Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune
Tiga hari lalu. Seorang teman menemui saya. Kami berbincang sedikit soal pekerjaan dan lain-lain. Lalu, sampailah pada –agaknya, pokok persoalan mengapa dia datang bertemu saya.
“Minta tolong tawarkan rumah saya. Mau dijual. Harganya Rp60 juta”.
“Dijual? Kenapa?”
“Ya, dijual. Mau ngontrak”.
“Heh!!!”
Spontan, saya terkejut. Tentu saja ini agak aneh. Rumah dijual, tetapi pilih ngontrak. Apa tidak repot.
Eit… tapi, kemudian saya jadi teringat, saya juga pernah berpikir begitu. Saya pernah ingin mengontrak rumah. Sebab utama, antar jemput anak sekolah sekarang jauh. Anak saya ada tiga orang yang bersekolah di sekolah yang sama, namun jam masuknya beda. Ada yang masuk pagi jam 07.00 WIB keluar jam 09.30 WIB. Ada yang masuk jam 09.45 WIB keluar jam 11.45 WIB. Dan, satu lagi masuk jam 12.45 WIB, keluar jam 16.50 WIB. Repot. Jarak rumah – sekolah, 20 menit pakai motor. Saya ‘terpaksa’ menyekolahkan anak di sana, karena itu sekolah agama. Saya pilih sekolah agama agar anak bisa belajar agama lebih banyak. Saya tidak dapat membekalinya dengan pengetahuan agama yang baik.
Karena pertimbangan begini, beberapa tahun lalu, saya sempat berpikir begitu, biar tidak repot benar antar jemput budak sekolah.
Jadi, ingat hal itu, saya seharusnya tidak buru-buru mengatakan pilihan teman saya mengontrak itu aneh. Benar. Saya harus mengetahui latar belakangnya dahulu, baru ngomong.
“Ceritanya gimana?”
Lantas teman saya menceritakan masalah yang dihadapinya. Intinya ada persoalan dalam rumah tangga. Antara dia dan istrinya sudah tidak ada komunikasi. Baik komunikasi verbal maupun komunikasi fisikal. Dia, karena pekerjaannya --‘swasta’, menjalani kehidupan tidak menentu dan tidak teratur. Jenis pekerjaan ini menambah runyam urusan rumah tangga mereka.
Istrinya sudah tidak tahan terhadap keadaan mereka. Istri lebih banyak keluar meninggalkan anak di rumah. Prilaku istri begini telah membuat teman saya tidak tahan.
Walaupun baru mendengar sepihak, saya –rasanya- dapat menyelami masalah mereka.
Tentu setiap orang ingin kehidupannya berjalan normal, baik; itulah yang orang cari melalui perkawinan. Orang ingin bahagia; itulah yang dicari orang yang memiliki pasangan. Setiap orang ingin rumah menjadi syurga; itulah yang diimpikan.
Jika kemudian dalam rumah tangga, neraka yang diperoleh; jika kemudian dalam rumah tangga, tekanan yang didapati, mengapa harus dipertahankan. Karena justru, kisruh rumah tangga juga tidak baik. Tidak baik bagi suami istri, juga tidak baik untuk anak. Anak melihat orang tuanya ribut. Anak akan mendapat model yang buruk. Orang tua akan kehilangan wibawa di mata anak. Bahaya besar jika anak tumbuh di lingkungan rumah tangga yang ibu atau ayahnya tidak berwibawa.
Saya juga menemukan banyak anak yang berkembang dari orang tua tunggal bisa sukses. Pada intinya, bukan soal tunggal atau utuh, soalnya adalah bagaimana pendidikan anak ditangani.
Saya jadi ingat cerita teman saya lainnya. Macam-macam ceritanya. Bermacam-macam warnanya. Baik yang kemudian mereka berpisah, maupun yang kemudian mereka mencoba bertahan dan membaik. Episode kehidupan mereka setelah itu juga macam-macam. Ada yang berpisah dan menimbulkan penderitaan baru. Ada juga yang berpisah dan menemukan kebahagian baru. Ada teman yang bertahan dan berhasil memperbaiki keadaannya, ada juga yang bertahan dan tetap bergelimang dengan penderitaan yang dialami. Penuh kutukan.
Kisah-kisah mereka juga telah menimbulkan beragam pandangan dan penilaian. Ada yang melihatnya positif, ada yang melihatnya negatif. Kedua-dua pandangan itu mau tidak mau harus didengar. Kritikan dan celaan dari mulut yang runcing dan lidah yang tajam, akan sampai juga ke telinga.
“Kalau kamu sudah mantap dengan keputusan, ambil saja. Tak usah terlalu peduli dengan suara orang. Toh, orang lain hanya pandai membicarakan masalah kita. Hanya sekadar cakap!. Mereka tidak menjalani kehidupan yang kita jalani. Mereka sebenarnya tidak mencari jalan keluar membantu kita. Bahkan, mereka sebenarnya tidak memperhatikan kita”.
“Tapi, kamu juga harus menyadari, tidak ada kehidupan yang berjalan mulus. Tidak ada laut yang tak bergelombang. Ada dinamika. Kadang menyenangkan, kadang tidak. Jadi kalau bisa bersabar, bersabar, berusaha dan berdoa”.
Itulah pandangan yang saya sampaikan padanya. Saya tidak tahu, apakah pandangan saya benar, atau tidak. Apakah pandangan saya akan dipikirkan oleh teman saya atau tidak. Saya juga asal cakap. Sekadar merespon cerita teman. Daripada diam. Saya juga sama seperti orang lain yang bermulut runcing. Lidah memang tidak bertulang.
Senin, 21 Desember 2009
Cerita Teman
Diposting oleh Yusriadi di 07.59
Label: Keluarga, Suara Enggang, Tentang Yusriadi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar