Minggu, 30 Agustus 2009

Kue Jongkong

Oleh: Yusriadi

“Jongkong”
Sebuah tulisan menggunakan spidol warna hitam di kertas karton warna kuning ditempelkan di sebuah lapak di gerai Ramadan di Hentian Kajang, Selangor.
Tulisan itu tidak mencolok mata. Maklum tempelannya agak di bawah, tertutup orang ramai yang lalu lalang di depan gerai. Orang yang mengunjungi lapak itu sungguh ramai. Berdesak-desakan. Perhatian orang tentu lebih pada makanan di atas meja, dibandingkan memperhatikan bagian bawah meja.
Saya kebetulan saja melihat tulisan itu. Kebetulan karena saya melewati meja itu saat menerobos kesesakan berbelanja makanan di hari kedua Ramadan kemarin. Jika saya berjalan agak di tengah kerumunan, tentu saya tidak akan nampak tulisan itu.
Saya berhenti di lapak itu.
“Kue Jongkong?”




“Ya, kuih Jongkong”.
Saya membelek-belek kue yang berbungkus daun pisang. Kemasannya seperti kue ‘nagasari’. Hanya bentuk kemasan Jongkong lebih besar dan tinggi.
“Kue daerah mana?”
“Mana-mana ada”.
Saya berusaha mengingat. Rasanya tidak terlintas dalam bayangan saya tentang asal muasal kue itu. Dalam bayangan saya, seharusnya, kue itu beraasal dari daerah tertentu: mungkin seperti laksa kedah, tom yam Thailand, atau pisang salai Batu Ampar, amplang Ketapang, lempok Sukadana, temet Kapuas Hulu, empek-empek Palembang. Saya menyesal, karena merasa benar-benar ketinggalan informasi tentang asal muasal kue yang ‘kedengaran populer’ ini.
“Saya asal Jongkong, tetapi tempat kami tak ada kue macam ni”.
Saya memberitahu penjual itu. Lelaki berusia 40-an tahun itu hanya tertawa. Ya, saya berasal dari Jongkong – tepatnya kecamatan yang beribukota Jongkong sebelum pemekaran menjadi Kecamatan Batu Datuk-- di Kapuas Hulu. Saya sekolah di kota kecamatan ini selama 6 tahun.
Tetapim lagi-lagi saya harus kemukakan ketololan saya, bahwa saya tidak tahu pasti asal usul nama Jongkong. Ada yang bilang jongkong itu berarti duduk menjongkong, sebutan untuk menunjuk posisi orang buang hajat di pinggir sungai. Ada juga yang bilang itu nama pohon, yaitu jenis pohon yang tumbuh di kawasan ini. Tetapi, saya tidak pernah yakin mana yang benar-benar dirujuk kepada asal usul Jongkong.
Saya juga tidak tahu ikon Jongkong itu apa. Rasanya tidak ada. “Temet” yaitu nama lain kerupuk basah, juga dikenal di tempat lain, tidak saja di Jongkong.
Ini pula’, ada kue nama Jongkong di tempat yang jauhnya ribuan kilometer dari Jongkong. Tentu unik.
“Kuenya dari apa bahan apa?”
“Tepung beras, santan, gula merah”.
Saya berusaha mengingat bahannya. Namun belum ada bayangan seperti apa bentuk kue yang masih terbungkus daun pisang ini.
“Cobalah”.
Saya mengangguk.
“Ya. Nanti. Saya mau jalan sana dahulu”.
Saya melanjutkan perjalanan melihat gerai lain. Melihat kue-kue dan makanan berbuka lainnya yang dijual di gerai. Orang ramai sekali. Bukan hanya orang Melayu, tetapi saya lihat juga orang putih, orang Cina dan India. Agaknya orang bukan Islam juga mengambil kesempatan berbelanja di gerai Ramadan.
Setelah sampai di ujung gerai, saya kembali ke tempat penjualan Jongkong lagi.
Saya mengambil satu. Saya mengangkatnya, membelek-belek, ingin melihat dari luar. Saya mengutis-ngutis sedikit bungkusannya. Niatnya, mengintiplah!
“Jangan dibalik. Nanti tumpah. Ada kuah”.
Penjual menegur saya. Saya sedikit kaget, lalu meletakkan satu bungkus Jongkong di depannya. Saya jadi makin penasaran, kok ada kuah, kue seperti apa?
“Ini?”
Penjual itu memasukkan Jongkong ke dalam kantong plastic putih.
Saya memiih lima bungkus. Jumlahnya yang sama dengan jumlah orang di flat. Biar makannya bisa satu-satu.
“Nanti masukkan dalam peti sejuk sebelum dimakan buka puasa. Makan sejuk lebih sedap”.
Dia memberi petunjuk. Sambil saya menunggu pengembalian uang, saya dengar penjual itu menawarkan Jongkong kepada calon pembeli.
“Jongkong… Jongkong… Jongkong”.
Gayanya seperti kondektur tiket di terminal di Pontianak.
Saya permisi. Permisi dengan penasaran membayangkan seperti apa bentuk makanan yang namanya seperti nama daerah tempat saya belajar dahulu.
Sampai di flat, saya segera memasukkannya ke dalam kulkas – peti sejuk, biar lebih cepat sejuk. Saya kira 10 menit cukup membuat makanan ini dingin.
Ketika masa berbuka tiba, saya mengeluarkan Jongkong dari peti sejuk. Dan mengangsurnya kepada teman-teman yang lain.
Saya membukanya.
O… Bentuknya seperti bubur. Beda dengan yang saya bayangkan semula. Saya memerlukan sendok untuk menyantapnya.
Teman saya, Bang Jumadi juga membuka bungkusan daun pisang itu.
Dia lebih dahulu mencicipinya.
“Ini … macam … bubur ati pari’”.
Saya mencicipinya.
“Ya Bang, ati pari’”.
Saya tertawa.
“Ini rupanya kue Jongkong”.
Kue yang rupanya mudah dijumpai di Kalbar. Tetapi ini, karena namanya yang berbeda, membuat saya sempat penasaran.
Saya kira mungkin lebih baik kalau orang Jongkong menggunakan nama ini untuk memunculkan ikon baru mereka. Siapa tahu Jongkong di Jongkong akan lebih terkenal dan digemari, kelak.
“Tau ccuba bah menyadik”.




4 komentar:

en_me mengatakan...

salam pak yusri ittewww..
kebetulan me pun ternampak kueh jongkong di johor bahru kelmarin (semalam yg sebetulnya) semasa mencari juadah berbuka.. si penjual bilang cuma ada di johor dan disabah.. me pun penasaran juga, tapi me tidak membelinya..

tapi kenapa pak yusri tidak meletakkan gambarnya di blog ini, bisa kita melihatnya sama-sama..

Kupang mengatakan...

Dear Sir;

Do you know how tom contact keturunan raja2 Kapuas Hulu?
I read,that f.i. now the raja Jongkong is Abang Abdullah gelar Pangeran Haji Gusti Alam.
I am trying to do some researches on it for an encyclopedy about the kerajan2 of Indonesia.
I have old picures and info of the raja2 Kaouas Hulu.

Thnank you.

Salam hormat:
DP Tick
gRMK/Pusaka
http://kerajaan-indonesia.blogspot.com

Yusriadi mengatakan...

Salam To DP Tick

Saya senang mendengar kabar dari tuan. Semoga rencana tuan membuat ensiklopedia kerajaan2 di Indonesia, berhasil.
Kalau mau kontak dengan mereka, bisa cari di Jongkong. Ada beberapa keturunan bangsawan di sini.
Mereka masih memakai gelar itu.

Kupang mengatakan...

Dear Sir;

Thank you for your reaction.
Can you also speak English?I can speak Indonesoan.So,I hope you can help me to get into contact with the dynasties of the Kapuas Hulu areas.Thank you.

Salam hormat:
DP Tick
pusaka.tick@tiscali.nl