Minggu, 30 Agustus 2009

Kue Jongkong

Oleh: Yusriadi

“Jongkong”
Sebuah tulisan menggunakan spidol warna hitam di kertas karton warna kuning ditempelkan di sebuah lapak di gerai Ramadan di Hentian Kajang, Selangor.
Tulisan itu tidak mencolok mata. Maklum tempelannya agak di bawah, tertutup orang ramai yang lalu lalang di depan gerai. Orang yang mengunjungi lapak itu sungguh ramai. Berdesak-desakan. Perhatian orang tentu lebih pada makanan di atas meja, dibandingkan memperhatikan bagian bawah meja.
Saya kebetulan saja melihat tulisan itu. Kebetulan karena saya melewati meja itu saat menerobos kesesakan berbelanja makanan di hari kedua Ramadan kemarin. Jika saya berjalan agak di tengah kerumunan, tentu saya tidak akan nampak tulisan itu.
Saya berhenti di lapak itu.
“Kue Jongkong?”




“Ya, kuih Jongkong”.
Saya membelek-belek kue yang berbungkus daun pisang. Kemasannya seperti kue ‘nagasari’. Hanya bentuk kemasan Jongkong lebih besar dan tinggi.
“Kue daerah mana?”
“Mana-mana ada”.
Saya berusaha mengingat. Rasanya tidak terlintas dalam bayangan saya tentang asal muasal kue itu. Dalam bayangan saya, seharusnya, kue itu beraasal dari daerah tertentu: mungkin seperti laksa kedah, tom yam Thailand, atau pisang salai Batu Ampar, amplang Ketapang, lempok Sukadana, temet Kapuas Hulu, empek-empek Palembang. Saya menyesal, karena merasa benar-benar ketinggalan informasi tentang asal muasal kue yang ‘kedengaran populer’ ini.
“Saya asal Jongkong, tetapi tempat kami tak ada kue macam ni”.
Saya memberitahu penjual itu. Lelaki berusia 40-an tahun itu hanya tertawa. Ya, saya berasal dari Jongkong – tepatnya kecamatan yang beribukota Jongkong sebelum pemekaran menjadi Kecamatan Batu Datuk-- di Kapuas Hulu. Saya sekolah di kota kecamatan ini selama 6 tahun.
Tetapim lagi-lagi saya harus kemukakan ketololan saya, bahwa saya tidak tahu pasti asal usul nama Jongkong. Ada yang bilang jongkong itu berarti duduk menjongkong, sebutan untuk menunjuk posisi orang buang hajat di pinggir sungai. Ada juga yang bilang itu nama pohon, yaitu jenis pohon yang tumbuh di kawasan ini. Tetapi, saya tidak pernah yakin mana yang benar-benar dirujuk kepada asal usul Jongkong.
Saya juga tidak tahu ikon Jongkong itu apa. Rasanya tidak ada. “Temet” yaitu nama lain kerupuk basah, juga dikenal di tempat lain, tidak saja di Jongkong.
Ini pula’, ada kue nama Jongkong di tempat yang jauhnya ribuan kilometer dari Jongkong. Tentu unik.
“Kuenya dari apa bahan apa?”
“Tepung beras, santan, gula merah”.
Saya berusaha mengingat bahannya. Namun belum ada bayangan seperti apa bentuk kue yang masih terbungkus daun pisang ini.
“Cobalah”.
Saya mengangguk.
“Ya. Nanti. Saya mau jalan sana dahulu”.
Saya melanjutkan perjalanan melihat gerai lain. Melihat kue-kue dan makanan berbuka lainnya yang dijual di gerai. Orang ramai sekali. Bukan hanya orang Melayu, tetapi saya lihat juga orang putih, orang Cina dan India. Agaknya orang bukan Islam juga mengambil kesempatan berbelanja di gerai Ramadan.
Setelah sampai di ujung gerai, saya kembali ke tempat penjualan Jongkong lagi.
Saya mengambil satu. Saya mengangkatnya, membelek-belek, ingin melihat dari luar. Saya mengutis-ngutis sedikit bungkusannya. Niatnya, mengintiplah!
“Jangan dibalik. Nanti tumpah. Ada kuah”.
Penjual menegur saya. Saya sedikit kaget, lalu meletakkan satu bungkus Jongkong di depannya. Saya jadi makin penasaran, kok ada kuah, kue seperti apa?
“Ini?”
Penjual itu memasukkan Jongkong ke dalam kantong plastic putih.
Saya memiih lima bungkus. Jumlahnya yang sama dengan jumlah orang di flat. Biar makannya bisa satu-satu.
“Nanti masukkan dalam peti sejuk sebelum dimakan buka puasa. Makan sejuk lebih sedap”.
Dia memberi petunjuk. Sambil saya menunggu pengembalian uang, saya dengar penjual itu menawarkan Jongkong kepada calon pembeli.
“Jongkong… Jongkong… Jongkong”.
Gayanya seperti kondektur tiket di terminal di Pontianak.
Saya permisi. Permisi dengan penasaran membayangkan seperti apa bentuk makanan yang namanya seperti nama daerah tempat saya belajar dahulu.
Sampai di flat, saya segera memasukkannya ke dalam kulkas – peti sejuk, biar lebih cepat sejuk. Saya kira 10 menit cukup membuat makanan ini dingin.
Ketika masa berbuka tiba, saya mengeluarkan Jongkong dari peti sejuk. Dan mengangsurnya kepada teman-teman yang lain.
Saya membukanya.
O… Bentuknya seperti bubur. Beda dengan yang saya bayangkan semula. Saya memerlukan sendok untuk menyantapnya.
Teman saya, Bang Jumadi juga membuka bungkusan daun pisang itu.
Dia lebih dahulu mencicipinya.
“Ini … macam … bubur ati pari’”.
Saya mencicipinya.
“Ya Bang, ati pari’”.
Saya tertawa.
“Ini rupanya kue Jongkong”.
Kue yang rupanya mudah dijumpai di Kalbar. Tetapi ini, karena namanya yang berbeda, membuat saya sempat penasaran.
Saya kira mungkin lebih baik kalau orang Jongkong menggunakan nama ini untuk memunculkan ikon baru mereka. Siapa tahu Jongkong di Jongkong akan lebih terkenal dan digemari, kelak.
“Tau ccuba bah menyadik”.




Baca Selengkapnya...

Minggu, 23 Agustus 2009

Nasionalisme dan Pewarisan Budaya: Mengapa Ribut?

Oleh Yusriadi

Malam kemarin, secara tak sengaja kami – saya dan dua orang teman, menyaksikan pemilihan Gadis Melayu di sebuah stasiun TV swasta Malaysia. Siaran ulang.
Saya katakan tak sengaja, karena teman yang pegang remote TV, main tekan-tekan saja mencari acara TV yang disenangi. Nah ketika terpencet tombol tertentu, muncullah wajah cantik gadis Melayu itu.


Kalau itu, salah seorang peserta dari sebuah Negeri (provinsi) tampil di panggung. Dia memulai dengan lantunan gurindam. Iramanya, ditingkahi dengan pukulan gamelan.
“Jawa-lah itu”.
Kata seorang teman.
“Ha.. ha… Wajah pun, wajah Padang”.
Seorang lagi nyeletuk.
“Ya.. ya…”
Benar. Gamelan identik dengan Jawa. Kebudayaan Jawa. Dugaan teman tadi, betul seratus persen. Tetapi, saya rasa soal wajah Padang, saya tak dapat menyelaminya maksud kawan itu. Apakah tebakannya itu berkaitan dengan lantunan gurindam di awal persembahan gadis itu? Maklum, gurindam yang paling terkenal gurindam Raja Ali Haji, seniman asal Riau. Riau dan Padang, Sumatera Barat, berbatasan.
Tapi, mungkin dia bergurau saja. Benarkah ada wajah Padang? Hidung Padang? Muka Padang? Yang saya tahu, pakaian Minang ada.
Tetapi mungkin teman tadi itu benar. Kemungkinan ini, bisa saja, sebab banyak sekali orang Minang di Malaysia. Bahkan orang mengenal Negeri Sembilan, salah satu provinsi di Malaysia, sebagai wilayah orang Minang di Malaysia. Simbol rumah gadang dijadikan sebagai symbol rumah kebesaran orang Negeri Sembilan. Budaya Minang menjadi budaya penting anak negeri ini.
Adapun soal gamelan Jawa tadi, teman saya berbeda persepsi. Dalam konteks ini, gamelan Jawa dianggap sebagai ‘pinjaman’ orang Malaysia. Sebab, gamelan Jawa, dianggap sebagai gamelan Indonesia. Jawa, identik dengan orang Indonesia. Malaysia, tidak.
Saya sangsi apakah dia mengetahui kalau di Sabak Bernam, Johor, dan beberapa wilayah lagi, orang Jawa cukup banyak. Tetapi saya pasti, teman saya tadi tahu, banyak orang besar di Malaysia asalnya adalah perantau dari Jawa. Merantau jauh sebelum Indonesia diproklamirkan tahun 1945. Mereka bukan orang Indonesia. Mereka orang Malaysia.
Sebagai orang Jawa, tentulah orang Sabak Bernam, atau orang Pontian Johor, mewariskan budaya Jawa dalam kehidupan mereka. Jadi milik mereka juga. Sebagai pewaris budaya Jawa, sewajarnya mereka dapat memainkan atau memperlihatkan kepemilikannya itu.
Saya jadi teringat beberapa waktu lalu, ada pejabat daerah di Kalbar merisaukan banyak khazanah “budaya kita” begitu dia katakan, yang diambil Negara Malaysia. Mereka sebutlah sumpit, gasing, dll. Saya sempat mengingatkan teman wartawan yang menulis statemen itu. Itu tudingan yang naïf.
Tentu tudingan itu aneh. Sebab, budaya Sarawak (Malaysia) dan Kalbar (Indonesia) – contoh kasus, memiliki kesamaan. Mereka sama asal usulnya. Orang Iban di Sarawak –seperti yang diriwayatkan, beberapa ratus tahun lalu pindah dari wilayah hulu Sungai Kapuas. Mereka menetap di bagian lagi pulau ini, sebelum pulau ini ditadbir oleh dua Negara yang berbeda.
Sebagai orang Iban, wajar kalau mereka mewarisi sumpit, tattoo, topi daun, dll dan kemudian mewariskan budaya itu kepada generasi mereka di tempat baru itu. Amat wajar.
Jadi, di mana masalahnya?
Mungkin, masalahnya adalah mungkin kita lupa, sekat Negara Indonesia –Malaysia adalah sekat yang baru. Sekat yang diwariskan oleh penjajah dahulu pertengahan abad ke-19 yang membagi wilayah jajahan di pulau Borneo menjadi dua, bagian selatan dan bagian utara. Mereka membagi tanah, mereka membagi penduduk, mereka membagi budaya, bahasa, dll. Pembagian ini membuat kita seakan-akan ‘jauh’ dan ‘harus lain’.
Sesungguhnya, kenyataan ini samalah seperti sekat kabupaten yang kita mekarkan sekarang. Ada saudara kita yang menjadi penduduk Kabupaten Pontianak, ada yang menjadi penduduk Kabupaten Landak, dan kemudian ada yang menjadi penduduk Kubu Raya.
Tetapi, bedanya, dalam konteks kabupaten, kita menyadari bahwa ada masyarakat yang mewarisi budaya Kanayatn (Ahe) di tiga kabupaten itu. Kita juga menyadari ada masyarakat Melayu di sana. Karena itu jika kemudian ada atraksi budaya Kanayatn atau Melayu harus dipersembahkan, sebagai ‘wakil’ dari daerah kabupaten itu, kita dari masing-masing kabupaten tak perlulah ribut memprotes kabupaten lain, apalagi menudingnya ‘mencuri budaya’. Mengapa? Karena masih satu provinsi dengan mereka. Masih satu Negara. Masih boleh berkongsi.
Sedangkan dengan Negara lain, tidak, sekalipun, darah yang mengalir di tubuh mereka darah yang sama dengan darah yang mengalih di tubuh kita. Sekalipun nenek moyang sama.
Unik ya?!.



Baca Selengkapnya...

Jalan Lintas Tayan - Ambawang

Oleh Yusriadi

Sudah lama saya tidak melalui jalan lintas Tayan- Pontianak. Saya ingat, kali terakhir saya melalui jalan ini, di tahun 2003. Waktu itu, saya naik bis jurusan Pontianak – Putussibau. Bis itu agak kecil, bis tua, bau (muntahan), dan full angin, pintu dan jendelanya terbuka.



Jalan yang dilalui waktu itu baru berupa jalan pekerasan. Hanya beberapa potong saja bagian jalan yang sudah beraspal. Jalan tanah lapis semen itu – kata orang sih-- ‘bergerutuk’ di sana-sini, kayu, lubang, dan paling istimewa, debu. Tas, pakaian, semua kena debu. Debu dengan bebas masuk ke dalam mobil yang jendela dan pintunya terbuka full itu. Untunglah waktu itu tidak ramai kendaraan yang melalui ruas jalan ini. Boleh dihitung telunjuk. Sehingga debu jalan hanya sesekali saja terbang ke udara, masuk ke dalam mobil.
Selain jalan yang sepi, perumahan penduduk juga jarang. Hanya ada beberapa ‘tumpuk’ kampong. Penduduk yang nampak di pinggir jalan juga tidak banyak. Dapat dihitung satu dua. Entah, mungkin orang kampung lagi di ladang waktu itu, mungkin juga lagi cari kayu, atau entah apa.
Awal bulan lalu, saya kembali melewati jalan ini. Kebetulan dalam perjalanan dari Kuching ke Pontianak, sopir bis memilih mencoba jalur ini. Banyak-banyak bis yang saya tumpangi, lebih memilih jalur pantai barat, melalui Ngabang - Pinyuh - Anjungan.
Saya tahu dari sopir, mereka sebenarnya enggan melalui jalan ini karena di beberapa bagian, jalan tersebut masih jelek, bergelombang dan berdebu. Saya kira, beberapa kilometer dari kawasan simpang tiga Tayan hingga ke arah Teluk Bakung, Ambawang, jalannya masih parah sekali.
“Jalan masih jelek sekitar 30 kilo,”kata sopir.
Kalau bukan karena itu, pasti mereka lebih memilih jalur ini ketimbang jalur Ngabang. Jalur Ngabang lebih jauh dan padat lalu lintasnya.
Walaupun sopir tidak suka memacu bis di jalur ini, karena kenyamanan mereka terganggu, rasanya, saya merasakan nyamannya jalur ini. Nyaman karena perjalanan naik bis agak singkat. Lebih cepat sampai. Hitung saja, kami berangkat dari Kuching pukul 10.00 seharusnya (biasanya) sampai di Pontianak pukul 19.00 atau lebih. Malam harilah pokoknya. Hari itu, kami sudah sampai di Pontianak pukul 16.30. Selisihnya lebih dari 2 jam.
Lebih nyaman lagi, bis yang saya tumpangi hari itu adalah bis yang ber-ac.
Jadi, walaupun sebenarnya, debu jalan yang sekarang jauh lebih banyak dibandingkan waktu dahulu itu. Namun 30 kilometer jalan yang masih jalan tanah lapisan debunya tebal sekali. Ketika bis lewat, debu yang naik macam asap. Saya tidak bisa bayangkan jika bis yang saya tumpangi itu bis yang sama dengan bis di tahun 2000-an; pasti sesak nafas dibuatnya, pasti tas dan bis akan penuh debu.
Pasti … Ya, untung bisnya full AC.
Sekarang, lalu lintas sudah ramai. Sebentar-sebentar ada kendaraan yang berlimpasan dengan bis kami. Sebentar-sebentar ada kendaraan yang memintas dari belakang.
Banyak sekali motor yang melintas. Banyak mobil pribadi yang dipacu laju. Banyak truk bermuatan yang lalu lalang.
Selain itu, sekarang banyak sudah rumah penduduk di kiri kanan jalan. Banyak juga penduduk yang nampak di pinggir jalan. Banyak warung yang buka – terutama di ruas jalan yang sudah beraspal – beberapa di antaranya merupakan warung minum dan makanan sederhana. Ada banyak bengkel, pencucian motor dan mobil di Ambawang, ada banyak penyedia jasa ‘semprot karet’ untuk truk karet. Ada beberapa lapak penjualan buah durian, macam di Bukit Seha’.
Saya terpinga-pinga ketika melihat di simpang tiga Ambawang – Tayan – Sanggau, sudah dibangun beberapa rumah dan kerangka ruko yang kokoh. Simpang ini pasti akan menjadi kota baru di kawasan ini, nanti.
Walaupun beberapa perbedaan menunjukkan adanya kemajuan, dan kemajuan yang diperlihatkan di kawasan ini cukup membanggakan, namun, seharusnya, kemajuan yang bisa dicapai bisa diraih lebih cepat dan lebih hebat lagi. Tidak perlu lebih dari lima tahun menunggu. Catatannya, tentu, jika pemerintah mau mempercepat pengaspalan jalan di kawasan ini, dan menjaga agar jalan yang sudah mulus, tetap mulus. Jalan mulus akan menyebabkan lalu lintas di sini lancar. Ini pasti akan menjadi pilihan utama pelintas jalur timur – nantinya juga selatan.
Kalau jalur ini ramai, pasti masyarakat di sekitar Ambawang, Tayan, termasuk di sekitar Sosok, akan menikmati kemajuan yang lebih besar dan lebih cepat lagi. Pasti akan lebih banyak lagi masyarakat yang dapat menikmati kemajuan ekonomi seperti yang dibayang-bayangkan.
Pasti masyarakat akan berterima kasih pada perhatian pemerintah.



Baca Selengkapnya...

Senin, 17 Agustus 2009

Jurnalistik untuk Humas: Yang Terbaik untuk Mereka yang Bersemangat

Oleh Yusriadi


“Alhamdulillah jumlah peserta cukup banyak,”
Nur Iskandar, Pimpinan Redaksi Harian Borneo Tribune yang juga Wakil Ketua Yayasan Tribune Institute memberitahu saya tentang peserta yang akan mengikuti pelatihan Jurnalistik untuk Humas se Kalimantan Barat yang diselenggarakan Tribune Institut, di Pontianak 12-14 Agustus 2009.
“Sudah terdaftar sekitar 15 orang,” tambahnya.

Lantas dia merinci satu per satu asal peserta itu.
Saya kira, jumlah 15 orang untuk sebuah pelatihan sudah cukup banyak. Terlalu banyak peserta, tidak akan maksimal. Jumlah 15 orang akan memudahkan proses bimbingan dan pemantauan. Juga, akan memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada peserta untuk berinteraksi dengan pemandu.
Seringkali pelatihan melibatkan banyak orang tidak akan maksimal. Pemandu tidak dapat menguasai mereka; dan mereka tidak mendapat perhatian. Kesempatan bertanya dan mendapatkan bimbingan juga akan sangat terbatas.
Kalau ada di antara peserta yang ‘aneh’, justru kelas akan hiruk pikuk. Jika tidak, justru kelas akan sunyi senyap karena ada yang sempat-sempat tertidur.
Jadi, kalaupun dipaksakan banyak peserta, kedatangan mereka mungkin tidak banyak manfaat bagi mereka. Mungkin mereka hanya bisa bangga dengan mendapat sertifikat tanda pelatihan.
“Kita harus memberikan yang terbaik untuk peserta”.
Dwi Syafriyanti, Ketua Yayasan Tribune Institute beberapa kali mewanti-wantikan hal itu. Dalam rapat panitia pelatihan dia mengingatkan obsesinya.
“Ini pelatihan perdana kita untuk mereka. Kita harus membuat mereka puas dan terkesan”.
Sebab itulah dalam pertemuan beberapa hari lalu, materi pelatihan dikaji kembali. Dalam rapat yang diikuti peneraju Tribune Institute, antara lain Nur Iskandar, Dwi Syafriyanti, Tanto Yakobus, Muhlis Suhaeri, Caturaini Fahmi, dan saya, kami kemudian menambahkan beberapa materi baru yang berbeda dibandingkan materi yang dikirimkan kepada instansi Humas di seluruh Kalbar sebelumnya.
Materi baru itu antara lain, berkaitan dengan relasi Humas dan Media, Blog dan Internet, serta tentang Apa yang Harus dilakukan Humas ketika berhadapan dengan wartawan. Selain itu, untuk menambah wawasan, peserta juga disajikan tentang perbandingkan etika jurnalistik dan pers di Jerman.
Dwi sendiri yang dijadwalkan menyampaikan materi berkaitan dengan Hukum dan Pers juga merancang materi yang kemas.
“Saya akan mulai dari contoh kasus,” katanya.
Maklum, Dwi sendiri memiliki pengalaman menangani kasus berkaitan dengan wartawan dan pelanggaran hukum.
“Saya harap mereka mendapatkan sesuatu yang berguna dalam tugas mereka. Minimal dapat memberikan advise kepada bosnya jika berhadapan dengan media”.

***

Hari Rabu (12/8), pelatihan dibuka secara resmi oleh Pembina Tribune Institute, WW Suwito. Yel-yel di saat pembukaan itu membangkitkan semangat peserta.
Setelah pembukaan itu, Nur Iskandar bersama Annabelle Schmitt meminta peserta memperkenalkan diri dan mengemukakan tujuan mengikuti pelatihan.
Semangat sekali. Ada yang tujuannya menambah wawasan dan keterampilan menulis. Ada yang ingin mendalami fotografi. Mereka memiliki harapan yang cukup tinggi terhadap pelatihan itu.
Saya kira semangat itu terasa sampai hari kedua pelatihan. Saya masuk ke kelas pelatihan itu untuk menyampaikan materi dasar penulisan berita dan release.
Saya memprovokasi peserta dengan menunjukkan buku biografi Aspar Aswin, mantan Gubernur Kalbar.
“Seharusnya buku seperti ini, yang menulisnya adalah orang-orang di Humas. Sebab, mereka sangat dekat dengan seorang pemimpin. Bukan orang lain”.
Saya kira, tidak seorang peserta pun yang meragukan hal itu. Sebagai Humas mereka memiliki akses yang sangat mudah kepada seorang pemimpin. Humas (seharusnya) selalu dibawa bos-nya ke mana pun bos itu pergi.
“Jika setiap kali bersama bos bisa buat tulisan, maka jadilah buku biografi itu”.
Saya juga menunjukkan kumpulan kliping koran yang saya buat ketika mula-mula bertugas di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.
Bahan-bahan itu menjadi bukti pengabdian, bukti yang akan terus tinggal untuk masa berikutnya.
“Sekalipun 100 tahun kita sudah meninggal, kita akan dikenang orang,” kata AA Mering, pemandu kelas menyampuk.
“Tulisan akan membuat kita abadi”.
Ketika di bagian akhir kelas saya meminta peserta membuat berita berdasarkan bahan laporan panitia, saya tergugah. Mereka mengerjakannya dengan serius. Bertungkus lumus, kata orang Melayu.
Waktu yang diberikan seakan tidak cukup karena perhatian mereka tercurahkan pada bahan-bahan itu.
Bahkan setelah selesai kelas, seorang peserta berbisik kepada saya.
“Saya ingin membuat buku tentang kepala dinas”.
“Oh, ok. Bisa. Saya akan bantu”.
Saya sempat memberitahu dia bahwa saya, bersama teman-teman di Malay Corner STAIN Pontianak menyelenggarakan pelatihan menulis. Hasilnya, buku. Peserta pelatihan itu sudah menerbitkan satu buku. Satu buku lagi akan terbit dalam waktu dekat ini.
“Buat buku biografi juga harus sabar. Tidak bisa jadi sekali tulis. Mungkin waktunya enam bulan atau satu tahun untuk mengumpulkan bahan-bahan tulisan itu sehingga banyak, dan kemudian layak diterbitkan”.
Saya juga mendengar dari Dwi, kemudian, bahwa peserta juga menunjukkan semangat ketika mendiskusikan kasus-kasus pers.
“Waktunya jadi molor”.
Mering yang menyampaikan materi blog dan internet juga mengungkapkan peserta sangat antusias dengan materi itu.
“Malah mereka minta tambah waktunya. Mereka minta besok lagi”.
Pada pertemuan pertama tadi, beberapa peserta yang membawa lap top sudah berhasil membuat blog sendiri.
“Sayangnya tadi internet mati setelah listrik PLN padam. Jadi, terputus”.




Baca Selengkapnya...

Sabtu, 15 Agustus 2009

Buku “… Catatan Guru-guru di Kalbar”: Menggugah Semangat Menulis

Judul: Agama & Pendidikan Agama, Catatan Guru-guru di Kalbar
Editor: Hermansyah
Penulis: Syamsiah, Jaitunah, Abd. Rohman, Azizah, Sanusi, Ahmad Hasbullah, Eutik Nurjanah, HM Taslim, Sujiati, Yuhdi, M. Sidik H Idris, Muswadi, Sakarani, Nuraini, Suparno, Imam Muzaiyin, Nasifah, Nurjanah, Ismail, Mustaim, M. Nasir AK, Suindrawati, Indrawati, Tri Basuki, Masdariah, Habibah, Dayang Halijah.
Penerbit: STAIN Pontianak Press
Tahun: 2009
Halaman: 308+viii



Oleh: Yusriadi

Upaya menggugah semangat menulis guru di Kalbar sering dilakukan. Pelatihan menulis yang melibatkan para guru, kerap kali digelar. Tidak saja pembicara local, tetapi juga pembicara nasional.
Sebagian guru itu, termotivasi. Ada yang terbakar semangatnya. Banyak yang mengaku siap menjadi penulis.



Saya sendiri pernah berhadapan langsung dengan sejumlah guru ketika menjadi pemateri sebuah pelatihan menulis di kalangan guru sebuah sekolah favorit di Kalbar. Ketika itu, saya memprovokasi mereka dengan sejumlah buku – termasuk buku yang ditulis seorang anak sekolah menengah, buku yang ditulis mahasiswa dan buku yang ditulis oleh seorang temenggung di kampung.
Pada waktu itu, saya juga sempat mengingatkan mereka soal kepentingan menulis untuk karir mereka (angka kredit), dan kepentingan menulis sebagai bentuk memberikan keteladanan kepada murid-murid. Saya juga mengingatkan mereka tentang citra kepenulisan sebagai salah satu ciri manusia hidup di era sejarah dibandingkan citra kelisanan sebagai salah satu ciri manusia yang hidup di era prasejarah.
Dalam sehari dua, sebulan dua, nampak jugalah semangat mereka. Saya sempat menerima kiriman satu dua naskah agar dapat dimuat di Borneo Tribune. Tetapi, seiring perjalanan waktu semangat itu padam. Luntur. Tak ada karya yang dihasilkan. Tak ada lagi cerita menulis. Yang ada, cerita masalah-masalah yang mereka hadapi. Lantas, mimpi tinggal mimpi.
Saya sempat menjadi agak pesimis dengan keadaan ini. Berat nian membentuk budaya menulis di kalangan masyarakat. Hatta masyarakat biasa, guru saja yang pekerjaannya seharusnya berkaitan dengan budaya baca dan tulis, susah.
Sudahlah. Nasib agaknya memang begitu.
Harapan saya berkecambah kembali ketika saya mendengar Dekan FKIP Untan Dr. Aswandi bersama SDRC memfasilitasi pembentukan Komunitas Guru Menulis di Kalbar. Komunitas ini deklarasinya Kamis (13/8) lalu. Di tengah harapan besar saya terhadap komunitas ini, saya sempat bertanya-tanya dalam hati: apakah komunitas itu akan bertahan lama? Apakah orang di komunitas itu akan melahirkan karya tulis kelak? Apakah nasib semangat mereka akan sama seperti guru-guru yang pernah saya temui?

***

Optimisme saya berkembang. Semua itu karena saya mendapatkan kejutan besar saat masuk ke ruangan Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak Kamis (13/8).
Di atas meja Ketua P3M Drs. Yapandi Ramli, M.Pd, terdapat sebuah buku baru yang sampul depannya gambar seorang anak sedang menyimak penjelasan seorang guru. Buku itu berjudul “Agama & Pendidikan Agama, Catatan Guru-guru di Kalimantan Barat”. Buku itu terbitan STAIN Pontianak Press ditulis banyak penulis, dengan editor Hermansyah.
Saya sangat tertarik pada buku itu. Maklum, bagi saya buku-buku yang mengangkat isu local selalu menarik. Bahkan, saya pun, kalau buat judul untuk buku selalunya memilih judul “Kalimantan Barat”.
Misalnya, buku Etnisitas di Kalimantan Barat; Budaya Melayu di Kalimantan Barat; Dayak Islam di Kalimantan Barat; Dakwah Islam di Kalimantan Barat; Perjalanan di Pedalaman Kalimantan Barat, dll…
Bagi saya, lokal konten selalu menarik karena data yang ditampilkan adalah data-data lapangan tentang daerah di mana saya berada.
Saya menjangkau buku itu. Saya membaca nama-nama penulisnya. Syamsiah, Jaitunah, Abd. Rohman, Azizah, Sanusi, Ahmad Hasbullah, Eutik Nurjanah, HM Taslim, Sujiati, Yuhdi … hingga terakhir nama Dayang Halijah. Jumlah semuanya ada 27 orang. Mereka semua guru.
Saya rasa, ini benar-benar kejutan. Guru di Kalbar telah menulis. Mereka menulis bersama. Dan kini telah jadi buku. Mungkin, sepanjang yang saya tahu ini adalah buku pertama berisi kompilasi tulisan guru di Kalbar.
Saya kagum, karena mereka ini sudah melampaui batas ‘semangat’. Mereka telah mengatasi hambatan-hambatan dalam menulis. Kesibukan mengajar, kesibukan mengurus anak, dll, dapat mereka atasi.
“Saya tidak sempat mengedit benar-benar,” kata Hermansyah, ketika saya membuka buku ini.
Saya menyimak daftar isi. Daftar isi buku sangat menarik. Misalnya, Penyebaran Agama Islam oleh Muhammad Yusuf Saigon Al-Banjari; Islamisasi di Pesisir Utara; Kehidupan Beragama di Desa Teluk Kapuas; Suasana Pendidikan Masyarakat Dusun Tanjung Sosor, dll.
Saya membaca pengantar editor. Di bagian ini disebutkan bahwa tulisan ini merupakan hasil dari kelas Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah di Kelas Khusus Jurusan Dakwah. Sebagai dosen, Hermansyah mengakui dia telah mengajak guru ini menulis dan kadang kala seperti setengah memaksa.
“Hasilnya, walaupun kadang-kadang setengah memaksa wujud juga tulisan itu. Bahkan, tidak sedikit pula dari mereka yang menunjukkan bakat menulis yang baik”. (Hal. iv).
Memaksa! Saya dapat menyelami lika-liku yang dihadapi editor ini dalam menggarap karya ini. Pasti tidak mudah. Situasi seperti ini pernah saya hadapi ketika menerbitkan tulisan mahasiswa yang mengikuti kelas Feature – yaitu buku cerita “Mimpi di Borneo” dan “Menapak Jalan Dakwah”. Cukup berat. Tetapi, karena kami mengerjakannya dengan semangat, buku itu akhirnya terbit juga. Sekalipun terbitnya terbatas dan kemudiannya di sana sini ditemukan kekurangan.
Namun, terbatas atau kurang, bukan isu penting dalam menumbuhkembangkan budaya menulis.
Yang penting adalah bagaimana karya itu bisa diterbitkan. Dan lebih penting lagi, penerbitan itu akan menjadi kayu api yang membakar semangat sehingga menjadi lebih dahsyat lagi. Bukan saja semangat guru yang sudah menulis, tetapi juga semangat guru-guru yang baru menganggotai Komunitas Guru Menulis Kalbar dan semangat guru-guru yang sempat memiliki semangat semangat menulis.
Karena itulah saya kira, buku ini seharusnya kita miliki dan dijadikan pegangan.




Baca Selengkapnya...

Senin, 10 Agustus 2009

Libur Sekolah di Pontianak

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Rasanya, salah satu hal yang paling diinginkan banyak orang tua sekarang adalah: sekolah diliburkan. Orang tua ingin agar sekolah membuat kebijakan kegiatan belajar diliburkan untuk sementara.
Setidaknya ada dua alas an. Alasan pertama, soal asap.




Saya dengar orang tua bilang: „Pagi ... asap pekat sekali. Terasa benar kalau kita antar anak jam 6“.
„Kita si mungkin kuat. Kasian anak-anak“.
Tentu orang tua yang bilang begitu orang yang tua yang pakai motor. Mereka yang pakai mobil, tentu tidak sempat menghisap karbon itu.
Memang sekolah-sekolah tertentu membagikan masker kepada siswa mereka. Jadi, anak-anak dapat menggunakan pelindung. Namun, orang tua tetap khawatir udara yang tidak sehat menimbulkan dampak terhadap anak-anak kelak, untuk jangka panjang.
Karena itu orang tua cukup senang ketika mendengar pemerintah mengimbau sekolah menggeser jam belajar menjadi agak siang sedikit. Biar kabut asap turun dulu. Tetapi, sampai kemarin, imbauan itu belum dilaksanakan. Maklum, imbauan pun juga baru-baru ini dikeluarkan.
Alasan kedua, soal penyakit.
Banyak anak sekarang ini sakit.
Seorang anak sekolah dasar mengatakan, dari 40 orang temannya satu kelas, ada 15 orang tidak masuk. „Kawan-kawan banyak yang sakit“.
Ada yang demam. Ada yang batuk. Ada yang berak-berak. Ada yang pusing. Kabarnya rumah sakit juga kebanjiran pasien anak-anak.
Memang ada yang bilang anak sakit pada musim sekarang itu biasa.
„Musim buah memang selalu begitu“.
Sekarang musim durian, langsat, rambutan. Musim buah ini yang dipercayai mengundang penyakit. Itu kata orang tua-tua.
Ya, sebenarnya kita percaya, musim kemarin selalu begitu. Musim seperti sekarang memang anak-anak yang paling rentan pada penyakit. Apalagi dalam masyarakat yang air minumnya dari sumber air hujan tadahan teluturan atap; atau dalam masyarakat yang menggunakan air sungai, yang sungai itu selain untuk sumber air minum, juga menjadi tempat mencuci dan buang hajat.
Oleh sebab itu, ada orang tua yang membatasi jajan anak-anak mereka. Jenis es, goreng-gorengan, dilarang. Namun, melarang anak jajan tidak selalu mudah. Diam-diam anak membeli sendiri makan sesuai dengan selera mereka, sekalipun sudah diwanti-wanti. Sulit bagi anak untuk menghadapi godaan. Sebab, begitu keluar kelas, mereka meluru ke halaman dan di halaman sekolah ada banyak pedagang es, gorengan, dan lain-lain. Uang ada, yang jual juga ada. Klop.
Hanya malangnya, karena kebersihan kurang diperhatikan, jajanan menimbulkan akibat buruk pada mereka. Kayaknya tidak ada lembaga yang berkompeten mengurus soal higenitas makanan yang dijual oleh pedagang. Kalau ada, semestinya hal seperti itu sudah dilakukan sejak lama, tidak menunggu anak-anak sakit-sakitan. Sepatutnya, penjual yang tidak memperhatikan kebersihan, dilarang berjualan.
Karena itu, seorang teman bilang, dalam masa sekarang ini meliburkan anak sekolah merupakan cara untuk menghindari anak dari terus jatuh sakit; sambil menunggu kebijakan soal jajanan di sekitar sekolah.
„Kalau anak sekarang diliburkan, rasanya lebih tenang, tidak was-was mereka jajan apa di sekolah“.
Tetapi, tentu harapan seperti ini tidak mudah direalisasikan. Maklum, orang yang terkena dampak hanyalah orang dari golongan rendah yang bersekolah di sekolah yang terbuka – tidak berpagar tinggi. Kita maklum terlalu sulit bagi pejabat untuk berempati pada nasib orang kecil.
Rasanya, kalau pejabat kita masih macam dahulu, rasanya, jangan berharaplah ada kebijakan seperti itu!











Baca Selengkapnya...

Mimpi tentang "Terang Terus"

Oleh Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Minggu ketiga Juli. Saya menerima sebuah pesan singkat yang masuk melalui HP. Seorang teman, peneliti dari Pontianak.
“Bang, maaf, makalahnya terlambat. Boleh nyusul khan?”
Saya segera teringat. Minggu ketiga Juli memang batas akhir “pengumpulan” makalah. Saya minta teman itu membuat makalah untuk sebuah jurnal di Malaysia untuk edisi terbitan akhir tahun. Kebetulan ada peluang.


Kebetulan apa awal Juli bertemu dengan editor jurnal tersebut dan saya meminta peluang – prioritas, untuk tulisan saya dan kawan-kawan. Prioritas karena saya tahu, tulisan kami pasti kalah saing mutunya dibandingkan tulisan ilmuan yang biasa menulis di jurnal itu. Para ilmuan itu, professor dan doctor. Mereka rajin buat penelitian, mereka berkesempatan mengumpulkan data dan membaca bahan penelitian orang lain. Sedangkan saya dan teman, tidak berkesempatan. Kalaupun ada kesempatan, kesempatan itu sangat terbatas. Penelitian jarang-jarang bisa dilakukan. Mungkin soal dana – yang studi-studi lapangan pasti memerlukan biaya akomodasi, dll. Dana pribadi tidak selalu bisa disisihkan untuk itu. Bahan bacaan? Kawan di Pontianak hanya bisa mengandalkan pustakaan pribadi yang koleksi amat terbatas.
Mungkin soal waktu juga satu hal. Mau turun lapangan berarti meninggalkan tugas kantor. Mau turun lapangan perlu izin. Kadang kala soal izin ini rumit. Kecuali main tinggalkan begitu saja. Bolos.
Belum lagi soal cara menulis. Kemampuan kita menulis, masih rendah. Maklum kurang latihan. Buat makalah pun jarang-jarang. Mungkin kalau tidak ada kesempatan tampil di seminar, lupalah kebiasaan menulis makalah. Padahal kesempatan seminar seperti itu amat jarang. Apa jadinya kemampuan menulis jika menulis makalah hanya 2 kali setahun? Pasti rendah. Tidak mungkin keterampilan menulis diperoleh jika tidak biasa menulis. Mungkin satu-satu yang meningkat adalah perasaan mampu menulis, selain kemampuan ‘ngobrol’.
Oleh sebab itu, ketika sang editor itu sedia memberi peluang, saya kira peluang itu adalah kesempatan emas. Kesempatan yang harus diraih dengan serta merta. Pikiran ini yang mendorong saya menghubungi beberapa orang teman untuk mengirimkan makalah ke jurnal tersebut.
“Waduh, kok lambat. Napa?”
Saya mencoba merespon pesan itu. Ingin tahu saja.
“Ga bisa nulis. Listrik mati terus”.
Pada mulanya saya agak tersentak. Maklum, tak terpikir kalau listrik bisa menjadi hambatan produktivitas sehingga teman tadi tidak bisa menyelesaikan penulisan makalahnya.
Tetapi, kemudian saya maklum. Kalbar berbeda dengan Selangor, atau Kuala Lumpur. Di Kalbar listrik memang sering padam. Sudah biasa orang mengeluh mati lampu.
Saya lantas teringat pengalaman seorang guru sekolah dasar di pedalaman lebih lima tahun lalu. Sekolah mereka mendapat bantuan komputer. Bantuan itu disambut dengan suka cita karena memang mereka mendambakannya sejak lama. Mereka di kampung ingin komputer karena melihat orang di kota sudah pakai komputer. Pada mulanya mereka pikir, dengan adanya komputer, kerja mereka makin mudah, semakin cepat. Makin canteklah surat menyurat – setidaknya dibandingkan dengan surat yang ditulis dengan mesik ketik.
Tetapi apa yang terjadi kemudian? Begitu komputer sampai di ruang guru di sekolah, para guru bingung. Listrik tidak pernah nyala pada siang hari. Listrik di kampung hanya nyala pada malam hari, mulai pukul 18.00 – 06.00. Waktu itu, orang lagi istirahat.
Sekian lama komputer tidak digunakan, disimpan saja di sekolah.
Lalu, para guru sepakat (mungkin inisiatif kepala sekolah) komputer itu dibawa ke rumah kepala sekolah, biar bisa dipakai, sekalipun pada malam hari.
Begitu dipasang di rumah, saat menyalakan monitor, tiba-tiba semua lampu mati. Gelap. Daya tidak kuat.
“Saat itu, orang hanya bisa heran. Tidak bisa,” katanya.
“Setelah itu, sampai sekarang, komputer tidak pernah dipakai. Jadi barang buruklah”.
Kalau ingat cerita ini saya rasanya ingin tertawa. Tertawa pada guru-guru itu, tertawa pada kepala sekolah, dan mentertawakan program komputerisasi Dinas Pendidikan. Niat ada, namun, tidak bisa dilaksanakan.
Tetapi cerita itu juga menyadarkan saya betapa suplai listrik sangat menentukan juga produktivitas dan juga kemajuan. Cerita ini menyadarkan saya bahwa PLN membantu orang mencapai peradaban. Dan, peradaban itu belum bisa ditapaki orang sekarang ini karena PLN belum dapat menyediakan jasanya dengan baik.
Jadi, sekarang, bukan hanya di kampung orang kesulitan mendapatkan listrik, tetapi juga di kota – justru di pusat peradaban itu sendiri.
Karena itu begitu mendengar masalah teman di Pontianak yang tidak bisa menyelesaikan makalah tepat waktu, tentu saya jadi maklum.
“O, gitu. Ya, udah mau apa lagi. Mudah-mudahan masih ada peluang”.
Ya, mau apa lagi? Soal listrik di luar kemampuan teman dan kemampuan saya mengatasinya. Tidak mungkin dapat mengatasinya.

***

Komunikasi singkat dengan teman lewat SMS itu membuat saya membandingkan (dan membanggakan Negara lain).
Selama berbulan-bulan saya di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) rasanya baru satu kali ‘ketemu’ listrik padam. Listrik pada karena waktu itu ada perbaikan di pusat bekalan listrik.
Waktu itu saya tidak bertanya lagi, pusat bekalan listrik apa yang dimaksud. Saya kurang tertarik mengetahuinya lebih jauh, dan lagian, saya kira orang yang saya ajak bicara itu tidak mengetahui lebih jauh soal itu. Kalau pun saya bertanya terus, mungkin saya akan mendapat jawaban: Tidak tahu. Tidak tahu. Style orang di sini memang begitu, kalau dia tidak tahu, dia akan bilang tidak tahu, jika tidak mampu dia akan bilang tidak mampu.
Setelah sekali itu, rasanya belum pernah lagi listrik padam. Listrik menyala tiap hari. Tiap hari terang terus. Selama bekerja saya tidak pernah merasa khawatir tiba-tiba data hilang karena listrik padam. Tak pernah.
Lagi, saya tidak bisa bayangkan jika listrik di sini kelap kelip seperti di Pontianak. Mungkin (pada awalnya) orang akan ribut minta ampun. Mungkin orang tidak akan bisa bekerja karena komputer tidak bisa digunakan. Mungkin orang tidak akan betah berada di ruangan karena AC tidak menyala. Ruangan yang tidak punya ventelasi itu akan menjadi kurungan yang panas. Pegawai di sini tidak tahan panas.
“Kapankah kita di Pontianak bisa seperti itu?”
Pertanyaan seperti itu sering kali bergayut dalam benak saya, dan juga di benak teman-teman asal Pontianak yang belajar di Malaysia. Keadaan listrik yang terang terus di Malaysia telah membuat kami iri. Suplay energi itu benar-benar terjaga. Pemerintah benar-benar peduli dengan kebutuhan dasar itu.
Saya pernah mendengar cerita, tahun 1996, ketika saya pertama kali belajar di Malaysia, seorang professor di sana bilang bahwa beberapa waktu sebelum itu Kuala Lumpur dan Selangor, listrik mati selama beberapa jam. Lantas masyarakat ribut. Orang komplen. Mereka bercerita soal kerugian. Hingar binger ini diterima direktur perusahaan listrik dengan jantan. Dia mengundurkan dirinya.
“Dia merasa tidak sanggup menyelesaikan persoalan itu. Dia mundur,” kata professor itu.
“Di Pontianak, listrik mati terus pun mana ada peduli,” tambahnya.

***

Di Pontianak, pernahkah orang yang bertanggung jawab terhadap listrik merasa tidak mampu bekerja?
Entahlah. Rasanya tidak pernah kita dengar hal itu di ruang publik. Bahkan secara tersirat kita mendengar mereka orang-orang yang bertanggung jawab menyediakan suplai listrik untuk masyarakat selalu menganggap mereka sangat mampu. Bahkan sesekali kita mendengar mereka menyebutkan persoalan listrik yang kelap kelip itu, bukan persoalan mereka, sekalipun urusan listrik itu di tangan mereka.
Kita bisa bercermin pada ironi yang muncul di ruang publik di Pontianak.
Kalau ada listrik padam, masyarakat kota lantas teringat pernyataan orang PLN, bahwa yang bikin lampu padam itu kelayang. Masyarakat kota masih mengingat hal itu. Bahkan, ungkapan itu sering dikembalikan kepada PLN bila listrik tiba-tiba mati di malam hari.
“Aduhh…. Masak si orang main kelayang malam-malam?”
Hal seperti itu tentu saja menjadi aneh. Aneh karena masalah ini berkelanjutan. Apakah persoalan main kelayang tidak dapat diatasi? Apakah pemerintah tidak memiliki cara menghadapi para pemain kelayang – agar tidak ada lagi gangguan itu?
Sesungguhnya masyarakat kota tidak percaya dengan alasan ini. Saya pun juga sulit mempercayainya. Sebab, jika benar-benar tali kelayang yang bikin kita sengsara kegelapan, mengapa pemain kelayang tidak benar-benar ditangani? Masakan pemain kelayang tidak bisa diatasi. Bagi saya orang awam, cara mengatasinya sederhana: Tangkap pemainnya. Kurung mereka beberapa hari, kenakan denda yang besar – agar sesuai dengan kerugian yang mereka timbulkan dari permainan itu. Apakah Pol PP tidak sanggup mengerjakan itu? Rasanya mereka pasti sanggup. Pasukan mereka cukup gagah dan kuat untuk memburu para pemain, seperti gagahnya mereka ketika menertibkan lapak pedagang dan bangunan tak berizin.
Selain itu, Jaksa pasti dapat menuntut pelaku dengan tuntutan yang sepala, dan Hakim pasti dapat menjatuhkan putusan yang adil untuk pertimbangan kebaikan masyarakat yang lebih luas dan besar.
Tetapi mengapa sampai hari ini masalah listrik tidak bisa di atasi? Tentu sulit menjawabnya.
Sebenarnya kita ragu karena kita juga mendengar kabar bahwa persoalan listrik bukanlah tali kelayang. Ada yang bilang persoalan listrik karena soal mesin. Kataya, mesin sudah tua. Sering rusak. Setahun lalu kita sempat ditunjukkan alat-alat yang pecah itu ketika menjelang puasa juga, listrik macam orang sekarat.
Kalau benar soal mesin, mengapa bisa begitu? Mengapa mesin tidak bisa diganti? Mengapa mesin baru tidak bisa diperoleh?
Jika soal biaya, tidak adakah sumber dana yang bisa digunakan untuk itu? Dalam bayangan saya, jika dananya besar, seharusnya dana bisa dikumpulkan bertahun-tahun. Jika dana besar, seharusnya ada investor yang dapat membantu: sebab bisnis listrik pasti mendatangkan uang. Bisnis listrik tidak mungkin tidak dibeli orang. Mahal bagaimana pun, listrik tetap akan digunakan orang. Justru seharusnya, dana subsidi rakyat yang kononnya diberikan untuk bayar listrik, dapat digunakan untuk menambah modal mendapatkan mesin baru.
Tetapi kembali kita ragu, sebab kenyataannya, ketika krisis listrik di Kalbar terjadi setahun lalu, ada pejabat PLN yang mengatakan tak usah terlalu cemas, krisis bukan hanya di Kalbar tetapi seluruh Indonesia. Jadi di tempat lain yang orang tidak main kelayang pun listrik juga sering mati. Di tempat lain yang keadaan mesinnya kita tidak tahu, juga mati.
Sungguh membingungkan.
Oleh sebab itulah saya sempat berpikir, krisis listrik mungkin terjadi karena ada politik listrik. Mungkin ada sebab-sebab yang diciptakan, yang diatur, untuk motif-motif tertentu. Hanya motif itu yang belum terbuka kepada publik.
Pikiran itu sempat menggelinding pada kejadian sebuah perusahaan pemerintah di Sambas. Sekarang ini direkturnya dituntut karena menyalahgunakan bantuan. Seharusnya banyak uang digunakan untuk membeli oli agar mesin pompa bisa digunakan, namun yang digunakan hanya sedikit saja. Seharusnya bantuan itu digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada rakyat, namun amanah itu tidak disampaikan. Kasus ini terkuak karena diributkan aktivis LSM. Ditekan terus. Jika tidak, mungkin kasus ini pun akan senyap begitu saja. Orang pasti tidak mengira suplai air yang terbatas rupanya bukan karena air asin atau karena mesin pembangkit yang rusak, tetapi, karena mesinnya tidak bisa dioperasikan karena penyelewengan, karena ada pejabat yang tidak amanah.
Ini memang baru contoh kasus. Tetapi, banyak contoh kasus yang lain – baik yang sudah terbuka kepada publik, maupun yang masih samara-samar karena ada yang pandai menutupi.
Memang bukan kasus di PLN. Namun, kasus ini membuat kita belajar banyak. Hal seperti inilah yang membuat kita sering kali ragu apakah benar Negara ini diurus dengan benar? Apakah benar Negara ini memperhatikan rakyatnya.
Kita menjadi ragu karena masak hal seperti ini tidak ada jalan keluarnya. Masak mereka tidak tahu betapa menderitanya rakyat kecil karena tidak adanya suplai listrik. Masak mereka tidak mendengar betapa seringnya masyarakat mengeluhkan hal itu.





Baca Selengkapnya...