Sabtu, 28 Maret 2009

Flat Hentian Kajang

Salah satu flat di Hentian Kajang, Malaysia. FOTO Herpanus.

Oleh: Yusriadi

“Bang Yus tinggal jak di Hentian Kajang,”
Herpanus, teman saya asal Sintang yang kini sedang menyelesaikan Program Master di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) mengirim pesan lewat email, Februari lalu.
Herpanus, alumnus Fakultas Pertanian Untan itu mengatur semua hal berkaitan dengan program Post Doc yang akan saya jalani. Mulai soal administrasi, hingga soal teknis. Termasuklah soal tempat tinggal.



Herpanus lalu menceritakan bahwa saya bisa tinggal bersama mereka di sebuah flat di Hentian Kajang. Letaknya lebih kurang 3-4 kilometer dari kampus UKM.
Di flat mereka ada tiga kamar. Dia dengan Jamil, mahasiswa UKM asal Ambon. Satu kamar lagi ditempati Nofriadi mahasiswa program master asal Padang dan satu kamar lagi ditempati Bang Kristianus Atok, mahasiswa program doktoral asal Kalbar juga. Herpanus dengan rinci menjelaskan teman-temannya itu.
Maksudnya, agar saya kenal ’medan’ dahulu sebelum bergabung dengan mereka.
”Abang nanti tinggal dengan saya dan Jamil,”
”Ok, tunggu saja. Terima kasih, karena pasti akan merepotkan,”
Beberapa hari kemudian, saya mendapat telepon dari Bang Kris. Soal penginapan juga.
Bang Kris rupanya juga membantu mengatur penginapan saya.
Saya mengiyakan. Mereka teman-teman yang baik dan perhatian.
Ketika saya sampai di KLIA, lapangan terbang Kuala Lumpur –sebenarnya tempatnya di Nilai, negara bagian Selangor, saya mengabarkan Bang Kris.
Bang Kris mengatakan menunggu saya di flat.
Saya juga menghubungi untuk memastikan alamat penginapan itu.
”29----. Tempat lama,”
Bang Kris menyebut ”tempat lama” untuk menunjukkan bahwa flat di mana dia menunggu adalah tempat yang pernah saya datangi.
”Anda pernah di sini khan?”
Bang Kris sering kali memanggil saya Anda. Kesannya, menurut saya, formal-berjarak. Entah apa maksudnya. Tetapi, kadang kala dia memanggil saya dengan Yus saja.
Saya mengiyakan.
Ya, saya memang langganan ke flat itu. Hampir setiap pergi ATMA, UKM, saya mampir. Bermalam semalam dua, kata orang.
Hanya sesekali saya menginap di hotel.
Flat ini ditempati mahasiswa Kalbar sejak lama. Mulai zaman Hermansyah –sekarang Dr Hermansyah. Ibrahim. Pak Bakran Suni– sekarang Dr. Bakran. Hingga sekarang, ada Bang Jumadi dan Qahar – keduanya, dosen Untan Pontianak.
Tentu saja saya ingat tempatnya. Tetapi, alamatnya ... tidak.
Saya naik bis dari KLIA, bayarnya RM3,50. Lalu naik komuter, kereta api listrik RM2.20, turun di Stasiun UKM. Dari sini berjalan kaki 10 menit, naik bis lagi, ongkosnya RM0.70, sampai di Hentian Kajang. Hentian Kajang adalah stasiun bis untuk wilayah Kajang. Saya memilih rute ini, karena jelas lebih murah dibandingkan naik teksi dari KLIA – Hentian Kajang. Tarif teksi tidak kurang dari RM60,00. Kalau RM 60,00 dikalikan Rp 3.200, jadi Rp 192.000. Bayangkan!
Turun dari bis saya menuju bangunan flat, menyusuri lorong kaki lima beberapa blok bangunan.
Hentian Kajang hari itu, bukan lagi Hentian Kajang yang saya lihat beberapa tahun lalu. Sekarang ini, kesan saya, keadaanya sudah sangat padat. Ramai sekali. Belakangan saya tahu dari kawan, keadaan lingkungan sudah tidak lagi nyaman.
Berjalan 5 menit, akhirnya saya sampai di bangunan flat yang akan saya tempati. Saya harus naik tangga lagi. Flat itu ada di lantai ke tiga – tingkat yang kedua. Lumayan juga naik tangga yang kemiringannya 30 derajat.
Saya memastikan nomor flat.
Benar.
Pintu besi (teralisnya) terbuka. Pintu flat dalam keadaan tertutup. Tetapi, dari luar saya dapat mendengar samar-samar suara TV. Melalui celah bagian bawah daun pintu juga nampak ruangan tengah yang terang, pantulan cahaya masuk melalui pintu teras yang terbuka.
Saya mengetuk pintu.
”Ya,”
Terdengar sahutan dari dalam.
Daun pintu terbuka. Bang Kris.
”Selamat datang,”
Bang Kris menunjuk kamar yang akan saya tempati. Kamar kosong. Ukurannya, lebih kurang 5 X 2,5 meter.
”Lampunya tak bisa hidup. Dedi yang bisa ngidupkan,”
Stop kontak ditekan, hanya kipas besar tergantung di tengah ruang kamar yang berputar. Lampu tidak menyala.
Ada masalah pada trafo pada lampu neon yang panjangnya mungkin satu meter itu. Belakangan, saya diajarkan menghidupkan lampu itu dengan cara memutar trafo, lalu menariknya keluar dari cangkangnya.
Saya mengamati isi kamar. Di kamar itu ada meja komputer warna kream dari bahan arbot. Di atasnya ada lipatan sejadah warna merah. Ada kursi plastik warna biru laut, ada kasur yang berseprai biru tua. Ada dua bantal, yang satu bersarung biru, dan satunya lagi bersarung hijau.
Ada dua 2 lemari platik yang di dalamnya ada 2 celana panjang, satu kemeja dan satu baju dalam anak usia 1 tahun. Di belakang pintu satu keranjang plastik berisi kertas dan koran bekas yang berdebu.
Semua barang yang ada di kamar itu sebenarnya milik penghuni-penghuni sebelumnya. Entah berapa generasi terdahulu. Saya ingat dahulu, waktu saya menginap di sini tiga atau empat tahun lalu –waktu itu menumpang pada Dedy Ari Asfar, lemari itu sudah ada.
Entah saya lupa memperhatikan dahulu, apakah kasur itu juga kasur yang lama atau baru.
Tetapi, saya kira itulah uniknya di sini. Sistem pewarisan untuk jenis barang yang tidak mungkin dibawa pulang ke Indonesia, berjalan secara alami. Pewaris tidak pernah tahu siapa yang akan menerima warisan mereka. Kecuali satu hal: seperti yang sedang dilakukan sekarang, flat yang sudah disewa mahasiswa Indonesia, sebisanya dipertahankan. Jangan sampai pindah tangan ke penyewa lain.
Kalau pindah tangan, resikonya pemilik barang-barang tidak harus ’mengapakan’ barang mereka. Mungkin tidak ada yang mau beli bantal atau kasur bekas. Entah siapa yang mau beli lemari plantik bekas, dll.
Hanya jenis barang-barang tertentu saja yang bisa dilego dengan harga murah. Itu pun, kalau mau melego, kadang kala harus bersusah payah, banting harga.
Ada alasan lain yang lebih penting.
”Kalau kamar bisa kita pertahankan, nanti, kalau kita dan kawan-kawan datang ke sini, tak payah-payah sewa hotel. Bisa menginap di sini,”
Benar. Bisa lebih hemat. Hotel di sini tarifnya di atas tarif hotel di Pontianak. Untuk hotel yang sangat sederhana, baiknya disebut penginapan, tarifnya berkisar di angka RM50. Tidak bagus.
Untuk hotel standar, tarif kamar yang murah kabarnya di atas RM 100.
Dan, saya bisa merasakan betapa enaknya datang ke UKM dengan menumpang di rumah teman. Gratis.

***

Flat –flat di Hentian Kajang sangat banyak. Tidak kurang dari 10 blok sekarang ini. Masing-masing blok memiliki 5 lantai. Flat-flat ini relatif baru. Sewaktu pertama kali saya datang ke UKM tahun 1996, di lokasi ini masih semak belukar.
Saya diberitahu, bentuk flat di sini relatif sama. Satu ruangan flat luasnya kira-kira lebih kurang 11 meter X 7 m.
Ada tiga kamar. 2 kamar di bagian depan berdampingan, lalu dapur. Kamar mandi kecil dan kamar belakang (kamar ini yang saya tempati). Saya sebut kamar belakang untuk menunjukkan lokasi yang berbeda dari lokasi depat, yaitu teras. Bagian belakang ini sebenarnya, boleh dianggap bagian depat, karena dekat dengan pintu masuk. Pintu masuk flat berada di tengah-tengah (bagian dalam?) bangunan blok.
Ada ruang tamu plus ruang tengah memanjang dari ujung beranda hingga pintu masuk. Kadang ruang tamu ini merangkap ruang tidur bagi sesiapa yang lagi bosan tidur di kamar. Di tiga kamar tidur dan ruang tengah ada kipas angin besar, dan di setiap ruangan ada lampu neon panjang.
Saya kira, lebih enak tidur di ruang tengah ini karena lebih lapang. Tidak pengap. Angin bisa masuk melalui jendela dan pintu.
Tetapi, betapa pun enaknya, dalam soal tempat tinggal lama, tentu lebih enak tinggal di rumah bukan flat, di tempat sendiri.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana akhirnya generasi-generasi yang menghabiskan hari-hari mereka di rumah flat. Bagaimana orang membesar di lingkungan sosial yang benar-benar lain, individual, dan juga sumpek. Bagaimana budaya mereka kelak?
Pastilah mereka akan berbeda. Pastilah mereka akan lain.
Mungkin...
Ah, memang harus begitu.
Kehidupan dunia menuntut adanya perubahan. Itulah, dunia fana, kata guru saya.
Yang tak berubah itu benda mati dan kematian.



Baca Selengkapnya...

Jumat, 27 Maret 2009

Apa yang Kita Cari dalam Hidup?

Oleh Yusriadi

“Kita ini, sebenarnya … kerja untuk hidup, atau hidup untuk kerja?”
Sebuah pertanyaan nakal dari Herpanus Antam, mahasiswa asal Emparu, Sintang, membuat saya dan Jamil, mahasiswa asal Ambon, terpegun.
Hari itu, awal bulan Maret, di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Kami yang semula ’asyik’ di depan komputer masing-masing, menghentikan aktivitas. Meluruskan badan, dan mengalihkan pandangan ke arah Herpanus yang duduk di depan kami.


“Mengapa? ….”
“Ya, lihatlah kita … sekarang ini,”
Saya merenung. Benar. Kami, sejak beberapa hari yang lalu, seperti tidak ingat waktu. Berangkat dari flat pagi hari, balik pada malam hari. Sepanjang hari kami terperap di dalam kamar ukuran 5X5 di bangunan ATMA Lantai 4. Ruang itu berdinding tripleks, berlantai karpet, dan berplafond asbes. Tertutup jendela kaca berlangsir. Sejuk. Sejuk karena AC menyala sejak pagi.
Kami duduk di depan komputer dengan kesibukan masing-masing. Herpanus, Jamil, sedang memperbaiki tesis mereka yang akan ditunjukkan kepada pembimbing mereka, Pak Jim, alias Prof. James T. Collins, beberapa hari lagi.
Saya, mulai membolak-balik daftar kata bahasa Melayu yang dituturkan di Pinoh. Sesekali saya melayari halaman internet untuk melengkapi bahan-bahan yang saya miliki.
Saya ingin menyelesaikan bab tentang Bahasa Melayu Pinoh secepatnya.
Kami semua kejar target. Kejar target inilah yang membuat kami ”bekerja” seperti hari itu.
”Ya ... apakah kita bekerja untuk hidup atau sebaliknya hidup untuk bekerja?,”
Aku membeo pertanyaan Herpanus.
”Kalau kami sih... nampaknya bekerja untuk hidup,”
Herpanus menyampuk lagi.
Logikanya, mereka bekerja, lalu mendapatkan imbalan dari pekerjaan itu. Imbalan itu digunakan mereka untuk hidup. Kasarnya, kerja karena perlu kerja untuk mendapatkan uang. Uang itu, untuk hidup.
Logika ini membuat saya merenung.
”Lalu, setelah bisa hidup, apa lagi?”
Dahulu, tahun 1994, saya pernah ditanya oleh teman dekat saya.
”Yus, apa sih tujuan kita hidup?”
Waktu itu saya juga tidak bisa menjawab. Saya tak sanggup menjawab: Kita hidup untuk mengabdi, untuk ibadah, untuk menjalankan tugas kemanusiaan, seperti pelajaran agama di sekolah.
Tetapi, saya juga menyadari, jika dalam kehidupan yang kita cari adalah kemasyhuran, nama, popularitas, apa yang kita bisa dapat di ujung kehidupan? Jika kita mencari harta, apa yang bisa kita nikmati di akhir kehidupan?
Setiap orang mati, berakhirlah semua itu. Siapa yang mau dekat dengan mayat dan tengkorak? Ketika kita mati, tidak ada yang kita bawa. Harta sebanyak apapun, tinggal semua. Dibawapun, rasanya tidak akan berguna.
Lalu, tiba-tiba saya jadi teringat pada percakapan saya dengan seorang lelaki tua, saat naik motor air dari Rasau Jaya ke Batu Ampar, Kubu Raya, dua tahun lalu.
“Apa yang penting dalam hidup kita? Apa yang kita cari dalam hidup ini?”
Saya terdiam. Memikirkan pertanyaan itu.
”Coba jawab,” katanya mendesak.
Sekali. Dua kali. Saya tidak bisa menjawabnya.
Sejujurnya, ketika itu, saya lebih memikirkan, mengapa dia mengajukan pertanyaan itu, ketimbang memikirkan jawabannya.
”Yang kita cari dalam hidup ini adalah rasa,”
“Rasa ingin makan, rasa ingin bernafas, rasa ingin jimak, rasa ingin buang air. Semuanya rasa,”
Dia tersenyum. Senang sekali saya melihat senyumnya itu. Saya yakin, pasti senyum itu akan semakin lebar kalau dia tahu siapa saya. Kononnya sudah sekolah tinggi, tetapi pertanyaan seperti itu tidak bisa jawab.
Saya tersenyum menyeringai. Senyum orang bodoh.
Jawaban beliau sangat sederhana. Tetapi dalam. Sama dalamnya dengan pertanyaan Herpanus hari itu.
Ya, biarlah saya merenung sendiri.





Baca Selengkapnya...

Selasa, 24 Maret 2009

Etno-matematik: Cara Menghitung “Orang Kami”

Oleh Yusriadi

Dahulu, tahun 1998 saya pernah diminta Dr. Hanapi Dollah, dosen di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), untuk mengumpulkan data tentang “Ento-matematik”.
“Saya ingin kamu kumpulkan bilangan-bilangan yang biasa digunakan orang Melayu, di tempat kamu,”





Begitu katanya waktu itu.
Saya pun melaksanakan tugasnya itu.
Saya kumpulkan data. Saya buat rajah gambar permainan anak-anak. Lompat tiung. Saya menghitung sudutnya. Saya catat. Saya buat gambar gambar lapak permainan surung, yang enam kotak itu.
Saya tengok-tengok lagi cerita rakyat, dan melihat hitung-hitungan di sana: ada anak tunggal. Ada nomor satu, dua, tiga. Ada putri tujuh. Dan lain-lain.
Tetapi yang paling menarik, ketika saya membuat perhitungan magic.
Saya sering mendengar moyang saya, Moyang Muna’ namanya –semoga Allah memberikan kepada beliau tempat yang sebaik-baiknya, menjampi-jampi dahulu:
”Sa’, dua’, daku’, dakai, dibai, dayai, sisit, kulit, lamung, gadin,”
Artinya, satu, dua, tiga empat, lima, enam, tujuh, lapan, sembilan, sepuluh”.
Kalau beliau sedang ’nyintak pedorak’ menarik rambut kalau seseorang lagi sakit kepala, beliau menghitung:
”sa’, dua’, daku’, dakai, dst...” lalu beliau menarik rambut itu agak keras.
Terdengarlah bunyi ’tuk’ di pangkal rambut.
Sembuh.
Kalau kami lagi pusing, kepala kami ditugu’ ke tiang para, tiga kali. Mulut beliau komat kamit. Menurutnya, sakit kepala itu karena ada sesuatu. Dan sesuatu itu dikembalikan ke tiang para agar pindah ke sana. Tiang para simbol sesuatu yang mati. Tiang para tidak pernah hidup. Kayu yang dijadikan tiang itu tidak pernah bertunas.
Saya ingat, kakak saya, Mbok Lena, dan bibi saya, Iyak Dayang, dahulu kerap kali menggunakan hitung-hitungan ini sewaktu membuat joran pancing dari pelepah duri’ (rotan).
”Sa’, dua’ daku’, dakai, dst... ”
Mereka menghitung dengan tangan menggenggam joran itu. Kanan dahulu, kemudian kiri, lalu kanan lagi, kiri, dan begitu seterusnya. Satu genggaman tangan, satu kali hitungan.
Hitungannya harus berhenti di titik ganjil. Tidak boleh genap.
”Kalau ganjil, mau’ bulih”
Maksudnya kalau ganjil, hengnya baik. Mudah dapat ikan. Kalau genap, bisa sial. Ikan tidak mau memakan umpan (plus mata kail). Memancingpun tidak akan dapat apa-apa.
Saya percaya dengan konsep itu. Saya pun, juga melakukan itu setiap kali membuat joran pancing.
Tetapi, setelah sekolah di Jongkong –ibukota kecamatan Embau, kami tidak pernah melakukan itu. Moyang sudah tidak tinggal di tempat kami. Beliau meninggal.
Mbok dan Iyak, sudah besar. Perempuan yang sudah besar tidak pernah lagi memancing. Kalaupun mereka menangkap ikan di sungai, mereka ikut sewaktu orang menuba ikan.
Saya, walaupun sesekali masih memancing, namun jarang sekali melakukan itu, dan tidak lagi berkesempatan membuat joran pancing. Saya selalu memakai pancing yang sudah ada.
Saya kira, kesempatan membuat pancing baru, kecil sekali dibandingkan dahulu. Dahulu sewaktu kecil, pancing sering kali hilang, atau patah. Semuanya karena ceroboh: memancing sambil bermain.
Sampai sekarang. Saya tidak pernah lagi memancing. Tak pernah juga menghitung pakai hitungan lama itu.
Emak saya, juga tidak melanjutkan kebiasaan moyang mengobati kami dengan cara menyentuhkan kepala ke tiang para.
Tetapi, untunglah saya tak sampai lupa hitung-hitungan itu.
Saya merasa beruntung mengingatnya.
Karena saya yakin pasti orang-orang lain yang berasal dari kampung banyak yang melupakan hitungan itu.
Saya juga merasa beruntung bisa terus melanjutkan hitung-hitungan ini. Dan sekarang menulisnya. Dengan begitu saya mendokumentasikan salah satu kekayaan intelektual nenek-moyang saya.

Baca Selengkapnya...

Senin, 23 Maret 2009

Mahasiswa Indonesia di UKM


Saya bersama teman asal Indonesia di ruang siswazah (sebutan untuk mahasiswa pasca sarjana) di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia. Di samping saya, ada Sukardi Gou dari Papua, Pett Derani, asal Seraya Sekadau, dan Herpanus, asal Sintang. Foto Jamil Fattarisa/Mahasiswa asal Ambon (Maret 2009).
Selain itu, di ruang itu, kadang-kadang muncul Ibu Rina dari Sumatera Barat, dan Bang Kristianus Atok, dari Pontianak.



Baca Selengkapnya...

Bingung Milih Wakil

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

“Bang, lagi bingung ni. Sebaiknya pilih siapa ya?”
Beberapa waktu lalu seorang teman dekat menghubungi saya, dan bertanya soal pilihannya, minta pendapat soal siapa calon legislatif yang akan dipilih dalam Pemilu beberapa hari mendatang.




”Kok bingung?!”
”Ya, bingung ... banyak benar yang harus dipilih,”
Dia lantas menceritakan, lebih sepuluh orang yang masuk daftar orang yang harus dipilihnya.
”Caleg yang keluarga lebih dari sepuluh orang,”
Dia lantas menguraikan caleg yang masih sepupunya empat orang. Caleg yang terhitung paman, tiga orang. Caleg yang ’tiba-tiba’ menjadi keluarga dekat 3 orang. Tiba-tiba maksudnya, dahulu-dahulu macam tidak kenal meskipun pangkatnya masih sepupu dua dan tiga kali. Tetapi sekarang, katanya, macam iye-iye. Caleg yang terhubung dari ikatan perkawinan kakak adiknya 3 orang. Caleg dari keluarga pacarnya, 2 orang.
”Semunya minta dukungan kita,”
Cukup?
Belum. Masih ada lagi. Ada lima caleg dari kalangan temannya. Teman kerja, teman kuliah, dan teman hobby. Semunya juga sudah titip pesan jauh-jauh hari.
”Memelas rase hati tengok mereke,”
Padahal, katanya, dia sendiri sudah ada pilihannya sendiri. Ada satu tokoh yang selama ini dinilainya sangat baik kinerjanya. Tokoh lokal itu, hampir menjadi idolanya. Sejak awal sebenarnya dia berniat memilih tokoh ini. Dia yakin tokoh ini sangat layak jadi wakil rakyat. Tokoh ini sangat cocok untuk duduk di kursi wakil rakyat.
”Trackrecordnya bagus. Tidak buat janji-janji muluk. Penampilannya bagus. Orangnya bagus. Masih muda lagi,”
Saya kira pujiannya tidak berlebihan. Sebab, saya juga mengenal tokoh yang disebutkan itu. Kalau saya memilihpun, untuk level dewan tingkat ... tentu nurani saya akan pilih dia. Tapi, malangnya saya tidak ikut memilih.
Saya memberikan jalan keluar pada teman saya itu.
”Ya, ndak apa-apa. Waktu milih nanti ’khan kamu ndak bilang siapa-siapa. Rahasia. Pilih saja siapa yang mau kamu pilih,”
”Ndak semudah itu, Bang,”
Aku terperanjat juga mendengar ’tetapian’nya. Kok tidak semudah itu?
”Memang sulitnya di mana?”
”Saya sudah bilang mendukung keluarga-keluarga dan teman yang sebelumnya minta dukungan. Khan ndak enak juga nanti mereka tidak dapat suara. Kesian juga adalah sikit-sikit. Lagian, tetap saja tidak enak kalau sudah janji, tetapi tidak ditepati,”
Ya, memang rumit. Tapi, saya segera sadar. Saya tidak mau terlibat dalam kerumitan yang menurut saya agak konyol.
”O... begitu. Gampang jak. Kamu tusuk semua gambar orang itu. Jadi,”
”Ngacau jak. Hanguslah suara kita,”
Saya tertawa. Tertawa karena mendengar bantahannya. Memang tadi, saya asal bunyi.
”Atau ... tak usah milih jaklah ngape. Daripada bingung-bingung. Tadak pula kamu berdosa karena bohong,”
Asal bunyi lagi.
Asal bunyi, karena saya kira, memilih tidak memilih, sementara kita tahu siapa orang yang harus dimenangkan, juga salah. Sikap begini sama saja dengan membiarkan orang yang tidak layak menjadi wakil karena pilihan orang lain. Bisa-bisa sikap seperti ini membiarkan kemungkaran, pada akhirnya.
Kita harus memilih orang yang layak.
Tetapi, saya juga mengerti, teman saya itu masih memiliki pertimbangan lain. Dia sudah terlanjur janji, dan janji itu harus ditepati. Dia, berbeda dengan sejumlah orang yang tega-teganya memberi janji kepada caleg: ”siiip pak, kami dukung Bapak,”, tetapi, sebenarnya tidak. Orang yang begini menipu, namanya. Berbohong. Orang kita sekarang ini sedang berada dalam situasi itu. Mereka terjebak menjadi penipu. Lihat saja imbauan orang tertentu: ”Apapapun yang dibantu orang pada kita ambil saja .... apa yang bisa diminta dari caleg itu mintalah sekarang, mumpung ... Soal memilih, pilihlah sesuai hati nurani”.
Ini jelas menipu. Ini bukan ajakan yang baik.
Sedihnya, orang tidak merasa berdosa karena mereka tidak memikirkan bagaimana caleg-caleg itu ’memaksakan’ diri menabur uang dan janji, setelah terambul janji manis calon pemilih.
Orang tidak merasa berdosa karena menganggap menipu orang yang menipu, itu baik.
”Ah, Abang bikin saya tambah bingung,”
Dia menyerah. Saya tertawa.


Baca Selengkapnya...

Rabu, 18 Maret 2009

Askari, Mayor Penerbang dari Kedamin

Oleh Yusriadi
Borneo Tribune, Jumat, 9 Januari 2009


"Setogal dulu' bah,"
Pak Askari pamit. Sebentar.
Gayanya santun.



Dia bergegas meninggalkan saya dan Tanto Yakobus, Wakil Pimpinan Redaksi Harian Borneo Tribune, Pontianak. Menyusul rekannya, Mayor Hendri, Kepala Seksi Pembinaan Potensi Kedirgantaraan, dan Letnan Rozikin, perwira bagian Penerangan dan Perpustakaan, Pangkalan Angkatan Udara Supadio Pontianak.
Mereka menjemput Komandan Pangkalan Udara TNI AU (Lanud) Supadio, Kolonel Penerbang (Pnb) Yadi Indrayadi, di halaman depan kantor Borneo Tribune.

Kami melihat dia melangkah keluar, sampai dia hilang di balik pintu.

"Tak sangka ya,"

Saya memberi tahu Tanto.

Saya merasa takjub.

Seorang tentara dengan pangkat tinggi masih bisa bersikap santun seperti itu. Bayangan saya, mestinya tidak begitu. Apalagi di kalangan militer. Di kalangan militer pangkat sangat penting. Orang cenderung dihormati karena pangkatnya.

Saya tidak punya pangkat. Tanto ada -Wakil Pimpinan di Borneo Tribune. Tetapi, saya rasa, Pak Askari pamit terutamanya kepada saya. Sebab dia menggunakan bahasa ulu.

Dan, tentu saya juga takjub karena dia menggunakan "bahasa ulu". Memang, kami sudah berkenalan beberapa menit sebelumnya. Mayor Hendri yang mengenalkannya. Dalam perkenalan itu, Pak Askari disebutkan berasal dari Kapuas Hulu, satu daerah dengan saya. Bedanya, dia dari Kedamin, sedangkan saya dari Riam Panjang. Jarak Kedamin - Riam Panjang 100 kilometer.


***


Saya berusaha mengenalnya.

Namanya Askari. Tertulis dengan huruf balok, ukuran kecil terpampang di dada kanan. Dari jarak beberapa meter nama itu sudah bisa terlihat. Tulisan dengan warna putih di atas dasar hitam.

Di dada kiri terdapat beberapa tanda penghargaan dan jabatan.

Dia mengenakan baju biru langit, dengan topi Angkatan Udara warna biru dengan lis kuning.

Di pundaknya terdapat tanda melati. Ini juga penanda pangkat. Pangkat tinggi kata orang. Mayor Penerbang.

Perawakannya besar tinggi. Kulitnya agak hitam. Alisnya tebal. Jam tangan di lengan kanan.

Langkahnya tegap.

"Ini, kadis personil," begitu memperkenalkan dia kepada awak redaksi Harian Borneo Tribune. Senin (5/1).

Perkenalan formal. Karena sebelumnya, sudah ada perkenalan tidak formal. Kami sudah berkenalan saat mereka datang ke Borneo Tribune lebih kurang 20 menit sebelumnya.

Askari sendiri mengaku dia bertugas di Kalbar sejak tahun 2006. Sebelumnya, dia pernah bertugas di banyak tempat.

"Hampir seluruh pantai barat sudah,"

Pantai barat yang dimaksud adalah pangkalan-pangkalan Angkatan Udara di wilayah-wilayah pantai barat di Indonesia.

Meskipun pengalamannya banyak dan jabatannya tinggi, namun, dia nampak low profile.

Saya merasa dia tidak seram.

Ya, dia seperti juga komandannya Yadi Indrayadi yang Malah rasanya sangat familier. Pertemuan kami diwarnai gelak tawa. Tetapi, sesekali juga serius.

Saya saya tidak sempat bertanya bagaimana dia bisa masuk jadi tentara Angkatan Udara -angkatan yang agak jarang dimasuki oleh orang-orang di pedalaman Kalbar.

Saya juga menyesal tidak sempat menggali bagaimana dia meniti karirnya. Pasti tidak mudah menyeruak dominasi.

Saya hanya sempat bertanya sedikit tentang pendidikan.

Mayor Askari lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak. Setelah menyelesaikan pendidikan di Sospol Untan, dia sempat istirahat satu tahun.

"Bantu orang tua berladang,"

Dia dengan bangga mengisahkan bagaimana orangtuanya menyiapkan pendidikan anaknya.

"Orang tua memelihara 7 ekor sapi. Setiap anak tamat SMA, jual satu,"

Hasil penjualan digunakan untuk biaya anak melanjut sekolah.

"Managemen dia menyekolahkan anaknya, sangat luar biasa,"

Saya rasa, Pak Askari mewarisi itu.





Baca Selengkapnya...

Sabtu, 14 Maret 2009

Tasik Cempaka, Kajang

Oleh: Yusriadi

Jumat (6/3) petang. Saya, bersama dua orang teman satu flat di Hentian
Kajang, Selangor, duduk di teras -- balkon. Kami bercakap banyak hal, kesana kemari.
Tentang biaya kuliah di Malaysia yang naik, tentang politik tanah air yang
sedang hangat, tentang masa depan daerah, dll.
Ujung-ujung obrolan, saya bertanya:
”Minggu ni, ada olahraga ndak?”
”O, iya. Kami sih, biasanya olahraga. Joging,”
”Taak ... sepak bola? Futsal?”
”Joging je. Yang ringan-ringan,”




Lalu, masing-masing kami bercerita olah raga yang ditekuni dahulu. Kawan
saya rupanya juga suka bulu tangkis.
”Sekarang tidak mampu lagi. Joging je,”
”Joging di mana? UKM?”
”Kadang di UKM. Kadang di Tasik Cempaka,”
Ya, UKM, saya cukup mengenal nama itu. Itu kampus kami. Mereka belajar di
situ sekarang. Saya juga belajar di situ, dahulu. Di kampus ini banyak
fasilitas olahraga.
Di pintu masuk ke UKM ada 5 lapangan bola, satu di antaranya sering difungsikan
untuk main rugby. Ada lapangan golf kecil. Lapangan basket. Ada lapangan
tenis, lapangan volly, sepak takrau, lapangan kriket – main bola pakai tongkat
itu lho. Di bagian dalam lagi, ada kolam renang. Di samping kanan, di
belakang Hotel Kampus ada stadiun – lapangan bola, dan lintasan lari. Di
puncak bukit dekat stadium itu ada Dewan Gemilang, tempat yang bisa
digunakan untuk main bulu tangkis.

***

Tapi, tentang Tasik Cempaka saya belum pernah dengar.
”Tasik Cempaka dibangun pemerintah sebagai ruang publik untuk masyarakat
rekreasi. Tempat itu jadi tempat orang joging. Ramai,”
Tasik, dalam pengertian kita di Kalbar, adalah danau. Tetapi, kata teman, ini sebenarnya bukannya danau asli. Ini adalah bekas tambang timah. Bekas galian tambang menjadi danau, dan danau buatan itu kini menjadi objek wisata.
Lalu, Minggu (8/3) pagi, pergilah kami bertiga ke tempat itu. Dari rumah
pukul 8 waktu setempat. Kalau di Pontianak kira-kira pukul 7. Tetapi
seharusnya kalau lihat posisi matahari dan embun pagi, mungkin baru pukul
6 lewat.
Dari flat, kami menyusuri jalan ke arah Kajang. 1 km dari rumah teman singgah di pom bensin. Kami berhenti di dekat mesin pompa. Melihat nomor pompa, lalu berjalan menuju kounter. Dia menyerahkan uang kepada petugas kounter.
Setelah itu, dia membuka jok dan mengambil ujung slang.
”Di sini layan sendiri,”
Jadi, meskipun mesinnya banyak, namun petugasnya tidak banyak. Masing-masing orang yang isi minyak, mengisi sendiri sesuai bayarannya ke kounter.
Tidak lama. Selesai. Teman saya mengisi dua liter saja.
Kami melanjutkan perjalanan. Tidak jauh dari pom tadi, kami mematah ke kiri. Saya tidak tahu apa nama jalan itu. Yang saya tahu, jalan itu biasa dilewati kalau naik mobil ke Kuala Lumpur.
Kami melewati beberapa ruas jalan yang luas dan lengang.
Kendaraan orang dipacu laju.
Motor yang saya tumpangi tidak sebanding dengan kendaraan-kendaraan itu.
Honda supercap. Saya kira umur motor itu mungkin setua umur saya. Kalau
tidakpun, muda sedikit dia.
Saya ingat kalau di Pontianak, jarang-jarang ada motor jenis ini. Kalau
adapun, agaknya, sudah hidup segan mati tak mau. Mungkin akan mirip rongsokan besi tua yang tak dikenal sejarahnya.
Tapi, motor ini, sekalipun tua, suaranya masih langsam. Tarikannya masih
kuat. Yahut-lah pokoknya.
Tak lama, kami berbelok ke kiri, masuk ke komplek kantor pemerintah
daerah. Bangunannya bertingkat. Tinggi. Banyak kendaraan terparkir. Maklum
di bagian bawah bangunan ini ada tempat jualan.
Di samping kiri bangunan itu ada taman luas. Kami masuk ke taman itu
menuju tempat parkir.
Saya turun dari motor dengan takjub.
Luar biasa. Benar, ramai sekali orang di sini. Joging. Macam-macam gerakan mereka.
Ada yang lari-lari kecil. Ada yang jalan-jalan. Ada yang main sepatu
roda. Ada yang main bulu tangkis – tepuk-tepuk. Ada yang bergantungan di
palang-palang besi. Ada yang senam –seperti Tai Chi. Ada yang main bola
sepak.
Kami berjalan menyusuri jalan bersemen di pinggir tasik. Danau. Jalannya
terbagi dua jalur.
Bagian bawah dekat danau, dan atas –di sebelahnya. Atau lebih tepat,
bagian laluan kiri dan kanan. Lebar setiap jalur bervariasi ada yang
lebarnya 2 meter
Dari ujung hulu danau ke hilir danau mungkin ada hampir satu kilometer.
Di dalam danau – di bagian tepinya, banyak ikan – jenis ikan kalapia. Ada
yang masih kecil –anak-anak ikan, ada besarnya satu tangan – 8 cm. Banyak
juga burung –berbagai jenis, yang saya kenal bangau putih dan gagak hitam, terbang dari satu pohon ke pohon lain yang ada di kiri kanan danau. Semuanya dilindungi. Berani tangkap ikan di danau ini, atau berani tembak burung, denda taruhannya. Kalau tidak, jeruji besi.
Kami memutar, berjalan dari ujung ke ujung danau. Sesekali mencoba
fasilitas yang dilewati.
Saya sangat terkesan ketika melewati batu-batu tajam yang disusun
berdekatan, yang kalau menginjaknya sama seperti pijit refleksi – kata
teman. Ada 15 menit kami sengaja ”mencari sakit”, sambil meringis-ringis.
Sekali lagi, semua ini mengingatkan saya pada kecerdasan orang di Malaysia bersahabat dengan alam. Sesuatu yang biasa dibuat sentuhan, sehingga bagi saya menjadi sesuatu yang luar biasa.
Berulang kali saya mengungkapkan kekaguman ini kepada teman saya. Seperti saya, mereka juga kagum. Kami sama-sama membayangkan, bahwa seharusnya Pontianak sudah memiliki fasilitas seperti itu.
”Ini bagian dari konsep one stop center,”
Semuanya ada di sini.
Pasti biaya yang dikeluarkan mahal. Tetapi, tentu selalu ada jalan.
”Kalau tak bisa pakai duit pemerintah, seharusnya pemerintah bisa membangun menggunakan uang swasta,”
Kata teman saya, kalau gubernur mau, bangun kantor gubernur baru di kawasan yang luas. Lalu kawasan itu menjadi kawasan wisata. Di bangunan-bangunan ini gunakan untuk pusat perdagangan. Lalu disewakan dalam waktu berapa puluh tahun.
“Lihat tu, konsep Putrajaya,”
Putrajaya adalah pusat kantor perdana menteri Malaysia yang digagas Perdana Menter Mahathir, dahulu. Tempat itu menjadi tempat yang dikunjungi orang kalau mau mengagumi Malaysia.
Teman saya berhayal.
“Kalau kita kerja, capek, bisa berdiri di dekat jendela, melihat pemandangan di luar. Tentu fresh lagi. Ini, kantor pemerintah kita, apa yang menarik bisa dilihat dari jendela?,”
Saya jadi terbayang diskusi kami dahulu tentang pemindahan ibukota Kalbar. Mungkin inilah kesempatannya.
Saya sempat SMS teman di Pontianak tentang tasik ini.
“Andainya di Kalbar ada tempat seperti ini.”
“Andainya pemerintah atau swasta mau menyediakan ruang publik seperti ini.”
Duh, asyiknya ya...




Baca Selengkapnya...

Jumat, 13 Maret 2009

Belajar dari Mereka yang Luar Biasa

Oleh Yusriadi

Tiba-tiba terlintas dalam benak saya, keinginan membawa peserta Pelatihan Penulisan Kisah Perjalanan Malay Corner (MC) ke lapangan.
Ide ini muncul, karena kalau turun bersama begini peserta bisa langsung praktik. Dengan turun bersama, kami bisa langsung berdiskusi, dll di lapangan. Dengan turun bersama-sama saya bisa menilai apakah tulisan mereka kelak ‘ok’ atau tidak.
Bagi teman yang lain, turun lapangan ini akan menambah jam terbang melakukan penelitian lapangan. Jam terbang ini penting untuk membangun kepercayaan diri sebagai seorang peneliti, selain menambah pengalaman berinteraksi dengan masyarakat yang diteliti.



Saya selalu percaya, interaksi serupa ini akan berbeda kualitas dan dampaknya dibandingkan dengan interaksi biasa.
Saya kemukakan ide ini kepada Ibrahim, Direktur MC. Ibrahim menyambut baik rencana ini.
Soalnya kemudian adalah bagaimana mengatur kunjungan ini? Bagaimana teknisnya? Bagaimana biayanya, dll.
Akhirnya saya putuskan bernegosiasi dengan kepala P3M STAIN Pontianak, Yapandi Ramli. Kepada Bang Yapandi, saya kemukakan kami berniat melakukan kunjungan lapangan dan kunjungan itu dilakukan ke desa binaan STAIN Pontianak. Kami akan membuat tulisan tentang desa yang kami kunjungi. Kami akan terbitkan buku!
Ujung-ujung, tapi ... kami minta difasilitasi.
Soal transportasi: kami berangkat pakai motor sendiri: Lebih murah dan tidak merepotkan P3M.
Dan, Alhamdulillah Bang Yapandi setuju. Bahkan beliau menyambut dengan antusias rencana. P3M akan rapat membicarakan rencana itu.

***

Dalam perkembangan selanjutnya, rupanya diskusi di internal P3M menghendaki desa yang dikunjungi adalah desa Durian, bukan desa di Punggur. Saya menghendaki Punggur bukan tanpa sebab. Kepada Ibrahim saya kemukakan bahwa saya memilih Punggur karena itu kampung Bugis. Pertama, tulisan tentang Bugis perantauan agak terbatas. Terutama tentang Bugis Kalbar. Tentang Madura Kalbar sudah cukup banyak. Kedua, untuk kepentingan MC, meneliti Bugis lebih relevan karena dalam banyak hal Bugis kerapkali diserap dalam kelompok Melayu. Fenomena Bugis di Kalbar secara umum juga sangat menarik karena identitas yang ditunjukkan kelompok ini cukup variatif. Dan ini menambah referensi di MC.
Mengapa P3M lebih memilih Durian?
“Itu desa eks pengungsi GOR,”
“Kehidupan pengungsi meningkat. Dahulu rumah kayu bulat, sekarang semen. Bagus-bagus dan besar,”
Wow. Menarik.
Pasti menarik melihat bagaimana masyarakat di sini bangkit dari penderitaan yang mereka alami. Saya bisa membayangkan betapa tidak enaknya terusir dari tempat tinggal. Betapi tidak nyamannya lari dari rumah sendiri. Betapa menderitanya di bawah bayang-bayang pembunuhan.
Hidup di pengungsian juga tidak enak. Saya pernah membuat liputan tentang pengungsian ini. Mereka hidup di barak-barak. Mereka tidak punya privasi. Tidak punya apa-apa. Mereka tergantung pada bantuan. Bantuan pakaian, bantuan makanan dan bantuan perhatian. Hanya orang yang hatinya yang gelap saja yang tidak dapat menyelami penderitaan seumpama ini.
Lalu, mereka direlokalisasi. Dipindahkan ke tempat yang ditentukan pemerintah: itupun juga dengan tekanan. Ada suara-suara tidak indah. Ada orang yang keberatan menerima kehadiran mereka, karena suku mereka.
Mereka harus mencari tempat di mana mereka bisa diterima dengan ikhlas. Mereka harus mencari tempat yang sesuai.
Di lokasi ini, mereka memulai dari nol. Kalau bukan dari minus. Mereka harus berjuang sekuat tenaga, agar bisa bangkit lagi. Mereka harus menghadapi alam, bahkan menghadapi psikologi diri sendiri sebagai orang yang terusir dari kampung halaman.
Saya membawa rombongan pergi ke lokasi dengan semangat antusiasme.

***

Berhasil. Ada dua hasil yang nyata yang saya – kami, dapatkan dari kunjungan lapangan itu.
Pertama, seperti yang diceritakan, kami benar-benar menyaksikan sesuatu yang luar biasa.
Kami menyaksikan kehidupan masyarakat di sini bangkit. Kami menyaksikan perjuangan mereka. Mereka telah melewati ujian –ujian yang jelas sangat berat. Dan mereka sanggup. Mereka berhasil.
Mereka menunjukkan kemandirian mereka. Mereka memilih tanah tempat tinggal sendiri. Membeli lahan terbatas dengan dana pindah yang disediakan pemerintah. Lalu lahan itu mereka garap. Mereka olah. Mereka tanam.
Sayur tumbuh subur. Ada ubi, sawi, cabe, kubis, kacang, dll. Padi terus berbuah –walaupun tahun ini karena faktor cuaca jadi agak kurang. Lahan menjadi sangat produktif.
Mereka juga memelihara sapi dan ayam.
Pada saat tertentu, mereka bekerja ke luar kampung. Yang wanita menjadi pembantu rumah tangga. Yang lelaki kuat menjadi buruh bangunan, jalan, dll. Tidak saja di Pontianak, mereka juga merantau hingga ke Jakarta, Malaysia, bahkan Arab Saudi.
Pendapatan dari luar mereka bawa pulang. Mereka bangun rumah. Mereka beli tanah. Mereka tingkatkan taraf kehidupan dalam waktu hanya empat lima tahun. Waktu yang singkat.
Kedua, saya juga menyaksikan semangat kawan-kawan peserta pelatihan dalam mencungkil data. Waktu bagi mereka berharga untuk ditukar dengan informasi yang dibutuhkan. Lelah, hampir tidak jadi halangan bagi mereka untuk melaksanakan ’panggilan hati’ sebagai peneliti dan penulis kelak.
Saya merasa beruntung berada di antara mereka yang memiliki semangat tinggi. Saya seperti melihat kelahiran generasi penulis di Kalbar ini.
Saya seperti sudah melihat karya-karya mereka di lapangan, karya yang akan membuka cakrawala orang lain dalam memahami kehidupan sosial masyarakat –khususnya masyarakat di Kalbar.
Karya ini juga membuat mereka-mereka sebagai orang Kalbar yang namanya akan abadi di tengah perubahan zaman. Tunggu saja!


Baca Selengkapnya...

Senin, 09 Maret 2009

Impian S-4

Oleh Yusriadi

“Post Doc”.
Sudah lama aku mendengar frasa itu. Sejak dahulu. Beberapa tahun lalu. Sejak aku masih bergelut dengan disertasiku.
”Wuih, bisa ikut program itu, keren,”
Teman-teman bilang ambil program Post Doc sama dengan ambil S-4. Ada yang bilang ambil S-4 sama dengan ambil tiket profesor.




Hey, siapa ilmuan yang tak mau jadi profesor?
Aku kira semua orang mau. Aku juga mau jadi profesor suatu saat kelak.
Kukira kemauanku tidak mengada-ada. Potongan jadi profesor sudah ada.
Kepalaku mulai botak. Rambutku, helai demi helai lepas. Lepas sendiri. Mahkota di atas kepala mulai tipis.
Aku ingat betul dahulu sewaktu memulai studi pasca sarjana tahun 1996 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), setiap pagi aku memungut helain rambutku yang rontoh di atas bantal. Tak terhitung. Ketika aku kembali ke Pontianak, teman-teman dapat melihat perubahan yang drastis.
Lalu, di sana-sini rambut yang tersisa di kepalaku mulai memutih.
”Ihh, Bapak dah uban,”
Kata anakku.
Salsa,9 kelas 3 Ibtidayah, dan Zebta, 7, kelas 1 Ibtidayah, kerap kali mengomentari rambut bapaknya yang berwana putih. Sesekali mereka mencabutnya.
Pikiranku mulai lepas-lepas. Bundaku mengatakan, aku mulai amnesia. Sering benar orang-orang di sekitarku menemukan aku bingung mencari-cari sesuatu. Entah kunci motor. Kunci rumah. Berkas-berkas. Aku juga kerap lupa nama orang yang lama tak kujumpai. Ingat wajah, lupa nama. Jadinya, memanggil pun pakai ”oi, oi”.
Aku selalu ingat, salah satu ciri profesor adalah linglung. Konon.
Satu-satunya alat yang melekat pada seorang profesor yang belum kupakai, adalah kacamata.
Seharusnya aku memang sudah pakai kacamata. Melihat tulisan kecil dalam jarang 10 meter aku masih bisa. Tetapi, huruf-huruf itu pasti akan nampak bersambung. Jangan juga suruh aku baca teks di TV dalam jarak 10 meter. Tak akan dapat. Aku sering tidak dapat mengenal orang yang berdiri 100 meter dari tempatku berada, apalagi kalau sore atau malam hari.
Entahlah, sampai sekarang aku belum lagi ke Optik untuk cari alat bantu pandang itu.
Jujur saja aku selalu membayangkan betapa repotnya kalau harus pakai kacamata. Bawa ke sana-sini. Nenggek di hidung, lalu ada bekas –seperti seorang temanku yang bekas tengge’an kacamata membentuk ’lubang hitam’ di kiri kanan batang hidungnya.


Akhirnya, kesempatan itu datang. Dr. Chong Sin dan Prof. James T. Collins memberi tahu aku tentang kesempatan itu di UKM. Dr Chong, temanku semasa kuliah dulu. Kami juga sering melakukan penelitian lapangan bersama-sama. Sedangkan dia menjadi peneliti dan pensyarah di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA). Sedangkan Prof. Collins –kami memanggilnya Pak Jim, adalah guruku sejak tahun 1996. Beberapa waktu lalu dia menjadi Direktur CSEAS NIU, Amerika Serikat.
Dr. Chong mengirim formulir dan memberi petunjuk pengisian. Beliau juga meminta aku melengkapi persyaratan administrasi. Sebut misalnya rencana post doc dan biodata. Aku mengembalikan berkas itu kepada beliau.
Beberapa bulan kemudian, kabar mengembirakan itu datang. Dr. Chong mengabari.
”Kamu diterima,”
Lalu, dia, melalui asistennya, mengirimiku email berisi surat dari UKM yang menyebutkan aku sudah diterima.
Dan, 1 Maret 2009, aku datang ke UKM. Tanggal 2 aku melapor diri di ATMA. Aku juga melapor di Pusat Pengurusan Penelitian dan Inovasi (PPPI), UKM. Aku menapak impian yang pernah kuimpikan dahulu: S-4 itu.








Baca Selengkapnya...

Jumat, 06 Maret 2009

Pembangunan di Kalbar

Oleh: Yusriadi


Bang Jum – Jumadi, M.Si, dosen Untan Pontianak, yang sedang ambil program
doctoral di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) memberitahu saya tentang
kesan temannya –seorang akademisi Malaysia, ketika berkunjung ke
Pontianak.
Orang Malaysia itu bilang,
“Pontianak itu kotor,”



Selain cerita soal tatakota, kotornya Pontianak juga dilihat dari kesan
sang akademisi ketika berkunjung ke objek wisata.
“Beliau itu bilang, waktu berkunjung ke tugu khatulistiwa, dia lihat orang
buang sampah sembarang, kencing sembarang. Jadi itu yang juga dibilangnya
kotor,”
Bah!
“Malu juga dengarnya,”
Tambah Bang Jum lagi.
Saya mengangguk. Benar. Pontianak memang kotor. Pontianak tidak bersih.
Pontianak semrawut. Pontianak tidak tertata.
Orang Pontianak juga tahu itu. Saya, sewaktu masih meliput di desk kota
Pontianak dahulu sering sekali menulis soal itu. Sering kali saya menulis
komentar para politisi soal perlunya penataan kota. Perlunya membuat
keindahan kota. Dan lain-lain.
Namun, rasanya, sampai sekarang, keindahan yang dicita-citakan itu tidak
wujud. Pontianak masih seperti dahulu sekalipun politisi sudah berganti.
Pontianak masih belum berubah banyak sekalipun pemimpin berganti.
Bahkan, menurut teman-teman, Pontianak bikin orang makin gerah saja.
Sekarang kota berkembang, tetapi perkembangannya bikin padat. Pembangunan
maju. Tetapi menambah sumpek. Lalu lintas setali tiga uang. Jalan A Yani
yang dahulunya dianggap macam jalan tol, kini menjadi jalan kampong, macam
Sungai Jawi.
Pontianak juga makin panas. Hutan-hutan kota. Kawasan simpanan untuk
penghijauan, tidak ada. Orang merasakan Pontianak gersang.
Sialnya lagi, kalau musim hujan, keadaan bertolak 180 derajat. Pontianak
menjadi kota air. Tergenang air. Banjir di mana-mana.
Memang itu resiko kota rendah. Pontianak di bawah permukaan laut.
Tapi bukan itu saja pasalnya. Pontianak banjir karena pembuangan air tidak
lancar. Parit makin kecil. Tertutup.
“Ini resiko karena pembangunan kita memusuhi lingkungan,” kata Bang Kris.
Bang Kris, panggilan kami untuk Kristianus Atok. Aktivis yang kini
melanjutkan studi program doktoral di Universiti Kebangsaan Malaysia, sama
seperti Bang Jum.
Kok?
“Kita, kalau membangun, selalu merubah lingkungan. Parit sungai, kolam,
ditutup untuk bangun gedung. Kalau ada bukit, bukit digusur dahulu. Hutan,
kayu pelindung juga ditebang,”
Kurang dipikirkan bagaimana membangun tanpa merusak lingkungan. Kurang
dipikirkan bagaimana membangun gedung dengan tetap membiarkan parit,
gunung, pohon, dan lain-lain.
Saya jadi teringat kata bijak orang Tionghoa: “Kalau mau merobohkan
tembok, kita mesti tahu mengapa dahulu tembok itu dibangun,”
Kita memang jarang memikirkan mengapa sungai ada ketika kita ingin menutup
sungai. Apa pentingnya sungai itu bagi lingkungan sekitar. Apa kelebihan
sungai itu. Apa yang manfaatnya. Bagaimana menggabungkan rencana
pembangunan dengan manfaat dan kelebihan alam di sekitar.
Agaknya.



Baca Selengkapnya...