi, tentu tidak sepatutnya ada menganggap bahwa transaksi itu sebagai sesuatu yang negative. Dugaan jual beli naskah dalam pengertian bisnis naskah, seperti yang dilontarkan sebagian orang di Indonesia, selama ini, dapat dilihat dari sudut lain. Ada nilai positif yang ada di balik hal itu.
Nilai positif itu adalah dokumentasi. Penyimpanan naskah di lembaga seperti muzium pasti dilakukan dengan rapi. Lembaga seperti ini memiliki ruang penyimpanan disiapkan dengan khusus.Suhu dan cahayanya diatur dan dikendalikan. Binatang seperti rayap tidak akan berminat merusak naskah itu. Ini yang membuat naskah terjaga.
Hal seperti ini sudah terbukti lebih bermanfaat bagi sejarah Kalbar hari ini. Ada beberapa naskah Kalbar yang sudah dibawa keluar pulau sejak beberapa puluh tahun lalu. Ada banyak yang dibawa ke Jakarta juga. Dibawa ke Malaysia, Inggris, dan Belanda.
Sekarang ini naskah-naskah itu selamat di tempat penyimpanan di sana. Justru itu, naskah ini membuat orang dapat mengetahui tentang masa lalu daerah ini. Jejak sejarah dapat disusuri dari bahan-bahan ini.
Bandingkan dengan situasi yang terjadi di tempat asal. Naskah yang disimpan oleh ahli waris tidak semuanya selamat sampai sekarang ini, ke generasi hari ini. Beberapa dari naskah itu sudah musnah karena penyimpanannya tidak baik.


***

Saya terpana pada cerita Pak Nindya, karena saya ingat ada beberapa naskah lama yang ditemukan di Kalbar atau berasal dari Kalbar yang dijejaki di tempat lain. Setidaknya, ada ada 4 naskah penting yang kerap disebut mampu membantu memahami Kalbar masa lalu, yang saya gunakan kalau lagi membanggakan peradaban menulis masa lalu Kalbar.
Pertama, Naskah dari Timur. Naskah ini disebutkan dalam buku terkenal Tuhfat Al-Nafis, karya Raja Ali Haji. Naskah ini menggambarkan keadaan kepulauan Melayu pada abad ke-18 dan ke-19. Mengenai hubungan antara Pontianak, Sambas, Matan, dengan kerajaan di Sumatera. Naskah ini menggambarkan keperwiraan orang Bugis di Riau dan di Kalbar, khususnya Opu Daeng Manambon, Opu Daeng Kamase, Opu Daeng Celak, Daeng Rilaga, dan lain-lain.
Namun, walaupun tidak disebutkan judul tulisan itu, dan tidak disebutkan siapa penulisnya, tulisan ini sudah menggambarkan adanya ‘bahan tertulis dari Kalbar’ yang ditemukan Raja Ali Haji. Raja Ali Haji menetap di Riau, tepatnya di Pulau Penyengat.
Kedua, Syair Perang Cina di Monterado. Syair ini dialeterasi dari Arab Melayu kepada tulisan Latin, oleh Arenawati, sastrawan Malaysia asal Bugis. Syair ini ditemukannya ketika beliau pergi ke Leiden, Belanda. Syair ini menggambarkan situasi peperangan yang melibatkan orang Cina di beberapa wilayah kongsi tempat pertambangan emas di Monterado, melawan orang Melayu dan kemudian melibatkan Belanda.
Ketiga, Syair Pangeran Syarif. Syair ini juga dialeterasi dari Arab Melayu kepada tulisan Latin, oleh Arenawati. Syair ini juga ditemukannya di Leiden, Belanda, ditulisan oleh Sultan Matan. Syair ini menggambarkan situasi di kota Pontianak pada abad ke-21, seperti yang dilihat oleh Sultan saat harus ke Pontianak mengurus adiknya yang ditahan oleh Belanda. Pontianak abad ke-21 digambarkan dengan detail – terutama mengenai relasi etnik, kegiatan ekonomi dan perdagangan,serta dinamika sosial.
Keempat, Bahar Al-Lahut. Kitab ini ditulis oleh Al-Arif, berhubungan dengan aliran Syiah di Nusantara. Al-Arif diduga adalah nama samaran, atau nama pena penulis, bukan nama sebenarnya. Kitab ini ditemukan di Kalbar, merupakan kitab tertua dalam bidang ini.
Meskipun bukan ditulis oleh orang Kalbar, namun, keterangan yang menyebutkan bahwa naskah ini ditemukan di Kalbar menunjukkan relevansinya dengan tema ‘perjalanan’ naskah dari Kalbar ke tempat lain. Jika naskah ini tidak terlanjur diselamatkan sudah pasti Kalbar tidak akan dikaitkan dengan penyebaran aliran ini.
Saya selalu percaya bahwa naskah yang ditulis orang Kalbar masa lalu, pasti bukan dua atau tiga saja naskah. Pasti banyak. Saya juga percaya bahwa tradisi menulis ini sedikit banyak berkaitan dengan tradisi membaca orang Kalbar. Tradisi ini membuat sebagian orang dahulu membeli dan menyimpan buku.
Lalu, mengapa yang sampai kepada kita hari ini hanya satu dua naskah saja? Itulah masalah kita sebenarnya.

Baca Selengkapnya...

Zahry Abdullah: Dulu Kerja Gila, Kini Kerja Mulia

Oleh: Yusriadi


Peneliti sejarah dan budaya Melayu Kalbar, khususnya Melayu Pedalaman pasti mengenal sosok Zahry Abdullah. Sosok yang dikenal dengan nama lengkap Datuk Abang Drs. H Zahry Abdullah ini dikenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang sangat dalam tentang sejarah keluarga dan kerabat kerajaan Melayu di Kalbar. Mulai dari kerajaan Bunut, hingga Sanggau.


Tok Olah –demikian orang dekat biasa memanggilnya, dapat bercerita panjang lebar tentang orang-orang penting pedalaman, hingga sanak familinya. Beliau dapat bercerita tak putus-putusnya jika sudah bicara siapa beranak siapa, siapa menurunkan siapa, bagaimana ceritanya, dll.
Sering kali pendengar terpana dengan kebolehannya.
Beliau berbeda dengan banyak ‘pencerita sejarah’ kebanyakan. Kelebihan beliau adalah, jika beliau bercerita, beliau bercerita dengan bukti. Beliau dapat menunjukkan ‘peninggalan’, silsilah, dan contoh-contoh yang meyakinkan. Tidak asal sebut, tidak asal ngecap.
Beliau sudah menerbitkan tulisan tentang sejarah-sejarah pedalaman itu. Antara lain, Sejarah dan Perkembangan Islam di Sanggau, Hubungan Orang Iban dan Islam di Kapuas Hulu.
Beliau sering tampil sebagai pembicara; baik seminar tentang Melayu di Kalbar, maupun dalam seminar di luar negeri –khususnya Brunei dan Malaysia.
Kelebihan inilah yang membuat beliau terkoneksi dengan banyak peneliti; baik peneliti dari Kalbar, Jakarta, maupun dari Malaysia dan dunia. Peneliti sejarah seperti L. Andaya pernah berkorespodensi dengan beliau. Beliau memiliki koneksi dengan orang-orang dari lembaga pelestari sejarah seperti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, atau Muzium Brunei.

***

Tentu saja taraf yang dicapai sekarang ini tidak jadi dengan sendirinya. Semua itu dicapai melalui perjalanan panjang beliau. Semua itu dicapai dengan usaha beliau. Semua itu dicapai dengan kemauan belajar dan menggali informasi. Hal yang kecil dan sederhana di mata banyak orang, di mata beliau merupakan hal yang menarik dan istimewa.
Beliau mengumpulkan banyak tulisan tangan orang-orang tua dahulu; mulai tulisan tentang fiqh, hingga surat-surat biasa. Beliau mengumpulkan benda-benda lama, apa saja. Beliau juga mengumpulkan batu-batu unik, akar-akar pohon, dll.
“Dulu, orang sering bilang, saya orang gila,” katanya, pekan lalu.
Saat itu beliau menunjukkan sebuah manuskrip tulisan tangan tentang tarikat di Kalbar. Tulisan itu berbentuk huruf Arab Melayu. Beberapa hari sebelumnya, ada peneliti tarekat dari Semarang dan dari Departemen Agama RI, Jakarta, datang kepada beliau melihat naskah yang ditulis pada tahun 1333 H, atau hampir 100 tahun lalu.
Naskah itu sudah sempat lapuk, dan ada bekas gigitan rayap. Kini untuk penyelamatan, naskah itu dilaminting. Pasti gigi rayap akan susah merobek-robek plastic itu. Ini adalah salah satu contoh kegilaan beliau, dahulu.
Mengapa dikatakan orang lain, gila?
Gila, karena banyak menyimpan barang yang tidak ada gunanya. Beliau menyimpan tulisan tangan yang waktu itu tahun 1960-an, dianggap tulisan biasa. Tidak ada nilainya. Pada masa itu, tulisan seumpama akan dibiarkan begitu saja. Orang lain lebih suka menyimpan barang yang berharga.
Gila karena menyimpan barang yang tidak ‘ada gunanya’ itu hanya menyesakkan ruangan. Ruangan yang lapang menjadi sempit.
Meskipun disebut gila, namun beliau terus melakukannya. Beliau terus mengumpulkan barang yang menurutnya patut disimpan. Kadang, bila boleh dipinta, beliau meminta dari keluarga yang menyimpannya. Kadang jika harus dihargai, beliau menghargainya dengan nilai yang disepakati.
Minat dan kecintaan terhadap barang-barang lama sebagai hobby beliau, mendapat jalan karena kedudukan sosial yang tinggi ketika itu. Saat orang pedalaman rata-rata pendidikannya rendah, beliau dapat mengenyam pendidikan tinggi. Boleh dihitung orang seusia beliau yang berpendidikan perguruan tinggi.
Beliau juga satu di antara orang pedalaman yang bisa mencapai kedudukan politik cukup tinggi. Anggota DPRD Kapuas Hulu. Jabatan anggota Dewan merupakan jabatan yang dihormati; dihormati oleh orang kebanyakan, dihormati oleh para pejabat. Bupati yang dihormati orang kampung, juga menaruh hormat pada anggota Dewan. Bayangkan!

***

Kini, rumah beliau seperti muzium. Banyak lemari dan peti-peti penyimpanan barang. Rumah beliau menjadi tempat penyimpanan barang yang dikumpulkan sejak setengah abad yang lalu.
Penyimpanan itu, bisa diakses oleh orang lain. Beliau sangat terbuka. Beliau juga dapat menjelaskan tentang barang-barang yang dimiliknya, dengan panjang lebar.
Justru karena keterbukaan itu, beliau menjadi rujukan setiap penggalian informasi sejarah – khususnya sejarah pedalaman Kalbar.
Kedudukan ini, tentu terasa sangat penting bagi para penyusun sejarah lokal. Kedudukan ini yang membuat banyak orang menaruh respek pada beliau. Sumbangannya terhadap persejarahan Kalbar, khususnya persejarahan Melayu di Kalbar sangat besar. Beliau dapat menyumbang serpihan informasi dari sekian banyak informasi sejarah yang harus disusun oleh peneliti sejarah.
Hal inilah yang menyebabkan pekarjaan beliau dahulu yang dianggap gila, kini justru menjadi mulia. Jasanya tidak ternilai. Beliau dianggap sebagai penyelamat kepingan sejarah Kalbar.
Sayangnya, pengetahuan beliau yang dalam, belum semua tertulis. Masih banyak informasi yang tersimpan melalui ingatan dan disampaikan secara lisan.
Seharusnya, informasi itu ditulis. Namun, setakat ini, informasi yang diikat di ujung pena hanya baru sebagiannya saja. Malah mungkin apa yang sudah ditulis baru setetes dari lautan informasi yang dikuasainya.
“Saya agak susah menulis. Lebih mudah menceritakan. Yang muda-mudalah yang seharusnya membantu saya menulis,” katanya, beberapa waktu lalu.
Lalu, siapakah yang muda yang bersedia membantu menulisnya? Seharusnya ada. Seharusnya ada orang yang perduli untuk menulis informasi yang dikuasi Pak Olah.





Baca Selengkapnya...

Zahry Abdullah: Dulu Kerja Gila, Kini Kerja Mulia

Oleh: Yusriadi


Peneliti sejarah dan budaya Melayu Kalbar, khususnya Melayu Pedalaman pasti mengenal sosok Zahry Abdullah. Sosok yang dikenal dengan nama lengkap Datuk Abang Drs. H Zahry Abdullah ini dikenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan yang sangat dalam tentang sejarah keluarga dan kerabat kerajaan Melayu di Kalbar. Mulai dari kerajaan Bunut, hingga Sanggau.


Tok Olah –demikian orang dekat biasa memanggilnya, dapat bercerita panjang lebar tentang orang-orang penting pedalaman, hingga sanak familinya. Beliau dapat bercerita tak putus-putusnya jika sudah bicara siapa beranak siapa, siapa menurunkan siapa, bagaimana ceritanya, dll.
Sering kali pendengar terpana dengan kebolehannya.
Beliau berbeda dengan banyak ‘pencerita sejarah’ kebanyakan. Kelebihan beliau adalah, jika beliau bercerita, beliau bercerita dengan bukti. Beliau dapat menunjukkan ‘peninggalan’, silsilah, dan contoh-contoh yang meyakinkan. Tidak asal sebut, tidak asal ngecap.
Beliau sudah menerbitkan tulisan tentang sejarah-sejarah pedalaman itu. Antara lain, Sejarah dan Perkembangan Islam di Sanggau, Hubungan Orang Iban dan Islam di Kapuas Hulu.
Beliau sering tampil sebagai pembicara; baik seminar tentang Melayu di Kalbar, maupun dalam seminar di luar negeri –khususnya Brunei dan Malaysia.
Kelebihan inilah yang membuat beliau terkoneksi dengan banyak peneliti; baik peneliti dari Kalbar, Jakarta, maupun dari Malaysia dan dunia. Peneliti sejarah seperti L. Andaya pernah berkorespodensi dengan beliau. Beliau memiliki koneksi dengan orang-orang dari lembaga pelestari sejarah seperti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, atau Muzium Brunei.

***

Tentu saja taraf yang dicapai sekarang ini tidak jadi dengan sendirinya. Semua itu dicapai melalui perjalanan panjang beliau. Semua itu dicapai dengan usaha beliau. Semua itu dicapai dengan kemauan belajar dan menggali informasi. Hal yang kecil dan sederhana di mata banyak orang, di mata beliau merupakan hal yang menarik dan istimewa.
Beliau mengumpulkan banyak tulisan tangan orang-orang tua dahulu; mulai tulisan tentang fiqh, hingga surat-surat biasa. Beliau mengumpulkan benda-benda lama, apa saja. Beliau juga mengumpulkan batu-batu unik, akar-akar pohon, dll.
“Dulu, orang sering bilang, saya orang gila,” katanya, pekan lalu.
Saat itu beliau menunjukkan sebuah manuskrip tulisan tangan tentang tarikat di Kalbar. Tulisan itu berbentuk huruf Arab Melayu. Beberapa hari sebelumnya, ada peneliti tarekat dari Semarang dan dari Departemen Agama RI, Jakarta, datang kepada beliau melihat naskah yang ditulis pada tahun 1333 H, atau hampir 100 tahun lalu.
Naskah itu sudah sempat lapuk, dan ada bekas gigitan rayap. Kini untuk penyelamatan, naskah itu dilaminting. Pasti gigi rayap akan susah merobek-robek plastic itu. Ini adalah salah satu contoh kegilaan beliau, dahulu.
Mengapa dikatakan orang lain, gila?
Gila, karena banyak menyimpan barang yang tidak ada gunanya. Beliau menyimpan tulisan tangan yang waktu itu tahun 1960-an, dianggap tulisan biasa. Tidak ada nilainya. Pada masa itu, tulisan seumpama akan dibiarkan begitu saja. Orang lain lebih suka menyimpan barang yang berharga.
Gila karena menyimpan barang yang tidak ‘ada gunanya’ itu hanya menyesakkan ruangan. Ruangan yang lapang menjadi sempit.
Meskipun disebut gila, namun beliau terus melakukannya. Beliau terus mengumpulkan barang yang menurutnya patut disimpan. Kadang, bila boleh dipinta, beliau meminta dari keluarga yang menyimpannya. Kadang jika harus dihargai, beliau menghargainya dengan nilai yang disepakati.
Minat dan kecintaan terhadap barang-barang lama sebagai hobby beliau, mendapat jalan karena kedudukan sosial yang tinggi ketika itu. Saat orang pedalaman rata-rata pendidikannya rendah, beliau dapat mengenyam pendidikan tinggi. Boleh dihitung orang seusia beliau yang berpendidikan perguruan tinggi.
Beliau juga satu di antara orang pedalaman yang bisa mencapai kedudukan politik cukup tinggi. Anggota DPRD Kapuas Hulu. Jabatan anggota Dewan merupakan jabatan yang dihormati; dihormati oleh orang kebanyakan, dihormati oleh para pejabat. Bupati yang dihormati orang kampung, juga menaruh hormat pada anggota Dewan. Bayangkan!

***

Kini, rumah beliau seperti muzium. Banyak lemari dan peti-peti penyimpanan barang. Rumah beliau menjadi tempat penyimpanan barang yang dikumpulkan sejak setengah abad yang lalu.
Penyimpanan itu, bisa diakses oleh orang lain. Beliau sangat terbuka. Beliau juga dapat menjelaskan tentang barang-barang yang dimiliknya, dengan panjang lebar.
Justru karena keterbukaan itu, beliau menjadi rujukan setiap penggalian informasi sejarah – khususnya sejarah pedalaman Kalbar.
Kedudukan ini, tentu terasa sangat penting bagi para penyusun sejarah lokal. Kedudukan ini yang membuat banyak orang menaruh respek pada beliau. Sumbangannya terhadap persejarahan Kalbar, khususnya persejarahan Melayu di Kalbar sangat besar. Beliau dapat menyumbang serpihan informasi dari sekian banyak informasi sejarah yang harus disusun oleh peneliti sejarah.
Hal inilah yang menyebabkan pekarjaan beliau dahulu yang dianggap gila, kini justru menjadi mulia. Jasanya tidak ternilai. Beliau dianggap sebagai penyelamat kepingan sejarah Kalbar.
Sayangnya, pengetahuan beliau yang dalam, belum semua tertulis. Masih banyak informasi yang tersimpan melalui ingatan dan disampaikan secara lisan.
Seharusnya, informasi itu ditulis. Namun, setakat ini, informasi yang diikat di ujung pena hanya baru sebagiannya saja. Malah mungkin apa yang sudah ditulis baru setetes dari lautan informasi yang dikuasainya.
“Saya agak susah menulis. Lebih mudah menceritakan. Yang muda-mudalah yang seharusnya membantu saya menulis,” katanya, beberapa waktu lalu.
Lalu, siapakah yang muda yang bersedia membantu menulisnya? Seharusnya ada. Seharusnya ada orang yang perduli untuk menulis informasi yang dikuasi Pak Olah.





Baca Selengkapnya...

Minggu, 12 Juli 2009

Catatan dari Peluncuran Buku “Menapak Jalan Dakwah”

Judul: Menapak Jalan Dakwah
Editor: Ambaryani dan Marisa
Penerbit: STAIN Pontianak Press
Tahun: 2009

MENGASAH KEMAMPUAN MENULIS MAHASISWA

Oleh Yusriadi

Sabtu (27/6/2009). Selain meluncurkan buku “Menunggu di Tanah Harapan (Yusriadi, dkk 2009), Ketua STAIN Pontianak H. Moh. Haitami Salim, juga meluncurkan buku “Menapak Jalan Dakwah”.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Hardianti, dkk yang diedit oleh Ambaryani dan Marisa. Hardianti, dkk adalah mahasiswa yang mengikuti kelas Feature di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) di STAIN Pontianak.


Isi buku, berupa profil sejumlah dosen yang mengajar di STAIN Pontianak, dan profil mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di STAIN Pontianak. Profil-profil ini ditulis berdasarkan hasil wawancara dengan masing-masing sosok, ditambah lagi dengan wawancara terhadap orang yang dekat dengan sosok itu.
Setiap sosok itu digambar aspek riwayat hidup-- dari kecil hingga sekarang, digambarkan juga perjalanan mereka dalam menuntut ilmu, karya-karya yang relevan dengan bidang pekerjaan mereka, serta prinsip-prinsip hidup mereka.
Profil-profil itu dikisahkan dengan persembahan yang menarik. Mahasiswa menulis kisah itu dengan gaya bertutur. Sebagian menggunakan sudut netral, sebagian lagi malah menggunakan sudut pandang diri sendiri sebagai penulis. Cara bercerita yang beragam dan tidak formal ini memberikan banyak gambaran terutama persepsi penulis terhadap tokoh. Persepsi melengkapi data-data yang ditampilkan.
Gambaran-gambaran isi buku juga memberikan inspirasi. Umumnya, tokoh yang diprofilkan memiliki perjalanan hidup yang penuh lika-liku. Mereka merasakan suka duka kehidupan. Mereka sudah mencicipi pahit manis dan asin dunia ini.
Mereka bisa bertahan karena mereka memiliki prinsip sendiri. Apa yang mereka capai bisa menjadi pelajaran bagi orang lain.

***



Buku ini sangat mengesankan saya. Sebagai pengampu Feature, saya bangga mahasiswa sudah bisa menulis dengan penggambaran yang beberapa di antaranya agak detail. Saya bangga mahasiswa sudah bisa melakukan pengeditan, dan saya bangga mahasiswa sudah bisa menerbitkan tulisan mereka. – Tampilan desain cover juga bagus!
Saya bangga karena akhir dari kelas, mahasiswa bisa menghasilkan buku. Selain ”Menapak Jalan Dakwah”, kelas Feature itu juga telah menerbitkan kumpulan cerpen: “Mimpi di Borneo”.
Penerbitan tulisan ini membuktikan bahwa mahasiswa memiliki kemampuan, jika kemampuan itu diasah. Mahasiswa dapat menghasilkan karya jika mereka mendapatkan bimbingan.
Tentu, untuk mencapai tahap ini tidak bisa sekali jadi. Tidak ada istilah simsilabim. Prosesnya panjang.
Setiap pertemuan mahasiswa harus menulis. Panjang tulisan minimal 10 halaman, 1 spasi.
Mereka bertungkus lumus mengerjakan tugas itu. Lintang pukang, kata orang Melayu. Karena memang, jika semangat tidak kuat, tugas 10 halaman itu amat berat. Sebab, tugas di kampus bukan cuma itu. Ada tugas lain dari dosen lain.
Tetapi saya selalu merasa puas ketika dapat meyakinkan mereka bahwa mengerjakan tugas 10 halaman bukan pekerjaan yang berat. Syaratnya, dinikmati. Tugas harus hayati. Nikmatilah sebagai bagian dari proses pembelajaran. Hayatilah sebagai proses berkarya dan menemukan jati diri.
Saya sering mengaitkan soal berat ringan tugas itu dengan salat. Salat, adalah kewajiban bagi orang Islam. Kalau merasa beragama Islam mestilah salat. Orang yang Islam tetapi tidak salat disebut sebagai orang munafik.
Salat, bagi sebagian orang adalah berat. Banyak orang malas. Tak kata subuh di saat dingin menusuk tulang, di siang hari atau sore di saat lapang pun banyak orang merasa enggan. Ada yang salatnya belang-belang kambing, karenanya.
Sebaliknya, bagi sebagian yang lain, salat bukan hal yang berat. Biasa saja. Salat dikerjakan terus. Tak buang waktu. Penuh. Mengapa bisa begitu? Karena mereka mengerjakan salat dengan kepatuhan. Mereka mengerjakan salat cenderung tepat pada waktunya. Salah akan jadi ringan jika dikerjakan seawal mungkin.
Benar atau tidak, mahasiswa dapat memahami logika itu. Mereka memahami mengapa saya menegur jika mereka mengerjakan tugas last minute. Mereka mengubahnya. Mereka menjadi orang yang mengerjakan tugas seawal mungkin. Tak lagi lalai. Yang lalai akan kena ‘sayok’.
Untuk memperkuat semangat mereka, saya membuat peraturan: dilarang mengeluh. Setiap keluhan akan dibayar dengan karya. Satu keluhan, satu karya. Dua keluhan dua karya Tiga keluhan, tiga karya. Saya pernah memberikan 4 tugas sekaligus karena ada di antara mereka yang mengeluh. Tetapi, sejak itu tidak pernah lagi ada di antara mahasiswa yang berani mengeluh di dalam kelas. Mereka menjadi ‘anak yang manis’.
Kejam. Mungkin. Tetapi, bagi saya mengeluh menimbulkan penyakit. Penyakit hati. Pekerjaan yang ringan sekalipun akan menjadi berat jika disertai dengan keluhan. Mengeluh membuat stress. Stress punca orang menjadi gila. Secara bergurau saya katakan: “Saya tidak ingin menjadi teman bagi orang gila”.
Tentu saja saya memahami sebenarnya menulis banyak bukan pekerjaan mudah. Menulis melibatkan dua isu: keterampilan cara menulis dan bahan. Untuk hal yang berkaitan dengan peningkatan keterampilan mahasiswa dianjurkan menulis dengan meniru pola orang lain dalam menulis. Menulis mengikuti pola jauh lebih mudah dibandingkan menulis tanpa pola. Karena itu membuat kerangka lebih dahulu adalah salah satu jalannya. Baru kemudian kerangka itu dikembangkan.
Sedangkan untuk memudahkan mereka mencari bahan yang akan ditulis, saya meminta mereka menulis tentang dirinya sendiri lebih dahulu. Baru kemudian dia menulit tentang orang tua dan saudaranya. Selanjutnya tentang orang yang berpengaruh dalam kehidupan mereka. Bahan ini sudah tersimpan dalam otak mereka. Tinggal mengeluarkan. Mereka tidak akan kehabisan bahan.
Dan, hasilnya: menyenangkan. Mereka berkarya. Mereka bersemangat. Bahkan, saya mendengar ada seorang mahasiswa yang mengaku dapat membuat karya dari setelah Isya sampai lewat tengah malam. Konon katanya dia menikmati.
”Khan tulis tentang diri sendiri. Jadi, rasanya seperti bernostalgia,”
Motivasi menulis meningkat. Beberapa di antara mahasiswa mengatakan langsung hal itu. Ada juga yang lewat tulisan – yang diposting di blog.
Apresiasi datang dari orang-orang dekat mereka. Bangga, tentu saja!
Bangga itu mengobarkan semangat. Akhirnya, dengan semangat itu, dengan kemampuan itu, mereka menghasilkan buku. Mereka menghasilkan dokumentasi berisi cerita tentang teman dan dosen mereka. Mereka membuktikan diri sebagai orang yang hidup dalam keabadian tulisan.
Lebih dari itu, ini juga bukti aktualisasi mereka.
“Ini bukti kalau kita mau, pasti bisa,” kata Ambaryani, editor buku itu ketika menyampaikan sambutan pada acara peluncuran buku.




Baca Selengkapnya...