Oleh Yusriadi
Pawai di malam takbiran keliling kota Pontianak kemarin berlangsung meriah – sekalipun memang tidak semeriah malam pergantian tahun.
Kendaraan pawai membelah jalan kota, takbir menggema melalui pengeras suara, pukulan gendang dan drum membahana, dentuman meriam dan mercon memekakkan telinga. Begitu juga sinar kembang api memewarnai langit kota.
Kemeriahan terasa sempurna karena pawai ini seperti menjadi medium penyatuan budaya antar kelompok etnik. Budaya Melayu (Budaya Islam + budaya lokal) dicampur dengan budaya lain. Setidaknya saya melihat ada beberapa budaya lain yang ikut tampil dalam tampilan malam takbir kemarin.
Lihat bagaimana letusan petasan dan kembang api. Bakar petasan dan kembang api bukanlah berasal dari budaya Melayu. Orang Melayu Pontianak mengenal meriam; meriam karbit.
Begitu juga dengan budaya pukul beduk. Pukul beduk memang biasa dijumpai dalam masyarakat muslim Nusantara. Bahkan, di beberapa tempat, sebelum masuk waktu salat biasanya dibunyikan beduk. Orang Melayu juga mengenal tar (tahar); sebagai alat pengiring seni pertunjukan. Permainan tahar dalam masyarakat Melayu memiliki variasi yang rancak. Bahkan, di beberapa tempat ada anggapan, sebuah majelis perkawinan tidak akan sempurna tanpa tetabuhan tar mengiring pengantin.
Tetapi malam itu, bukan beduk yang dipukul orang. Meskipun ada judulnya pukul beduk. Yang dipukul malam itu gendang. Walaupun dalam kamus bahasa Indonesia, beduk dan gendang tidak dibedakan dengan jelas, tetapi, secara semantik, beduk dan gendang membawa dua konotasi yang berbeda. Beduk berkaitan dengan alat tetabuhan untuk “ritual“ di masjid, sedangkan gendang bermakna agak umum.
Dan, pada malam takbiran itu, yang dipukul orang adalah gendang (dan drum).
Saya tertarik pada gendang yang ditabuh mengiringi pawai malam itu. Bentuknya unik. Tak pernah saya lihat gendang seperti itu di masjid. Entahlah, mungkin karena saya jarang ikut kegiatan masjid.
Bentuk gendang yang dipakai malam itu, bulat pendek, dibalut kain batik warnanya merah.
Saya mendekati penabuh gendang yang berada di truk induk – truk yang paling besar yang terletak di kepala jalan. Waktu itu truk diparkir di depan pendopo Kantor Gubernur. Belum jalan. Panitia sedang menyampaikan pidato tentang pawai.
Anak muda yang ada di atas truk yang saya tanya tentang gendang itu mengaku tidak tahu.
“Entah dari mana, ndak tahu”.
Jawaban ini membuat saya makin heran.
Saya ingin naik ke atas truk untuk mengamati gendang itu. Namun, urung karena sulit. Saya kesulitan memanjat truk.
Pada saat saya maju mundur -- antara naik dan tidak, pandangan saya tertumbuk pada gendang serupa yang terletak tidak jauh dari truk tempat saya berdiri. Gendang itu terletak di atas porselin dekat halaman depan kantor gubernur.
Ada beberapa anak muda mengelilingi gendang itu. Semula saya mengira mereka adalah remaja masjid yang ambil bagian dalam kegiatan pawai.
Tetapi kemudian setelah saya menghampiri seorang penabuh, baru saya tahu mereka berasal dari organisasi bernama PDC singkatan dari Pontianak Drummer Club (PDC). Dia menjelaskan sedikit tentang PDC.
“Siapa punya gendang besar ini?”
“Tidak tahu ya. Bukan punya PDC”.
Saya sudah punya feeling kalau gendang itu milik yayasan Tionghoa.
Saya sering melihat gendang besar begini muncul dalam acara orang Tionghoa. Bunyinya “medam”. Pukulan yang teratur kadang-kadang kedengarannya asyik juga.
Dugaan saya makin kuat karena saya melihat ada lakban warna mereka di atas kulit gendang itu.
“Mengapa semua gendang ada lakbannya?”
“Apa ada yang ditutupi?”
Saya menghampiri gendang dan mencoba menyentuh lakban merah itu. Saya mencoba melihat apa yang ada di bawahnya. Atau lebih tepatnya, saya mencoba mencari jawaban mengapa lakban itu dipasang. Tidak nampak benar. Tetapi saya yakin di bawah lakband itu ada sesuatu yang disembunyikan.
Lakban itu lengket sekali. Agak susah membukanya. Tetapi, kemudian saya dapat melihat sesuatu yang menakjubkan. Di bawah lakband itu adalah aksara Cina. Tetapi saya tidak dapat membacanya.
“Apa tulisannya Bang?”
Saya bertanya pada penabuh gendang itu.
“Mi Ti Yau”
Dia mengucapkannya sambil tersenyum. Dia mengajak saya bercanda. Saya tersenyum. Mungkin, pas waktu itu hanya soal makanan yang dia pikirkan. Saya juga mafhum, „Mi Ti Yau“ adalah nama jenis makanan mie yang mudah dijumpai di kota Pontianak. Enak. Saya sangat mengemari Mie yang dimasak dengan cara ini.
Saya juga terkesan dengan Mie ini. Mie ini juga mencerminkan pengaruh Cina dalam selera makan orang Pontianak. Mie ini mencerminkan adanya hubungan budaya antara dua komunitas itu. Karena itu, orang seharusnya mampu melihat bahwa hubungan antar Cina (Tionghoa) dengan komunitas lain, bukan saja dalam konteks sosial, dagang, dan juga masuk dalam wilayah politik, tetapi juga soal makanan.
“Mi Ti Yau“ bukan satu-satunya jenis makanan ala Cina yang disukai orang Melayu (dan komunitas lain) di Pontianak. Masih ada jenis makanan lain. Misalnya Bak So, Cap Chai, dll.
Ini juga menunjukkan bahwa perkembangan budaya kelompok tidak bergerak berasingan. Komunitas Cina dan Melayu, tidak berada di ruang yang sendiri-sendiri. Ada ruang bersama yang mereka kongsi. Ada budaya bersama yang mereka pakai – dan saling pinjam. Ini semua terjadi karena interaksi antar komunitas sebenarnya terjalin sangat baik, lebih baik dari yang dikira banyak orang yang hanya melihat sesuatu secara parsial.
Tentu, hal seperti inilah yang harus dipahami dengan baik. Hal seperti ini yang seharusnya dipromosikan sehingga pada akhirnya orang tidak menganggap seakan-akan dalam semua hal hubungan antar komunitas ini terbangun tembok yang tinggi dan kokoh sekokoh tembok Cina.
Lagi, kedua komunitas ini perlu dijembatani. Ketegangan yang terjadi pentas ekonomi dan politik, mungkin dapat diredakan dengan kesadaran budaya –seperti diteorikan banyak ilmuan. Mudah-mudahan lebaran kali ini bisa menjadi permulaan membangun kesadaran itu. Mudah-mudahan ketegangan yang sedemikian mudah meletup dalam beberapa waktu belakangan ini, dapat diredakan.
Karena itulah saya menganggap lebaran di Pontianak tahun ini, sangat istimewa. Mudah-mudahan keistimewaan ini berlanjut.
Kamis, 24 September 2009
Pawai Takbir dan Relasi Etnik di Kalimantan Barat
Diposting oleh Yusriadi di 07.30
Label: Borneo Tribune, Budaya Kalbar, Etnik, Pontianak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar