Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune
Saya, adik ipar dan adik sepupu ngobrol sambil menunggu buku puasa bersama di rumah, kemarin. Obrolan kami melayang ke sana kemari. Mula-mula tentang kegiatan adik ipar yang ‘taim’ (istirahat) selama bulan puasa, tentang tempat tinggal adik sepupu setelah satu bulan lalu menikah, hingga kegiatan saya di Universiti Kebangsaan Malaysia.
Panjang-panjang cerita, kami terbawa cerita kampung halaman.
Adik ipar cerita, dia lebih senang puasa di kampung di Riam Panjang, Kapuas Hulu. Pagi hari kerja, siang istirahat di rumah, lalu menangkap ikan di sungai, hingga sore.
“Waktu puasa jadi tidak terasa. Tau-tau dah mau dekat buka puasa”.
“Berendam di sungai enak, segar. Tidak terasa hausnya ”.
Cerita ini membuat saya bernostalgia. Sudah lebih 20 tahun saya meninggalkan kampung. Kampung saya sekarang, Pontianak.
Saya tidak mungkin mengulang cerita lama: setiap pagi, setelah sahur, menyadap karet. Berangkat ramai-ramai ke kebun bersama tetangga. Memancing ikan bila siang. Atau main luncuran dengan pelepah kelapa. Kadang kala tidur di bawah pokok kayu rindang bila sangat lelah. Atau berendam di sungai bila sangat haus.
Tidak mungkin, karena saya sudah di Pontianak. Tidak mungkin karena saya sudah agak tua. Mungkin, saya tidak tahan lagi serangan nyamuk-nyamuk, atau kelulut, atau apit-apit yang mengejar keringat. Mungkin saya tidak mau lagi menghabiskan waktu dengan cara itu.
Tidak mungkin juga, karena sekarang, sungai di kampung sudah berubah. Tidak ada lagi banyak lubuk tempat ikan bersarang. Tidak lagi banyak ikan karena orang sering menangkap ikan dengan racun (tuba) jenis potas yang membuat ikan besar kecil mati. Ikan tidak sempat berkembang biak.
Tidak ada banyak lagi ikan, karena air sungai sekarang sudah tidak jernih. Kalau dahulu, kami biasa minum air sungai secara langsung tanpa dimasak– jika haus (dan tentu tidak kalau bulan puasa), sekarang tidak lagi. Air sungainya sudah berwarna putih lumpur, walaupun tidak sedahsyat perubahan seperti Sungai Landak yang kita lihat di Ngabang.
Ikan tidak berkembang di sungai yang airnya seperti itu.
Aktivitas penambangan emas yang menjadi-jadi, sudah merusak ekosistem sungai. Dan, juga merubah kehidupan masyarakat sekitar sungai. Karena itu, kehidupan indah penuh kenangan seperti itu menjadi sulit dijumpai lagi sekarang.
Isu lingkungan seperti ini lebih banyak hanya menggelinding di kalangan aktivis dan pencinta lingkungan. Tetapi, cenderung habis begitu saja.
Sebaliknya, di kalangan pemerintah, isu ini hanya diperhatikan sesekali saja: kalau ada tekanan agar dilakukan penertiban, dilakukanlah penertiban.
Begitu juga di kalangan masyarakat kebanyakan, isu lingkungan ini tidak dianggap penting. Bagi mereka, lebih penting soal bagaimana mencari uang untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka. Mencari uang dengan menggali logam mulia dari perut bumi sebanyak yang dapat diperoleh, bagaimanapun caranya, jauh lebih penting. Karena itu, mau sungai keruh, mau air sungai tak dapat diminum, mau kehidupan sungai punah, tidak diperdulikan sama sekali. Masa bodoh!
Kalau ada penertiban, andai bisa dilawan, mereka lawan. Jika mereka bisa bersembunyi, mereka bersembunyi. Tentu sebenarnya mereka tidak benar-benar tersembunyi. Sebab, bekas ‘perbuatan’ mereka masih bisa dilihat. Tempat galian masih bisa dilacak. Mesin-mesin dompeng bisa ditemukan. Pasti, jika aparat mau, siapa yang menggali tanah untuk emas pun dapat dicari dan ditangkap.
Pelaku bersembunyi “cak-cak-an”, dan aparat yang melakukan penertiban pun juga “cak-cak-an”, pura-pura tidak melihat siapa yang melakukan perusakan lingkungan.
Itulah keadaan kita. Keadaan yang membuat saya dan saudara-saudara saya hanya bisa bernostalgia tentang sungai yang jernih, yang airnya bisa langsung diminum, sungai yang banyak ikan dan sungai yang menjadi tempat bermain.
Sabtu, 12 September 2009
Berendam di Sungai Keruh
Diposting oleh Yusriadi di 05.07
Label: Kapuas Hulu, Suara Enggang, Tentang Yusriadi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar