Senin, 21 Desember 2009

Ketika Sekda KH Ditahan

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Sekda Kapuas Hulu, MS, ditahan. Itulah bunyi berita utama surat kabar di Kalbar, tiga hari lalu. Sumbernya sama, Direktur Reserse Polda Kalbar, Kombes Pol Rafli yang menggelar konferensi pers Selasa (1/12).
Malam sebelumnya (Malam Rabu), saat mendengar kawan di redaksi membicarakan berita Sekda KH ditahan, saya sempat terkejut.
“Benarkah berita itu?”
Saya sempat tidak percaya. Banyak sebab yang membuat saya tidak percaya. Tantra, wartawan di Borneo Tribune yang menulis berita itu membenarkannya. “Benarlah Bang. Ini hasil konferensi pers Polda,”



Dia menunjukkan document konferensi pers yang dipegangnya. Saya membacanya. Laporannya jelas. Ada laporan dari masyarakat. Proyek ini memiliki nilai total sebesar Rp4.938.212.000 di mana pencairan dana proyek tersebut dilakukan dari tahun 2004-2006.
Pada tahun 2004 proyek tersebut dengan nilai Rp1.399.700.000 dilakukan penunjukkan langsung oleh Ms yang saat itu menjadi Kepala Dinas Kimpraswil Kapuas Hulu kepada Direktur PT KKM, Sur alias Yan.
Kemudian pada tahun 2005 dilaksanakan kembali proyek yang sama dengan nilai proyek Rp542.373.000 melalui penunjukkan langsung kepada kontraktor PT Basnia milik anak tersangka Sur.
Di tahun 2006, juga dilaksanakan proyek yang sama yaitu pembuatan ruas jalan Bunut-Mangin Kecamatan Bunut Hilir dengan nilai proyek Rp2.996.139.000.
Meski dana proyek sudah dicairkan 100 persen tapi pengerjaan pembangunan ruas jalan tersebut asal-asalan bahkan ruas jalan tidak dapat digunakan untuk lalu lintas kendaraan baik roda dua maupun roda empat.
Akibatnya, menurut saksi ahli dari BPKP kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp1.751.690.633 terdiri dari kerugian proyek tahun 2004 sebesar Rp932.710.956 dan proyek 2006 sebesar Rp818.979.677.
Kata Rafli, sampai sekarang masih ada tiga jembatan yang seharusnya dibangun tapi tidak dibangun dan jalan sepanjang 3,2 kilometer belum dilakukan pengurukan namun pengerjaan dinyatakan selesai 100 persen.
Saya tersandar. Masih kaget.
“Kok begini?!”
Saya masih tidak mempercayai jika MS yang melakukan korupsi. Saya memang tidak mengenal MS, tetapi, saya sering mendengar namanya. Istrinya, mertuanya (dahulu), saya kenal. Mereka orang yang terpandang dan sangat kami hormati. Jadi, rasanya tidak mungkin.
Teman saya yang (agaknya) mengenal MS mengatakan MS dikenalnya juga sebagai orang baik. Tidak rakus. Tidak ada track record yang buruk.
Lalu? Entahlah. Saya mencoba memahami duduk persoalannya dengan apa yang mungkin terjadi. Aha… saya jadi teringat beberapa orang yang terlibat dalam pusaran system kekuasaan. Sangat runyam dan sering mereka mengeluh: “Tidak mampu!”
Pusaran kekuasaan itu menyebabkan administrasi dan pekerjaan proyek kadang tidak bisa mengikuti prosedur dengan sempurna. Pasti ada bypass di sana-sini. Baik soal administrasi, maupun soal lain. Ada banyak factor X yang harus dihadapi. Seorang pejabat kadangkala harus pandai berada di celah yang kompromistis. Jika nasib baik, selamatlah dari pemeriksaan, jika tidak, tentu ada konsekuensinya. Jadi, pandai-pandailah bermain dengan nasib.
Abang saya yang sering terlibat dalam proyek sering mengatakan prinsipnya. Kita tidak perlu takut dengan pemeriksaan. JIkapun yang kita lakukan dipersalahkan karena alas an tertentu, yang penting jangan kita makan uang itu. Intinya, jangan ambil uang Negara untuk diri sendiri. Tetaplah jujur, apapun keadaannya.
Tentu harus kuat. Kalau tidak, godaannya akan terus muncul dan godaannya sangat besar. Orang bisa kaya dengan kekuasaan proyek. Tetapi, orang juga sering sengsara karenanya.
Itulah yang terjadi pada MS sekarang. Lepas dari apapun kesan baik terhadapnya, dia sekarang ditahan. Secara formal, begitulah masalahnya. Dia memang harus bertanggung jawab karena itulah tanggung jawabnya sebagai pejabat yang memutuskan secara formal. Dia harus berani menghadapinya. Sama beraninya ketika dia memilih masuk dalam jaringan penguasa.


Baca Selengkapnya...

Cerita Teman

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Tiga hari lalu. Seorang teman menemui saya. Kami berbincang sedikit soal pekerjaan dan lain-lain. Lalu, sampailah pada –agaknya, pokok persoalan mengapa dia datang bertemu saya.
“Minta tolong tawarkan rumah saya. Mau dijual. Harganya Rp60 juta”.
“Dijual? Kenapa?”
“Ya, dijual. Mau ngontrak”.
“Heh!!!”
Spontan, saya terkejut. Tentu saja ini agak aneh. Rumah dijual, tetapi pilih ngontrak. Apa tidak repot.



Eit… tapi, kemudian saya jadi teringat, saya juga pernah berpikir begitu. Saya pernah ingin mengontrak rumah. Sebab utama, antar jemput anak sekolah sekarang jauh. Anak saya ada tiga orang yang bersekolah di sekolah yang sama, namun jam masuknya beda. Ada yang masuk pagi jam 07.00 WIB keluar jam 09.30 WIB. Ada yang masuk jam 09.45 WIB keluar jam 11.45 WIB. Dan, satu lagi masuk jam 12.45 WIB, keluar jam 16.50 WIB. Repot. Jarak rumah – sekolah, 20 menit pakai motor. Saya ‘terpaksa’ menyekolahkan anak di sana, karena itu sekolah agama. Saya pilih sekolah agama agar anak bisa belajar agama lebih banyak. Saya tidak dapat membekalinya dengan pengetahuan agama yang baik.
Karena pertimbangan begini, beberapa tahun lalu, saya sempat berpikir begitu, biar tidak repot benar antar jemput budak sekolah.
Jadi, ingat hal itu, saya seharusnya tidak buru-buru mengatakan pilihan teman saya mengontrak itu aneh. Benar. Saya harus mengetahui latar belakangnya dahulu, baru ngomong.
“Ceritanya gimana?”
Lantas teman saya menceritakan masalah yang dihadapinya. Intinya ada persoalan dalam rumah tangga. Antara dia dan istrinya sudah tidak ada komunikasi. Baik komunikasi verbal maupun komunikasi fisikal. Dia, karena pekerjaannya --‘swasta’, menjalani kehidupan tidak menentu dan tidak teratur. Jenis pekerjaan ini menambah runyam urusan rumah tangga mereka.
Istrinya sudah tidak tahan terhadap keadaan mereka. Istri lebih banyak keluar meninggalkan anak di rumah. Prilaku istri begini telah membuat teman saya tidak tahan.
Walaupun baru mendengar sepihak, saya –rasanya- dapat menyelami masalah mereka.
Tentu setiap orang ingin kehidupannya berjalan normal, baik; itulah yang orang cari melalui perkawinan. Orang ingin bahagia; itulah yang dicari orang yang memiliki pasangan. Setiap orang ingin rumah menjadi syurga; itulah yang diimpikan.
Jika kemudian dalam rumah tangga, neraka yang diperoleh; jika kemudian dalam rumah tangga, tekanan yang didapati, mengapa harus dipertahankan. Karena justru, kisruh rumah tangga juga tidak baik. Tidak baik bagi suami istri, juga tidak baik untuk anak. Anak melihat orang tuanya ribut. Anak akan mendapat model yang buruk. Orang tua akan kehilangan wibawa di mata anak. Bahaya besar jika anak tumbuh di lingkungan rumah tangga yang ibu atau ayahnya tidak berwibawa.
Saya juga menemukan banyak anak yang berkembang dari orang tua tunggal bisa sukses. Pada intinya, bukan soal tunggal atau utuh, soalnya adalah bagaimana pendidikan anak ditangani.
Saya jadi ingat cerita teman saya lainnya. Macam-macam ceritanya. Bermacam-macam warnanya. Baik yang kemudian mereka berpisah, maupun yang kemudian mereka mencoba bertahan dan membaik. Episode kehidupan mereka setelah itu juga macam-macam. Ada yang berpisah dan menimbulkan penderitaan baru. Ada juga yang berpisah dan menemukan kebahagian baru. Ada teman yang bertahan dan berhasil memperbaiki keadaannya, ada juga yang bertahan dan tetap bergelimang dengan penderitaan yang dialami. Penuh kutukan.
Kisah-kisah mereka juga telah menimbulkan beragam pandangan dan penilaian. Ada yang melihatnya positif, ada yang melihatnya negatif. Kedua-dua pandangan itu mau tidak mau harus didengar. Kritikan dan celaan dari mulut yang runcing dan lidah yang tajam, akan sampai juga ke telinga.
“Kalau kamu sudah mantap dengan keputusan, ambil saja. Tak usah terlalu peduli dengan suara orang. Toh, orang lain hanya pandai membicarakan masalah kita. Hanya sekadar cakap!. Mereka tidak menjalani kehidupan yang kita jalani. Mereka sebenarnya tidak mencari jalan keluar membantu kita. Bahkan, mereka sebenarnya tidak memperhatikan kita”.
“Tapi, kamu juga harus menyadari, tidak ada kehidupan yang berjalan mulus. Tidak ada laut yang tak bergelombang. Ada dinamika. Kadang menyenangkan, kadang tidak. Jadi kalau bisa bersabar, bersabar, berusaha dan berdoa”.
Itulah pandangan yang saya sampaikan padanya. Saya tidak tahu, apakah pandangan saya benar, atau tidak. Apakah pandangan saya akan dipikirkan oleh teman saya atau tidak. Saya juga asal cakap. Sekadar merespon cerita teman. Daripada diam. Saya juga sama seperti orang lain yang bermulut runcing. Lidah memang tidak bertulang.



Baca Selengkapnya...

Senin, 30 November 2009

Pohon Buah Sutarmidji

Oleh Yusriadi

Gagasan Walikota Pontianak agar warga kota melakukan penghijauan dengan menanam pohon buah-buahan merupakan gagasan sederhana, tetapi, besar.
Sederhana, karena penghijauan mudah diucapkan, mudah digagaskan dan mudah dilakukan. Lahan ada. Pohon tinggal tanam. Masyarakat sebenarnya, rajin-rajin. Biasa be orang menanam.




Gagasan itu juga besar, karena saya bisa membayangkan dampak positifnya. Hasilnya. Kota akan menjadi hijau. Jalan kota akan rimbun oleh pepohonan. Penduduk kota akan merasakan ademnya kota mereka. Penduduk akan sehat karena udaranya segar dan agak bersih. Sekaligus penduduk akan menikmati buah-buah dari pohon yang mereka tanam. Pendudukan akan menjadi ‘semakin’ rajin, karena ada pekerjaan tambahan: merawat pepohonan. Bak kata, gagasan ini seperti kata pepatah, “Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui”.
Saya menyampaikan apresiasi yang besar terhadap upaya ini.
Sudah lama saya memimpikan kota yang adem dengan penghijauan. Rasanya, Pontianak telah banyak kehilangan hutan kota menyusul pohon-pohon yang ditebang dan diganti dengan perumahan. Malangnya perumahan-perumahan dan bangunan baru tidak semuanya ada pohon penghijauan. Jadinya, sudut kota menjadi sangat gersang rasanya.
Saya selalu membandingkan ketika di tahun 1989 saat saya ke Pontianak, hingga beberapa tahun kemudian, saya masih sempat merasakan rerimbunan pohon di sepanjang Jalan Rais A Rahman, Jalan Kom Yos Sudarso, Jalan Penjara dan Jalan Merdeka.
Cukup banyak pohon besar di pinggir jalan.
Jika sudah lewat di jalan tersebut, adem banget rasanya. Sejuk dan nyaman.
Tetapi, kemudian satu persatu pohon tumbang. Ditebang. Saya tidak tahu apakah kebijakan penebangan pohon di pinggir jalan itu kebijakan pemerintah (dinas pertamanan) atau pandai-pandai warga.
Lalu, beberapa tahun lalu pemerintah melakukan penghijauan menyusul program penanaman sejuta pohon. Pohon yang ditanam, antara lain jenis sengon dan pohon hutan lainnya.
Saya sempat berdiskusi dengan salah satu calon wakil walikota dalam Pilwako lalu soal penghijauan kota. Dia lebih suka penghijauan dengan sengon, dan dia menyebutkan keuntungan tanaman sengon.
Saya tidak sependapat dengan beliau. Mungkin karena saya tidak mengerti sengon.
Menurut saya, penanaman pohon pinang untuk penghijauan kota lebih baik. Pohon pinang sangat familier di tengah masyarakat. Pohon ini juga sederhana. Sampah daunnya tidak terlalu banyak, dan buah pinang memiliki nilai ekonomi dan social. Batang pinang juga besar manfaatnya.
Saya membayangkan jika setiap gang ditanami pinang. Lingkungan akan rimbun. Lalu, jika pinang berbuah, RT di gang itulah yang boleh memungutnya dan menjualnya. Hasilnya, untuk kepentingan bersama. Orang perorang pasti tidak terlalu tertarik untuk mengambil buah pinang. Mana pinang bisa dimakan banyak-banyak? Jadi, konflik yang timbul karena buah pinang ini bisa agak minimun.
Pikiran saya muncul waktu itu, karena saya melihat di ruas jalan di kawasan Danau Sentarum, ditanami banyak pohon nangka. Pohon itu berbuah. Cukup lebat. Buahnya bisa digunakan untuk sayur-mayur masyarakat setempat. Kalau mau.
Saya teringat kebiasaan makan bersama di kampung. Andai saja orang kota mau makan bersama, tentu sayur nangka ini bisa dijadikan sayur pelengkap yang semua orang merasakannya. Kebersamaan yang indah.
Di jalan-jalan ke luar kota, misalnya jalan Sungai Rengas, saya juga melihat ada banyak penduduk yang menanam pisang di pinggir parit. Pisang ini rimbun dan subur. Buahnya besar. Pisang ini membuat lingkungan menjadi teduh.
Kini, Sutarmidji sudah melakukan sesuatu yang menurut saya luar biasa. Sesuatu yang besar. Karena itu, seharusnya kita memberikan apresiasi dan dukungan.




Baca Selengkapnya...

Memahami Orang Lain

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Saya melihat mata kambing itu. Rasanya, tatapan mata itu kosong. Mata itu mengundang iba.
Hati saya terenyuh. “Kasihan kau kambing”.
Kalau turutkan hati, saya ingin memberitahu kambing itu agar lari. Kalau turutkan hati, saya ingin melepaskan ikatan tali di leher kambing itu, agar kambing selamat dari eksekusi.
Saya tahu, hayat kambing itu menunggu waktu. Kehidupannya tinggal hitungan jam. Beberapa saat lagi, setelah salat iduladha, lehernya akan digerek oleh pisau tukang sembelih. Saat eksekusi itu, orang menonton proses sakratul maut, mungkin kebanyakan, tanpa sedikitpun rasa iba. Orang akan melihat detik-detik terakhir kehidupan kambing sebagai tontonan yang biasa.




Tetapi, tak mungkin saya bercakap dengan kambing. Kambing tidak akan mengerti apa yang saya sampaikan. Sebaliknya, saya juga tidak akan mengetahui apa yang kambing embekkan. Komunikasinya juga pasti tidak akan berjalan.
Tak mungkin pula saya melepaskan ikatan kambing dan mengusirnya. Justru mungkin saya yang akan dianggap sebagai orang aneh. Mungkin saya akan dipersalahkan. Akan ditegur. Sekalipun saya yakin saya melakukan hal yang benar. Saya melakukannya atas dasar rasa prihatin saya melihat kehidupan kambing diambil oleh manusia, atas nama kebaikan.
Saya ingat, dahulu saya pernah melepaskan ayam yang akan disembelih. Ayam itu kami tangkap dengan susah payah. Kami mengepungnya, kami mengejarnya. Ayam berusaha melarikan diri. Ayam juga berteriak. Entah apa arti teriakannya. Tiada seorang pun di antara kami yang tahu. Waktu menangkap, saya hanya tahu, ayam itu harus disembelih karena kami pengin menyediakan lauk yang istimewa untuk tamu yang akan datang. Apa daya ayam, setelah capek dia menghindari, tertangkap juga akhirnya.
Lalu ayam itu dimasukkan ke dalam sangkar darurat. Ayam dikurung di situ menunggu pisau bapak menggorok lehernya. Maklum, saya, walaupun sudah bujang babah – sebutan untuk anak yang mulai menjadi lelaki besar, tidak berani menyembelih ayam. Semula saya mengikuti perintah emak. Namun kemudian, saya jadi berpikir lain. Kasihan sungguh ayam itu. Saya membuka sangkar darurat itu. Ayam keluar. Dia menggerakkan badan dan kepalanya. Seperti atlit yang sedang melakukan pemanasan ringan. Saya melepaskan ayam itu dengan perasan bangga, bangga bisa menolong ayam itu terlepas dari ajalnya.
Ketika Emak melihat ayam itu tidak ada lagi di dalam kandang darurat, beliau bertanya. Saya katakan apa yang saya lakukan.
“Kasihan Mak, ayam itu”.
Emak tidak marah (justru kemudian saya tahu beliau bangga pada saya, karena itu). Beliau hanya nampak heran.
“Adat ayam begitulah. Memang untuk dimakan kita manusia”.
Kata Emak lagi, justru ayam yang kita sembelih itu akan masuk syurga. Kalau ayam mati sendiri, belum tentu ayam itu akan masuk syurga. Saya jadi terbayang, ayam-ayam kami yang sering ditangkap elang, ular sawa, musang. Ayam-ayam juga sering mati sendiri karena penyakit sampar.
Ohh. Saya baru tahu itu. Penjelasan Emak, cukup membuat saya mengerti. Saya mempercayai Emak.
Apa yang terjadi pada cerita penyembelihan kurban juga begitu. Saya kira, kisah Ibrahim juga yang membuat orang tidak merasa perih melihat binatang kurban merenggang nyawa. Seperti yang sering kita dengar, Ibrahim melakukan penyembelihan anaknya, merupakan bentuk ketaatan, kepatuhan kepada Tuhan. Ibrahim melakukan penyembelihan terhadap Ismail adalah bentuk kebaikan sebagai seorang yang taat. Karena itu Ibrahim melupakan soal tega tidak teganya. Orang Islam menganggap justru Ibrahim merupakan sosok yang luar biasa karena rela mengorbankan anaknya demi tuhannya.
Sementara, orang lain menganggap apa yang dilakukan Ibrahim adalah kegilaan. Kegilaan seorang tua yang tega menyembelihkan anaknya. Orang semakin yakin Ibrahim gila ketika dia bertakbar dan bertahmid usai prosesi penyembelihan itu. Istrinya, juga sempat mengira begitu, hingga kemudian melihat Ibrahim pulang bersama Ismail.
Ya, begitulah, banyak hal dalam kehidupan manusiawi yang berjalan seperti itu. Pandangan kita berbeda dibandingkan pandangan orang lain, karena kita dan orang lain melihatnya dari sudut yang berbeda. Apa yang kita lakukan sering dikritik dan dianggap salah oleh orang lain, karena orang lain melihatnya dari sisi yang lain, sebelum dia mencoba memahami cara kita berpikir.
Mungkin kita juga sering begitu. Kita buru-buru mengeritik dan bahkan membenci orang lain sebelum tahu mengapa orang lain melakukan ini dan itu.


Baca Selengkapnya...

Sabtu, 07 November 2009

Pertanyaan untuk Dosen

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Seorang teman, dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Pontianak, menceritakan, beberapa waktu lalu dia bertemu dengan seorang ilmuan di sebuah perguruan tinggi di tanah Jawa. Pertemuan tidak sengaja. Mereka bertemu dalam seminar. Ilmuan itu menjadi pembicara, sedangkan teman dosen itu sebagai pendengar.
Usai sesi seminar itu, teman dosen menghampiri sang ilmuan. Niatnya ingin bertanya sedikit. Maklum, waktu seminar tadi dia tidak kebagian waktu untuk bicara.
Ilmuan menyambut perkenalan dari teman dosen dengan ramah. Ilmuan itu lantas bertanya asal dia dan apa kegiatan.
“Saya bilang, saya dari Pontianak. Saya juga bilang saya mengajar di sebuah perguruan tinggi”.
“Mendengar itu, dia bertanya, berapa buku yang sudah ditulis?”



Kata teman tadi, dia sempat agak terkejut dengan pertanyaan itu. Maklum, selama ini kalau berkenalan dengan orang, setelah dia menyebutkan pekerjaannya sebagai dosen, biasanya orang bicara tema yang terkait. Maksudnya tidak terlalu peduli dengan status itu. Mungkin, orang pun sudah tahu, dosen itu adalah orang yang mengajar di perguruan tinggi, dll. Kalau pun orang ingin berbasa-basa soal status dosen, biasanya orang akan bertanya tentang matakuliah yang diampu, berapa lama mengajar, dan lain-lain berkaitan dengan kegiatan mengajar.
Pertanyaan ilmuan ini, menurut teman saya, menampilkan kesan yang lain dari yang biasa.
“Untung saja, saya selama ini sudah ada buku. Kalau tidak, wah… gimana menjawabnya”.
Saya yang mendengar cerita teman tersenyum lebar. Saya senyum karena bisa membayangkan situasinya. Pasti seru bertemu dengan orang seperti ilmuan itu. Saya jadi penasaran.
Saya tahu, tentu teman dosen itu bisa sedikit menegakkan kepalanya karena memang selama ini dia sudah menerbitkan beberapa buku. Memang tidak banyak. Tetapi, setahu saya selama lebih 10 tahun dia sebagai dosen, dia sudah punya 4 buku. Dua buku karangan sendiri, satu buku bahan ajar dan satu lagi terjemahan. Jadi kira-kira saja, dosen ini memerlukan waktu hampir 3 tahun untuk satu buku.
Walaupun jumlah itu sangat tidak ideal – karena menurut saya seharusnya, dalam satu tahun, seorang dosen punya satu buku, apapun bentuk dan kualitasnya, tetapi, teman dosen ini masih bisa menyampaikan pesan kepada ilmuan: sebagai dosen, dia memiliki kapasitas. Sebagai dosen, secara akademik, dia cukup berwibawa.

***

Saya sependapat dengan orang yang mengatakan, kewibawaan seorang ilmuan (dosen adalah ilmuan) antara lain dinilai dari karya akademiknya. Baik mutu maupun jumlahnya. Semakin banyak dan bermutu, semakin berwibawa dia. Sebaliknya, seorang dosen yang tidak punya buku, akan kurang wibawanya sebagai ilmuan. Bahkan, ada seorang ilmuan yang pernah mengatakan pada saya, seorang dosen yang tidak punya buku dan artikel jurnal, sama dengan guru biasa. Seorang yang hanya bisa mengajar.
Oleh sebab itu, seorang dosen yang ingin berwibawa dalam dunia akademik, seharusnya memacu diri untuk berkarya sebanyak mungkin dan sebaik mungkin. Baik dengan menulis buku sendiri, maupun menulis bersama-sama koleganya. Beruntunglah seorang dosen yang bisa mencapai taraf itu.
Saya bisa membayangkan betapa beruntungnya teman saya itu bisa berkenalan dengan ilmuan yang demikian. Sebab tidak semua ilmuan berpikir begitu. Kadang kala ada orang yang berpikir, seseorang dosen hanyalah orang yang mengajar di perguruan tinggi. Cukup sebatas itu. Seorang dosen adalah pengajar di depan mahasiswa. Mengajar saja. Tidak perlu meneliti. Tidak perlu menulis.
Biasanya, banyak orang baru sadar bahwa seorang dosen perlu meneliti dan menulis artikel serta buku, ketika membicarakan Tri Dharma perguruan tinggi. Lebih khususnya lagi, ketiga orang membicarakan kenaikan jabatan fungsional seorang dosen. Orang baru sibuk membicarakan (dan mengumpulkan) tulisan ketika kenaikan pangkat membutuhkan kredit point dari aspek penelitian dan publikasi.
Tidak heran ketika kemudian orang menemukan makalah-makalah yang dilampirkan seorang dosen bukan karya orisinilnya. Tidak heran ketika seseorang melampirkan karya akademik yang sebenarnya seakan-akan miliknya sendiri. Tidak heran jika sesekali kita mendengar orang menyebutkan plagiatisasi yang terjadi di dunia akademik.
Saya sering menemukan dosen yang tidak memiliki karya akademik dalam waktu berbulan-bulan. Saya sering menemukan seorang dosen yang beku dalam rutinitas dan aktivitas, sehingga lupa meneliti dan menulis.
Bahkan, saya pernah bertemu dengan seorang dosen yang mengatakan: kalau urusan dengan tulis menulis, itu urusan dosen tertentu. Sedangkan kalau dia, mengurus soal ceramah dan sejenisnya. Akhirnya, karena pandangan ini, dia hamper tidak pernah menulis. Kalaupun diundang ceramah, berbicara di depan orang, dia menyampaikannya secara lisan. Dia tidak membuat makalah untuk forum-forum begitu, sekalipun sesetengah forum agak ilmiah sifatnya. Paling-paling yang dapat dilakukannya hanyalah membuat slide untuk presentasi.
Alasannya, “Tidak sempat buat makalah”.

***

Teman dosen itu beruntung bisa bertemu dengan ilmuan yang bisa mengingatkan dia soal paradigma berpikir orang tentang dosen. Saya katakan beruntung karena ilmuan merupakan orang langka, yang ingat tentang kapasistas seorang dosen.
Ya, kapasitas seorang dosen mestilah seorang yang memiliki kemampuan dan karya dalam konteks tri dharma perguruan tinggi.
Pertama: Pengajaran. Dosen mesti mengajar mahasiswa. Dosen mestilah orang yang dapat mentransformasikan ilmunya kepada mahasiswa di ruang kuliah.
Tetapi, agar mahasiswa tidak ketinggalan informasi, ilmu yang ditransformasikan mestilah ilmu yang actual. Ilmu yang berkembang. Ilmu yang berkembang karena data-data dan informasi yang terkait, terus bertambah.
Tidak pada tempatnya jika seorang dosen hanya mengajar berdasarkan buku panduan yang dipakaikan sejak mula mengajar, hingga mengajar 10 tahun kemudian. Tidak pada tempatnya seorang dosen memberikan informasi kepada siswa tentang kejadian lama tanpa membandingkan dengan kejadian baru.
Kedua: Penelitian. Dosen adalah seorang peneliti. Seorang yang gemar menggali pengetahuan, gemar mencari-cari hal baru. Gemar bertanya dan mencarikan jawaban atas setiap phenomena yang berlegar di sekitar kehidupan. Penelitian, bukan sekadar menggali informasi di lapangan dengan modal proyek dari lembaga. Tetapi penelitian dalam pengertian luas. Pada akhirnya setiap dosen memiliki temuan-temuan khas, temuan yang harusnya diberitahu kepada mahasiswa, agar mahasiswa juga tidak tertinggal informasi.
Temuan itu seharusnya diinformasikan kepada koleganya sesama ahli akademik dan ditransformasikan kepada public. Medianya: buku, artikel di jurnal dan surat kabar. Dalam konteks itulah ilmuan tadi bertanya pada teman saya.
Ketiga: Pengabdian kepada Masyarakat. Seorang dosen, sebagai ilmuan, seharusnya menempatkan diri pada posisi yang berguna untuk masyarakat. Memang kadang ada kesan (di kampus kami), dosen yang mengabdi kepada masyarakat adalah dosen yang diminta masyarakat membaca khutbah dan berceramah. Jadi, kalau tidak berkhutbah dan berceramah, dianggap kurang mengabdi.
Tetapi pandangan ini agak sempit. Sebab ada pandangan umum yang mengatakan seorang dosen dianggap mengabdi kepada masyarakat, ketika dosen yang bersangkutan menunjukkan bahwa dia membantu masyarakat dan berguna untuk masyarakat, baik sesuai dengan bidang ilmunya maupun dalam bidang yang lain.
Oleh sebab itulah, saya kira, seorang dosen mencapai puncak aplikasi tra dharma perguruan tinggi, apabila buku, artikelnya, tulisannya, berguna dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Inilah mungkin yang menyebabkan, mengapa ilmuan itu bertanya pada teman saya dengan pertanyaan yang mendasar itu. Rasanya, saya pun ingin bertanya begitu pada dosen yang akan saya temui di hari-hari mendatang.



Baca Selengkapnya...

Lubang di Kota Pontianak

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Rabu (4/11) sekitar pukul sebelas siang. Saya melewati Jalan Kom Yos Sudarso Pontianak. Lewat sedikit dari Gang Lamtoro, saya melihat sebuah pick up warna putih terperosok di bekas lubang galian kabel fiber optic. Sebelah bannya terbenam. Tidak bisa keluar. Bodi kendaraan jadi ada miring. Untung muatannya – karung-karung dan kardus, tidak tumpah ke jalan.



Kejadian ini memang tidak menarik perhatian orang. Tidak ada orang yang mengerumuni mobil yang lagi apes itu. Orang tidak tertarik untuk melihat kejadian itu, seperti orang tertarik kalau melihat ada kejadian tabrakan, perkelahian, dll.
Orang tidak tertarik karena mungkin pick up yang terperosok itu tidak mengganggu lalu lintas. Maklum, kejadiannya di pinggir jalan.
Lagi, mungkin juga karena kendaraannya agak kecil sehingga tidak nampak-nampak amat.
Saya tertarik dengan kejadian ini. Sesaat saya berhenti. Melihat-lihat dari atas motor.
Saya prihatin pada nasib sopir (mungkin ada keneknya juga). Kesihan sungguh.
Jika saya bawa mobil dan mobil terperosok di lubang itu, mungkin saya akan marah. Kesal. Mungkin saya akan pikir-pikir untuk meminta pertanggungjawaban dari kontraktor yang menangani proyek ini.
Menurut saya, jelas, bahwa kejadian ini, karena lubang yang digali pekerja yang memasang kabel optic itu. Pekerja, dan kontraktorlah yang menggali lubang yang membuat ban mobil pick up itu terperangkap. Mereka telah memasukkan kabel dan kemudian menimbun bekas galian itu. Timbunan ini nampak rata dengan tanah di sekitarnya. Dan, rupanya tanah itu belum padat sehingga ban mobil jadi amblas.
Dalam peristiwa kemarin, mungkin orang berpikir, sopir yang salah, tidak hati-hati sehingga kenadaraannya masuk lobang.
Tetapi menurut saya, justru kontraktorlah yang harus bertanggung jawab karena bekas galian itu tidak dikembalikan seperti sedia kala. Harusnya, mereka memadatkan kembali bekas galian. Jika tidak, mereka harus memberikan tanda bekas galian, sehingga orang lebih hati-hati.
Saya lantas teringat kebiasaan-kebiasaan selama ini. Orang proyek memang seakan-akan bebas melakukan sesuatu. Semau mereka. Mereka boleh membongkar-bongkar jalan yang sudah bagus. Mereka bebas melakukan pekerjaan dan ‘mengganggu’ kenyamanan pelintas.
Jarang saya lihat ada plang proyek: “Maaf Kenyamanan Anda Terganggu. Ada pekerjaan proyek”. Yang biasa kita lihat: “Hati-hati Ada Kegiatan Proyek”. Tanpa ada kata maafnya.
Malahan, setelah proyek selesai, bekas-bekas pekerjaan kadang kala ditinggalkan begitu saja. Apakah kemudian pelintas tidak nyaman melalui bekas proyek itu, nampaknya tidak dipikirkan. Apakah kemudian ada orang yang celaka karena bekas proyek itu, sepertinya juga tidak dipikirkan.
Ini hampir sama dengan orang yang menumpukkan pasir di pinggir jalan. Tumpukan pasir yang “merata-rata” mengganggu pelintas. Ban motor jadi slip. Saya kenal beberapa orang yang jatuh ketika melewati tumpukan pasir yang luber ke jalan. Mereka celaka. Mereka dirawat di rumah sakit. Malah ada yang mati!
Mereka tanggung sendiri musibah itu. Orang yang punya pasir, orang yang menumpukkan pasir di jalan, tidak diminta pertanggungjawaban. Justru sering orang bilang: “Salah sendiri, bawa motor ndak liat-liat”. Padahal jelas, mereka menumpukkan pasir di jalan umum, jalan yang dilewati orang. Jalan yang seharusnya tak terhalang.
Tapi, mau apalagi. Kasihan sungguh. Itulah logika sebagian masyarakat kita. Logika yang menurut saya mencerminkan kelemahan perintah melindungi warganya. Inilah cerminan bahwa hukum kita lemah dan seakan-akan tidak ada. Sering kali orang boleh bebas melakukan apa saja.



Baca Selengkapnya...

Senin, 02 November 2009

Menulis dan Hidup di Zaman Pra-Sejarah

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Kamis (29/10) kemarin, saat saya bertemu dengan 6 mahasiswa Progam Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) yang berada di bawah bimbingan saya – sebagai dosen penasehat akademik -- di ruang kerja saya, iseng-iseng saya bertanya pada mereka tentang kepenulisan.
Saya ingin menjajaki siapa di antara mereka yang suka menulis dan siapa yang tidak suka. Siapa yang suka baca dan siapa yang kurang suka baca.
Ternyata, tidak semua suka menulis. Tidak semua senang membaca.





Bah! Saya agak tersentak. Bagaimana mereka bisa memilih masuk Program KPI kalau mereka tidak suka menulis.
Masalahnya, program KPI diselenggarakan untuk membentuk orang agar dapat menulis. Mata kuliah atau kurikulum program mengacu pada tujuan itu. Banyak sekali mata kuliah yang diprogramkan khusus untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa menulis. Sebut misalnya Bahasa Indonesia, Karya Ilmiah, Penulisan Artikel Opini, Jurnalistik, Berita, Feature. Bahkan salah satu kompetensi yang dituju oleh penyelenggara prodi adalah: “Lulusan mampu berdakwah melalui media sebagai penulis”.
Pasti, jika ada yang masuk KPI tidak mencintai dunia kepenulisan, dia akan menghadapi masa yang sangat berat.
Karena itu, saya maklum mereka harus coba diingatkan. Mereka harus diberikan motivasi. Saya mulai mengingatkan mereka soal ini, tiba-tiba saya teringat pada pelajaran sejarah, dahulu sewaktu sekolah di Jongkong, Kapuas Hulu. Pak Basrun Syafie yang mengajarkan itu.
“Masih ingat perbedaan zaman sejarah dan zaman pra-sejarah?”
Mahasiswa terdiam. Mencoba mengingat pelajaran lama.
“Zaman sejarah apa? Zaman pra-sejarah apa?”
Meluncurlah jawaban dari mereka. Mereka menyebutkan tahap-tahan zaman pra-sejarah, misalnya zaman paleolitikum, mezolitikum, neolitikum.
“Zaman itu, orang menyebutnya sebagai zaman manusia purba”.
Saya melanjutkan.
“Apa tanda zaman sejarah?”
“Orang mengenal tulisan”.
“Ya, tulisan. Tulisan menentukan sejarah”.
Saya mencoba mengingatkan masalah sebagian dari mereka. “Jika orang tidak menulis, hakikatnya dia hidup di zaman prasejarah. Manusia pra-sejarah. Hanya orang yang suka menulislah yang boleh mengklaim diri hidup di peradaban sejarah”.
Mereka mengangguk. Ada yang tersenyum kecut. Saya yakin mereka mengerti apa yang saya maksudkan. “Anda, kita semua, boleh pilih sendiri, mau tergolong manusia sejarah atau manusia pra-sejarah”.
Mereka masih terdiam. Saya membiarkannya. Biarlah mereka merenung, meresapi dan menghayati hujah saya.
Saya meninggalkan tema itu. Namun saya tidak menyia-nyiakan kesempatan mengingatkan mereka soal pentingnya menulis. Ini tugas pokok saya sekarang. Setelah saya yakin mereka tersentuh hatinya, saya mencoba mengajak mereka untuk percaya bahwa menulis itu mudah.
Lantas saya ambil buku dari rak di belakang meja kerja saya. Ada 14 buku. Buku yang saya tulis sendiri dan buku yang saya tulis bersama dengan teman-teman.
Saya memang sering ‘ngegap’ orang dengan cara ini. Menunjukkan buku. Sedikit narsis. “Di antara penulis buku ini, mereka adalah mahasiswa”.
Saya mengambil buku “Menunggu di Tanah Harapan”, terbitan STAIN Pontianak Press tahun 2009. Buku ini saya tulis bersama banyak teman, dan saya edit sendiri.
Saya membaca nama penulis buku. Saya tahu, beberapa di antara penulis itu dikenal oleh mahasiswa di depan saya. “Fifin Fenti Farida, waktu menulis ini, baru semester 1. Marisa dan Erika Sulistia, mahasiswa semester 3. Ambaryani dan Isminarti, semester 5. Rizki Muhardini, Tino Amindani, semester 7”.
Saya mengambil lagi buku “Menapak Jalan Dakwah” juga terbitan STAIN Press tahun 2009. 10 penulis buku itu, semuanya mahasiswa. Mereka rombongan kelas Feature. “Kalau mereka bisa, saya yakin Anda juga pasti bisa. Asal mau”.
Banyak lagi yang saya sampaikan kepada mereka. Saya memang selalu bersemangat dalam soal begini. Saya ingin budaya menulis tumbuh di kalangan mahasiswa, khususnya di kalangan mahasiswa yang berada di sekitar saya. Saya mengajuk mereka: “Marilah hidup bersama manusia yang membangun sejarah”.

Baca Selengkapnya...

Mempersoalkan Peneliti Asing di Kalbar

Oleh Yusriadi

Beberapa hari lalu di Pontianak Post, seorang akademisi sekaligus pejabat di sebuah Fakultas di Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak mengeluarkan penyataan agar peneliti asing yang berada di daerah ini diawasi.
Pernyataan itu disampaikannya –saya kira, berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh Menteri Kesehatan RI Endang Sedianingsih. Ini juga berkaitan dengan persoalan yang timbul karena Naval Medical Research Unit/NAMRU, melakukan riset tentang virus di Indonesia.




Komentar itu memang tidak mendapat sambutan, atau paling tidak tidak mengundang komentar banyak pihak. Wartawan juga agaknya tidak tertarik mengembangkan berita itu. Beritanya, terhenti pada komentar akademisi itu. Mungkin sebagian orang beranggapan komentar itu sebagai komentar biasa, komentar dari seorang analis ketika diminta mengulas sesuatu.
Tetapi, komentar itu menjadi penting disimak ketika di bagian akhir berita itu dia mengaitkan dengan aktivitas peneliti asing yang di beberapa taman lindung di daerah ini. Yang disebutkan di situ penelitian di Taman Nasional di Kapuas Hulu.
Rasanya, secara tersirat ada kesan khusus di balik berita dan komentar ini. Sepertinya aktivitas akademik peneliti luar menimbulkan masalah kepada mereka. Entahlah, masalah apa yang timbul.

***

Bahwa pemerintah harus mengawasi kegiatan peneliti asing, itu tentu. Bahkan bukan saja kepada peneliti, pemerintah harus mengawasi semua orang asing yang masuk ke daerah ini. Orang asing harus dipantau kegiatannya. Undang-undang Keimigrasian juga sudah mengamanatkan hal itu.
Tetapi tentu pernyataan ini menjadi lain jika dikaitkan dengan kesan bahwa peneliti luar yang melakukan penelitian di sini, telah merugikan daerah.
Saya teringat pada masalah serupa di awal tahun 2000 dahulu, saat orang ribut karena ada kegiatan penelitian di Gunung Palung Ketapang. Waktu itu salah satu dua peneliti yang disoroti kalangan tertentu.
Mereka mengungkapkan kekhawatiran bahwa peneliti luar melakukan pencurian (dan entah apa lagi). Mereka menyebutkan bahwa peneliti luar itu membawa plasma nutfah dari Gunung Palung ke daerah asal mereka, di Eropa sana.
Seorang wartawan di Equator waktu itu sempat bergairah menulis hal tersebut. Saya, waktu sebagai salah satu redaktur (kemudian saya dipecat), mendengar wartawan itu memberitahukan redaktur soal perkembangan pemberitaan. Dia benar-benar bersemangat. Dia mengutip beberapa pengamat dan lembaga swadaya– kononnya begitu.
Saya yang mendengar percakapan mereka ikut nimbrung. Saya mengajak mereka berdiskusi temanya: kerugian apa sebenarnya yang akan timbul dari kegiatan ini? Keuntungan apa yang membuat kita harus mendesak pemerintah agar mengambil tindakan terhadap peneliti asing di hutan nun jauh di Ketapang sana.
Saya mengajukan pendapat: katakan orang asing itu membawa tengkorak orang hutan dari Gunung Palung ke negera asal mereka di Eropa, untuk dijadikan koleksi, untuk dijadikan pajangan, atau untuk dijadikan sebagai sample penelitian, lalu apa ruginya daerah? Apa pemali yang akan tinggal pada masyarakat sekitar Gunung Palung?
Saya yakin, daerah tidak rugi. Saya juga yakin tidak ada pemali yang tinggal dan menimpa masyarakat setempat.
“Orang Barat itu mengambil tengkorak dari atas tanah. Tengkorak yang tinggal setelah induk orang utan dibunuh oleh pemburu. Jika tengkorak orang utan itu tidak dibawa orang asing, mungkin tengkorak itu akan terbiar begitu saja, lapuk oleh zaman dan kemudian mengapur, membaur bersama tanah di mana tengkorak itu teronggok”.
Malah sebaliknya, daerah akan mendapat promosi jika tengkorak itu dipajang. Dengan asumsi bahwa pada pajangan itu ada informasi: tengkorak orang utan dari Gunung Palung Kalimantan Barat.
Orang yang melihat keterangan tentang tengkorak itu tentu akan terbaca dengan nama Gunung Palung dan Kalimantan Barat.
Begitu juga, andai kemudian orang asing itu membuat artikel tentang orang utan Gunung Palung sebagai bentuk laporan penelitiannya. Habitat orang utan akan diceritakannya. Gambaran wilayah juga tentu akan dikemukakan. Artikel itu akan dibaca orang. Orang akan mengenal nama Gunung Palung dan mendapat gambaran sedikit banyak tentang daerah ini. Mungkin dari sekian banyak pembaca, ada mereka yang tertarik untuk suatu saat menjejak kakinya ke Gunung Palung. Bukankah kalau itu terjadi, sesuai pula dengan harapan kita selama ini selama ini agar orang asing datang ke daerah ini?
Kalaupun mereka tidak tertarik untuk datang, artikel tentang orang utan di Gunung Palung pasti akan memberikan bayangan kepada pembaca di negeri lain tentang daerah ini. Ini adalah bentuk promosi. Jika ini yang terjadi, apakah itu tidak menguntungkan?
Waktu itu, wartawan itu memahami cara pikir ini. Dia, tidak melanjutkan lagi memburu berita seputar peneliti asing di Gunung Palung.
Kita orang di Kalbar tahu bahwa biasanya orang yang datang cenderung membawa berkah. Lihatlah sesetengah masyarakat kita memasukkan dalam kepercayaan pantang larang menutup pintu rumah. Menurut budaya sebagian masyarakat menutup pintu sama saja dengan menolak rizki. Sebaliknya, membuka pintu sama dengan mempersilakan rizki masuk.
Ketika saya mengikuti kelas Leksikografi – berkaitan dengan ilmu membuat kamus, saya mendengar professor saya mengatakan: “Kita tidak mendapatkan banyak maklumat tentang bahasa di Indonesia karena beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan memperketat izin penelitian. Ini berbeda dengan data bahasa yang dapat kita peroleh tentang bahasa di Pasifik”.
Lantas beliau menyebutkan pengamalan salah satu linguis (ahli bahasa) yang popular Prof. James Fox. Fox adalah linguis besar asal Australia. Fox pernah diusir dari Indonesia pada tahun 1980-an ketika akan melakukan penelitian.
“Andai pemerintah Indonesia tidak menolak Fox, tentu data bahasa Austronesia dari Indonesia tidak akan sukar kita dapatkan”.
Saya kira, waktu mengusir Fox, pejabat Indonesia pasti tidak merasa rugi. Bahkan mereka mungkin bangga karena berhasil menggagalkan kedatangan orang asing ke Indonesia. Mungkin pejabat yang mengambil keputusan ketika itu langsung mendapatkan penghargaan dari atasannya.
Tetapi, nyatanya, orang yang berkecimpung di dunia akademik merasa rugi. Rugi karena konstruksi ilmu pengetahuan tidak bisa dilakukan dengan baik karena kekurangan data. Akhirnya ilmu yang dibangun pun menjadi tidak meyakinkan – sebab orang tahu ada data yang kurang. Orang tahu, banyak bahasa daerah dalam rumpun Austronesia di Indonesia Timur, tetapi, orang tidak punya data tentang itu. Orang asing yang memiliki kepakaran tidak bisa masuk, sedangkan orang local sendiri tidak mengerti tentang itu.
Kembali pada apa yang terjadi di Gunung Palung dahulu, saya yakin bahwa orang kita di Kalbar belum mampu melakukan penelitian seperti yang orang asing lakukan. Kita tidak ada kepakaran tentang itu. Malah mungkin, sama sekali awam. Paling banter, orang local biasanya baru sampai pada tahap membantu peneliti asing mengumpulkan bahan. Mungkin, juga membantu sebagai pendamping menunjukkan jalan.
Entahlah ilmuan dari kampus di Pontianak – mungkin mereka dapat melakukan penelitian tentang plasma nutfah, tentang keanekaragaman hayati, kemampuan yang setaraf dengan peneliti asing itu.
Tetapi saya ragu, mungkin mereka tidak sanggup melakukan penelitian itu saat ini. Maklum, penelitian memerlukan perhatian, waktu, dan biaya.
Lalu, kalau begitu, mengapa harus ributkan pasal itu?




Baca Selengkapnya...

Minggu, 25 Oktober 2009

Buku Harian H Zahry Abdullah

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Rabu (21/10) kemarin, saya berkunjung ke rumah H Zahry Abdullah di kawasan Jalan Sumatera Pontianak. H. Zahry adalah tokoh di Majelis Adat dan Budaya Melayu (MABM) Kalbar. Saya mengenalnya sebagai tetua orang Ulu di Pontianak. Kadang kami memanggilnya Pak Utih. Kadang juga Tok Olah.




Beliau, kelahiran Kapuas Hulu. Pernah menjadi guru, menjadi anggota DPRD, dan menjadi pejabat di Departemen Agama. Antara lain, sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Sanggau.
Sekarang beliau telah pensiun.
Tetapi, meskipun pensiun, beliau tetap energik. Tidak pernah diam. Ada banyak hal yang dikerjakannya. Mulai dari urusan soal tanam obat, hingga urusan adat dan budaya Melayu.
Kunjungan saya ke rumahnya adalah untuk mengambil tulisan beliau tentang Kota Pontianak. Saya meminta Tok Olah menuliskan pandangan dan pengalamannya berada di kota ini. Maklum, beliau di Pontianak sejak tahun 1960-an. Saat Pontianak masih hutan dan semak-semak. Saat kampung masih terpisah-pisah. Saat penduduk masih sedikit. Saat Pontianak masih belum seramai sekarang. Beliau termasuk orang yang menyaksikan perubahan wajah kota.
Saya menerima naskah Tok Olah dua hari kemudian dalam bentuk ketikan mesin tik.
Setelah saya mengetiknya, saya merasa perlu menemui beliau untuk mengecek beberapa informasi yang masih harus ditambahkan dalam tulisan itu. (Tulisan beliau akan terbit besok di Edisi Khusus Borneo Tribune).
Saya sudah membuat catatannya ketika membacanya. Jadi, saat berjumpa Pak Utih saya tinggal memperlihatkan catatan itu saja.
Ketika saya memperlihatkan catatan itu kepada beliau, dengan tangkas beliau mengambil buku-buku sumber. Beliau menuju rak buku di ruang tamu dan kemudian mengambil buku yang diperlukan, membuka halamannya dan kemudian membuat koreksi.
Di antara buku yang beliau gunakan, termasuk, buku harian.
Penggunaan buku harian ini membuat saya terkagum-kagum.
Buku itu adalah sebuah buku agenda. Tebal. Ada lebih 10 cm. Sampulnya hard cover warna biru.
Buku harian itu berisi catatan beliau atas peristiwa penting yang terjadi sehari-hari. Saya sempat memeriksa halaman demi halaman. Ada halaman berisi tentang pembentukan kota Pontianak. Ada halaman berisi Walikota Pontianak dan tahun menjawab. Bupati Kapuas Hulu, Sanggau, Kabupaten Pontianak, dll. Ada catatan tentang nama Kepala Kantor Wilayah Depag Kalbar dan masa jabatan. Ada catatan tentang peristiwa penting di Kalbar; misalnya tentang jembatan Mempawah yang roboh, tentang kerusuhan di Kalbar.
“Aku perlu mencatat begini biar tidak susah mencari-cari jika perlu. Semuanya ada,“ katanya.
Menurut Pak Uteh, beliau membuat catatan berdasarkan informasi yang masuk, baik melalui media cetak, elektronik, ataupun melalui informasi langsung dari orang-orang.
“Aku buat sejak dulu buku harian. Inilah catatan hariannya,“
“Rajinnya Nuan. Hebat,”
Saya memuji beliau. Benar-benar hebat. Jarang sekali orang mmbuat seperti yang beliau lakukan. Setidaknya, sampai saat ini saya belum melihat orang yang melakukan itu. Apalagi ini, orang tua.
Tapi, lagi-lagi saya ingat, beliau memang beda. Dahulu, saya memuji beliau karena kegigihannya sebagai kolektor naskah lama.
Saya juga memuji beliau, meskipun sudah tua masih mau meluangkan waktu untuk menulis – memenuhi permintaan saya. Dalam soal-soal begini, beliau jadi teladan. Kita memerlukan banyak orang seperti itu untuk hidup eksis di masa depan.


Baca Selengkapnya...

Sabtu, 10 Oktober 2009

Tak Ada Sungai Kapuas

Oleh: Yusriadi


Malam itu, saya sedang duduk di depan computer. Di samping saya, Caca, anak saya nomor 2 sedang belajar, menjawab pertanyaan Ilmu Pengetahuan Sosial. Buku yang digunakan adalah buku IPS SD/MI Jilid 4, Kelas IV, karangan Irawan Sadad Sadiman dan Shendy Amalia.Buku itu diterbitkan oleh Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2008.


“Pak, di provinsi Bali terdapat gunung …?”
Caca meminta saya mencarikan jawaban. Saya mengalihkan pandangan pada dia.
Saya melihat dia sedang mengerjakan soal di halaman 24.
“Masak tidak ada dalam bacaan?”
Saya tidak mau menjawab. Saya meminta Caca mencari sendiri jawabannya. Lalu, dia membolak balik halaman bacaan. Di halaman 16 terdapat table 2.1 Gunung di Indonesia. Pada nomor 8 terdapat nama gunung Agung, letakknya di Bali.
Caca memangkah jawaban dari pertanyaan tadi.
“Bacalah dulu, baru jawab”.
Kata saya sambil mendelik kepadanya.
Dia menurut. Lalu dia melihat lagi bacaan-bacaan itu.
Saya ikut membaca buku yang dipegang Caca.
Ada table 2.2 nama tanjung di Indonesia. Dari 5 tanjung itu, ada Tanjung Kehidupan di Kalimantan. Entah Kalimantan mana, tidak tahu. Lalu ada table 2.3 laut di Indonesia. Hanya 4 laut yang disebut di sana. Laut Jawa di Utara Jawa, Laut Arafuru di Kepualauan Aru, Laut Banda di Pulau Seram, dan Lautan Indonesia di Selatan Sumatera sampai Selatan Jawa.
“Di sekitar Kalimantan tidak ada laut agaknya,”pikir saya.
Lalu, tentang Selat pada table 2.4. Ada 5 selat, yaitu selat Bangka, selat Sunda, selat Madura, selet Peleng dan selat Alas. Tabel 2.5 tentang Teluk.
Yang unik, Tabel 2.6. Sungai di Indonesia.Ada 9 sungai disebutkan. Sungai Asahan di Sumatera Utara, Batanghari di Jambi, Citarum di Jawa Barat, Gumanti di Sumatera Barat, Mamberamo di Papua, Mahakam di Kalimantan Timur, Bengawan Solo di Jawa Tengah, Musi di Sumatera Selatan dan Brantas di Jawa Timur.
“Sungai Kapuas-nya mana?”
Saya mengamati dengan teliti. Penasaran.
“Kok tidak ada?”
Sungguh mengherankan. Heran, karena dalam pengetahuan geografi saya, Sungai Kapuas adalah sungai terpanjang di Indonesia. Panjangnya 1.900 kilometer dari muara laut Cina Selatan, hingga batas pengunungan Muler, batas Kalimantan Timur. Laut Cina Selatan dan Pegunungan Muler dua-duanya juga tidak disebutkan.
Pertanyaan yang bergelayut di benak saya selanjutnya:
“Mengapa Sungai Kapuas tidak masuk dalam daftar table pelajaran anak SD?”
Mulanya saya berpikir, tidak ada bahan yang cukup bagi penulis buku tentang sungai kebangaan orang Kalimantan Barat ini.
Tetapi, kemudian, rasanya mustahil. Saya tahu tentang Sungai Kapuas dahulu dari pelajaran geograpi – salah satu pelajaran favorit saya sewaktu SD—lebih 20 tahun lalu.
Apalagi sekarang, tinggal brows di internet, nama sungai Kapuas pasti muncul. Hanya orang yang pengetahuannya cetek saja yang tidak tahu tentang sungai terpanjang di Indonesia. Tidak masuk akal bagaimana penulis buku ilmu pengetahuan social, tidak menyimpan memori tentang sungai terpanjang ini.
Lalu, kalau begitu mengapa?
Sempat terlintas pikiran nakal saya: saya teringat orasi ilmiah Prof Dr. James T. Collins – pakar bahasa Melayu, yang menyebutkan betapa orang Belanda dahulu membuat peta tentang sungai-sungai di negeri Belanda. Orang Indonesia yang belajar geografi berpandukan peta itu mendapat kesan sungai dalam peta itu adalah sungai besar. Tetapi, ketika mereka ke Belanda, mereka terkejut, sebab sungai besar di peta tidak lebih dari sebuah parit kecil saja.
Ada politik melalui peta di sini.
“Apakah dalam penulisan buku geografi ini juga ada „politik periperi“ terhadap Kalimantan – atau tepatnya terhadap luar Jawa?”
Saya berpikir begitu karena, dalam ingatan saya penulisan sejarah Indonesia juga terkesan Jawa sentris. Dalam buku Sejarah Indonesia yang ditulis Prof. Sartono misalnya, saya sempat terkejut ketika mendapati bahwa informasi sejarah awal tentang Kalimantan Barat sedikit. Malahan, seakan-akan Kalbar tidak masuk dalam pusaran sejarah Indonesia.
Padahal, pada kurun abad ke 18, 19, Kalbar memainkan peranan sebagai salah satu titik penting dari dinamika perhubungan di nusantara.
Sungguh memprihatinkan.
Tetapi keprihatinan ini hanya sekadar prihatin. Mungkin tidak ada yang bisa dibuat. Tidak ada kemampuan saya merekomendasikan buku ini direvisi dan nama Sungai Kapuas, Laut Cina Selatan, dimasukkan ke dalam peta. Ada gubernur, ada dinas pendidikan, ada ilmuan Kalbar; kalau memang peduli.
Mungkin saya akan terus prihatin, karena anak saya tidak tahu bahwa sungai yang hampir setiap hari mereka lihat, mungkin sungai yang setiap hari airnya mereka minum, sebenarnya adalah sungai istimewa di Indonesia: Sungai Terpanjang.
Uh, menyedihkan benar.


Baca Selengkapnya...

Sekolah dan Guruku di Riam Panjang

Oleh: Yusriadi

Sudah lama aku ingin mengunjungi Sekolah Dasar Negeri (SDN) Riam Panjang, Kecamatan Pengkadan, Kapuas Hulu. Aku ingin mencari data tentang partisipasi pendidikan orang Riam Panjang. Data ini akan membantu aku menjelaskan bagaimana tingkat partisipasi pendidikan orang di pedalaman, di kampung kelahiranku.



SD Riam Panjang itu sekolah dasarku. Dahulu, hampir 30 tahun lalu aku belajar di sini. Aku duduk di kursi kayu di sekolah ini selama 5 tahun, setelah aku pindah dari Madrasah Ibtidayah Riam Panjang yang ditutup begitu SD ini berdiri tahun 1978/1979.
Aku di sini menuntut ilmu dari guru-guruku – yang beberapa di antaranya sudah berpulang ke rahmatullah, ada juga yang tidak aku ketahui ke mana mereka. Sedangkan mereka yang sempat kutemui, kini sudah nampak agak tua. Melihat mereka sekarang, aku merasa aneh. Dahulu, saat aku kecil dan saat itu mereka muda, sebagian mereka menurutku galaknya minta ampun. Beberapa guru pernah memukul aku dan teman-teman dengan ranting kayu sebesar rotan kecil – ranting yang kami ambil dari semak belukar, karena kami tidak bisa mengerjakan soal Matematika. Kami juga pernah dipukul dengan penggaris kayu, hingga penggaris itu patah, karena kami ribut saat tidak ada guru. Kami juga pernah dipukul dengan buku hingga buku berderai karena berkelahi. Kami pernah dijitak hingga benjol ketika ada teman yang senyum-senyum saat upacara. Wiuh, mereka ketika itu sungguh menakutkan. Orang tua hampir tidak pernah membela kami karena hukuman fisik itu.
“Salah kalian, mengapa nakal. Makanya belajar benar-benar. Guru tidak akan menghukum kalian jika kalian baik-baik“.
Karena orang tua kami menghormati guru, kami juga sangat menghormati mereka. Tak sedikit pun terlintas pikiran kami mencela mereka sekalipun kalau dipikir-pikir sekarang, betapa mereka menyakiti fisik kami. Apapun, guru dalam pandangan kami adalah orang yang layak digugu dan ditiru. Sampai sekarang. Guru-guru kami tetaplah guru.
Mereka juga memandang kami benar-benar murid yang mereka bimbing. Mereka melaksanakan tugas karena panggilan jiwa mereka sebagai pendidik.
Aku selalu terharu ketika bertemu mereka, terharu ketika mendengar mereka membanggakan kami sebagai muridnya yang kini berhasil. Cara mereka bernostalgia tentang kami dahulu saat belajar membuat kami juga merasa menjadi murid yang beruntug karena memiliki guru yang sayang pada kami.

***

Aku memasuki gerbang sekolah. Di sebelah kiri pintu masuk ada plang sekolah dan plang visi sekolah. Visi yang akan selalu mengingatkan guru-guru di sekolah ini pada tugas mereka sebagai pendidik.
Bangunan sekolah memanjang. Pada bagian paling ujung sebelah kanan ada kantor. Bangunan sekarang adalah bangunan baru. Bangunan lama tempat aku dan kawan-kawan dahulu belajar, dibangun tahun 1978, sudah dirobohkan. Bangunan lama, kayunya sudah lapuk.
Aku merasa sekolah ini lebih kecil dibandingkan dahulu. Kelas-kelasnya rasanya begitu kecil. Mungkin perbedaan itu muncul karena sekarang aku sudah besar. Tinggiku mungkin sudah dua kali lipat dibandingkan dahulu saat aku belajar di sini.
Aku sempat melongok ke dalam kelas melalui pintu yang terbuka. Di dalam sana ada sejumlah anak sedang belajar. Siswa tidak banyak. Kelas tidak terlalu ramai.
Sekolah ini tetap sederhana. Fasilitas yang baru rasanya cuma perpustakaan sekolah yang terdapat di sebelah kanan pintu masuk. Aku tidak sempat bertanya tentang buku. Aku juga tidak sempat mengunjunginya. Pintu perpustakaan itu tertutup.
Beruntunglah anak-anak sekarang memiliki tempat membaca. Mudah-mudahan perpustakaan ini juga menyediakan buku pelajaran, sehingga setiap siswa dapat menggunakan bahan itu. Setidaknya mereka lebih beruntung dibandingkan pengalaman kami dahulu: satu buku dikongsi orang sekelas. Seorang anak ditugaskan mendikte, kadang-kadang juga buku pelajaran itu disalin di papan tulis, dan kemudian siswa yang lain menyalinnya. Dahulu, aku juga mendapat giliran menulis di papan tulis atau mendiktekan pelajaran kepada teman-teman. Aku ingat inilah pekerjaan yang menyenangkan.
Padahal, kalau kupikir-pikir sekarang justru tugas ini menambah beban. Beban, karena di rumah nanti aku harus mencatat bahan-bahan itu dalam buku tulisku. Kawan yang lain karena sudah mencatat, bisa lebih santai.
Tetapi, mau apa lagi. Waktu itu buku-buku memang terbatas. Waktu itu tidak ada siswa yang mempunyai buku cetak. Tidak ada juga tempat foto copy.
Di balik keadaan begini, kami terlatih menulis. Sambil menulis kami bisa sambil belajar. Sekolah satu-satunya tempat belajar. Di rumah kami jarang belajar, jika tidak ada PR. Malam, kami lebih banyak diisi dengan nonton TV di tempat tetangga. – Dahulu di kampung yang luas itu hanya ada 2 TV. Bayangkan betapa ramainya. Mungkin cerita TV tidak seberapa. Tetapi, menonton ramai-ramai itu bentuk hiburan.
Kami tidak suka belajar di rumah (dan diam di rumah) karena waktu itu di rumah tidak ada lampu. Penerangan kalau malam hari hanyalah pelita. Listrik kampung tidak selalu bisa menyala. Kadang kala jika stok solar habis, atau operator listrik tidak ada, kami harus rela bergelap gulita.
Sungguh pun sekarang Riam Panjang sudah ada listrik namun amat jarang listrik menyala pada siang hari. Karena itu di ruang guru tidak ada peralatan elektronik. Tidak ada kipas angin dan AC, tidak ada komputer, tidak ada kulkas. Aku jadi membandingkan sekolah di kampung dengan sekolah di kota. Jauh sekali.
Kepala sekolah sekarang Mustafa, S.Pd memberitahukan, sebenarnya di sekolah ini sudah ada komputer. Namun karena tidak ada jaringan listrik, komputer itu tidak bisa digunakan. Karena listrik hanya ada di waktu malam dan jaringan hanya ada di rumah, akhirnya, disepakati komputer dibawa ke rumah.
Tetapi, malangnya, komputer juga tidak bisa digunakan. Komputer pernah coba dinyalakan, namun tidak bisa juga. Listrik di rumah penduduk hanya berkekuatan 450 KWH. Tidak cukup. Stut listrik jatuh.
Walau begitu, kabarnya tidak lama lagi sekolah akan mendapat laptop dan in focus. Di Pontianak‚ benda ini digunakan untuk membantu proses belajar mengajar. Guru membuat bahan presentasi dalam program window powerpoint, lalu, dia menyampaikannya dengan bantuan in focus yang ‚ditembakkan’ ke layar.
Aku sempat berpikir bagaimana guru di sini bisa menggunakan laptop dan in focus dalam mengajar, jika listrik tidak ada seperti sekarang. Pasti in focus akan jadi barang pajangan, seperti juga laptop sekarang ini.
Niat baik, tetapi tak mungkin terlaksana. Impian yang masih jauh dari kenyataan.
Keterbatasan ini membawa implikasi serius pada guru. Guru-guru sekolah ini, beberapa di antaranya guruku dan kawan kelasku SD, kesulitan mencapai kredit poin seperti yang disyaratkan untuk karir mereka.
Saat ini, baru 3 guru yang lulus sertifikasi. Lebih banyak yang belum. Aku mengasihani mereka yang belum: bagaimana mereka mengumpulkan angka untuk kepentingan itu. Bandingkan di Pontianak, kenaikan pangkat rasanya tidak suka dicapai. Fasilitas pendukung untuk mencapai angka kredit mudah diperoleh.
Aku sempat bertemu guru agamaku dahulu. Pak Yunus. Beliau, termasuk orang yang menghadapi kendala dalam mengejar sertifikasi. Hambatan yang terbesar: pendidikan. Beliau belum S-1. Kesempatan kuliah ada, tetapi tidak mudah. Kalau mau kuliah mereka harus biaya sendiri, ke Putussibau atau Pontianak. Jarak Putussibau 100 Km dan jarak ke Pontianak sekitar 700 Km. Kalau mau kuliah mereka harus meninggalkan kampung dan meninggalkan tugas. Belum dihitung berapa besar biaya yang diperlukan. Mengandalkan gaji sendiri sudah pasti benar-benar sulit.
Entahlah, aku tidak tahu, apakah mereka dapat memperoleh izin belajar jika mereka ingin melanjutkan pendidikan.
Jika begini terus keadaannya, bagaimana mereka mempersiapkan diri menghadapi tahun 2014, tahun yang katanya setiap guru harus sudah sertifikasi.
Nasib!
Tetapi aku tidak berlama-lama memikirkan nasib mereka. Aku berharap pemerintah, khususnya instansi terkait, menemukan jalan keluar bagi guru-guru di pedalaman. Kupikir, kepada instansi itulah urusan mereka diserahkan.
Saat itu, aku lebih terfokus pada buku induk siswa SD. Aku mencatat nama-nama siswa sekolah, lalu membuat tabulasi perangkatan. Aku beruntung, sekolah ini dikelola dengan baik sejak awal. Administrasinya cukup kemas, meskipun sederhana. Data murid sejak tahun 1978 hingga 2008 tersedia.
Aku benar-benar bernostalgia ketika membaca nama teman-teman lama, ketika melihat foto-foto mereka. Teman-teman sekarang sudah ke mana-mana. Bekerja dalam berbagai bidang dan profesi.
Aku juga mendapati kenyataan, ada banyak teman yang sudah menghadap Tuhan. Mereka tak mungkin dijumpai. Hanya tingga nama di buku induk. Semoga Tuhan memberikan mereka tempat yang layak.




Baca Selengkapnya...

Air Bersih di Kampung Riam Panjang

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Pernah lihat orang minum air dari keran? Sepanjang hampir 19 tahun di Pontianak, belum pernah saya lihat ada orang mau minum air langsung dari ledeng. Kalaupun dahulu ada, saya hanya pernah melihat promisi dari Direktur Utama PDAM Pontianak Syahril Jafarin, yang kemudian pindah ke Jakarta. Syahril menunjukkan hal itu di ruang kerjanya beberapa tahun lalu.



Tetapi, waktu itu saya tidak begitu percaya bahwa air yang dicoba itu benar-benar seperti air yang masuk ke rumah penduduk. Pengamalan saya, jangankan air mentah, air ledeng yang dimasuk sekalipun tidak enak diminum. Ada rasa obat kata orang. Obat apa, entahlah! Pastinya, tidak seperti rasa air hujan.
Pada akhirnya orang Pontianak lebih suka minum air hujan yang mereka tadah dalam tempat penampungan air di rumah mereka. Paling, sekarang ada sedikit perubahan, orang cenderung minum air gallon atau disebut air isi ulang, yang entah sumbernya dari mana.
Tetapi, pekan lalu, ketika saya berada di Riam Panjang, teman saya, orang Pontianak, mencoba minum air ledeng. Dia terkagum-kagum melihat air ledeng yang begitu jernih.
“Luar biasa”.
Dia membuka keran di samping rumah, dan kemudian mulutnya disongsongkan ke ujung keran yang sudah dibuka.
“Airnya manis“.
Kami yang melihatnya tertawa. Dia membandingkan air ledeng di mana-mana tempat di daerah di Indonesia yang sudah dikunjunginya.
“Lebih lagi kalau dibandingkan air ledeng di Pontianak,”
Saya maklum perbandingnnya. Saya tahu kondisi air ledeng di Pontianak. Beberapa pekan lalu saya rasa air ledengnya asin. Warnanya, agak kurang jernih. Air ledengnya terintrusi air laut. Maklum ambilnya dekat-dekat Pontianak juga.
Air ledeng di kampung Riam Panjang bersumber dari air terjun Gurung Namuk di sebuah sungai di hulu kampung. 700 kilometer di hulu sungai Kapuas di anak sungai Penyeluang di antara bukit-bukit.
Ceritanya, air terjun Gurung Namuk dipilih karena debit airnya cukup. Sejauh ini memang kebutuhan air tercukupi. Dengan catatan, kalau musim kering suplai air memang tidak akan sama dengan kalau lagi musim hujan. Tetapi, sepanjang belasan tahun sejak ada air ledeng ini, belum pernah suplai air terhenti. Pernah air ledeng keruh karena ada pipa yang pecah.
Karena air yang jernih ini, PDAM tidak perlu memberikan obat untuk menjernihkan air, seperti yang terjadi pada air PDAM di Pontianak.
Lebih 20 tahun lalu, sewaktu kami berladang di Reyang Redan, nama tempat di hulu Gurung Namuk, kami selalu melalui gurung ini. Kami, saya dan saudara saya, paling senang lewat gurung ini jika musim hujan. Suara air terjun bergemuruh. Dari jarak yang cukup jauh, suara ini sudah terdengar. Pemandangannya menarik. Bagi saya pemandangan ini mengingatkan saya pada gelombang air yang terkena kipas motor temple (speed).
Tekanan air yang kuat ini dari tempat yang tinggi – dibandingkan letak kampung kami di pinggir Sungai Pengkadan yang agak rendah, membuat suplai air tidak lagi perlu mesin pendorong. Air dari ujung pipa di Gurung Namuk ini masuk secara alami ke rumah-rumah penduduk. Penduduk pun juga tidak perlu pakai mesin air untuk menyedot air agar mengalir ke ujung keran mereka. Tidak perlu juga mereka memotong pipa mencari air.



Baca Selengkapnya...

Kamis, 24 September 2009

Nanggok Malam Lebaran di Pontianak

Oleh: Yusriadi

Nanggok bukan sekadar bagian dari pawai takbir untuk memeriahkan malam lebaran di tengah masyarakat kota Pontianak. Nanggok juga bukan sekadar melanjutkan tradisi yang sudah bernama dalam masyarakat sebelumnya. Nanggok sekarang, dilakukan orang untuk mendapatkan uang.







Sore itu, sore terakhir puasa, kami, adik beradik, berbuka di rumah Mas Yanto – Mbok Lena di sebuah komplek di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Nipah Kuning Pontianak. Mbok adalah kakak kami yang paling tua dari 5 saudara.
Kami berkumpul juga bersama bapak dan emak, serta ipar-biras, anak, cucu. Jumlah yang kumpul di rumah komplek ukuran 37 yang sudah dilebarkan, ada 22 orang.
Ramai sekali.
Setelah buka, salat Magrib, makan, kami duduk-duduk santai. Ada yang memilih duduk di ruang tamu, ada yang di ruang tengah, ada juga yang di dapur. Yang anak-anak, mereka lalu lalang: dapur, teras, jalan depan rumah – maklum pemukiman padat ini tidak ada halaman. Di jalan juga banyak anak tetangga sedang bermain.
Bunyi mercon yang dibakar anak tetangga, meledak sesekali. Agaknya juga ada kembang api dibakar.
Saya, bersama beberapa orang duduk di ruang tengah. Kami ngobrol tentang apa saja. Mulai tentang lebaran yang serentak, hingga tentang harga daging dan telur yang naik lebih dari Rp10 ribu per kilogram. Panjang ceritanya. Sampai kemudian, obrolan kami terpenggal oleh suara anak-anak takbir di luar.
“A-lah hu akbar. A-lah hu akbar. Walilah hil ham”.
Berulang dua kali saja.
Saya kira ini takbir yang unik. Beda dengan cara takbir orang pada umumnya. Cara mereka mengucapkan juga beda.
Takbir ini terputus. Anak yang takbir tadi, berjumlah tiga orang, seorang di antaranya membawa kotak, hanya berdiri di teras, di depan pintu. Mereka tidak masuk. Mereka juga tidak melanjutkan takbirnya.
Lalu, tiga orang anak Mbok Lena –seorang berumur sekitar 14 tahun, 9 tahun, seorang lagi berumur 4,5 tahun berlari ke belakang.
“Bu, ada budak takbir”.
“Bu, ada budak nanggok”.
Mereka melapor pada ibunya.
Mbok bergegas ke kamar. Dia mencari tempat menyimpan uang. Lalu, keluar lagi dari kamar, dan dia menghitung uang itu. Seribu, dua ribu.
“Ni”.
Dia mengangsur uang itu kepada anaknya yang berumur 14 tahun.
Anak-anak itu berlari ke depan menjumpai rombongan takbir.
Tak lama kemudian, suara takbir anak-anak itu terdengar di rumah tetangga sebelah.
“Jam segini sudah turun nanggok mereka”.
“Ya, begitu, terus sampai malam”.
“Tahun lalu saya hitung ada 12 rombongan nanggok”.
“Berapa dikasih yang datang itu?”
“Tergantung. Dua ribu, lima ribu”.
Kalau yang datang itu anak-anak kecil, paling banyak, mereka diberikan Rp2000. Kalau yang datang remaja masjid, mereka diberikan Rp5000.
Lalu bagaimana membedakan yang datang itu anak-anak biasa atau remaja masjid?
“Lihat tok-nya”.
Tok maksudnya kotak yang mereka bawa untuk mendapatkan sumbangan. Orang yang memberikan sumbangan memasukkan uang ke dalam kotak itu. Tidak langsung kepada orang per orang.
“Kalau resmi, tok itu ada tulisan nama Masjid atau Surau apa. Kalau tidak ada tulisan, berarti rombongan itu, pandai-pandai mereka”.
Rombongan pandai-pandai mereka maksudnya, rombongan yang dibentuk oleh kesepakatan dua tiga anak. Mereka bergerak sendiri. Uang yang diperoleh nanti pun untuk diri sendiri.
Tak lama kemudian, rombongan takbir kedua di malam takbir itu, juga datang. Anak-anak Mbok masuk kembali menjumpai ibu mereka. Mbok memberika mereka uang dan kemudian mereka memasukkan uang ke dalam tok yang dibawa oleh rombongan yang datang.
Saya tidak sempat melihat kedatangan rombongan takbir berikutnya. Keburu. Malam itu saya menyaksikan pelepasan rombongan takbiran keliling kota Pontianak di Pendopo Gubernur Kalbar, Jalan Ahmad Yani Pontianak.
Saya menghitung, jika jumlah rombongan takbir di komplek Mbok tahun ini sama dengan jumlah rombongan tahun lalu, berarti masih ada 10 rombongan lagi yang akan datang. Ada 10 kali lagi terdengar lafaz takbir yang unik. Setidaknya ada 10 kali lagi keluarga Mbok melihat orang-orang datang menanggok. Setidaknya ada 10 kali lagi keluarga Mbok mendermakan sebagian dari pendapatan mereka.
Sesuatu yang berbeda dibandingkan di rumah saya di Jalan Karet. Di rumah saya, tahun lalu, hanya ada 3 rombongan yang datang. Lebih sepi. Maklum, rumah dalam gang yang penduduknya dapat dihitung dengan telunjuk, di tengah sawah yang lebih banyak wilayah gelapnya dibandingkan terang berlampu.
Tetapi, malam itu, bukan cuma rombongan takbir yang nanggok di sebuah komplek di TPI yang saya lihat. Saya juga melihat beberapa remaja putri berdiri di pinggir jalan di Jalan H. Rais A Rahman, Sungai Jawi, di lampu merah Jalan Martadinata, yang menyodorkan kotak terbuka. Kotak itu – mungkin disebut tok juga?, dari kardus. Ada tulisan di kardus itu. Namun saya tidak dapat membacanya – karena jarak yang jauh dan malam yang tidak terlalu terang.
Pakaian mereka modis. Keren. Tetapi, mereka nampak malu-malu ketika menyodorkan kotak itu kepada orang yang tertahan di lampu merah.
Sementara itu, di belakang mereka, ada sejumlah remaja putra menabuhkan tahar seraya melaungkan takbir. Saya duga, mereka pasti remaja masjid Asy-Syakirin, yang sedang memungut sumbangan dari para pelintas. Sesuatu yang jarang saya lihat dilakukan remaja masjid lain. Mungkin remaja masjid ini tidak sempat takbir sambil nanggok dari rumah ke rumah.


***

Tradisi nanggok sudah dianggap budaya orang Melayu Pontianak pada saat lebaran. Tradisi ini ada sejak dahulu kala. Beberapa orang teman kelahiran Pontianak mengakui pernah melakukan itu di waktu mereka kecil.
Sekarang, setelah mereka menjadi orang tua, mereka tidak melakukan itu. Anak-anak merekalah yang melanjutkannya.
Namun, beberapa sumber menyebutkan tradisi sekarang berbeda dibandingkan tradisi 20 tahun yang lalu.
Dahulu tidak ada rombongan nanggok berjalan sendiri-sendiri. Kegiatan nanggok selalunya bermula dari masjid, setelah jamaah salat Isya berjamaah dan takbir bersama di masjid.
Rombongan berangkat dari masjid, dipisahkan dalam beberapa kelompok. Sehingga nantinya ada rombongan takbir yang mendatangi rumah-rumah warga di arah kanan masjid, ada yang mendatangi rumah di kiri masjid, dan seterusnya. Di dalam rombongan ini ada anak-anak, ada juga orang tua.
Kelompok orang cenderung dibagi berdasarkan asal jamaah. Misalnya orang yang berasal dari arah kanan masjid, cenderung masuk dalam kelompok yang bergerak ke arah kanan masjid, dan seterusnya. Pembagian begini dilakukan untuk memudahkan penyambutan rombongan nantinya. Biasanya, tuan rumah akan kembali ke rumahnya lebih dahulu –termasuk menyiapkan hidangan penyambutan, saat rombongan tiba di rumah kedua sebelum rumahnya.
Rombongan takbir mendatangi rumah penduduk dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan mereka takbir. Pemimpin takbir ditunjuk secara bergantian beberapa orang yang tentu saja suaranya bagus. Yang lain, menjawab takbir itu dan menabuh gandang, kentongan dll. Takbir terus dilaungkan hingga sampai di depan pintu rumah penduduk yang terbuka. Pintu terbuka menandakan pemilik rumah siap menerima kedatangan rombongan.
Secara formal, tuan rumah menyilakan rombongan masuk. Setelah masuk, duduk, kembali takbir dilanjutkan, sambil menunggu hidangan disajikan tuan rumah. Jenis hidangan biasanya kue dan minuman. Sesekali ada makanan jenis lain. Semuanya tergantung kemampuan dan kerelaan hati tuan rumah.
Setelah selesai makan, rombongan berpamit. Kadang-kadang juga ditutup dengan doa selamat. Selesai, doa tuan rumah memasukkan sumbangan ke dalam tok. Dua puluh tahun lalu, sumbangan berkisar pada angka Rp5 ribu.
Begitulah seterusnya, sampai semua rumah didatangi rombongan takbir. Setelah selesai, rombongan kembali lagi ke masjid dan mengagih-agihkan hasil tanggukan. Kadang kala, hasilnya dibagikan orang-orang yang takbir, kadang kala juga uang takbir itu digunakan untuk kepentingan bersama – misalnya peningkatan pembangunan jalan, atau pembangunan fisik lain. Maklum waktu itu kemajuan pembangunan belum seperti sekarang ini. Pembangunan lebih banyak mengandalkan kemampuan swadaya penduduk. Sedangkan sekarang, penduduk dapat mengharapkan bantuan pemerintah untuk aneka pembangunan fisik di sebuah wilayah.

***

Perubahan budaya „nanggok“ sekarang mendatangkan keprihatinan pada teman saya.
“Nanggok sekarang seperti melegalisir budaya mengemis”.
„Seharusnya budaya ini tidak dikembangkan“.
Dia lantas mengutip nash yang menyebutkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Nash ini maksudnya, memberi lebih baik daripada menerima.
Katanya, dari budaya ini terlihat anak-anak menjadi tidak malu membawa kotak sumbangan, padahal sumbangan dipungut untuk kepentingan dibagi-bagikan di antara mereka sendiri. Pribadi. Mana yang bernasib baik, mereka bisa mengumpulkan uang puluhan ribu rupiah. Jika satu komplek ada 100 rumah, dan setiap rumah menyumbangkan minimal Rp2000 maka satu tok bisa mengumpulkan uang Rp200 ribu.
Anak yang “pandai-pandai” pasti tidak akan melewatkan kesempatan ini. Mereka bisa mendapatkan uang dengan mudah, dengan bekal kotak tok dan melafazkan takbir sekali dua.
„Mungkin suatu saat akan ada orang yang mengorganisir kelompok ini untuk mendapatkan sumbangan yang lebih besar, untuk pribadinya“.
Protes teman ini mengingatkan saya pada kisah seorang anak tetangga yang berumur 4 tahun, beberapa tahun lalu. Waktu itu, pada malam lebaran, anak tersebut berkunjung ke rumah neneknya di sebuah gang di kawasan padat di Sungai Jawi, Pontianak.
Dia ikut rombongan anak-anak tanggung (remaja) nanggok dari satu rumah ke rumah lain di dalam gang itu. Dia ikut takbir – sekalipun mungkin dia tidak tahu lafaz sebenarnya dan maknya.
Dia menyaksikan orang yang menerima rombongan mereka, memasukkan uang ke dalam tok dari kaleng susu yang agak besar.
Setelah merasa cukup, rombongan ini membagikan uang hasil tanggukan. Malangnya, anak kecil itu tidak mendapat bagian dari hasil nanggok itu. Alasan remaja-remaja ini, anak tersebut masih kecil, tidak layak mendapat bagian. Anak kecil ini tidak ada peran dalam kelompok mereka.
Tentu saja anak kecil itu marah dan kesal. Tetapi dia tidak bisa apa-apa. Dia tak sanggup memaksa ‘abang-abangnya’ agar dapat bagian dari nanggok bersama itu.
Dia hanya bisa kembali ke rumah neneknya.
Hebatnya, anak itu bukannya menyerah. Dia lantas mencari kaleng susu di tempat pembuangan di samping rumah. Dapat.
Dengan kaleng kosong itu, lantas dia mendatangi rumah-rumah yang tadi didatangi rombongan. Dia dapat melafazkan takbir yang terpatah-patah.
Hasilnya lumayan. Dia mendapatkan sumbangan beberapa ribu rupiah dari rumah yang didatanginya. Total, anak itu mendapatkan hampir Rp20 ribu. Penghasilan yang besar untuk ukuran anak seusia 4 tahun.
Saya selalu ingat cerita ini karena ini kisah luar biasa. Seorang anak usia 4 tahun bisa melakukan takbir secara mandiri dan sudah dapat berpikir bagaimana mencari uang. Saya mengagumi anak itu karena dia memiliki keberanian yang jarang dimiliki anak seusianya.
Namun, di antara kekaguman itu, ada keprihatinan. Prihatin karena secara tidak langsung budaya ini mengajarkan anak tidak malu meminta sumbangan, sekalipun sumbangan untuk dirinya sendiri.
Apa bedanya dengan mengemis? Hal seperti inilah yang mendatangkan keprihatinan teman saya tadi.
Tetapi, mengapa keprihatinan ini belum menyeluruh? Maksudnya, mengapa orang-orang yang lain tidak melihat adanya dampak negative dari budaya nanggok mandiri sekarang ini – sehingga mereka tidak merasa perlu menghentikannya?
Bisakah dihentikan? Bisakah setiap orang tidak memberikan uang terhadap anak yang datang menanggok di malam lebaran? Bisa saja. Tapi, pasti tidak mudah. Seorang teman saya mengatakan:
“Mana enak kita ndak ngasih. Nanti dikira orang pelit”.
Bahkan sekarang, bukan saja di malam takbir, tradisi membagi amplop sudah membudaya dalam sebagian masyarakat muslim di Pontianak saat anak-anak datang berkelaran ke rumah mereka di hari pertama raya, ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Sudah ada amplop khusus yang didesain untuk itu. Lebaran kali ini saya melihat kebanyakan amplopnya berwarna hijau dengan tulisan ala Islami sedikit.
Saya terpana. Padahal, beberapa tahun lalu, memberi uang saat lebaran – jika pun pakai amplop, amplopnya masih amplop merah, seperti ’angpao’ dalam masyarakat Tionghoa. Beberapa tahun lalu, orang memberi uang kepada anak-anak yang datang dengan cara langsung dikepilkan ke tangan saat anak datang atau pulang. Namanya pun waktu itu biasa disebut ’angpau’ juga.
Kesediaan memberi memang diajarkan dalam Islam. Inilah bagian dari kesediaan menginfaqkan sebagian dari harta yang dimiliki kepada orang lain. Inilah bagian dari hasrat orang yang tua menyenangkan hati ponakan dan anak-anak saudara mereka.
Saya kira, inilah yang kemudian membuat tradisi nanggok tumbuh dan berkembang, yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi seperti yang terlihat hari ini.
Bagaimana selanjutnya? Entahnya, perubahan pasti terjadi. Hanya soalnya, bagaimana bentuk perubahan itu, waktulah yang akan menentukan. Yang pasti, masyarakat selalu punya alasan baik untuk perubahan. Sebaliknya, masyarakat lain juga punya cara untuk menyikapi perubahan itu.


Baca Selengkapnya...

Pawai Takbir dan Relasi Etnik di Kalimantan Barat

Oleh Yusriadi

Pawai di malam takbiran keliling kota Pontianak kemarin berlangsung meriah – sekalipun memang tidak semeriah malam pergantian tahun.
Kendaraan pawai membelah jalan kota, takbir menggema melalui pengeras suara, pukulan gendang dan drum membahana, dentuman meriam dan mercon memekakkan telinga. Begitu juga sinar kembang api memewarnai langit kota.
Kemeriahan terasa sempurna karena pawai ini seperti menjadi medium penyatuan budaya antar kelompok etnik. Budaya Melayu (Budaya Islam + budaya lokal) dicampur dengan budaya lain. Setidaknya saya melihat ada beberapa budaya lain yang ikut tampil dalam tampilan malam takbir kemarin.




Lihat bagaimana letusan petasan dan kembang api. Bakar petasan dan kembang api bukanlah berasal dari budaya Melayu. Orang Melayu Pontianak mengenal meriam; meriam karbit.
Begitu juga dengan budaya pukul beduk. Pukul beduk memang biasa dijumpai dalam masyarakat muslim Nusantara. Bahkan, di beberapa tempat, sebelum masuk waktu salat biasanya dibunyikan beduk. Orang Melayu juga mengenal tar (tahar); sebagai alat pengiring seni pertunjukan. Permainan tahar dalam masyarakat Melayu memiliki variasi yang rancak. Bahkan, di beberapa tempat ada anggapan, sebuah majelis perkawinan tidak akan sempurna tanpa tetabuhan tar mengiring pengantin.
Tetapi malam itu, bukan beduk yang dipukul orang. Meskipun ada judulnya pukul beduk. Yang dipukul malam itu gendang. Walaupun dalam kamus bahasa Indonesia, beduk dan gendang tidak dibedakan dengan jelas, tetapi, secara semantik, beduk dan gendang membawa dua konotasi yang berbeda. Beduk berkaitan dengan alat tetabuhan untuk “ritual“ di masjid, sedangkan gendang bermakna agak umum.
Dan, pada malam takbiran itu, yang dipukul orang adalah gendang (dan drum).
Saya tertarik pada gendang yang ditabuh mengiringi pawai malam itu. Bentuknya unik. Tak pernah saya lihat gendang seperti itu di masjid. Entahlah, mungkin karena saya jarang ikut kegiatan masjid.
Bentuk gendang yang dipakai malam itu, bulat pendek, dibalut kain batik warnanya merah.
Saya mendekati penabuh gendang yang berada di truk induk – truk yang paling besar yang terletak di kepala jalan. Waktu itu truk diparkir di depan pendopo Kantor Gubernur. Belum jalan. Panitia sedang menyampaikan pidato tentang pawai.
Anak muda yang ada di atas truk yang saya tanya tentang gendang itu mengaku tidak tahu.
“Entah dari mana, ndak tahu”.
Jawaban ini membuat saya makin heran.
Saya ingin naik ke atas truk untuk mengamati gendang itu. Namun, urung karena sulit. Saya kesulitan memanjat truk.
Pada saat saya maju mundur -- antara naik dan tidak, pandangan saya tertumbuk pada gendang serupa yang terletak tidak jauh dari truk tempat saya berdiri. Gendang itu terletak di atas porselin dekat halaman depan kantor gubernur.
Ada beberapa anak muda mengelilingi gendang itu. Semula saya mengira mereka adalah remaja masjid yang ambil bagian dalam kegiatan pawai.
Tetapi kemudian setelah saya menghampiri seorang penabuh, baru saya tahu mereka berasal dari organisasi bernama PDC singkatan dari Pontianak Drummer Club (PDC). Dia menjelaskan sedikit tentang PDC.
“Siapa punya gendang besar ini?”
“Tidak tahu ya. Bukan punya PDC”.
Saya sudah punya feeling kalau gendang itu milik yayasan Tionghoa.
Saya sering melihat gendang besar begini muncul dalam acara orang Tionghoa. Bunyinya “medam”. Pukulan yang teratur kadang-kadang kedengarannya asyik juga.
Dugaan saya makin kuat karena saya melihat ada lakban warna mereka di atas kulit gendang itu.
“Mengapa semua gendang ada lakbannya?”
“Apa ada yang ditutupi?”
Saya menghampiri gendang dan mencoba menyentuh lakban merah itu. Saya mencoba melihat apa yang ada di bawahnya. Atau lebih tepatnya, saya mencoba mencari jawaban mengapa lakban itu dipasang. Tidak nampak benar. Tetapi saya yakin di bawah lakband itu ada sesuatu yang disembunyikan.
Lakban itu lengket sekali. Agak susah membukanya. Tetapi, kemudian saya dapat melihat sesuatu yang menakjubkan. Di bawah lakband itu adalah aksara Cina. Tetapi saya tidak dapat membacanya.
“Apa tulisannya Bang?”
Saya bertanya pada penabuh gendang itu.
“Mi Ti Yau”
Dia mengucapkannya sambil tersenyum. Dia mengajak saya bercanda. Saya tersenyum. Mungkin, pas waktu itu hanya soal makanan yang dia pikirkan. Saya juga mafhum, „Mi Ti Yau“ adalah nama jenis makanan mie yang mudah dijumpai di kota Pontianak. Enak. Saya sangat mengemari Mie yang dimasak dengan cara ini.
Saya juga terkesan dengan Mie ini. Mie ini juga mencerminkan pengaruh Cina dalam selera makan orang Pontianak. Mie ini mencerminkan adanya hubungan budaya antara dua komunitas itu. Karena itu, orang seharusnya mampu melihat bahwa hubungan antar Cina (Tionghoa) dengan komunitas lain, bukan saja dalam konteks sosial, dagang, dan juga masuk dalam wilayah politik, tetapi juga soal makanan.
“Mi Ti Yau“ bukan satu-satunya jenis makanan ala Cina yang disukai orang Melayu (dan komunitas lain) di Pontianak. Masih ada jenis makanan lain. Misalnya Bak So, Cap Chai, dll.
Ini juga menunjukkan bahwa perkembangan budaya kelompok tidak bergerak berasingan. Komunitas Cina dan Melayu, tidak berada di ruang yang sendiri-sendiri. Ada ruang bersama yang mereka kongsi. Ada budaya bersama yang mereka pakai – dan saling pinjam. Ini semua terjadi karena interaksi antar komunitas sebenarnya terjalin sangat baik, lebih baik dari yang dikira banyak orang yang hanya melihat sesuatu secara parsial.
Tentu, hal seperti inilah yang harus dipahami dengan baik. Hal seperti ini yang seharusnya dipromosikan sehingga pada akhirnya orang tidak menganggap seakan-akan dalam semua hal hubungan antar komunitas ini terbangun tembok yang tinggi dan kokoh sekokoh tembok Cina.
Lagi, kedua komunitas ini perlu dijembatani. Ketegangan yang terjadi pentas ekonomi dan politik, mungkin dapat diredakan dengan kesadaran budaya –seperti diteorikan banyak ilmuan. Mudah-mudahan lebaran kali ini bisa menjadi permulaan membangun kesadaran itu. Mudah-mudahan ketegangan yang sedemikian mudah meletup dalam beberapa waktu belakangan ini, dapat diredakan.
Karena itulah saya menganggap lebaran di Pontianak tahun ini, sangat istimewa. Mudah-mudahan keistimewaan ini berlanjut.







Baca Selengkapnya...

Kamis, 17 September 2009

Dr Badzrul: Kultur Akademik STAIN Pontianak

Oleh Yusriadi

“Saya lihat orang di sini iklim akademiknya tinggi“.
Itu dikatakan Dr. Badzrul Bahaman, Wakil Direktur Institut Kajian Indonesia-Malaysia (IKM) Universiti Industri Selangor, Malaysia, saat berjalan bersama saya sore itu. Saya dan Badzrul berjalan dari kantor MC di Lt 2 Perpustakaan STAIN Pontianak menuju Masjid.
Ada nada kagum dari komentar itu.

“Begitukah Bang?“
Saya memanggilnya “Bang“ saja karena saya mengenalnya sejak tahun 1996, saat mula kuliah di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Waktu itu, Badzrul sedang menggarap penelitian tentang sastra komunitas Sakai di Riau, sedangkan saya meneliti tentang bahasa komunitas di pedalaman Kalimantan Barat.
Kami sempat menggarap bulletin di ATMA, yang kami beri nama “Sukma Nusa“, singkatan dari suara kajian Melayu Nusantara.
Seharusnya, saya memanggilnya “doktor“, jika ikut adat tradisi di Malaysia. Di Malaysia, secara formal seseorang yang bergelar doktor hampir selalu dipanggil doktor. Tetapi, agak susah menghilangkan panggilan lama itu.
Badzrul lantas menyebutkan beberapa gambaran yang membuat dia menilai iklim akademik di STAIN Pontianak, baik.
”Seminar tadi, penuh ruangan. Ada yang tak dapat tempat duduk,”
Ya, ruangan seminar kami di Ruang Rapat STAIN Pontianak, Lt 2 Bangunan Akademik, tidak mampu menampung peserta yang datang menghadiri seminar Melayu MC itu (Sabtu 12/9). Kapasitas ruangan hanya mampu menampung 30 peserta. Jumlah mereka yang mau ikut seminar lebih banyak.
Sebelum Bazdrul berkomentar, saya juga sudah mendengar informasi dari Ibrahim, Direktur MC, bahwa saat seminar itu, ada puluhan orang yang berdiri di pintu masuk dan di luar, kemudian pulang karena tidak mendapat tempat duduk.
Padahal, panitia seminar hanya menyebarkan sedikit undangan. Pemberitahuan seminar disampaikan lewat koran Borneo Tribune, dan tempelan pengumuman di papan-papan pengumuman di dalam wilayah kampus.
Kami, sebagai penyelenggara seminar, sebenarnya lebih suka sedikit peserta. Sebab, target seminar selalunya bukan jumlah peserta, tetapi materi. Kami, sebatas ingin menyediakan forum bagi teman-teman agar berkesempatan menyampaikan temuannya orang lain, untuk mendapat tanggapan dan komentar, bukannya menyediakan ruang agar orang lain mendapat informasi.
Saya selalu berpikir, dengan begitu kami tidak perlu risau memikirkan berapa banyak orang yang datang. Tidak perlu repot mengurus agar orang lain mau datang dan mau mendengarkan apa yang disampaikan narasumber. Dengan demikian, kami selalu merasa, membuat seminar itu pekerjaan yang mudah dan dapat menggelar seminar sebanyak mungkin.
Tetapi, menggelar seminar dengan targetnya peserta, sebenarnya bukan pekerjaan sulit di STAIN Pontianak. Tinggal beritahu beberapa orang teman, dan kemudian kerahkan mahasiswa. Ruangan besar sekalipun akan terisi.
Saya tidak memberi tahu Bazdrul soal begini. Lagian, saya tahu menggelar seminar di Malaysia – jika targetnya peserta, memang susah. Di dunia modern seperti Malaysia, minat akan menentukan apakah orang mau atau tidak datang dalam sebuah seminar. Panitia harus pandai memilih tema yang menarik minat.

***

Sebab lain membuat Badzrul mengatakan minat akademik di STAIN Tinggi adalah ketika sore itu dia melihat masih banyak mahasiswa yang berkumpul di kampus. Di bawah pohon rindang (DPR) begitu dibahasakan untuk tempat duduk semen di bawah pohon di dekat aula kampus, ada empat lima mahasiswa sedang duduk. Di depan gedung Dakwah juga. Di masjid, sore itu beberapa mahasiswa juga sedang duduk menunggu saat berbuka.
Kehadiran mereka membuat kampus hari itu seolah-oleh hidup dari pagi hingga sore.
Saya kira sebenarnya, kenyataan begini bukan hanya bisa dilihat di kampus STAIN. Di kampus di Malaysia, suasananya malah lebih ’dahsyat’. Mahasiswa bertahan di kampus sampai malam. Saya contohkan perpustakaan Tun Sri Lanang, perpustakaan utama Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Perpustakaan ini tidak pernah sepi. Selalu ramai pengunjungnya – sekalipun tidak ribut.
Perpustakaan di STAIN hanya buka hingga sore. Malam sudah tutup. Tutup karena tidak ada yang mengunjungi. Kayaknya belum ada yang betah. Tetapi, meskipun demikian, apa yang dilihat sore itu menunjukkan ’keramaian’ di kampus STAIN tidak kalah jauh dibandingkan di kampus maju.

***

Bazdrul juga melihat ada banyak terbitan di kampus STAIN Pontianak. Ketika Badzrul berkunjung ke ruangan kerja saya di MC Jumat (11/9), saya sempat mengambil tidak kurang dari 20 buku dalam bidang Melayu yang diterbitkan STAIN Pontianak Press, saya perlihatkan kepada Bazdrul.
Sebagian besar dari buku itu adalah tulisan dosen-dosen STAIN Pontianak. Beberapa dosen, memiliki lebih dari 1 karya. Jumlah karya ini juga sering dijadikan kebanggaan Ketua STAIN Pontianak Haitami Salim dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Yapandi Ramli. P3M menaungi STAIN Pontianak Press.
Bahkan, sejumlah dosen Untan, STKIP, dan ATMA-UKM juga menerbitkan karya mereka di STAIN Pontianak Press.
Badzrul sempat menyatakan keinginan dia agar ada bukunya yang diterbitkan di STAIN Press.
Seperti juga Pak Haitami dan Pak Yapandi, saya memang selalu membanggakan terbitan STAIN Pontianak Press jika ada tamu yang datang ke kampus. Saya selalu melakukan apa yang saya lakukan kepada Badzrul: mengambil buku dan memperlihatkannya.
Habis, saya pikir, saya mau banggakan apa lagi. Fasilitas kampus STAIN belum dapat saya banggakan kepada teman yang datang, karena saya tahu kampus-kampus mereka, ruangan kerja mereka, jauh lebih baik dari kampus STAIN Pontianak.
Kampus-kampus mereka lahan luas berpuluh-puluh hektare, kampus STAIN Pontianak, sempit. Kampus mereka berlantai 4-5 (bahkan lebih), sedangkan kampus STAIN Pontianak hanya baru berlantai 2. Kampus mereka punya lift, kampus STAIN tak punya.
Ruang belajar mereka ber-AC, adem, ruang belajar di STAIN, pakai kipas angin dan AC alam, campur debu. Kipas angin yang tergantung di dek, kadang tak berfungsi karena siang hari listrik kerap padam. Di tempat mereka, dosen mengajar dengan tampilan slide, infocus siap, internet ready, sedangkan di kampus STAIN Pontianak, ruang belajar yang tersedia infocus hanya satu dua saja. Infocus selalunya diangkut-angkut. Beberapa kali – walau sudah susah payah mengangkutnya, tak bisa pula dioperasikan. Alhasil, white board selalu jadi andalan media belajar.
Internet di kampus STAIN kononnya free dengan ada jaringannya, tetapi saya hanya sesekali dapat memanfaatkannya. Sekarang tidak bisa lagi.
Saya sering masuk ke ruang kerja teman-teman di kampus di Malaysia. Ruangannya full AC, kursinya putar. Satu dosen, satu ruangan. Kecuali tutor, mereka berkongsi ruangan. Ruangan sendiri memungkinkan dosen menyimpan buku di kampus. Ruangan ber-AC membuat orang betah di kampus. Kampus menjadi rumah juga bagi mereka.
Saya sendiri rasanya tidak kerasan di kampus. Kipas angin bawa sendiri dari rumah. Itupun di kampus masih harus dikongsi. Ruangan tetap panas. Kursi putar, baru mimpi. Kursi dan meja yang ada harus minta dan menunggu. Belum lagi rak untuk buku dan fasilitas lain.
Tetapi, soal begini tidak pernah dijadikan hambatan benar – jika tidak sedang dipikirkan. Karya tetap dihasilkan. Beberapa buku sudah pun terbit. Sekalipun beberapa di antaranya adalah bunga rampai, atau tulisan bersama teman-teman dan mahasiswa.
Dan buku-buku beginilah yang sebelumnya saya promosikan kepada Badzrul, dan lantas membuat Badzrul memiliki kesan positif terhadap kultur akademik di kampus sederhana ini.
Saya tidak tahu, andai fasilitas menyamai fasilitas di kampus modern, apakah kultur akademik yang dikagumi Badzrul tetap bisa dipertahankan? Semoga saja!


Baca Selengkapnya...

Belajar dari Peristiwa di Counter Bis SJS Kuching

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Pagi Kamis (17/9). Setelah dari belakang, saya menjangkau HP yang sedang dicas di ruang tengah. Saya lihat ada dua panggilan masuk. Dua-duanya dari Bang Jumadi, dosen Fisipol Untan Pontianak yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Fakulti Sains Sosial Kemasyarakat Universiti Kebangsaan Malaysia (FSSK- UKM).
Saya segera berpikir, kalau Bang Jumadi memberi tahu saya, dia sudah tiba di Kuching dan akan bertolak ke Pontianak. Saya menduga dia akan memberitahu saya, bahwa semuanya lancar.
Saya mengirim SMS ke dia – pilihan sms lebih baik karena biasanya menelepon ke Malaysia susah masuk.
“Ya Bang? tadi ke belakang”.
Sesaat Bang Jum menghubungi saya.
“Yus, saya sudah di Kuching, tapi, orang bis bilang tidak ada tiket,”
Bah! Seketika, saya terkejut.


Ceritanya, tanggal 2 September, sekitar pukul 10 pagi waktu setempat, saya sudah membeli tiket bis SJS untuk tujuan Pontianak tanggal 17 September 2009 tiket pukul 11.00. Waktu itu yang melayani saya, seorang lelaki muda berkulit putih, dan seorang lelaki tua yang sudah beruban. Anak muda itu yang membuka tiket dan menerima uang. Saya rasa, orang tua itu masih dapat melihat dengan baik dan mengingatnya.
Setelah tiket diambil, saya bertanya pada mereka soal tiket. Apakah tiket saya bawa ke Pontianak sedangkan penumpangnya sekarang berada di Kuala Lumpur, atau bagaimana lebih baik.
Dia menyarankan tiket dititipkan di counter, dan nanti diambil sendiri oleh orang yang punya tiket. Saya akur. Saya mengembalikan tiket yang sudah saya pegang. Lalu anak muda itu menerimanya dan menyelitkan di klip daftar penumpang.
Saya menghubungi Bang Jumadi dan memberitahu prosedurnya nanti: Bang Jum datang ke terminal dan sebutkan nama untuk ambil tiket di counter. Tiketnya tinggal diambil, sudah dibayar.
“Nanti, tanya saja di counter,” kata anak muda itu menyakinkan.
Saya sempat bertanya nama anak muda itu, namun dia tidak menyebutkannya. Dia menekankannya, semua urusannya di counter. Weslah!
Saya percaya seratus persen. Tanpa keraguan. Saya meninggalkan counter SJS dan naik ke bis DAMRI yang akan berangkat ke Pontianak.

***

Siapa sangka, 12 hari kemudian, ceritanya lain. Ternyata tiket yang dikepilkan di daftar penumpang SJS, tidak ada.
Saya memberikan informasi pada Bang Jumadi tentang pembelian itu.
“Bang, tiket itu dibeli tanggal 2. Pada anak muda Cina itu dan seorang lelaki tua beruban”.
Identifikasi begini lebih mudah. Walaupun terdengar rasis. Habis, saya tidak tahu namanya. Saya sudah tanya, dia tidak menjawabnya. Mungkin salah saya tidak memaksanya menyebutkan namanya.
“Coba Yus omong pada mereka”.
“Ok”.
Saya kira Bang Jumadi menyerahkan HPnya kepada petugas di counter. Saya mendengar sedikit suara mereka, tetapi tidak jelas. Lalu saya nyerocos tentang pembelian tiket tanggal 2 itu.
Saya mengeluarkan luapan kemarahan. Saya lupa, saya sedang puasa. Saya emosi. Padahal, orang puasa tidak boleh marah. Saya lupa karena saya merasa sangat bodoh: bisa ditipu!
Tiba-tiba telepon terputus.
Beberapa saat kemudian, panggilan dari Bang Jumadi masuk lagi.
“Mereka hanya mau tiket”.
“Khan tiketnya sudah dititipkan pada mereka?”
Saya naik pan lagi. Mengapa mereka tidak punya cara lain melihat di daftar penjualan tiket. Toh, saya beli tiket di counter yang sama. Bukannya di tempat lain. Sepintas lalu, saya jadi memuji pelayanan tiket di penerbangan Air Asia. Sekarang, kalau mau naik check in cukup tunjukkan paspor. Tak payah sodorkan tiket. Nama setiap penumpang sudah ada dalam daftar penerbangan. Sangat memudahkan penumpang.
Rasanya, kalau dekat, ingin saya datangi counter SJS ini saat itu juga dan mungkin saya berteriak-teriak, saking geramnya.
Saya tak habis pikir. Mengapa mereka tidak punya cara melacak daftar penumpang. Apakah syarikat besar seperti SJS sedemikian parah sehingga daftar penumpang tidak ada? Bagaimana orang sudah bayar tiket tidak dimasukkan dalam daftar? Apakah mereka tidak punya mekanisme untuk pengeluaran tiket, karena jelas-jelas tanggal 2 itu, tiket tersebut sudah ditulis nama Jumadi.
Apakah mereka tidak punya daftar penjualan tiket tanggal 2 September? Begitu burukkah administrasi SJS. Rasanya tidak mungkin.
Lalu, apa yang terjadi sebenarnya?
Saya merasa tidak enak duduk, tidak nyaman pula berdiri. Bagaimana bisa begini???
Bang Jumadi menelepon lagi. Semua bis full.
“Saran Yus, bagaimana?”
“Naik bis ke Serian Bang, nanti sambung van ke Tebedu. Dari Entikong naik bis ke Pontianak”.
Saya membayangkan perjalanan yang bersambung-sambung. Pasti melelahkan Bang Jumadi. Jauh. Waktu lagi. Menyesal saya tidak bisa membantu Bang Jumadi, hanya untuk soal beli tiket. Memalukan!
Kemarahan saya sudah agak reda.
Tetapi masih kesal. Kesal karena saya melupakan pelajaran para jurnalis: jangan mudah percaya pada orang. Saya percaya pada orang di counter SJS di terminal Kuching itu, dan sekarang saya menyesalinya.
Saya mencoba duduk di kursi, mengunjurkan kaki, menarik nafas dan menghembuskannya. Membuang emosi. Meredakan ketegangan.
Lima menit kemudian, sms dari Bang Jumadi masuk.
“Akhirnya ada orang yang bantu saya naik bis SJS. Duduk di kursi cadangan. Kacau2. Tak apalah yg penting bisa pulang hari ini”.
Uhhh… syukurlah. Sekarang saya lebih lega.
“Yalah bang. Moga2 perjalanan lancar. Kesal benar mengapa kita bisa kena tipu”.
Ya kesal. Bukan soal uang yang hangus. Tapi, soal kepercayaan. Kepercayaan saya pada petugas counter dan pada system SJS, kepercayaan Bang Jumadi pada saya. Ini membuat saya merasa sangat bodoh. Benar-benar bodoh. Padahal, kalau saya tidak percaya dia, bisa saja saya kirim tiket yang sudah saya beli itu lewat facsimile, atau kirim tiket asli lewat pos.
Tak lama Bang Jum membalas lagi.
“Oke. Pengalaman buat kitalah. Kalau sdh mepet kayak gini duduk dilantai mobilpun no problem. Ha ha..”
Ya, pengalaman. Mungkin, pengalaman duduk di lantai baik juga bagi calon doktor yang di Kalbar sebenarnya sangat populer ini. Bang Jumadi biasa masuk TV dan koran. Bahkan dengar-dengar kabar angin dia termasuk orang yang digadang-gadang bertarung dalam suksesi pemilihan bupati di Ketapang.
Ini juga pengalaman yang buruk bagi saya setelah puluhan kali naik SJS di Kuching-Pontianak.
Emosi saya yang menggelegak di pagi hari itu masih berbekas sampai siang. Yakin, tekanan darah saya naik dan itu membuat hari ini tidak nyaman.
Saya baru merasa lega ketika sore menjelang Ashar, sms dari Bang Jumadi masuk.
”Yus, tadi saya di tlp orang penjual tiket tu. Die minta maaf krn ada kesalahan mrk. Nanti uangnya mau mrk kembalikan pas waktu saya plg ke KL nanti”.
“Oh, akhirnya…. Alhamdulillah”.
Saya bersyukur bahwa akhirnya saya benar: benar telah membeli tiket.
Tetapi, walau begitu, saya juga mendapatkan pelajaran lain. Saya telah gagal menahan emosi walau telah puasa. Saya masih harus lebih banyak lagi berpuasa dan menahan diri, agar bisa menjadi orang yang benar-benar sabar, sekalipun ada alasan untuk marah.



Baca Selengkapnya...

Sabtu, 12 September 2009

Berendam di Sungai Keruh

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Saya, adik ipar dan adik sepupu ngobrol sambil menunggu buku puasa bersama di rumah, kemarin. Obrolan kami melayang ke sana kemari. Mula-mula tentang kegiatan adik ipar yang ‘taim’ (istirahat) selama bulan puasa, tentang tempat tinggal adik sepupu setelah satu bulan lalu menikah, hingga kegiatan saya di Universiti Kebangsaan Malaysia.



Panjang-panjang cerita, kami terbawa cerita kampung halaman.
Adik ipar cerita, dia lebih senang puasa di kampung di Riam Panjang, Kapuas Hulu. Pagi hari kerja, siang istirahat di rumah, lalu menangkap ikan di sungai, hingga sore.
“Waktu puasa jadi tidak terasa. Tau-tau dah mau dekat buka puasa”.
“Berendam di sungai enak, segar. Tidak terasa hausnya ”.
Cerita ini membuat saya bernostalgia. Sudah lebih 20 tahun saya meninggalkan kampung. Kampung saya sekarang, Pontianak.
Saya tidak mungkin mengulang cerita lama: setiap pagi, setelah sahur, menyadap karet. Berangkat ramai-ramai ke kebun bersama tetangga. Memancing ikan bila siang. Atau main luncuran dengan pelepah kelapa. Kadang kala tidur di bawah pokok kayu rindang bila sangat lelah. Atau berendam di sungai bila sangat haus.
Tidak mungkin, karena saya sudah di Pontianak. Tidak mungkin karena saya sudah agak tua. Mungkin, saya tidak tahan lagi serangan nyamuk-nyamuk, atau kelulut, atau apit-apit yang mengejar keringat. Mungkin saya tidak mau lagi menghabiskan waktu dengan cara itu.
Tidak mungkin juga, karena sekarang, sungai di kampung sudah berubah. Tidak ada lagi banyak lubuk tempat ikan bersarang. Tidak lagi banyak ikan karena orang sering menangkap ikan dengan racun (tuba) jenis potas yang membuat ikan besar kecil mati. Ikan tidak sempat berkembang biak.
Tidak ada banyak lagi ikan, karena air sungai sekarang sudah tidak jernih. Kalau dahulu, kami biasa minum air sungai secara langsung tanpa dimasak– jika haus (dan tentu tidak kalau bulan puasa), sekarang tidak lagi. Air sungainya sudah berwarna putih lumpur, walaupun tidak sedahsyat perubahan seperti Sungai Landak yang kita lihat di Ngabang.
Ikan tidak berkembang di sungai yang airnya seperti itu.
Aktivitas penambangan emas yang menjadi-jadi, sudah merusak ekosistem sungai. Dan, juga merubah kehidupan masyarakat sekitar sungai. Karena itu, kehidupan indah penuh kenangan seperti itu menjadi sulit dijumpai lagi sekarang.
Isu lingkungan seperti ini lebih banyak hanya menggelinding di kalangan aktivis dan pencinta lingkungan. Tetapi, cenderung habis begitu saja.
Sebaliknya, di kalangan pemerintah, isu ini hanya diperhatikan sesekali saja: kalau ada tekanan agar dilakukan penertiban, dilakukanlah penertiban.
Begitu juga di kalangan masyarakat kebanyakan, isu lingkungan ini tidak dianggap penting. Bagi mereka, lebih penting soal bagaimana mencari uang untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka. Mencari uang dengan menggali logam mulia dari perut bumi sebanyak yang dapat diperoleh, bagaimanapun caranya, jauh lebih penting. Karena itu, mau sungai keruh, mau air sungai tak dapat diminum, mau kehidupan sungai punah, tidak diperdulikan sama sekali. Masa bodoh!
Kalau ada penertiban, andai bisa dilawan, mereka lawan. Jika mereka bisa bersembunyi, mereka bersembunyi. Tentu sebenarnya mereka tidak benar-benar tersembunyi. Sebab, bekas ‘perbuatan’ mereka masih bisa dilihat. Tempat galian masih bisa dilacak. Mesin-mesin dompeng bisa ditemukan. Pasti, jika aparat mau, siapa yang menggali tanah untuk emas pun dapat dicari dan ditangkap.
Pelaku bersembunyi “cak-cak-an”, dan aparat yang melakukan penertiban pun juga “cak-cak-an”, pura-pura tidak melihat siapa yang melakukan perusakan lingkungan.
Itulah keadaan kita. Keadaan yang membuat saya dan saudara-saudara saya hanya bisa bernostalgia tentang sungai yang jernih, yang airnya bisa langsung diminum, sungai yang banyak ikan dan sungai yang menjadi tempat bermain.



Baca Selengkapnya...