Senin, 30 Januari 2012

Pendidikan Karakter (2)

Oleh: Yusriadi

Hari itu, beberapa bulan lalu, guru-guru yang sedang menjadi mahasiswa menjalani ujian. Sebagian terlihat khusuk, membaca soal dan berpikir, menulis dan merenung.
Namun, sebagian lagi nampak gelisah.
Berusaha mengamati satu per satu. Saya menikmati pemandangan itu. Berusaha menekan perasaan.
Beberapa orang saya curigai membuka buku. Alamak, nyontek!

Saya mendekat. Benar. Di balik kertas kerja mereka, terlihat modul mata kuliah yang diujikan, dibuka. Sepintas lalu tidak terlihat, tetapi karena saya mengamatinya, saya dapat melihat modul yang berada di bawah kertas-kertas ujian itu terbuka.
Saya mengambil modul itu sambil mendengus.
Satu, dua, tiga.... Masyaallah. Enam orang.
”Uh... bapak”.
”Bapak duduk saja, napa sih”.
Ada suara protes. Mereka protes karena saya terlalu ketat melakukan pengawasan. Namun, saya tak peduli. Saya tidak bisa membiarkan mereka ujian sambil mencontek. Saya tak bisa membiarkan mereka mengumbar budaya nyontak.
Mereka guru. Mereka orang yang digugu dan ditiru.
Mereka orang yang sudah berumur. Orang yang selama ini sudah makan asam dan garam kehidupan lebih banyak dibandingkan saya. Jalan hidup mereka juga sudah sangat panjang, terutama dalam soal bagaimana mereka hidup dengan baik. Bahkan, saya yakin mereka lebih fasih menyampaikan soal kejujuran terutama kepada anak-anak.
Karena itulah saya tidak menceramahi mereka soal nyontak. Saya tidak mengambil tindakan yang biasa kepada mereka.
Ya, jika mereka bukan orang yang sudah tua, pasti mereka saya usir dari kelas. Pasti. Di ruang ujian yang biasa, menyontek adalah persoalan serius. Sebelum ujian, ancaman diskualifikasi sudah disampaikan.
”Berbicara dengan teman akan mendapat teguran. Teguran ke-3 dikeluarkan dari ruang ini”.
Begitulah. Keras. Kejam.
Tetapi, saya tidak punya pilihan. Bagaimana mana mengukur kemampuan sebenarnya jika hasil yang diperoleh melalui nyontek?
Bagaimana mendorong mereka belajar jika saat ujian mereka dengan bebas bisa memindahkan isi buku?
Rasanya, sukar bagi saya mendorong konsep belajar giat jika hal seperti ini tidak ditekankan.
Rasanya, tak tahu saya di mana meletakkan penghargaan bagi orang yang rajin belajar jika situasi seperti ini tidak dicegah.
Rasanya, sulit bagi saya di mana meletakkan kebanggaan atas prestasi, jika budaya nyontek dibiarkan.
Dan, saya tak bisa membayangkan bagaimana nanti mereka bisa menjauhkan murid-murid mereka dari budaya menyontek jika mereka sendiri sudah hidup dalam budaya menyontek.
Saya lebih tidak bisa membayangkan apa jadinya pendidikan Indonesia jika lebih banyak orang yang menjadi guru yang keranjingan dengan kebiasaan nyontek. (*)

0 komentar: