Senin, 30 Januari 2012

Pendidikan Karakter (2)

Oleh: Yusriadi

Hari itu, beberapa bulan lalu, guru-guru yang sedang menjadi mahasiswa menjalani ujian. Sebagian terlihat khusuk, membaca soal dan berpikir, menulis dan merenung.
Namun, sebagian lagi nampak gelisah.
Berusaha mengamati satu per satu. Saya menikmati pemandangan itu. Berusaha menekan perasaan.
Beberapa orang saya curigai membuka buku. Alamak, nyontek!

Saya mendekat. Benar. Di balik kertas kerja mereka, terlihat modul mata kuliah yang diujikan, dibuka. Sepintas lalu tidak terlihat, tetapi karena saya mengamatinya, saya dapat melihat modul yang berada di bawah kertas-kertas ujian itu terbuka.
Saya mengambil modul itu sambil mendengus.
Satu, dua, tiga.... Masyaallah. Enam orang.
”Uh... bapak”.
”Bapak duduk saja, napa sih”.
Ada suara protes. Mereka protes karena saya terlalu ketat melakukan pengawasan. Namun, saya tak peduli. Saya tidak bisa membiarkan mereka ujian sambil mencontek. Saya tak bisa membiarkan mereka mengumbar budaya nyontak.
Mereka guru. Mereka orang yang digugu dan ditiru.
Mereka orang yang sudah berumur. Orang yang selama ini sudah makan asam dan garam kehidupan lebih banyak dibandingkan saya. Jalan hidup mereka juga sudah sangat panjang, terutama dalam soal bagaimana mereka hidup dengan baik. Bahkan, saya yakin mereka lebih fasih menyampaikan soal kejujuran terutama kepada anak-anak.
Karena itulah saya tidak menceramahi mereka soal nyontak. Saya tidak mengambil tindakan yang biasa kepada mereka.
Ya, jika mereka bukan orang yang sudah tua, pasti mereka saya usir dari kelas. Pasti. Di ruang ujian yang biasa, menyontek adalah persoalan serius. Sebelum ujian, ancaman diskualifikasi sudah disampaikan.
”Berbicara dengan teman akan mendapat teguran. Teguran ke-3 dikeluarkan dari ruang ini”.
Begitulah. Keras. Kejam.
Tetapi, saya tidak punya pilihan. Bagaimana mana mengukur kemampuan sebenarnya jika hasil yang diperoleh melalui nyontek?
Bagaimana mendorong mereka belajar jika saat ujian mereka dengan bebas bisa memindahkan isi buku?
Rasanya, sukar bagi saya mendorong konsep belajar giat jika hal seperti ini tidak ditekankan.
Rasanya, tak tahu saya di mana meletakkan penghargaan bagi orang yang rajin belajar jika situasi seperti ini tidak dicegah.
Rasanya, sulit bagi saya di mana meletakkan kebanggaan atas prestasi, jika budaya nyontek dibiarkan.
Dan, saya tak bisa membayangkan bagaimana nanti mereka bisa menjauhkan murid-murid mereka dari budaya menyontek jika mereka sendiri sudah hidup dalam budaya menyontek.
Saya lebih tidak bisa membayangkan apa jadinya pendidikan Indonesia jika lebih banyak orang yang menjadi guru yang keranjingan dengan kebiasaan nyontek. (*)

Baca Selengkapnya...

Pendidikan Karakter (1)

Oleh: Yusriadi

Jumat (23/12) kemarin, secara kebetulan saya bertemu dan mengobrol dengan seorang lelaki paroh baya. Dia orang Pontianak yang sekarang tinggal di sebuah perkampungan nelayan di Sambas. Kami bertemu di sekolah saat pembagian raport. Saya dan dia sama-sama mendampingi ponakan mengambil raport.
Kami bisa ngobrol karena kami duduk berdekatan. Dia sangat terbuka dan ramah. Dia mengatakan tentang anak-anaknya. Anak-anaknya berprestasi.

”Istri saya yang banyak mendidik anak. Istri saya keras. Anak-anak dipaksanya belajar. Kalau jamnya belajar dia harus belajar. Pintu dikunci. Nanti kalau sudah belajar baru kemudian anak boleh bermain. Hasilnya, anak-anak saya dapat rangking”.
Istri diandalkan karena lelaki paroh baya itu lebih banyak berada di laut. Pekerjaannya sebagai nelayan membuatnya tidak bisa mendampingi anak-anaknya di rumah.
Karena itu, nampaknya dia sangat bangga pada istrinya yang bisa mendidik anak. Istrilah yang diandalkan untuk mendidik anak.
Saya kira, beruntunglah dia. Beruntunglah istrinya.
Tetapi kemudian saya harus katakan bahwa anaknya juga beruntung memiliki ayah seperti itu.
Ya, saya bisa mengatakan begitu ketika dia menceritakan bahwa dia sudah tiga puluh tahun hidup sebagai pelaut. Dan, sebagai orang laut dia sudah pergi ke mana-mana. Sudah banyak negara yang dikunjunginya. Itu sisi senangnya.
Dari sisi lain, dia juga mengalami beberapa kejadian yang juga tidak bisa dilupakan. Sudah tiga kali dia tenggelam di laut.
”Waktu di Selat Makasar, saya terombang-ambing di laut selama 5 hari, di atas galon. Saya diselamatkan oleh nelayan”.
Dia menyambung cerita soal dampak kehidupan sebagai pelaut yang ke sana ke mari itu. Pelaut dan nelayan sering terkena penyakit. Menurutnya, penyakit pelaut ada tiga. Penyakit pertama, perempuan; penyakit kedua, minum; penyakit ketiga, judi. Pelaut kena penyakit ini.
Seraya dia menjelaskan penyakit itu satu persatu, saya jadi teringat suatu ketika saya memang pernah mendengar cerita-cerita mirip begini. Penyakit perempuan menyergap nelayan dan pelaut ketika mereka berlabuh di dermaga. Penyakit judi dan minuman keras menyerang mereka saat berada di tengah laut. Karena hal ini, makanya, kononnya, wanita-wanita yang beroperasi sebagai pelacur di kota-kota pelabuhan, lebih banyak terkena penyakit kelamin, dan HIV-AIDS.
”Saya hanya kena satu penyakit. Minum. Perempuan dan judi saya tidak ikut”.
Sekarang, katanya, dia sudah berusaha berhenti. Tidak lagi minum minuman keras. Dia berhenti dengan susah. Maklum, kawan-kawan masih terus mengajak. Kawan-kawan juga menyindir.
”Saya dikata mulai alim oleh kawan-kawannya”.
Yang membuat saya tertarik, dia menyebutkan kalau dia bisa berhenti minum karena dia malu sama anak-anak. Dia berhenti bukan karena khawatir terkena penyakit atau berhenti karena mulai insyaf bahwa agama telah melarangnya.
”Saya malu dengan anak-anak. Mereka sudah besar. Malu kalau sampai ditegur anak-anak”.
Pengakuan bahwa dia malu pada anak menunjukkan bahwa keberhasilan anak meraih prestasi berkat didikan sang istri, berkelindan dengan pengembangan nilai-nilai hidup dalam keluarga ini. Dan, bapak paroh baya itu memperlihatkan bagaimana dia menghormati nilai-nilai itu.

Baca Selengkapnya...

Membangun Masa Depan

Oleh: Yusriadi

“Mengapa orang bisa dan saya tak bisa?”
“Mengapa orang mampu dan saya tidak mampu?”
“Mengapa orang maju dan saya tidak maju?”
Saya sering mendengar pertanyaan itu. Teramat sering.
Saya juga teramat sering mendengar orang memberikan penjelasan.
“Dia maju karena dari sananya memang begitu”.
“Dia mampu karena dari keluarga mampu”.
“Dia banyak koneksinya”.
“Dia ‘pandaiiii’”. Pandai yang bermakna khusus dan sangat dalam.
Dahulu, saya menerima saja penjelasan itu. Penjelasan itu dianggap benar. Orang maju karena dia dari keluarga maju. Orang mampu karena dia dari keluarga atau dari kalangan suku yang mampu.
Tetapi, sekarang ini rasanya saya tidak percaya jawaban itu. Soal kemampuan bukan soal keluarga, bukan soal suku, bukan soal suratan takdir.
Beberapa bulan ini saya mendapatkan jawabannya. Jawabannya ada pada diri sendiri. Seseorang akan maju jika dia mau maju. Seseorang akan mampu kalau dia mau mampu. Syarat mentalitas itu ditambah lagi dengan seperangkat syarat: Dia menganut prinsip dasar kehidupan.
“Orang maju karena dia menganut prinsip dasar kehidupan”.
Ada 9 prinsip itu. Pertama: Orang akan maju jika dia menunjukkan sikap beretika. Orang yang menganut etika akan membuat orang lain senang dan nyaman. Dia akan disukai lingkungannya.
Kedua, kejujuran dan integritas. Ketiga, bertanggung jawab. Keempat, patuh pada hukum. Kelima, hormat pada hak orang lain. Keenam, cinta pada pekerjaan. Ketujuh, menabung atau ada investasi. Kedelapan, mau bekerja keras. Kesembilan, tepat waktu.
Saya meyakini bahwa jika prinsip dasar kehidupan dapat dilaksanakan dengan baik pasti hasilnya akan menjadi sangat baik. Sangat ideal. Sangat nyaman. Situasi ini akan membuat semua orang bisa fokus pada cita dan harapan.
Lantas, terpulanglah pada diri sendiri apakah ingin menggapai semua itu.



Baca Selengkapnya...

Pendidikan Karakter (3)

Oleh: Yusriadi

Hari itu, saat membuka acara Gempita Ekonomi Kreatif yang diselenggarakan Harian Borneo Tribune – Tribune Institute-HIPMI Kalbar di Kampus Untan Pontianak, Pembantu Rektor I Untan, Dr. Abu Bakar Alwi menyebutkan contoh kebersamaan orang Jepang. 12 orang ambil master, ke mana-mana sama. Akhirnya, pola pendidikan ini membuat semangat kolektif Jepang menonjol.
“Kenyataan ini sangat berbeda dibandingkan kita. Orang kita, ramai, hakikatnya sendiri,” katanya.

Dr. Abu Bakar Alwi ingin ada perubahan budaya. Ada perubahan di kalangan mahasiswa.
Apa yang disampaikan Dr. Abu Bakar Alwi merupakan kritik dan juga otokritik terhadap penyelenggara pendidikan di perguruan tinggi. Kalau kenyataan yang disampaikan Abu Bakar benar, dan itu tentu benar, maka metode pendidikan kita harus dievaluasi. Apakah metode pendidikan di semua level telah mengarahkan peserta didik ke arah kesadaran kolektif. Atau, sebaliknya, bagaimana mengarahkan peserta didik ke arah hidup individualistik ke arah yang mengedepankan kolektivitas.
Saya memberi catatan pada Dr. Abu Bakar Alwi. Beliau sudah memiliki kesadaran menuju kolektivisme. Kesadaran ini pasti bisa menjadi bekal untuk melakukan perbaikan ke depan. Apatah lagi beliau memiliki kekuasaan untuk mengubah. Sebagai Pembantu Rektor I, beliau memiliki kewenangan untuk membina dosen, sehingga pada akhirnya, dosen-dosen itu kelak bisa mendukung program yang beliau susun.
Tentu saja tidak begitu mudah. Sering kali dosen dengan dalih otonomi dosen, memiliki ego yang kuat. Mungkin ada bantahan.
Tetapi saya percaya, kedudukan Abu Bakar Alwi sebagai Pembantu Rektor I Untan akan membuat yang tidak mudah itu menjadi mudah. Adakah dosen sebagai bagian tugas fungsional seorang pegawai negeri nekad membandel pada atasannya?
Lagi, tak mungkin dosen-dosen akan ’degil’ amat menolak sesuatu yang baik. Bukankah dosen adalah agen perubahan? Bukankah mereka insan pembelajar?
Jika dosen bukan agen perubahan, tak mau berubah dan bukan seorang insan pembelajar, maka lebih baik dia menjadi batu saja. Terlalu bahaya dosen yang seperti itu. Mereka berbahaya karena mereka akan mempengaruhi mahasiswa-mahasiswa yang datang hendak belajar di perguruan tinggi.
Ingat kata pepatah: guru kencing berdiri, anak-anak kencing berlari.



Baca Selengkapnya...

Prof. Shamsul AB, Dr. Taufiq dan Kutipan Khonghucu

Oleh: Yusriadi
“Mulai saja menulis, terbitkan buku. Jangan pikirkan mutu sekarang ini. Mutu itu urusan nanti”.
Saya mengutip pendapat Prof. Dr. Shamsul Amri Baharuddin ketika “bersembang-sembang” dengan Dr. Taufiq Tanasaldy, siang itu. Dr. Taufiq datang ke Club Menulis dan melihat beberapa buku yang kami buat. Dia orang Mempawah yang kini mengajar di sebuah universitas di Australia.
Walaupun saya menunjukkan buku dengan semangat, tetapi merasa agak sungkan juga. Mutu. Buku yang kami buat bukan buku bermutu. Kepada orang-orang yang datang ke Club Menulis saya selalu tekankan hal itu.
“Kami berusaha mendokumentasi apa yang dapat kami dokumentasi hari ini”.

.
“Kami sedang belajar menulis dan menerbitkan buku”.
“Mungkin buku yang bermutu dari kami baru dapat kami persembahkan 5, 10 atau 20 tahun yang akan datang”.
Oleh karena itu, sebelum soal mutu ini singgah dalam pikiran beliau, saya mengaku lebih dahulu bahwa buku yang kami buat belum memenuhi harapan.
Apa reaksi Dr. Taufiq?
“Maaf, saya mengutip Khonghucu. Kamu tahu Khonghucu?”
Saya mengangguk. Tentu. Saya pernah belajar perbandingan agama. Khonghucu adalah nama yang dikaitkan dengan agama Khonghucu. Banyak kata bijak yang dirujuk kepada tokoh itu. Saya mengangguk karena saya kira lebih mudah bagi beliau mengutip kata bijak dari ajaran yang dipercaya, seperti saya pasti lebih mudah mengutip hal-hal penting dari Alquran atau nabi Muhammad.
“Khonghucu mengatakan, satu li dimulai dari satu langkah”.
Persis. Sesungguhnya saya pernah mendengar ungkapan itu dari bapak FX Asali, salah satu tokoh Tionghoa Kalbar yang saya kagumi.
Menyenangkan menemukan kutipan yang pas. Sebuah pernyataan yang berbeda dengan maksud sama. Pernyataan yang universal.
Saya segera mencatat komentar dia karena saya rasa pasti sangat berguna suatu ketika nanti. Tetapi, Dr. Taufiq , buru-buru mengingatkan.
“Ini ungkapan yang populer, semua orang tahu. Saya harus tanya-tanya lagi bagaimana bentuk yang pas dengan ungkapan Khonghucu dalam bahasa asal”.
Walaupun demikian, saya tetap mencatat ungkapan itu, dan menulisnya agar saya tetap ingat di kemudian hari. Semua itu akan menambah wawasan saya tentang prinsip hidup dan tentang apa yang dapat saya lakukan. Pembenaran. Pemantapan. Sesuatu yang meyakinkan saya agar terus menerus berusaha: menulis dan menerbitkan buku, sembari mendorong orang-orang yang ada di sekitar saya untuk melakukan hal yang sama.
Semoga semua itu bisa menjadi amal kelak. Seperti yang sering dikutip dari teman saya, H. Nur Iskandar. “Inilah salah satu bentuk amal kita”.

Baca Selengkapnya...

Guru Boleh Protes?

Oleh: Yusriadi
Hari itu saya berdiskusi dengan sejumlah orang. Bolehkah guru melakukan demo karena tidak dibayar tunjangannya? Sejumlah orang mengatakan boleh. Guru boleh demo menuntut haknya.
Lalu, saya bertanya pada mereka. Kalau guru demo, bagaimana anak-anak di sekolah belajar? Atau, kalau kemudian tuntutan yang diajukan guru tidak dipenuhi, bagaimana? Apakah guru akan mogok mengajar? Kalau guru mogok mengajar bagaimana dengan murid-murid mereka?


Apakah yang ada dalam pikiran guru jika anak-anak tidak bisa belajar karena mereka tidak mengajar? Apakah guru akan prihatin? Apakah mereka memiliki tanggung jawab moral terhadap pendidikan siswa?
Pertanyaan lanjutan ini tidak bisa dijawab spontan oleh peserta diskusi. Mengapa? Karena saya kira mereka menemukan hakikat bahwa sebenarnya guru tidak boleh demo karena menuntut tunjangan. Guru tidak boleh mogok mengajar karena tunjangan tersendat.
Jika guru demo karena tunjangan, jika guru mengancam mogok mengajar karena tunjangan (gaji) atau malah mogok benaran, maka sebenarnya mereka bukan lagi guru. Mereka bukan lagi seorang pendidik.
Guru yang demo dan guru yang mogok karena tunjangan, karena uang, sebenarnya mereka adalah buruh. Mereka adalah pekerja. Orang yang melakukan sesuatu agar mendapat imbalan materi. Orang yang bekerja karena mengharapkan materi.
Guru sebenarnya tidak begitu. Guru adalah pekerjaan untuk pengabdian. Panggilan batin. Seseorang yang menjadi guru seharusnya bukan orang yang mengejar materi.
Orang yang mengejar materi menjadi guru sebaiknya tidak menjadi guru. Malah, saya sempat bercanda, jika saya kepala dinas, atau orang yang menentukan nasib guru, maka guru seperti itu akan saya pensiunkan. Saya akan katakan pada mereka, lebih baik berhenti menjadi guru dan berdagang. Lebih baik bekerja di sektor perkebunan atau tambang. Uangnya pasti banyak!
Tidak boleh nasib anak-anak diserahkan kepada guru yang bermental materialistis. Anak-anak hanya boleh diserahkan kepada orang yang bermental guru.
Seorang peserta diskusi membantah.
“Tapi, guru ‘kan perlu materi agar bisa hidup”.
Benar. Guru adalah manusia yang juga perlu materi untuk kehidupan. Tetapi saya percaya bahwa guru yang mendidik dengan benar, guru yang menjalankan amanatnya sebagai pendidik, tidak pernah akan kesulitan soal makanan.
Orang tua murid pasti akan menilai. Orang tua murid pasti akan prihatin dan menyampaikan terima kasih. Orang tua murid yang tidak bisa menghargai pengabdian guru adalah orang tua murid yang ‘kebangetan’.
Saya kira pemerintah juga akan begitu. Pemerintah pasti akan berterima kasih pada orang yang telah mengabdikan diri untuk pendidikan anak bangsa. Pemerintah pasti merasa berkewajiban untuk membalas pengabdian yang sudah diberikan guru. Bagaimana menurut anda?

Baca Selengkapnya...

Bahasa Politik

Oleh: Yusriadi
Hari itu seorang kolega datang ke ruang saya dan menyampaikan gagasan besar. Ingin membuat buku.
Gagasan itu sempat membuat saya antusias. Ya, buku selalu penting dalam hidup saya belakangan ini. Sedikit-sedikit buku. Sedikit-sedikit buku. Buku adalah obsesi. Saya ingin menerbitkan buku sebanyak-banyaknya. Soal mutu, nanti dulu. Mutu bisa digarap sambil jalan. Alah bisa karena biasa.

Saya ingin begitu karena ingin menjadikan buku sebagai monumen bagi kehidupan. Setidaknya, jika saya meninggal dunia kelak, saya sudah meninggalkan tulisan dan mematri nama saya dalam beberapa buku. Mudah-mudahan, buku-buku yang saya buat ada gunanya bagi banyak orang.
Setidaknya dengan usaha dokumentasi sekarang ini, kelak jejak-jejak yang penting tentang kehidupan hari ini bisa diketahui generasi mendatang.
“Buku ini, dibuat untuk mendukung bapak….”
Dia menyebut nama seseorang. Nama itu saya kenal lewat koran. Kabarnya dia akan terjun ke dunia politik dan akan bertarung dalam pemilihan umum mendatang.
Byurrr. Semangat saya langsung meredup. Bak api diguyur air.
“Ahhhh… kalau yang begitu saya tidak mau ikut”.
“Bukan begitu … “ Bla… bla… kolega menjelaskan duduk persoalannya. Membujuk.
Saya menolak serta merta. Tak pakai basa-basi. Saya memilih tidak terjun ke dunia politik seperti itu. Politik bagi saya menyisakan bayangan yang tidak cerah. Apalagi kalau sudah bicara soal perebutan posisi dan kekuasaan.
Bagi saya kekuasaan bukan untuk diperebutkan. Kekuasaan itu amanah yang diberikan kepada seseorang yang memang layak menyandangnya.
Karena itu jika saya punya suara, saya akan memilih dan akan mendukung orang yang benar-benar layak didukung. Dukungan yang diberikan kepada orang yang biasa-biasa apalagi orang yang ambisius akan memberikan dampak yang tidak baik bagi masa depan. Saya tidak mau dipimpin oleh orang yang tidak layak memimpin. Sama seperti ajaran fiqh dalam agama saya: saya tidak boleh berimam kepada orang yang tidak memenuhi syarat sebagai imam. Apa syaratnya? Bacaannya paling baik, wara’ dan lebih tua umurnya. Dalam konteks kita, pemimpin yang didukung adalah pemimpin yang lisan, tindakan dan cara berpikirnya baik.
Mencari pemimpin seperti itu tidak susah. Kita bisa melihat track recordnya sehari-hari. Kita bisa menggali informasi tentang dia.
Karena itulah, saya tidak sepemikiran dengan kolega tadi yang ingin membuat buku untuk mempromosikan sosok tertentu dengan maksud agar terbentuk opini publik. Saya tidak ingin membuat sosok menjadi nampak baik sementara saya belum mengenal dia sebelumnya.
Sampai di sini saya jadi ingat beberapa teman saya merana karena uangnya mengalir bak air ledeng saat Pemilu. Penyauk datang berbondong-bondong mengaloikan dia, namun tidak benar-benar mendukungnya. Uang habis, suara tiada.
Saya tak sampai hati membuat (calon) politisi menerima nasib seperti itu. Kesihan.

Baca Selengkapnya...

Selasa, 03 Januari 2012

Drs. H. Abang Zahry Abdullah Al-Ambawi


Baca Selengkapnya...

Mengenang Tok Olah (Alm. Drs. H. Zahry Abdullah)

Oleh: Yusriadi

1 Januari 2011. Saya membuka blog saya: yusriadiebong.blogspot.com. Ada pesan di inbox dari seseorang yang bernama Razy H Zahry. Saya tidak mengenal nama itu. Tapi, kalau nama H Zahry saya kenal. Malah, rasanya, sangat kenal.
Rupanya, orang yang meninggalkan jejak di inbox itu memang anak H. Zahry yang saya kenal itu. Saya bisa menduga demikian setelah membaca pesan itu.
“Razy H Zahry: Atas nama keluarga besar kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih buat bang yus, yang telah membesarkan nama Alamarhum ayahnda kami, mohon maaf kalau ada salah bang”.

Pesan itu membangkitkan memori saya tentang almarhum H. Abang Zahry Abdullah Al-Ambawi, yang meninggal pada 14 September 2010 lalu. Beliau telah saya anggap orang tua dan datok saya sendiri. Saya dan beberapa teman lain membiasakan memanggil beliau “Tok Olah”.
Saya banyak bergaul dengan beliau. Kami sering seminar bersama. Diskusi bersama. Beliau kadang kala saya jadikan narasumber untuk berita saya di Harian Borneo Tribune. Di luar itu, kami juga kerap bertemu untuk sekadar menjaga komunikasi.
Kami semakin akrab, karena beliau berasal dari Jongkong, dan saya berasal dari Riam Panjang. Riam Panjang terletak di pedalaman Jongkong. Beliau juga kenal dengan almarhum bapak saya, Zainal Abidin alias Ebong.
“Pala Kampung Ebong, ayah kula’ tu’, main bal”. (Kepala Kampung Ebong, ayah kamu itu, pemain bola). Begitu kata Tok Olah dulu.
Tok Olah memiliki karir yang luar biasa. Pernah menjadi guru, menjadi pegawai Departemen Agama – sempat menjadi Kepala Kantor Departemen Agama di Sanggau dan Pontianak, pernah menjadi anggota DPRD di Kapuas Hulu.
Beliau adalah salah satu orang Ulu yang sukses di rantau orang. Saya mengenalnya begitu, pada mulanya.
Karena asal daerah yang sama, kami berkomunikasi dalam bahasa Ulu. Selalu. Kalau sudah bergurau, dan beliau orangnya humoris - ramah, kosa kata yang arkaik dalam bahasa Ulu keluar. Kami bisa mentertawakan banyak hal jika sudah begini.
Keramahan dan sikap beliau membuat saya sangat nyaman mengenal beliau. Ya, itu tadi, serasa orang tua sendiri. Beliau jadi panutan.
Saya mengagumi beliau karena beliau memiliki pengetahuan sejarah yang luar biasa. Sejarah Kapuas Hulu, Sintang-Melawi, Sanggau, beliau kuasai. Tanya saja tentang apapun, pasti beliau ada jawabannya. Tanya salasilah orang, beliau ahlinya. Beliau adalah enseklopedia sejarah ulu. Ingatan beliau sangat kuat.
Mengapa bisa begitu, di kemudian hari saya tahu: Tok Olah adalah sosok pembelajar. Setiap peristiwa penting dicatatnya. Dia punya buku agenda sejarah. Kejadian apapun ditulisnya. Beliau juga memiliki koleksi naskah dan tulisan-tulisan sejarah.
Selain itu, beliau saya kenal sebagai kolektor barang-barang unik dan memiliki tanaman obat yang banyak.
Karena itulah, saya sering menulis beliau sebagai sumber inspirasi. Ini juga yang membuat saya terus mengingat beliau. Terima kasih datok. Semoga datok tenang dan bahagia di sana.

Baca Selengkapnya...