Selasa, 23 September 2008

HIBURAN RAKYAT


MAIN BERSAMA
Sepak bola menjadi permainan yang benar-benar merakyat di Pulau Maya, KKU. Siswa-siswi bermain bola bersama di halaman Madrasah Ibtidayah Kampung Parit Baru. Foto Yusriadi.



Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (9): Para Pelintas

Oleh Yusriadi

Kami melalui Kamboja. Melalui jalan lain. Menuju bagian lain dari Pulau Maya – tidak melalui jalan yang kami lalui ketika sampai di pulau ini.
Kami melalui ladang penduduk. Melalui padang ilalang. Semak belukar.




Di jalan-jalan yang dilalui, saya bisa melihat bekas-bekas kedahsyatan hutan Pulau Maya. Banyak tunggul pohon yang besarnya lebih sepemeluk orang dewasa.
Jalan lebih mirip jalan setapak. Bukan jalan besar. Di sana sini ada akar pohon memintas jalan. Sesekali kami melewati sungai kecil yang jembatannya sekeping balok. Mengerikan sekali. Ismail membawa motor dengan cekap. Bang Rustam yang membawa Yapandi, seperti perjalanan malam sebelumnya, membawa motor dengan laju. Putra Pulau Maya ini meninggalkan kami jauh di belakang.
“Wah, kalau begini bisa-bisa kita sendiri di tengah hutan, Il,” saya memberi isyarat pada Ismail agar mempercepat laju motor biar tidak tertinggal jauh.
Yang saya bayangkan, betapa mengerikan kalau tiba-tiba motor pecah ban, atau mogok. Sendiri di tengah hutan. Menyeret motor di tengah hutan? Alamak! Berapa jauh? Saya tidak bisa menebaknya. Tetapi, pasti jauh. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di tengah hutan ini. Tidak ada belas ladang penduduk. Tidak ada kebun penduduk. Tidak ada rumah penduduk. Hanya ada ilalang, semak belukar, di antara pohon-pohon mati yang besar dan menjulang. Handpone Saya dan Ismail sejak kemarin sudah tidak berfungsi. Kami kartu Mentari, tidak ada sinyal.
Tak lama kemudian Ismail meminta saya membawa motor. Dia pindah ke boncengan.
Saya memacu motor dengan seberapa laju yang dapat. Mengejar ketertinggalan. Biar jarak dengan bang Rustam tidak jauh. Dan berhasil.
Tetapi, karena saya memacu motor dengan cara saya, giliran saya mendapat peringatan Ismail.
“Over gigi Bang,”
Atau pada saat yang lain, “Sayang motor Bang,”
Saya mencoba ikut permintaan Ismail. Kalau pelan, mesin diover ke gigi dua. Tetapi susah. Saya tidak biasa main gigi kalau sedang naik motor. Beberapa kali kami hampir terpeleset karena begitu kaki memindahkan gigi, keseimbangan agak goyang.
Perjalanan rasanya sangat jauh. Medan yang bergelombang membuat tangan rasa pegal-pegal. Beberapa kali kami berhenti mendinginkan mesin dan merenggangkan otot.
Saya takjub dengan pengalaman ini. Siapa yang membayangkan Pulau Maya begitu luas? Tidak saya membayangkan Pulau Maya adalah pulau kecil. Saya tidak membayangkan pulau ini memiliki hutan yang (pernah) lebat.
Jadi, karena itu jangan bayangkan orang Pulau Maya hanya hidup dari hasil ikan di laut sekitar mereka. Ada sumber kehidupan lain di pulau ini. Hutan.
Dari percakapan dengan orang-orang Pulau Maya saya tahu bahwa kayu pernah menjadi primadona kehidupan orang pulau ini. Banyak orang mendapat rizki dari kayu-kayu yang mereka tebang di hutan ini. Banyak orang luar yang datang ke pulau ini, datang karena ada daya tarik ikan, dan juga kayu. Inilah yang juga kemudian membuat saya menduga, menjadi daya tarik bagi orang - orang Sambas, generasi awal.
Sepanjang jalan di tengah hutan ini saya bisa melihat bekas-bekas eksploitasi hutan. Karena beberapa dari kayu yang ditebang tidak terangkut. Beberapa dari kayu teronggok di pinggir jalan. Di bagian ujung jalan, mendekati pemukiman penduduk tidak jauh dari penyeberangan ke Teluk Batang, saya melihat di parit lebarnya antara 4-5 meter banyak kayu yang masih terendam. Nyaris di sepanjang parit terdapat kayu gelondong yang garis tengahnya antara 30-60 cm.
Kayu ini belum sempat dihanyutkan sampai ke muara di Teluk Batang karena petugas menggelar operasi penertiban illegal logging. Hanya di satu dua tempat saya lihat ada aktivitas warga membelah kayu dengan mesin chainshaw.
Saya sempat berpikir, mengkalkulasikan betapa besarnya nilai uang dari gelondongan ini. Gelondongan ini pasti akan memakmurkan orang.
Tetapi siapa pemiliknya? Siapa yang menuai keuntungan dari gelondongan-gelondongan itu?
Apakah penduduk setempat? Apakah mereka menikmati keuntungan dari sumber alam di sekitar mereka?
Pertanyaan itu terus bergayut. Rumah-rumah penduduk yang bahannya dari kayu dan beratap daun di kampung kecil yang tidak jauh dari penyeberangan ke Teluk Batang membuat saya berpikir, keuntungan dari gelondongan itu tidak dinikmati penduduk setempat. Kalaupun penduduk setempat menikmati, mereka menikmatinya sedikit saja. Mungkin sekadar nilai upah kerja, bukan nilai sebagai pemilik hutan-hutan itu.
Tetapi walau begitu, saya kira penduduk tetap nrima dengan keadaan ini. Mereka akur saja. Mereka diam saja. Perubahan apapun kelak yang terjadi di pulau ini setelah hutan-hutan musnah, mereka terima dengan pasrah.
Sementara itu, para eksploitir yang menyelesaikan tugas mereka di pulau ini, meninggalkan kerusakan tanpa beban. Mereka seperti para pelintas, yang menumpang lewat.
Ucapan terakhir, mungkin hanya selamat tinggal. Habis.



Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (8): Ikatan Kekeluargaan dan Kebersamaan Itu Masih Kokoh

Oleh: Yusriadi


SAYA kembali ke rumah. Di sana sedang dilangsungkan pertemuan antara rombongan KF STAIN Pontianak dengan masyarakat. Saya mendengar Yapandi Ramli dan Bang Yapandi memberikan penjelasan tentang program-program ke depan. Saya juga mendengar pertanyaan-pertanyaan dari warga.



Saya lihat pertemuan berjalan dengan hangat. Sesekali ribut, karena secara bersamaan beberapa orang bersuara dan memberi komentar.
Pertemuan ini mengingatkan saya pada kebersamaan. Kebersamaan orang kampung.
Saya kira tanpa kebersamaan dan ikatan kekeluargaan, pertemuan ini tidak akan berlangsung. Bayangkan, undangan disampaikan last minute. Orang bisa datang. Penduduk mau membatalkan rencana mereka ke kebun atau ke ladang mereka. Masyarakat bersedia mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama. Saya kira, ini adalah modal sosial yang sangat penting dan berharga. Selayaknya terus dipertahankan.

PENDUDUK kampung Parit Baru ini sudah menunjukkan betapa kebersamaan mereka telah menuaikan hasil yang luar biasa. Karena kebersamaan ini, mereka bisa membangun madrasah ibtidayah.
Sekolah itu tidak jauh dari rumah Pak Kaed.
Saya mendapat cerita menarik soal pendirian sekolah. Sekolah itu dibangun oleh masyarakat. Karena masyarakat merasa penting adanya sekolah agama, lalu mereka berembug mencari cara bagaimana mendirikan sekolah.
Ada yang bersedia mewakafkan tanah untuk bangunan. Ada yang bersedia menyumbangkan uang, padi hasil panen, dll. Ada yang berusaha mengubungi Departemen Agama di Ketapang untuk mendapatkan bantuan.
Sumbangan-sumbangan inilah yang kemudian digunakan untuk membangun sekolah ini. Sumbangan-sumbangan inilah yang pada mulanya diandalkan untuk kepentingan operasional sekolah, termasuk untuk honor guru.
Dan sampai sekarang. Sekarang bangunan sekolah sudah cukup bagus. Untuk ukuran sekolah rakyat saya kira sekolah ini patut diberikan apresiasi.
Kegiatan belajarnya umumnya berjalan lancar, dibandingkan keterbatasan yang ada.
Kecuali hari itu, sekolah diliburkan, sebab gurunya mengurus pertemuan rombongan STAIN dengan masyarakat.

MENJELANG siang pertemuan itu selesai. Kami salat Zuhur dan makan siang. Saya sangat terkesan pada menu yang disajikan. Bumbu yang dipakai untuk memasak ayam kampung, saya rasa bumbu yang istimewa.
Setelah pamit, kami melanjutkan perjalanan.
Kami memilih jalan berbeda, karena masih ada pertemuan dengan tutor dan warga belajar di Kamboja.
Mula-mula kami melalui jalan beraspal. Kemudian jalan bersemen. Lalu jalan tanah. Meskipun tadi malam hujan, namun jalan tanah sekarang sudah kering. Kami dapat memacu kendaraan dengan cepat.
Pada pertemuan selanjutnya dengan warga belajar berlangsung dalam waktu yang relatif singkat. Yapandi Ramli memberikan pengarahan dan kemudian melakukan evaluasi mengenai kemampuan belajar. Ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) STAIN ini juga memberikan pengarahan kepada para tutor. Lalu ada urusan administrasi.
Saya kira, pertemuan itu tidak sepala dengan perjalanan kami yang susah payah, dan tidak sepala juga dengan penduduk yang sudah menunggu. Karena yang saya dengar masyarakat sudah menunggu kedatangan kami beberapa jam yang lalu. Ya, memang tidak sepala, kalau menunggu selama berjam-jam untuk pertemuan yang beberapa puluh menit saja.
Tetapi, memang begitulah. Rombongan KF juga dikejar waktu. Masih ada agenda lain. Lagian memang tujuan ke lapangan hanyalah untuk melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan. Jadi, kalau apa yang dikehendaki sudah tercapai, ya, sudah. Cukup. Bersambung.



Baca Selengkapnya...

Kamis, 18 September 2008

Warung Makanan dan Minuman di Kampung Parit Baru


Salah satu warung yang menjual pecal di Kampung Parit Baru, Pulau Maya. Di warung ini juga dijual aneka kue, mie, dan berbagai jenis minuman. Foto Yusriadi/Borneo Tribune




Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (7): Ada Pecal?

Oleh Yusriadi

Kami kembali ke rumah. Pak Kaed menawarkan makanan yang tersaji di atas meja tamu. Pecal. Ya, pecal. Teman yang lain sudah makan. Saya mengambilnya.
“Ada pecal? Buat sendiri?” tanya saya.


“Tidak. Beli,”
Heh. Saya terkejut.
Ada orang jual pecal?
“Di depan itu, ada orang jual,” katanya.
Dia menunjuk arah jalan, kiri rumah.
Saya mengangguk.
Ini menarik. Ini hal baru. Sepanjang saya menjelajah kampung-kampung pedalaman, tak pernah saya bertemu ada warung makanan ringan dibuka di pagi hari. Di pedalaman, warung-warung biasanya buka siang. Hanya di tempat perlintasan, tempat orang berlalu lintas, warung menjual makanan ringan. Di tempat terpencil biasanya toko hanya menjual kue-kue jenis biscuit, wafer, dan sejenisnya. Mie rebus, allahu’alam.
Ini, pecal!
Saya kira ini pasti berkaitan dengan banyak hal. Berkaitan dengan pekerjaan mereka, berkaitan dengan jadwal berangkat kerja, berkaitan dengan kebiasaan menyiapkan makanan pagi di rumah-rumah.
Sayang saya tidak sempat mendalami hal itu.
Saya juga tidak sempat mendalami, mengapa pecal yang tersaji. Mengapa bukan bubur? Mengapa masyarakat berselera dengan jenis makanan itu? Yang kemudian lebih mengejutkan, ternyata ada tiga tempat orang jualan pecal. Tiga tempat jualan pecal untuk kampung sekecil itu, tentu sesuatu yang istimewa.
Banyak lagi pertanyaan.

SATU per satu undangan datang ke rumah Yansah. Saya sempat ngobrol dengan salah seorang warga, Bujang Rahman. Beliau adalah salah satu tokoh masyarakat setempat.
Kami bicara soal sejarah kampung, cerita rakyat, ekonomi masyarakat. Tentang sejarah kampung, beliau memiliki catatannya. “Saya ada simpan di rumah,” katanya.
Saya penasaran. Apakah sejarah kampung di Pulau Maya sudah ditulis? Kalau memang sudah ditulis, tentu penulisan sejarah seperti ini adalah kemajuan yang luar biasa. Penulisan sejarah seperti ini bukan saja membuktikan tingginya tingkat keberaksaraan masyarakat, tetapi pasti menunjukkan tingkat peradaban.
Hebat!
Banyak informasi yang saya dapat dari beliau.
Saya kira beliau akan mengikuti pertemuan. Rupanya tidak.
Ketika beliau pulang, saya mengikutinya. Saya ingin melihat rumah dan sekaligus tulisan sejarah kampung.
Rumah beliau rupanya tidak jauh. Di seberang masjid. Di depan rumah terdapat warung makanan dan minuman ringan. Di sini ada jual pecal, mie, dan kue-kue.
Saya meniti jembatan di atas parit yang tidak jauh dari warung itu. Saya menyeberangi parit dengan kikuk. Kikuk karena jembatannya agak kecil. Sempat terlintas, kalau-kalau jatuh.
Rumah beliau terbuat dari kayu. Bagian depan halamannya luas. Tapi hanya rumput.
“Tidak ada yang bisa ditanam. Mati kena air asin,” katanya.
Di bagian samping dan belakang terdapat kebun kelapa. Namun, saya lihat kelapa-kelapa itu tidak subur. Buahnya satu dua saja. Dia menyebut luas kebun kelapa yang ditanamnya. Ah, andai kelapa-kelapa itu tumbuh dengan subur, berbuat lebat, pasti pemiliknya bisa ongkang-ongkang kaki.
Pak Bujang sudah berusaha membuat tanggul kecil. Dia menggali parit di batas kebun, lalu tanah-tanah itu dijadikan sebagai gundukan. Namun, tidak berhasil. Gundukan terlalu kecil. Air tetap masuk.
Ada juga sapi di dalam kandang di belakang rumah. Sapi-sapi ini harus dicari makannya. Mencari rumput menjadi salah satu pekerjaan rutin. “Dahulu waktu ada klip, cari rumput lebih mudah. Sekarang agak susah. Carinya mau jauh-jauh,” katanya.
Saya terkesima dengan situasi di sini. Saya kira, tuan rumah ini adalah orang yang rajin.
Ruang tamu luas, namun nampak lempang. Di dinding terpajang gambar poster dan foto-foto. Foto presiden Soekarno, Soeharto, Megawati, dan Gusdur. “Saya belum dapat koleksi foto Pak Habibi,” katanya.
Ada juga foto seorang anak muda seragam putih, berkopiah.
“Itu anak saya. Dia paskibra,” ungkapnya.
Dia menceritakan prestasi anak lelakinya. Saya melihat kebanggaan seorang bapak memiliki anak yang berprestasi.
Saya melihat ‘semangat’ yang luar biasa pada orang tua ini. Saya melihat foto-foto yang dipajang lebih dari sekadar hiasan, tetapi juga menjadi inspirasi dan motivasi bagi dia, dan juga bagi anak-anaknya.
Kami melanjutkan percakapan.
Beliau menunjukkan beberapa album. Kebanyakan foto perkawinan. Busana dan dandanan pengantin agak sedikit unik. Perempuan mengenakan kebaya, dan sanggul. Banyak tusuk konde di atas kepala.
Bedak dan lipstik nampak tebal.
Saya membayangkan pasti saat pernikahan suasananya ramai. Pasti momen seperti ini menjadi hiburan tersendiri orang kampung di tempat terpencil begini.
Pak Bujang juga menunjukkan rajah yang dipercayai mendatangkan kekuatan bagi pemakainya. Rajah itu diperolehnya ketika kerusuhan akhir 90-an. Ah, rupanya hawa kerusuhan di pantai utara sampai juga ke sini. Rupanya, penduduk pulau ini juga bersiap-siap diri saat kerusuhan itu. Bersambung



Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (6): Kehidupan Pagi di Kampung Parit Baru

Oleh Yusriadi

Yansah menghubungi beberapa pengurus RT, memberitahu tentang kedatangan rombongan STAIN Pontianak, sekaligus undangan kepada mereka untuk menghadiri pertemuan.
Saya kira, inilah enaknya di kampung yang ikatan kebersamaannya masih kuat. Orang bisa mengundang pada saat-saat akhir. Orang masih berkesempatan datang menghadiri pertemuan. Orang masih bisa membatalkan rencana ke ladang, hanya untuk memenuhi undangan.


Dia mengajak saya pergi ke ujung kampung. Kami naik sepeda motor melalui jalan beraspal. Beberapa kali kami berpapasan dengan anak-anak yang pergi ke sekolah. Anak-anak bertanya pada Yansah tentang kegiatan belajar hari ini. Yansah memberitahu mereka, sekolah libur. Yansah tidak bisa mengajar hari ini karena dia menerima kedatangan rombongan KF. Ya, di sini gurunya terbatas. Sekolah swasta. Yansah menjadi kepala sekolah madrasah ibtidayah, sekaligus guru di sini.
Saya juga dapat melihat kesibukan penduduk di pagi hari. Sejumlah orang mandi di parit. Ada anak-anak yang menjongkong di atas jembatan yang tingginya lebih kurang 2 meter dari permukaan air. Parit menjadi tempat mereka membuang hajat. Di parit ini juga mereka mandi dan mencuci. Syukur sekarang mereka tidak mengkonsumsi air parit juga. Mereka minum air hujan. Saya hanya melihat dari jauh.
Ada orang-orang kampung yang pergi ke warung, berbelanja. Ada juga yang pergi ke kebun naik sepeda.
Motor berhenti di depan beberapa rumah – rumah itu, semuanya pejabat kampung. Yansah memberitahukan rencana pertemuan pagi ini. Beberapa dari mereka mengiyakan dan menyanggupi hadir dalam pertemuan. Kami sampai ke ujung kampung.
“Ini rumah paling jauh,” kata Yansah.
Ini rumah terakhir yang harus didatangi. Setelah itu selesai.

SAYA merasa beruntung berkesempatan menjelajah kampung. Saya dapat melihat lebih banyak kehidupan masyarakat di sini.
Saya mengamati rumah-rumah penduduk relative teratur. Rumah menghadap ke jalan dan parit. Dua urat nadi kehidupan masyarakat.
Jalan memang belum terlalu lama dibangun. Begitu juga parit. Saya sempat mendengar cerita pembangunan parit dari Pak Kaed. Menurut Pak Kaed, pembangunan parit itu belum terlalu lama, hanya tiga generasi lalu. Proses waktu, abrasi pinggiran parit menyebabkan parit itu kian lama kian lebar.
Melihat keadaan parit, saya jadi ingat pertanyaan Bang Rustam saat kami bertolak dari Sukadana ke Pulau Maya: mengapa orang tinggal di pulau ini? Saya menduga parit inilah jawabannya. Bukan hasil alam yang menjadi daya pikat Pulau Maya ini. Daya pikat Pulau Maya ada pada airnya. Air Pulau Maya tidak asin! Air asin hanya masuk saat pasang laut. Kalau laut tidak pasang, air paritnya tawar.
Kebutuhan pada air tawar untuk minum para awak kapal menyebabkan para pelintas di laut singgah di pulau ini. Lalu, lama-lama, ada yang menetap di tempat persinggahan ini. Sehingga kemudian terbentuklah pemukiman, seperti yang terjadi sekarang ini.

RUMAH penduduk di Parit Suka Baru ini semuanya besar. Beberapa di antaranya berlantai dua. Bahan bangunan untuk rumah juga bervariasi. Seperti juga di Pintau, sebagian rumah menggunakan bahan papan, ada juga yang menggunakan bahan semen. Ada rumah yang beratap seng, ada rumah yang beratap daun.
Dari percakapan dengan penduduk setempat saya tahu bahwa penduduk di sini merasa perlu memiliki rumah besar karena dengan begitu mereka dapat menampung keluarga, tetangga dan undangan yang datang ke rumah.
Saya jadi ingat fungsi rumah dalam kebanyakan keluarga Melayu di kampung di Kalimantan Barat yang sempat saya amati. Rumah bagi mereka selain tempat tinggal –tempat menetap, juga tempat mereka berkumpul.
Rumah besar penting untuk menampung keluarga jauh yang datang bermalam. Rumah besar juga penting agar dapat menampung tetangga yang datang menghadiri upacara adat di rumah tangga. Misalnya perkawinan, selamatan kandungan, selamatan kelahiran anak, dll. Bersambung.


Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (5): Pintu Klip Bikin Merana

Oleh Yusriadi

Tak lama kemudian seorang anak muda muncul. Yansah. Dia tutor KF di sini. Sehari-hari dia mengajar di madrasah ibtidayah di sini.
Dia menyilakan kami ke rumahnya.


Kami mengikutinya dari belakang. Menyeberangi jembatan yang melintang di atas parit. Panjang jembatan lebih kurang 10 meter. Sampai ke rumah. Rumahnya kayu, beratap seng. Ruang tamu cukup luas. Ada sofa sederhana. Ada kursi plastik.
Beberapa gambar dan foto terpajang di dinding. Di sana sini nampak masih ada bekas-bekas hiasan, hiasan perkawinan.
Kami berganti pakaian. Untung pakaian di dalam tas tidak basah.
Setelah itu, mereka menyediakan minuman dan kue. Ada jenis kek.
“Ada kegiatan semalam,” katanya.
Semalam ada kegiatan hadrah di rumah ini. Hadrah merupakan bagian dari acara selamatan kandungan istri Yansah.
Orang tua Yansah, Pak Kaed, sempat menunjukkan permainan hadrah. Ismail, yang memang di Pontianak termasuk pemain jepin, nyambung dengan cerita hadrah itu. Mereka bicara tentang jenis pukulan, perkembangan permainan hadrah, dll. Saya melihat semangat dua orang itu terhadap kesenian rakyat yang hampir punah.
Agak larut kami tidur.

SUBUH. Kami salat di masjid Jami’ Baburrahman di persimpangan tiga di tengah kampung yang kami lewati sebelumnya.
Waktu kami datang di masjid sudah ada orang.
Memasuki waktu azan, Bang Rustam menjadi muazin. Suaranya merdu sekali. Saya sudah agak lama kenal dengan Bang Rustam, tetapi, saya tidak tahu dia bias azan semerdu itu. Asli! Suara serak-serak memanggil membawa saya pada masa lalu, saat di Jongkong, Kapuas Hulu dahulu. Azan subuh di suasana yang sepi dan dingin selalu menimbulkan kesan tersendiri.
Jumlah jamaah dapat dihitung dengan telunjuk. Sedikit. Tetapi saya tidak heran, selalunya memang begitu. Jangankan di Pulau Maya ini, di Pontianak, jamaah Subuh juga tidak banyak.
Saya terkesan pada masjid itu ketika melihat sebuah pedang di mimbar. Pedang itu bersarung. Panjangnya lebih satu meter. Ada ukiran pada ganggangnya.
Pedang itu digunakan sebagai bagian dari tatacara dalam salat Jumat. Jika di beberapa tempat, orang yang akan naik mimbar diserahkan tongkat, di sini, orang yang akan naik mimbar diserahkan pedang. Pedang siapa ini? Rupanya pedang itu adalah salah satu pedang milik generasi awal di Pulau Maya ini.

Kami kembali ke rumah. Saya memilih duduk di teras, melihat kehidupan pagi di Parit Suka Baru. Ada beberapa perahu dan perahu motor yang melintas di parit. Petani pergi ke ladang.
Ladang penduduk terdapat di ujung kampung.
Sebagian penduduk di sini adalah petani. Selain itu ada yang menjadi pekebun kelapa. Beberapa lagi nelayan.
Kebun kelapa yang terdapat di belakang rumah penduduk di kampung ini tidak tumbuh dengan bagus. Hasilnya tidak maksimal. Kerap terkena air asin.
Air asin bebas masuk wilayah pemukiman dan perkebunan karena di parit ini sekarang tidak ada pintu klip. Pintu klip sudah rusak diterjang kayu.
Dahulu, ketika kayu sedang ‘jaya-jayanya’ parit ini dijadikan sebagai ‘jalan kayu’. Orang membawa kayu dari hutan di ujung kampung. Kadang-kadang kayu yang dihanyutkan di sungai itu menabrak jembatan, tangga tempat mandi. Termasuk menabrak pintu air. Akhirnya pintu air jebol dan tidak bisa berfungsi sampai sekarang. Lalu, masuklah air asin.
Sebagian dari tanaman penduduk yang sempat tumbuh subur ketika pintu klip masih berfungsi, mati. Tumbuhan tak mampu hidup ketika kena air asin. Pisang-pisang yang sempat tumbuh subur perlahan-lahan mati. Kelapa yang sempat berbuah lebat, mulai rontok, berbuahnya melekat bak kata orang, satu dua. Begitu juga dengan kopi.
Penduduk jadi ikut merana. Sumber kehidupan menjadi terbatas.
Sampai sekarang permohonan perbaikan pintu klip kepada pemerintah belum dipenuhi. Penduduk disalahkan. ‘Orang pemerintah’ bilang, seharusnya orang yang merusak pintu klip itu bertanggung jawab. Seharusnya dia membayar ganti rugi untuk perbaikan. Bersambung


Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (4): Belajar Bahasa dengan Bunyi "Ghin"

Oleh Yusriadi

SETELAH bertamu ke rumah pejabat kampung, Bang Rustam mengantar saya ke rumah keluarganya, Syahmin namanya, umurnya 44 tahun. Setelah bicara sebentar dengan Syahmin, Bang Rustam pergi lagi. Dia –bersama Yapandi dan Ismail, akan mengadakan pertemuan dengan rombongan belajar KF di Pintau.


Syahmin membantu saya mengisi daftar kata dengan bahasa Melayu yang digunakan sehari-hari masyarakat di Pulau Maya.
Kami mulai. Syahmin informan yang bagus. Dia sangat teliti. Beberapa kali mengingatkan saya soal ciri khas bunyi di Pintau. Misalnya, dia mengingatkan soal perbedaan bunyi [r]. Misalnya bunyi [r] pada akhir kata. Saat kami sampai pada kata berlari, dia bilang: “Kalau itu, bekeja. Pakai [a] ja’ cukup”, katanya.
Bunyi [r] Pintau tidak sama dengan [r] dalam bahasa Melayu pada umumnya. Katanya, bunyi [r] pada awal kata seperti bunyi [arin] atau [ghin, dalam bahasa Arab. Misalnya pada kata [rusuk].
Mula-mula beberapa penduduk kampong mendengar wawancara kami. Kadang mereka membantu menyebutkan kata-kata yang saya minta. Ada beberapa kata yang mereka anggap lucu. Kadang kala mereka tertawa. Kadang mereka lupa. Mereka berusaha mengingatnya. Kadang kala saya yang merasa kualahan mencatat variasi kata yang mereka berikan. Tapi begitulah. Pengumpulan daftar kata 460-an lebih, selalu seperti itu. Di mana-mana tempat.
Dia melayani saya sampai maghrib. Kami berhenti sebentar. Salat. Setelah itu kami lanjutkan.
Sebenarnya saya kasihan melihat dia yang nampak gelisah ingin mengakhiri. Dia capek. Maklum tadi, barusan dia dari ladang. Pasti dia belum makan. Belum istirahat. Tetapi, tidak bisa. Saya belum selesai. Dan tidak ada kesempatan lagi. Malam ini juga kami akan melanjutkan perjalanan ke kampung Parit Sukabaru. Saya tidak tahu di mana tempatnya. “Di sana...” Syahmin menunjuk ke arah barat.
Kalau kami sudah sampai di sana, mungkin tidak kembali lagi ke sini.
Hampir menjelang Isya, baru wawancara selesai.

SAYA menuju rumah saudara Bang Rustam. Di sana rombongan menunggu. Kami makan malam, dan kemudian mandi.
Kami melanjutkan perjalanan ke Parit Suka Baru. Yapandi sudah janji dengan orang di sana akan ada pertemuan dengan warga. Kami mengejar jadwal itu.
“Mereka kumpul setelah Isya’,” katanya. Beberapa kali saya dengar dia meyakinkan hal itu.
Kami berjalan di malam gelap. Hujan rintik-rintik. Kemudian semakin lebat. Belum ada hambatan berarti ketika kami masih di sekitar Pintau. Maklum jalannya masih jalan semen.
Tetapi ketika kami sampai di jalan tanah liat yang beberapa jam sebelumnya kami lalui dengan mudah, kami mulai kepayahan. Jalan kini menjadi licin.
Bang Rustam memacu motor di depan, membawa Yapandi. Cukup laju. Ismail yang memboncengi saya, berusaha menyusul dari belakang. Beberapa kali kami tertinggal, dan terpaksa membunyikan klakson minta tunggu.
Dua kali kami hampir jatuh. Saya rasa Ismail agak cemas membawa motor di medan seperti ini. Pasti dia tidak biasa.
Bukan lagi payah. Kini keadaan benar-benar berat.
Kasihan. Saya menawarkan diri membawa motor. Walaupun saya tidak pandai benar, tetapi, saya ada pengalaman sedikit di medan yang berlumpur. Keadaan jalan yang kami lalui seperti jalan gang kami di Pontianak empat tahun lalu. Saya juga pernah bertemu dengan jalan seperti ini di Punggur, waktu pergi ke kebun langsat.
Yang membedakan situasi sekarang adalah kami berjalan di jalan yang becek, dalam keadaan hujan lebat, di malam hari, dengan membawa tas.
Saya berusaha mengejar Bang Rustam. Ada beberapa kali kami terpeleset. Jas hujan, dan tas yang kami bawa membuat gerakan menjaga kesimbangan terbatas.
Saya sama sekali tidak bisa mengerem laju motor. Beberapa kali saya melakukan hal itu. Beberapa kali pula motor berputar 100 derajat. Beberapa kali motor hampir terjungkal ke parit di kiri jalan. Untung Ismail bisa cepat turun menarik motor mundur.
Kalau sudah begini Ismail yang paling cemas. Saya mendengar dia mengucapkan “subhanallah, walhamdulillah, walailahillallah, wallahu akbar”. Berulang-ulang.
Bacaan yang kerap itu membuat saya juga cemas. Tetapi saya sempat tertawa pada situasi ini.
Jalan terasa semakin berat. Di kiri kanan gelap. Tidak ada lampu jalan. Tidak ada kelap kelip cahaya dari rumah penduduk. Kami seperti berada di tempat yang jauh dari kehidupan.
Bang Rustam tetap di depan. Tetap laju. Mungkin karena dia biasa dengan situasi ini. Mungkin juga dia agak mudah karena Yapandi yang diboncengnya, badannya relative tidak berat. Bandingkan saya membonceng Ismail yang besar panjang. Beratnya mungkin 70 atau 80 kilo.
Saya tidak tahu ke mana kami. Tidak ada bayangan. Kiri kanan gelap. Tidak ada penerangan.
Kami membelok ke kiri. Jalannya relative bagus. Tetapi sebentar. Kami kembali melalui jalan becek lagi. Bahkan sangat parah. Tiba di sebuah tempat sebelum jembatan, saya berhenti agak lama. Memilih jalan. Di sebelah kiri jalannya agak lumayan, tetapi ada beberapa gundukan. Di kiri itu ada parit besar. Di bagian kanan dan tengah jalan, Lumpur membentuk kolam. Saya melihat Bang Rustam terperangkap di kiri. Saya memilih di kanan. Walaupun beberapa kali Ismail harus turun mendorong motor, kami selamat sampai ke jembatan. Bang Rustam dan Yapandi agak susah payah sebelum akhirnya sampai ke ujung jembatan.
Medan di sinilah yang paling susah. Saya jadi teringat jalan di Punggur tahun 2003 dahulu. Jalan tanah tersiram hujan menyisakan lumpur yang licin. Panjang sekali. Beberapa kali motor harus didorong. Beberapa kali terpeleset. Jadi begitulah keadaan jalan ini.
Setelah melalui jembatan, kami tiba di jalan semen. Saya menarik nafas lega. Dada terasa lapang.
Selanjutnya hanya sesekali saja ada bagian jalan yang licin. Tetapi tidak mengganggu. Kami juga melihat ada tanda-tanda kehidupan. Sesekali ada cahaya lampu dari rumah penduduk. Hujan juga sudah agak reda.
Kami sampai di jalan beraspal. Melewati simpang tiga. Melalui perkampungan yang agak padat. Lalu, Bang Rustam berhenti di sebuah rumah. Toko di atas parit.
Pemilik rumah menyambut kami. Kami menumpang singgah. Bang Rustam bercakap-cakap dengan lelaki pemilik rumah dalam bahasa Melayu, setempat.
Dari percakapan itu, saya tahu, inilah tujuan akhir kami, malam ini. Bersambung.

Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (3): Rumah-rumah Sederhana di Pintau

Oleh Yusriadi

KAMI meneruskan perjalanan. Walaupun jalan aspalnya sempit, namun, kiri kanannya luas. Rumah penduduk yang berupa rumah panggung, dibangun agak jauh dari badan jalan. Tinggi tongkatnya lebih kurang satu meter.

Rumah-rumah itu umumnya terbuat dari kayu. Beberapa di antaranya terbuat dari bahan semen. Pemilik rumah semen adalah para pedagang, dan kelompok orang berada. Ada rumah yang bercat, banyak juga yang tidak. Atap rumah juga begitu, Ada yang terbuat dari zeng, ada juga yang terbuat dari anyaman daun.
Rupanya jalan beraspal juga tidak panjang. Sepeda motor sudah melewati jalan tanah liat. Mirip jalan tanggul –kalau di pinggiran kota Pontianak. Jalannya bagus. Malah, lebih ‘enak ‘ melalui jalan tanah dibandingkan melalui jalan beraspal kasar sebelumnya. Motor dipacu dengan laju. Kami mengurangi kecepatan kalau lewat jembatan. Ya, ada banyak jembatan kecil yang dilalui. Jembatan itu terbuat dari kayu –seperti gertak.

KAMI memasuki Pintau, salah satu kampung di Pulau Maya. Kami berhenti di dekat lapangan bulu tangkis. Empat orang main. Lapangan itu becek. Lapangan tanah. Bukan semen. Garisnya dibuat dari batang nibung yang dibelah tipis. Sangat sederhana. Empat pemain telanjang kaki. Angin bertiup tak mengganggu mereka. Sudah biasa. Mereka bermain dengan enjoy. Permainan mereka asyik juga ditonton. Sesekali ada lop, smash dan dropshot. Pemain dan penonton bersorak atau berdecak kagum jika pemain gagal mengembalikan pukulan. Sungguh permainan yang menghibur untuk orang di tengah pulau ini.
Saya sempat bilang pada Ismail. “Kita numpang main ya. Kita ajak Bang Rustam,”
Ismail hanya tertawa. Dia tahu saya bercanda.
Ismail memiliki hobby main bulu tangkis. Dia pemain di PB. STAIN. Pukulannya deras. Susah dikembalikan. Di Pontianak, dia ikut program latihan 2 kali seminggu.
Bang Rustam juga hobi pukul bulu ini. Walaupun sudah ada berumur, tetapi kalau sedang main bulu tangkis, dia bisa lupa usia. Lupa capek.
Bang Rustam menyapa beberapa orang di antara mereka. Say hello, kata orang.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.
Kami berhenti di depan masjid di Pintau. Bang Rustam menjadi guide yang memberitahu kami banyak hal. Tentang perkampungan ini, tentang penduduk, dll.
Saya mengambil gambar penduduk, gambar rumah, kapal motor, dll. Tiga objek ini saya kira menjadi bagian penting dari perkembangan pulau ini. Rumah penduduk kebanyakan dibangun dari bahan sederhana. Malah lebih sederhana dibandingkan rumah yang saya lihat pertama kali ketika sampai di dekat dermaga Pulau Maya tadi.
Rumah penduduk dibuat dari atap daun. Sebagian dindingnya juga dari daun. Saya bertanya dalam hati: mengapa rumah penduduk dibuat dari daun? Apakah kayu (papan) sulit diperoleh? Apakah semen dan pasir mahal? Apakah hidup masyarakat susah?
Bukankah ikan masih banyak di sekitar pulau ini? Apakah mereka sulit memasarkannya? Apa masalah sebenarnya? Saya mencoba mengingat, rasa-rasanya kehidupan masyarakat nelayan memang begitu. Perkampungan nelayan biasanya tidak elit. Rumah-rumahnya sederhana. Kadang-kadang saya harus menganggap rumah yang mereka bangun adalah rumah darurat, bukan rumah permanen.
Rumah yang mereka bangun, kesannya, benar-benar hanya untuk tinggal. Bukan untuk menunjukkan status sosial. Mereka membuat rumah sederhana dan murah. Mereka menggunakan bahan yang mudah dicari, diganti dan diperbaiki.
Rumah tidak penting. Yang penting, rumah mereka dekat pantai. Dengan begitu mereka lebih mudah menjaga perahu. Mereka dapat melihat perahu setiap saat.

Lalu, saya jadi ingat nasehat Yapandi Ramli kepada saya sebelumnya: “Jangan kau anggap rumah begitu, hidup orang susah,”
Mungkin Bang Yapandi benar.
Tapi, Saya jadi ragu. Ragu, karena pada sudut yang lain di pulau itu, berdiri rumah walet. Rumah berlantai 3 tinggi menjulang dibandingkan rumah penduduk. Gedung walet begitu gagah dan megah dibangun dari bahan semen. Mungkin tidak berlebihan kalau dikatakan, perbedaan rumah untuk burung ini sangat wah. Bagai bumi dan langit dibandingkan rumah yang ditempati manusia.
Siapa yang membangun gedung walet? Apakah penghuni rumah daun? Samar-sama saya mendengar pemilik gedug walet itu orang luar. Mereka menginvestasikan modal di pulau ini. Jadi, kuncinya pada dana.
Ketika saya sedang mengabadikan rumah walet yang sedang dibangun, seorang nenek dengan cucunya minta difoto. Dia ingin ada kenangan untuk cucunya.
Sikapnya sungguh ramah. Mungkin karena saya jalan dengan Bang Rustam, orang yang dihormati orang di Pulau Maya. Orang memanggilnya Pak Haji.
Karena biasanya orang di kampung takut bila bertemu dengan orang asing. Saya berkesan dengan penerimaan ini karena saya pernah menemukan kejadian yang sebaliknya di wilayah pedalaman Ketapang. Di sebuah kampung di Ketapang saya pernah melihat orang tutup pintu dan jendela ketika kami sampai di kampung tersebut. Padahal, saat sebelumnya mereka duduk-duduk santai di depan rumah.
Tapi mungkin juga keadaan penduduk di Pulau Maya tidak begitu. Mereka bisa menyambut kedatangan orang asing dengan terbuka. Mereka biasa menerima orang luar masuk. Bagaimanapun seperti yang saya ketahui kemudian, banyak juga penghuni pulau yang datang dari luar. Cukup banyak penduduk di sana yang datang dari Sambas.
Malahan sejarah asal usul mereka ada yang datangnya dari luar Kalbar. Misalnya ada yang datang dari tanah Banjar (Kalimantan Selatan), Sulawesi, Sumatera, Malaysia dan Brunei. Pulau ini memang pernah menjadi persinggahan para pelaut. Bersambung



Baca Selengkapnya...

Kamis, 11 September 2008

Menanti di Dermaga Pulau Maya'



Penduduk Pulau Maya, Kayong Utara (KKU) menunggu kedatangan motor air yang datang dari Sukadana. Motor air menjadi alat transportasi utama orang pulau ini. Foto Yusriadi



Baca Selengkapnya...

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (2): “Inilah Pulau Maya”

Akhirnya sampan yang membawa penumpang terakhir merapat. Ada enam penumpang, ada dua motor. Proses pemunggahannya sama. Memakan waktu.

Setelah pemunggahan selesai, motor berangkat. Suaranya memekakkan telinga.
Saya melihat ke dalam lambung motor. Teman seperjalanan saya, Ismail Ruslan, Yapandi Ramli dan Bang Rustam, sudah tidur. Penumpang-penumpang lain juga lebih banyak tidur.
Saya beringsut mencari ruang di lambung motor. Pengin tidur juga. Mungkin lebih baik istirahat, karena siapa tahu ada ‘kesibukan lain’ di pulau yang membuat tidak bias istirahat. Pengalaman yang sudah-sudah, pergi ke tempat begini pasti lebih banyak sibuk dibandingkan rehat.
Lagian, saya pikir tidak ada pemandangan di laut yang bisa saya lihat.
Tidak ada juga teman ngobrol. Orang ogah ngobrol di motor karena suara motor yang menggelak itu. Kalau mau bicara, orang harus teriak-teriak macam Tarzan.
Alahai, tak sangguplah. Jadi, tidur adalah pilihan yang baik.

BERISIK sekali. Saya bangun dari tidur. Bunyi mesin motor air lebih kencang. Suara orang juga ramai. Motor air sudah hampir sampai di dermaga.
“Inilah Pulau Maya’,” kata Bang Rustam.
Motor maju mundur mencari posisi yang pas untuk merapat ke dermaga. Keadaan lebih sulit karena dermaga juga dangkal. Sedikit lagi, kapal akan kandas. Gerakan kapal menjadi lambat. Lambat sekali. Mungkin ada 30 menit motor air maju mudur.
Di atas, di dermaga kayu yang dibangun dari belian itu, sejumlah orang duduk menunggu motor merapat. Ada yang menunggu barang kiriman. Ada juga calon penumpang. Kapal hanya bersandar sebentar, setelah itu akan berangkat lagi, kembali ke Sukadana.
Ketika motor air sudah merapat dengan baik, saya dan kawan-kawan meloncat dan memanjat dermaga. Sawan juga meloncat memanjat dermaga yang tinggi. Kalau tidak hati-hati tentu bisa nahas. Membayangkan jatuh ke sungai dengan tas di punggung, rasanya … ih, seram.
Saya jadi teringat memanjat dermaga sambil membawa tas saat naik di dermaga Sungai Karawang, Batu Ampar beberapa waktu lalu. Keadaannya hampir sama. Susah sekali. Keselamatan penumpang tidak terlalu dipikirkan orang yang merancang pembangunan dermaga. Yang dipikirkan bagaimana kapal motor bisa sandar.
Sambil menunggu awak kapal memunggah sepeda motor di atas dermaga, saya memerhatikan keadaan sekeliling. Sebuah jembatan dari kayu belian memanjang menuju daratan. Di sebelah kanan terdapat beberapa toko, di antaranya milik orang Cina. Aa toko kelontong, kedai makan dan minum. Ada lorong di arah kanan, yang kiri kanannya rumah-rumah penduduk. Rumah penduduk di sini terbuat dari kayu.
Sedangkan di jalan utama menuju daratan, rumah penduduk hanya tinggal puing-puing. Terutama rumah yang berada di sebelah kiri jalan.
Tongkat dari batang nibung seukuran betis orang dewasa terpacak, terbaris. Bagian bawahnya nampak bekas termakan “gigi air” dan ‘kapang’. Di atasnya nampak arang, sisa-sisa kebakaran. Pada batang nibung bagian ujung yang mengarah ke daratan, di sela-selanya masih nampak pecahan kaca, kaleng-kaleng karatan, tumpukan abu dan arang yang mengeras. Saya lihat satu dua orang di antara tonggak-tonggak itu.
Ketara sekali bekas amukan api.

“PASAR ini terbakar tiga bulan lalu,” kata Bang Rustam, menjelaskan.
Ya, tiga bulan lalu, rumah di sini terbakar. 20 lebih keluarga kehilangan tempat tinggal.
O! Saya jadi ingat, itulah hal yang dibicarakan Bang Rustam dengan Nazril Hijar, pagi tadi, sewaktu kami singgah di Teluk Batang, sebelum sampai di Sukadana. Nazril adalah guru di Teluk Batang, alumni Fakultas Tarbiyah, IAIN Pontianak.
Saya hanya mendengar samar-samar soal kebakaran dan soal pemulihan pasca kejadian. Yang sempat saya dengar Nazril menyebutkan soal kesulitan masyarakat mendapatkan bahan bangunan. Tadi pagi saya tidak nimbrung, karena tidak tahu ujung pangkal cerita. Kini, baru saya nyambung.
Saya lihat satu dua orang di antara tonggak-tonggak itu. Mungkin mereka mencari barang di antara puing-puing, mana yang masih bisa digunakan, mana masih mungkin dimanfaatkan. Saya kira, di tengah pulau yang terpencil ini, apapun menjadi sangat berguna. Dan, biasanya orang di tempat seperti ini sangat kreatif.
Puing-puing itu memperlihatkan bayangan yang mengerikan. Ketara sekali bekas amukan api.
Kalau di kota Pontianak mungkin tidak akan terjadi kebakaran sedahsyat ini akibatnya. Selalu ada puing-puing yang tersisa dari amukan api, karena ada pemadam kebakaran yang turun tangan memusnahkan api. Namun, di sini, di tempat terpencil ini, tidak ada branwir. Tak ada alat pemadam kebakaran. Paling-paling mereka menangani api dengan ember.
Tapi, mana tahan! Ember tidak akan mampu menghadapi lidah api yang menjulur dari kayu kering. Dan, jadilah. Rumah-rumah penduduk pulau seperti yang saya lihat: arang dan abu.
Kejadian seperti ini mengingatkan saya pada kejadian di Jongkong Pasar, Kapuas Hulu tahun 1980-an. Waktu itu, saya melihat dengan cemas, ketika api menghanguskan bangunan pasar dan rumah-rumah di sekitarnya. Api menjalar cepat karena semua rumah penduduk dari bahan kayu. Angin membantu api bergerak dahsyat, tanpa dapat dicegah. Tidak ada alat untuk mencegah. Lidah api yang tinggi menjulang, dentuman dari ledakan drum berisi bensin, menjadi pemandangan mengerikan. Orang tidak berdaya. Hanya menangis, pasrah. Ada sedikit orang berusaha menyelamatkan isi rumah. Namun, paling hanya harta berharga yang kecil-kecil saja. Rumah-rumah panggung di atas sungai hanya tinggal tongkat yang ujung terpotong gigitan api. Sama seperti yang saya lihat di Pulau Maya, kini.

INILAH Pulau Maya.
Kami naik motor meninggalkan bekas amukan api. Saya naik sepeda motor dibonceng Ismail. Bang Rustam membonceng Yapandi.
Kami melalui jalan yang bersemen di tebing bukit kecil.
Saya melihat anak-anak mandi. Saya melihat ada orang yang menenteng ikan. Sejumlah orang duduk-duduk di depan rumah menyambut sore. Santai. Suasana yang asyik. Tenang dan damai.
Jalan bersemen hanya sedikit. Bersambung ke jalan beraspal. Jalan kecil. Sebuah dataran. Di kiri jalan ada lapangan bola. Ada sekolah. Kami berhenti di sebuah kios bensin di kanan jalan. Tanki sepeda motor diisi full. Satu liter harganya Rp 7500.
Seperti tadi, Bang Rustam, putra Pulau Maya’ menyapa orang yang ditemuinya. Mereka menggunakan bahasa Melayu, khas Pulau Maya’. Bahasa di sini berbeda dibandingkan bahasa Melayu Ketapang. Ada perbedaan kata, ada perbedaan tekanan. Saya menyimak percakapan mereka. Saya membuat catatan dalam hati. Bersambung.



Baca Selengkapnya...

Senin, 08 September 2008

Perjalanan ke Pulau Maya, Sukadana (1): Ngape Orang Tinggal di Tempat Macam Ni?

Oleh: Yusriadi
Borneo Tribune


Mungkin kau bertanya, ngape ada orang di tempat macam ni? Di Pulau Maya’ ni?

Bang Rustam, anak Pulau Maya yang kini menjadi Kepala Pusat Sumber Belajar (PSB) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak beberapa kali melontarkan bertanyaan kepada saya ketika kami naik motor air dari Sukadana menuju pulau itu, Maret lalu.


Kala itu, saya mengikuti rombongan Panitia Keaksaraan Fungsional (KF) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak. Dalam rombongan itu, selain H Rustam, M.Pd, ada Yapandi Ramli, M.Pd, dan Ismail Ruslan, M.Si.
Saya bukan panitia KF. Saya numpang saja, karena ingin mencari data bahasa di pulau terkenal itu.
Pulau Maya, (penduduk setempat menyebutnya Pulau Maya’ – dengan ‘hamzah’ di akhir, adalah salah satu pulau yang cukup popular dalam pemberitaan surat kabar. Ada beberapa kali nama pulau ini masuk koran: entah karena nelayan asing terdampar, karena ada kunjungan pejabat, karena potensi ikan, dll.

BANG Rustam, begitu kami memanggilnya, bertanya sambil tersenyum.
Saya tahu dia ‘acah-acah’ saja. Dia tidak benar-benar ingin dengar jawaban dari saya. Dia hanya ingin bercakap-cakap saja. Mengisi wacana.
Saya tidak menjawabnya. Saya memang belum berpikir sejauh ini. Saya hanya baru berpikir dan mengandai-andai, bagaimana bentuk bahasa di Pulau Maya. Saya membayangkan bahasa yang digunakan masyarakat di pulau ini pasti berbeda dibandingkan dengan bahasa Melayu yang digunakan di tempat lain. Paling tidak seharusnya bahasa penduduk pulau ini agar berbeda.
Saya berandai begitu karena biasanya ruang social (termasuk ruang politik) dan ruang geografi, menciptakan perbedaan bahasa. Pulau Maya yang saya dengar adalah sebuah tempat terpencil dan terisolir. Penduduk yang hidup di pulau ini tertutup dari arus ‘globalisasi’. Orang luar tidak seberapa sering masuk ke sana dan penduduk Pulau Maya juga tidak sering keluar, karena transportasi dan keperluan yang terbatas. Interaksi yang terbatas ini lambat laun menciptakan bentuk bahasa yang berbeda.
Jadi, pertanyaan Bang Rustam mengingatkan saya pada hal lain. Ya, saya jadi berpikir sama. “Mengapa orang mau tinggal di Pulau Maya?”

KAMI pesan tiket motor ke Pulau Maya di pasar tepian Sungai Sukadana. Di tempat penjualan tiket beberapa orang calon penumpang untuk tujuan sama.
“Motor air berangkat siang,” kata penjual tiket.
Saya mendengar penjelasan penjual tiket kepada Bang Rustam.
“Nanti, penumpang akan naik di sini. Naik perahu. Sampai ke muara,” katanya.
Dia menambahkan, “Motor air menunggu di sana. Tidak bisa masuk. Muara dangkal”.
Saya membayangkan perjalanan yang jauh dan memakan waktu.
Dan benar, ketika kami naik perahu menuju muara dua jam kemudian saya merasakan sensasi sendiri.
Perahu yang saya kira berkapasitas 3 ton dijejali penumpang dan barang –termasuk sejumlah sepeda motor. Perahu sarat. Tidak sampai lima jari lagi. Perahu juga bocor. Air terus masuk.
Sesekali karena penumpang bergerak, perahu oleng. Awak perahu minta agar penumpang yang berada di bagian samping kiri bergerak ke kanan, agar keseimbangan terjaga. Saya melihat ada beberapa penumpang yang cemas. Saya juga agak cemas.
Saya tidak takut tenggelam. Saya bisa berenang. Saya menggunakan celana berbahan parasut –tipis, dan sandal, jadi lebih mudah bergerak. Tetapi, kalau tenggelam tetap saja saya repot. Tas akan basah. Bahan-bahan survey saya akan basah dan mungkin akan musnah. Beberapa peneliti yang saya kenal pernah mengalami nasib buruk seperti itu.
Saya agak terhibur melihat penumpang yang saya kira orang asal Pulau Maya yang nampaknya tenang-tenang saja dengan situasi ini. Saya mencoba bersikap setenang mereka. Mudah-mudahan selamat.
Baru keluar sampai ke muara, perahu yang kami tumpangi kandas. Lumpur pasir membuat perahu susah bergerak. Awak perahu meloncat. Beberapa penumpang turun, ikut mendorong perahu.
Perahu bergerak lambat. Untuk mencapai perahu yang jaraknya lebih kurang 1 kilometer, diperlukan waktu lebih satu jam.
Kami sampai di perahu motor yang melabuh sauhnya di dekat tanjung karang di muara Sukadana. Perahu motor itu berbobot belasan ton.
Satu per satu penumpang pindah dari perahu ke motor. Ada yang memilih langsung masuk ke dalam motor, ada yang duduk di bagian belakang, ada juga penumpang yang memilih naik ke atas kap.
Sementara itu, awak perahu memunggah sepeda motor ke atas kap. Sepeda motor ditarik dengan bantuan tali. Orang yang berada di bawah mengangkatnya. Kerja yang berat. Ada enam motor. Waktu yang diperlukan tak kurang 30 menit untuk mengatur semuanya.
Selesai. Saya melihat perahu berbalik menuju dermaga Sukadana.
“Masih ada penumpang menunggu di sana,” kata penumpang yang berada
Alamak! Saya menghitung, berarti kami masih harus menunggu satu setengah jam lagi sebelum berangkat menuju Pulau Maya. Jadi, 3 jam. Kami masih berada di Muara Sukadana. Kami masih melihat pantai lumpur yang luas. Kami masih melihat kerangka bangunan –yang kata orang-orang penginapan milik ikon Sukadana, Osman Sapta, dari kejauhan.
Saya jadi teringat pertanyaan Bang Rustam. Tapi kali ini saya bertanya sendiri.
“Mengapa dahulu Sukadana bisa menjadi pusat pemerintahan? Mengapa sekarang orang memilih Sukadana sebagai ibukota Kabupaten Kayong Utara?”
Saya belum melihat kelebihan kota tua ini. Muaranya dangkal. Kapal bermuatan pasti tidak masuk. Dahulu, jalan darat juga tidak ada. Untuk lokasi pertanian juga terbatas. Di belakang kota Sukadana adalah bukit. Saya jadi penasaran, bagaimana orang dahulu menyuplai kebutuhan makan mereka?
Saya kira kelebihan Sukadana yang saya lihat adalah tempat ini cocok untuk pertahanan. Pantai yang dangkal pasti akan menyulitkan pasukan musuh masuk tanpa ketahuan. Bukit yang menjulang, akan menjadi tempat strategis untuk mengintai.
Lalu sekarang, Sukadana dipilih menjadi ibukota kabupaten, melanjutkan kebesaran dahulu. Potensi apa yang akan diandalkan ibu kota kabupaten ini. Sarana apa yang akan mendukung?
Sukadana bukan di jalur Trans-Kalimantan. Sukadana mungkin sulit memiliki pelabuhan laut sendiri. Jangankan kapal besar, perahu dua ton saja sulit masuk. Rasanya terlalu berat kalau harus menunggu air pasang baru perahu dan kapal bisa masuk.
Sukadana juga mungkin sulit membangun pelabuhan udara sendiri. Bukit yang membentengi daratan Sukadana pasti akan menjadi pertimbangan sendiri, menurut dugaan saya.
Saya berguman, sungguh beruntung Sukadana bisa dipilih sebagai pusat pemerintahan, yang itu berarti akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Bersambung.



Baca Selengkapnya...