Selasa, 23 September 2008

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (9): Para Pelintas

Oleh Yusriadi

Kami melalui Kamboja. Melalui jalan lain. Menuju bagian lain dari Pulau Maya – tidak melalui jalan yang kami lalui ketika sampai di pulau ini.
Kami melalui ladang penduduk. Melalui padang ilalang. Semak belukar.




Di jalan-jalan yang dilalui, saya bisa melihat bekas-bekas kedahsyatan hutan Pulau Maya. Banyak tunggul pohon yang besarnya lebih sepemeluk orang dewasa.
Jalan lebih mirip jalan setapak. Bukan jalan besar. Di sana sini ada akar pohon memintas jalan. Sesekali kami melewati sungai kecil yang jembatannya sekeping balok. Mengerikan sekali. Ismail membawa motor dengan cekap. Bang Rustam yang membawa Yapandi, seperti perjalanan malam sebelumnya, membawa motor dengan laju. Putra Pulau Maya ini meninggalkan kami jauh di belakang.
“Wah, kalau begini bisa-bisa kita sendiri di tengah hutan, Il,” saya memberi isyarat pada Ismail agar mempercepat laju motor biar tidak tertinggal jauh.
Yang saya bayangkan, betapa mengerikan kalau tiba-tiba motor pecah ban, atau mogok. Sendiri di tengah hutan. Menyeret motor di tengah hutan? Alamak! Berapa jauh? Saya tidak bisa menebaknya. Tetapi, pasti jauh. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di tengah hutan ini. Tidak ada belas ladang penduduk. Tidak ada kebun penduduk. Tidak ada rumah penduduk. Hanya ada ilalang, semak belukar, di antara pohon-pohon mati yang besar dan menjulang. Handpone Saya dan Ismail sejak kemarin sudah tidak berfungsi. Kami kartu Mentari, tidak ada sinyal.
Tak lama kemudian Ismail meminta saya membawa motor. Dia pindah ke boncengan.
Saya memacu motor dengan seberapa laju yang dapat. Mengejar ketertinggalan. Biar jarak dengan bang Rustam tidak jauh. Dan berhasil.
Tetapi, karena saya memacu motor dengan cara saya, giliran saya mendapat peringatan Ismail.
“Over gigi Bang,”
Atau pada saat yang lain, “Sayang motor Bang,”
Saya mencoba ikut permintaan Ismail. Kalau pelan, mesin diover ke gigi dua. Tetapi susah. Saya tidak biasa main gigi kalau sedang naik motor. Beberapa kali kami hampir terpeleset karena begitu kaki memindahkan gigi, keseimbangan agak goyang.
Perjalanan rasanya sangat jauh. Medan yang bergelombang membuat tangan rasa pegal-pegal. Beberapa kali kami berhenti mendinginkan mesin dan merenggangkan otot.
Saya takjub dengan pengalaman ini. Siapa yang membayangkan Pulau Maya begitu luas? Tidak saya membayangkan Pulau Maya adalah pulau kecil. Saya tidak membayangkan pulau ini memiliki hutan yang (pernah) lebat.
Jadi, karena itu jangan bayangkan orang Pulau Maya hanya hidup dari hasil ikan di laut sekitar mereka. Ada sumber kehidupan lain di pulau ini. Hutan.
Dari percakapan dengan orang-orang Pulau Maya saya tahu bahwa kayu pernah menjadi primadona kehidupan orang pulau ini. Banyak orang mendapat rizki dari kayu-kayu yang mereka tebang di hutan ini. Banyak orang luar yang datang ke pulau ini, datang karena ada daya tarik ikan, dan juga kayu. Inilah yang juga kemudian membuat saya menduga, menjadi daya tarik bagi orang - orang Sambas, generasi awal.
Sepanjang jalan di tengah hutan ini saya bisa melihat bekas-bekas eksploitasi hutan. Karena beberapa dari kayu yang ditebang tidak terangkut. Beberapa dari kayu teronggok di pinggir jalan. Di bagian ujung jalan, mendekati pemukiman penduduk tidak jauh dari penyeberangan ke Teluk Batang, saya melihat di parit lebarnya antara 4-5 meter banyak kayu yang masih terendam. Nyaris di sepanjang parit terdapat kayu gelondong yang garis tengahnya antara 30-60 cm.
Kayu ini belum sempat dihanyutkan sampai ke muara di Teluk Batang karena petugas menggelar operasi penertiban illegal logging. Hanya di satu dua tempat saya lihat ada aktivitas warga membelah kayu dengan mesin chainshaw.
Saya sempat berpikir, mengkalkulasikan betapa besarnya nilai uang dari gelondongan ini. Gelondongan ini pasti akan memakmurkan orang.
Tetapi siapa pemiliknya? Siapa yang menuai keuntungan dari gelondongan-gelondongan itu?
Apakah penduduk setempat? Apakah mereka menikmati keuntungan dari sumber alam di sekitar mereka?
Pertanyaan itu terus bergayut. Rumah-rumah penduduk yang bahannya dari kayu dan beratap daun di kampung kecil yang tidak jauh dari penyeberangan ke Teluk Batang membuat saya berpikir, keuntungan dari gelondongan itu tidak dinikmati penduduk setempat. Kalaupun penduduk setempat menikmati, mereka menikmatinya sedikit saja. Mungkin sekadar nilai upah kerja, bukan nilai sebagai pemilik hutan-hutan itu.
Tetapi walau begitu, saya kira penduduk tetap nrima dengan keadaan ini. Mereka akur saja. Mereka diam saja. Perubahan apapun kelak yang terjadi di pulau ini setelah hutan-hutan musnah, mereka terima dengan pasrah.
Sementara itu, para eksploitir yang menyelesaikan tugas mereka di pulau ini, meninggalkan kerusakan tanpa beban. Mereka seperti para pelintas, yang menumpang lewat.
Ucapan terakhir, mungkin hanya selamat tinggal. Habis.



0 komentar: