Senin, 21 Desember 2009

Ketika Sekda KH Ditahan

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Sekda Kapuas Hulu, MS, ditahan. Itulah bunyi berita utama surat kabar di Kalbar, tiga hari lalu. Sumbernya sama, Direktur Reserse Polda Kalbar, Kombes Pol Rafli yang menggelar konferensi pers Selasa (1/12).
Malam sebelumnya (Malam Rabu), saat mendengar kawan di redaksi membicarakan berita Sekda KH ditahan, saya sempat terkejut.
“Benarkah berita itu?”
Saya sempat tidak percaya. Banyak sebab yang membuat saya tidak percaya. Tantra, wartawan di Borneo Tribune yang menulis berita itu membenarkannya. “Benarlah Bang. Ini hasil konferensi pers Polda,”



Dia menunjukkan document konferensi pers yang dipegangnya. Saya membacanya. Laporannya jelas. Ada laporan dari masyarakat. Proyek ini memiliki nilai total sebesar Rp4.938.212.000 di mana pencairan dana proyek tersebut dilakukan dari tahun 2004-2006.
Pada tahun 2004 proyek tersebut dengan nilai Rp1.399.700.000 dilakukan penunjukkan langsung oleh Ms yang saat itu menjadi Kepala Dinas Kimpraswil Kapuas Hulu kepada Direktur PT KKM, Sur alias Yan.
Kemudian pada tahun 2005 dilaksanakan kembali proyek yang sama dengan nilai proyek Rp542.373.000 melalui penunjukkan langsung kepada kontraktor PT Basnia milik anak tersangka Sur.
Di tahun 2006, juga dilaksanakan proyek yang sama yaitu pembuatan ruas jalan Bunut-Mangin Kecamatan Bunut Hilir dengan nilai proyek Rp2.996.139.000.
Meski dana proyek sudah dicairkan 100 persen tapi pengerjaan pembangunan ruas jalan tersebut asal-asalan bahkan ruas jalan tidak dapat digunakan untuk lalu lintas kendaraan baik roda dua maupun roda empat.
Akibatnya, menurut saksi ahli dari BPKP kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp1.751.690.633 terdiri dari kerugian proyek tahun 2004 sebesar Rp932.710.956 dan proyek 2006 sebesar Rp818.979.677.
Kata Rafli, sampai sekarang masih ada tiga jembatan yang seharusnya dibangun tapi tidak dibangun dan jalan sepanjang 3,2 kilometer belum dilakukan pengurukan namun pengerjaan dinyatakan selesai 100 persen.
Saya tersandar. Masih kaget.
“Kok begini?!”
Saya masih tidak mempercayai jika MS yang melakukan korupsi. Saya memang tidak mengenal MS, tetapi, saya sering mendengar namanya. Istrinya, mertuanya (dahulu), saya kenal. Mereka orang yang terpandang dan sangat kami hormati. Jadi, rasanya tidak mungkin.
Teman saya yang (agaknya) mengenal MS mengatakan MS dikenalnya juga sebagai orang baik. Tidak rakus. Tidak ada track record yang buruk.
Lalu? Entahlah. Saya mencoba memahami duduk persoalannya dengan apa yang mungkin terjadi. Aha… saya jadi teringat beberapa orang yang terlibat dalam pusaran system kekuasaan. Sangat runyam dan sering mereka mengeluh: “Tidak mampu!”
Pusaran kekuasaan itu menyebabkan administrasi dan pekerjaan proyek kadang tidak bisa mengikuti prosedur dengan sempurna. Pasti ada bypass di sana-sini. Baik soal administrasi, maupun soal lain. Ada banyak factor X yang harus dihadapi. Seorang pejabat kadangkala harus pandai berada di celah yang kompromistis. Jika nasib baik, selamatlah dari pemeriksaan, jika tidak, tentu ada konsekuensinya. Jadi, pandai-pandailah bermain dengan nasib.
Abang saya yang sering terlibat dalam proyek sering mengatakan prinsipnya. Kita tidak perlu takut dengan pemeriksaan. JIkapun yang kita lakukan dipersalahkan karena alas an tertentu, yang penting jangan kita makan uang itu. Intinya, jangan ambil uang Negara untuk diri sendiri. Tetaplah jujur, apapun keadaannya.
Tentu harus kuat. Kalau tidak, godaannya akan terus muncul dan godaannya sangat besar. Orang bisa kaya dengan kekuasaan proyek. Tetapi, orang juga sering sengsara karenanya.
Itulah yang terjadi pada MS sekarang. Lepas dari apapun kesan baik terhadapnya, dia sekarang ditahan. Secara formal, begitulah masalahnya. Dia memang harus bertanggung jawab karena itulah tanggung jawabnya sebagai pejabat yang memutuskan secara formal. Dia harus berani menghadapinya. Sama beraninya ketika dia memilih masuk dalam jaringan penguasa.


Baca Selengkapnya...

Cerita Teman

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Tiga hari lalu. Seorang teman menemui saya. Kami berbincang sedikit soal pekerjaan dan lain-lain. Lalu, sampailah pada –agaknya, pokok persoalan mengapa dia datang bertemu saya.
“Minta tolong tawarkan rumah saya. Mau dijual. Harganya Rp60 juta”.
“Dijual? Kenapa?”
“Ya, dijual. Mau ngontrak”.
“Heh!!!”
Spontan, saya terkejut. Tentu saja ini agak aneh. Rumah dijual, tetapi pilih ngontrak. Apa tidak repot.



Eit… tapi, kemudian saya jadi teringat, saya juga pernah berpikir begitu. Saya pernah ingin mengontrak rumah. Sebab utama, antar jemput anak sekolah sekarang jauh. Anak saya ada tiga orang yang bersekolah di sekolah yang sama, namun jam masuknya beda. Ada yang masuk pagi jam 07.00 WIB keluar jam 09.30 WIB. Ada yang masuk jam 09.45 WIB keluar jam 11.45 WIB. Dan, satu lagi masuk jam 12.45 WIB, keluar jam 16.50 WIB. Repot. Jarak rumah – sekolah, 20 menit pakai motor. Saya ‘terpaksa’ menyekolahkan anak di sana, karena itu sekolah agama. Saya pilih sekolah agama agar anak bisa belajar agama lebih banyak. Saya tidak dapat membekalinya dengan pengetahuan agama yang baik.
Karena pertimbangan begini, beberapa tahun lalu, saya sempat berpikir begitu, biar tidak repot benar antar jemput budak sekolah.
Jadi, ingat hal itu, saya seharusnya tidak buru-buru mengatakan pilihan teman saya mengontrak itu aneh. Benar. Saya harus mengetahui latar belakangnya dahulu, baru ngomong.
“Ceritanya gimana?”
Lantas teman saya menceritakan masalah yang dihadapinya. Intinya ada persoalan dalam rumah tangga. Antara dia dan istrinya sudah tidak ada komunikasi. Baik komunikasi verbal maupun komunikasi fisikal. Dia, karena pekerjaannya --‘swasta’, menjalani kehidupan tidak menentu dan tidak teratur. Jenis pekerjaan ini menambah runyam urusan rumah tangga mereka.
Istrinya sudah tidak tahan terhadap keadaan mereka. Istri lebih banyak keluar meninggalkan anak di rumah. Prilaku istri begini telah membuat teman saya tidak tahan.
Walaupun baru mendengar sepihak, saya –rasanya- dapat menyelami masalah mereka.
Tentu setiap orang ingin kehidupannya berjalan normal, baik; itulah yang orang cari melalui perkawinan. Orang ingin bahagia; itulah yang dicari orang yang memiliki pasangan. Setiap orang ingin rumah menjadi syurga; itulah yang diimpikan.
Jika kemudian dalam rumah tangga, neraka yang diperoleh; jika kemudian dalam rumah tangga, tekanan yang didapati, mengapa harus dipertahankan. Karena justru, kisruh rumah tangga juga tidak baik. Tidak baik bagi suami istri, juga tidak baik untuk anak. Anak melihat orang tuanya ribut. Anak akan mendapat model yang buruk. Orang tua akan kehilangan wibawa di mata anak. Bahaya besar jika anak tumbuh di lingkungan rumah tangga yang ibu atau ayahnya tidak berwibawa.
Saya juga menemukan banyak anak yang berkembang dari orang tua tunggal bisa sukses. Pada intinya, bukan soal tunggal atau utuh, soalnya adalah bagaimana pendidikan anak ditangani.
Saya jadi ingat cerita teman saya lainnya. Macam-macam ceritanya. Bermacam-macam warnanya. Baik yang kemudian mereka berpisah, maupun yang kemudian mereka mencoba bertahan dan membaik. Episode kehidupan mereka setelah itu juga macam-macam. Ada yang berpisah dan menimbulkan penderitaan baru. Ada juga yang berpisah dan menemukan kebahagian baru. Ada teman yang bertahan dan berhasil memperbaiki keadaannya, ada juga yang bertahan dan tetap bergelimang dengan penderitaan yang dialami. Penuh kutukan.
Kisah-kisah mereka juga telah menimbulkan beragam pandangan dan penilaian. Ada yang melihatnya positif, ada yang melihatnya negatif. Kedua-dua pandangan itu mau tidak mau harus didengar. Kritikan dan celaan dari mulut yang runcing dan lidah yang tajam, akan sampai juga ke telinga.
“Kalau kamu sudah mantap dengan keputusan, ambil saja. Tak usah terlalu peduli dengan suara orang. Toh, orang lain hanya pandai membicarakan masalah kita. Hanya sekadar cakap!. Mereka tidak menjalani kehidupan yang kita jalani. Mereka sebenarnya tidak mencari jalan keluar membantu kita. Bahkan, mereka sebenarnya tidak memperhatikan kita”.
“Tapi, kamu juga harus menyadari, tidak ada kehidupan yang berjalan mulus. Tidak ada laut yang tak bergelombang. Ada dinamika. Kadang menyenangkan, kadang tidak. Jadi kalau bisa bersabar, bersabar, berusaha dan berdoa”.
Itulah pandangan yang saya sampaikan padanya. Saya tidak tahu, apakah pandangan saya benar, atau tidak. Apakah pandangan saya akan dipikirkan oleh teman saya atau tidak. Saya juga asal cakap. Sekadar merespon cerita teman. Daripada diam. Saya juga sama seperti orang lain yang bermulut runcing. Lidah memang tidak bertulang.



Baca Selengkapnya...