Selasa, 30 Desember 2008

Penyelidikan Bahasa dan Masyarakat Islam di Alam Melayu

Oleh: Yusriadi

Pengantar:

Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan dalam Seminar 35 tahun Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Seminar dilaksanakan tanggal 25 Juni 2007 lalu di Sudut Wacana Kampus UKM, Bangi, Kuala Lumpur.


Pendahuluan

Tema ini sangat menarik. Biasanya, dalam pandangan awam –khususnya orang di Kalimantan Barat, penyelidikan bahasa dan perkembangan masyarakat Islam bergerak terpisah. Bahasa, ya, bahasa. Masyarakat Islam, ya, masyarakat Islam.
Penyelidikan bahasa berkaitan dengan kegiatan linguis mengumpulkan data bahasa yang digunakan masyarakat, atau bicara mengenai bentuk yang diterima dan tidak. Hampir-hampir terlepas dari masyarakat Islam.
Bila membicarakan masyarakat Islam berarti membicarakan bagaimana masyarakat mengamalkan ajaran Islam. Membicarakan penelitian Islam, para ilmuan lebih cenderung melihat dari sisi normatifnya.
Sebelum ini ada juga kecenderungan untuk menganggap Islam sebagai bentuk yang asli dari tradisi agama samawi tersebut. Jadi Islam akan berkaitan dengan persoalan-persoalan ibadah dan lain sebagainya. Bila di luar dari kenyataan ini, orang akan menganggap ini bukan Islam, atau ini bukan yang asli Islam.
Sesungguhnya kewujudan hal seperti ini amat ketara, dan merupakan gejala umum di Indonesia. Dalam buku mengenai penelitian agama di Indonesia sudahpun disebutkan bagaimana kalangan agamawan memisahkan antara penelitian sosial dan penelitian agama. Oleh sebab itu penelitian mengenai masyarakat Islam kurang mendapat sentuhan dari sudut ilmu sosial. Tulisan ini, dalam banyak hal menggambarkan upaya yang perlu dilakukan untuk menempatkan konteks sosial keagamaan pada satu tataran praktis.
Kiranya, gagasan penyelenggaraan seminar ini, atau lebih tepat pilihan tema ini juga bergerak dari gagasan ini. Gagasan ini menghendaki bagaimana penyelidikan bahasa menyentuh masyarakat Islam di alam Melayu, atau dan penyelidikan bahasa memberikan sumbangan terhadap pembentukan akademik masyarakat Islam di alam Melayu.
Berdasarkan anggapan ini, dalam makalah singkat ini akan dipaparkan penyelidikan bahasa yang telah dilakukan di Kalimantan Barat, dan bagaimana kaitannya dengan masyarakat Islam di sini.

Penyelidikan Bahasa di Kalimantan Barat

Perkembangan penyelidikan bahasa di Kalimantan Barat dalam tahun-tahun belakangan ini menunjukkan kemajuan yang sangat berarti. Baik dari segi kuantitas data lapangan yang berhasil dikumpulkan maupun dari segi kualitas penelitian. Bandingannya dapat dilihat dari kenyataan bahwa sekian lama bidang ini dilupakan dan digarap secara sporadis. Lihat saja keheranan yang ditunjukkan Collins (1999):
‘Kalimantan Barat sangat penting untuk mengerti sejarah sosial-budaya dari kawasan Asia Tenggara. Pertama, sejumlah ahli (Blust 1992, Adelaar 1994, Collins 1995, Nothofer 1996) telah mengenali bahwa daerah berawa dan delta Kalimantan Barat seharusnya merupakan daerah asal prasejarah dari bahasa Melayu…..
Kedua, pada masa sejarah awal, Kalimantan Barat memainkan peranan yang penting dalam perkembangan regional perdagangan internasional, beberapa temuan arkeologis gendang gangsa dari Dongson, manik-manik batu akik dari India, patung Budha emas Boddhisatvas, semuanya di lembah sungai Sambas Kalimantan Barat menunjukkan adanya bentuk pemerintahan perdagangan sezaman atau lebih awal dari pemerintahan Sriwijaya (Nik Hassan Suhaimi, p.c). …
Ketiga, perlu diperhatikan bahwa banyaknya jumlah kesultanan, kerajaan kecil, daerah kekuasaan Melayu di Kalimantan Barat melampaui jumlah daerah manapun di Nusantara. Demikian pula umur dari unit-unit politik beragam mulai dari zaman purba seperti Sambas sampai yang baru seperti Pontianak’. (Collins 1999: 1)
Sekalipun Kalimantan Barat cukup istimewa dalam pentas akademik sejak dinobatkan sebagai tanah asal usul bahasa Melayu, pengetahuan dunia luar -bahkan juga orang dalam sendiri, mengenai keadaan bahasa Melayu di Kalimantan Barat masih masih kurang. Padahal, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa utama sudah disinggung tiga ratus tahun lalu. Thomas Bowrey menerbitkan peta Nusantara (Bowrey, 1701) yang dilampirkan bersama Kamus Bahasa Inggris dan Bahasa Melayu, menyenaraikan tempat-tempat bahasa Melayu dituturkan, termasuk kawasan pantai Pulau Borneo Bagian Barat (Kalimantan Barat).
Pada tahun 1984 terbit sebuah peta persebaran bahasa (termasuk bahasa Melayu di Kalimantan Barat) yang diusahakan Wurm dan Hattori (1984). Mereka memberikan gambaran secara geografis persebaran bahasa yang diberi satu nama, yakni bahasa Melayu Pantai Barat Borneo (Western Coastal Malay), mengelilingi pantai barat dari utara ke selatan, dan kemudian persebaran itu masuk menyusuri aliran Sungai Kapuas hingga Bunut (Nanga Bunut atau Kecamatan Bunut?), sepanjang Sungai Melawi hingga Serawai (wilayah Sintang). Di aliran Sungai Pawan, dari muara hingga Sandai.
Pada tahun 1990, dalam bibliografi dialek Melayu di Pulau Borneo (Collins 1990) juga dicantumkan dua nama bahasa Melayu, yakni Melayu Pontianak dan Melayu Sambas, serta disebut-sebut bahasa Melayu Ulu (Kapuas). Peta ini ditampilkan berdasarkan data yang diperoleh di berbagai perpustakaan, yang dipublikasikan sebelum tahun 1987.
Dalam surveynya kemudian, Collins menyebutkan tidak kurang dari lima dialek Melayu yang resmi dipakai di Kalimantan Barat (Collins 1999: 7). Di barat laut, Melayu Sambas digunakan sepanjang lembah Sungai Sambas. Di sebelah timur Sambas, sepanjang Sungai Landak, beberapa kampung penutur bahasa Melayu. Di kampung-kampung itu bahasa Melayu Landak digunakan. Di Kota Pontianak dan sekitarnya digunakan dialek Melayu Pontianak, dialek yang sangat dipengaruhi dialek Melayu Riau. Sejauh 80 kilometer ke hulu Sungai Kapuas dari Pontianak, yakni di Sanggau, Sekadau, Sintang, digunakan dialek Melayu Ulu Kapuas. Di selatan Kapuas, sepanjang Sungai Pawan digunakan dialek Melayu Ketapang.
Selain sejumlah tulisan yang disebutkan dalam Bibliografi Bahasa di Pulau Borneo (Collins 1990), ada dua tulisan lain yakni dalam Moh Mar’a (1990), dan kamus kecil Bahasa Melayu Sambas yang diusahakan Mawardi (1997). Di tahun 1999 sebuah tesis tentang bahasa Melayu di Kapuas Hulu dihasilkan (Yusriadi 1999). Selain itu, ada beberapa artikel sumbangan Bernd Nothofer (1993) dan Collins (1995).
Setelah tahun 2000, setelah hipotesis yang menempatkan Kalimantan Bagian Barat sebagai tanah asal usul bahasa Melayu (Malay Homeland Hypotesis) mulai dibicarakan secara meluas, tulisan mengenai bahasa Melayu di Kalimantan Barat menunjukkan pertambahan secara kuantitas dan kualitas. Antara lain da disertasi Jaludin Chuchu yang menyentuh dialek Sambas (tahun 2001), tesis Firman Susilo mengenai bahasa Melayu di Sungai Melawi (2002).
Koleksi data yang dipungut tim peneliti Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) bersama mitranya Pusat Kajian Budaya Melayu (PKBM) Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak juga dapat disebutkan. Dari ratusan titik pengumpulan data bahasa di Sungai Sekadau, Sungai Kedukul, Sungai Laur, Sungai Kualan, puluhan di antaranya adalah varian Melayu. Koleksi data varian Melayu yang diterbitkan dalam monograf The Borneo Homeland Series. Makalah Collins antara lain bahasa dan identitas di Kalbar (Collins 2001), Contesting Malay Straitnees dibentangkan di Leiden (2001) dan kemudian diterbitkan di Singapura (Collins 2003).
Selain itu pada tahun 2003 dan tahun 2004 ada belasan tulisan yang dipublikasi atau diseminarkan tentang bahasa (termasuk bahasa Melayu). Karya Collins misalnya : Penelitian bahasa di Kalimantan Barat (Collins 2003a), Bahasa di Embau (Collins 2003b), bahasa di Sungai Sekadau (Collins 2003c). Begitu juga dalam Yusriadi dan Hermansyah (2003), dan juga dalam Yusriadi (2003) bahasa di Sungai Laur.
Tahun 2004 dua makalah dibentangkan pada konferensi internasional di Jakarta yakni Collins (2004a) dan Yusriadi (2004a). Yusriadi tahun 2004 (Yusriadi 2004b) menerbitkan tulisan tentang profil Melayu Ulu Kapuas, dan sebuah tulisan tentang bahasa dan identitas (Yusriadi 2004c).
Selain itu Pusat Bahasa di Jakarta juga menerbitkan data bahasa yang mereka petik di Kalimantan Barat, yang antara lain mengenai bahasa Melayu yang ada di beberapa tempat penelitian per kabupaten (Pusat Bahasa 2003). Data yang dikeluarkan Kantor Bahasa Pontianak juga memperlihatkan beberapa penelitian bahasa yang sudah dilakukan kantor tersebut.
Seminar 144 tahun penelitian bahasa dan sastra di Kalimantan Barat di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia 31 Januari - 2 Februari 2005, memperlihatkan akumulasi penelitian bahasa yang sudah dilakukan sejak 144 tahun lalu, sejak terbitnya tulisan pertama tahun 1861 oleh William Chalmers.
Tulisan-tulisan dari hasil penelitian ini harus diakui masih berupa kepingan-kepingan yang belum disusun sewajarnya. Penelitian masih terpenggal dan hampir belum tergarap secara sistematis: baik lokasi garapan maupun bidang ilmu.
Tetapi walau demikian, tulisan ini tidak saja menggambarkan penggunaan bahasa -khususnya bahasa Melayu, tetapi dalam konteks persebaran agama, tulisan-tulisan ini memaparkan kantong-kantong pemukiman orang Melayu dan di tempat-tempat di mana bahasa Melayu menjadi bahasa utama (lingua franca).

Sumbangan Penyelidikan Bahasa

Dari gambaran persebaran dan penggunaan bahasa Melayu di Kalimantan Barat orang memperoleh wawasan mengenai persebaran dan dinamika orang Islam juga. Kesimpulan ini muncul karena seperti yang kita ketahui, di Kalimantan Barat, Melayu-Islam identik. Orang yang masuk Islam disebut masuk Melayu, dan pada pandangan sosial orang Melayu adalah orang Islam. Sebaliknya, orang bukan Melayu adalah tidak Islam (Yusriadi-Hermansyah-Dedy Ari Asfar 2005; Soal hubungan kait antara Melayu dan Islam dapat dilihat dalam tulisan Yusriadi (1999), Zainuddin Isman (2002), Yusriadi dan Hermansyah 2003).
Penelitian mengenai bahasa Melayu Sambas, Melayu Pontianak, Melayu Laur, Melayu Sanggau, Melayu Kapuas Hulu, dll dari aspek apapun sudah pasti akan menyentuh sedikit tentang masyarakat Melayu tersebut. Jumlah, persebaran, variasi, bentuk-bentuk bahasa kemungkinan digambarkan melalui peneliti fonologi, morfologi, sintaksis, apatah lagi penelitian sosiolinguistik.
Penelitian dan tulisan yang dilakukan Moh Mar’a (1990) Mawardi (1997), Jaludin Chucu (2001), misalnya memberikan kita gambaran mengenai kelompok masyarakat penutur bahasa Melayu Sambas. Penjelasan mengenai istilah budaya yang ada dalam masyarakat Sambas menyentuh tentang kepercayaan, pandangan mereka terhadap agama dan kepercayaan lama (sinkrestisme). Sedangkan hubung kait bahasa Melayu Sambas dengan bahasa Brunei dalam Jaludin Chucu memberikan bayangan mengenai hubung kait dua masyarakat Melayu ini. Perkaitan ini kelak membantu orang memahami kaitannya antara orang Brunei dan orang Sambas. Jika wawasan kita mengenai bahasa Sambas diperluas lagi, misalnya membandingkannya dengan bahasa Kanayatn orang akan memperoleh gambaran mengenai hubungan antara Islam dan bukan Islam di kawasan ini.
Contoh lain, penelitian Yusriadi tentang bahasa dan identitas di Riam Panjang, selain menyoroti bagaimana bahasa berperanan dalam pembentukan, pemertahanan dan perubahan identitas, tetapi sejarah perubahan identitas mereka menjadi Melayu, kegiatan keberagamaan (Islam) juga dipaparkan. (Yusriadi 2005). Penelitian-penelitian lain sejatinya juga menggambarkan aspek-aspek seperti itu, sehingga akhirnya saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.
Rasanya, bukan cuma sumbangan seperti yang dipaparkan di atas yang bisa diberikan penelitian bahasa terhadap kajian Islam di Kalimantan Barat. Masih banyak sumbangan lain yang dibisa diberikan, mengingat bahasa merupakan bagian dari kehidupan manusia yang hampir tak bisa dipisahkan. Bagaimanapun salah satu ciri kemanusiaan adalah bahasa (Akmajian, dkk 1995).
Sebelumnya ada wacana yang berkembang dalam dialog pra-seminar adat-istiadat Melayu di Kalimantan Barat antara Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak dan Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kalimantan Barat, Juli lalu. Dalam dialog yang membicarakan pentingnya penelitian, seminar dan penerbitan tentang Melayu di Kalbar, sempat terlontar keluhan soal tidak adanya terbitan hasil penelitian mengenai Islam di Kalimantan Barat.
Keluhan muncul karena sejauh ini belum ada buku atau bahan terbitan yang dapat digunakan umum untuk menggambarkan Islam di Kalimantan Barat. Orang sulit mendapatkan informasi tentang sejarah masuknya Islam di daerah ini, perkembangan Islam di ceruk pedalaman, atau tentang dinamika umat Islam di Kalbar. Kalaupun ingin memperoleh informasi seperti itu, seseorang harus membongkar rak-rak buku perpustakaan, arsip-arsip penelitian, dll; yang semua itu memerlukan kerja keras, ekstra waktu, dan kemampuan ilmu. Jangan pernah berharap ada bahan yang bisa diterima mentah-mentah, siap pakai; seperti kita menerima pelajaran tentang sejarah Indonesia.
Tidak mengherankan jika kemudian orang menjadi lebih mudah (atau lebih suka) membangun pengetahuan mengenai Islam di Kalbar berasaskan pengetahuan lisan: yang sifatnya agak-agak! Berasaskan ingatan orang-orang tua yang sudah pasti terbatas; dan dengan kemampuan yang juga terbatas.
Semua orang -akademisi dan tokoh Melayu yang hadir dalam forum itu dapat membenarkan tanggapan ini. Sebab memang keluhan seumpama ini sudah sering terdengar (Lihat dalam Collins 1995, Yusriadi 1999, Hermansyah 2002, Moh Haitami Salim, dkk 2001). Bahkan akademisi mempunyai istilah khusus untuk menggambarkan keprihatinan mereka terhadap kondisi ini. Victor King misalnya menyebut pulau Borneo sebagai the neglected island (King 1993), sedangkan James T. Collins menyebut Insula in cognita (Collins 2003).
Istilah-istilah yang ironis itu muncul karena mereka tidak puas atas informasi yang ada, yang cuma sekelumit. Bagi mereka sangat mengherankan Pulau Kalimantan yang termasuk pulau ketiga terbesar di dunia setelah Greenland dan Papua, pulau yang terletak di laluan strategis perdagangan dunia (di bibir Laut Cina Selatan), diapit pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi, tetapi tetap menjadi misteri dalam kancah ilmu pengetahuan.
Tetapi mungkin juga pandangan ini terlalu dramatis. Mungkin saja seperti disebut seimbas lalu, kajian yang dilakukan terhadap pulau ini dan masyarakatnya sudah bertambah dari waktu ke waktu. Setidaknya, setelah King dan Collins mengingatkan hakikat kelebihan dan kenyataan yang berlaku atas pulau tempat kita hidup sekarang ini. Dunia berubah, dunia akademik juga sudah berubah!
Saya sendiri pernah mendapat kritikan ketika dalam sebuah seminar di Pontianak tahun 2004 lalu. Ketika itu saya mengatakan pengetahuan mengenai Cina di Kalimantan Barat amat sedikit; sebab, penelitian tentang bahasa Cina hanya satu dua dan sangat terbatas. Pengkritik mengatakan, mereka sudah melakukan penelitian tentang Cina beberapa bulan lalu! Tetapi, penelitian belum diterbitkan -mungkin tak akan pernah diterbitkan, dan lebih malang lagi saya tidak bisa mengakesnya.
Berkaitan dengan minimnya informasi mengenai Islam di Kalbar, mungkin bantahan serupa juga akan muncul -bahwa ada sejumlah (banyak?) penelitian yang sudah dilakukan. Sebut saja beberapa penelitian untuk tesis yang dilakukan oleh magister agama STAIN Pontianak: Muh. Gito Saroso tentang perkembangan tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah di kota Pontianak (2003), Hermansyah tentang Islamisasi dan magi (Ilmu) di Kapuas Hulu (2002), atau penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan tokoh Basuni Imran, Chatib Sambasi, dll.
Saya juga mencatat (Yusriadi, dkk 2001) ada beberapa kajian mengenai Islam dan masyarakat muslim di Kalimantan Barat yang sudah dilakukan oleh mahasiswa program S-1 ketika mereka diwajibkan menulis skripsi. Sangat mungkin hasilnya akan lebih banyak jika penelitian yang dilakukan mahasiswa di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Pontianak, atau penelitian yang dilakukan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS), atau perguruan tinggi agama Islam di Ketapang, Singkawang dan Sintang, juga dihitung. Jika asumsi bahwa ada ribuan sarjana yang dihasilkan perguruan tinggi agama Islam di Kalbar, maka berarti ada ribuan pula penelitian mengenai Islam yang sudah dilakukan!
Tetapi, tesis dan skripsi yang dihasilkan civitas akademika itu hampir-hampir tidak diketahui. Penelitian ini tidak pernah dipublikasikan dan dibuka secara luas, dan kemudian tidak pernah (jarang) disebut-sebut sebagai upaya mengingat kembali. Nyatanya, setelah ujian tesis, dan setelah ujian skripsi, semuanya berlalu. Kertas-kertas itu menjadi tumpukan dokumen sakral di rak-rak buku.
Seharusnya, ribuan penelitian itu sudah membentuk gundukan data mengenai Islam dan masyarakat muslim di daerah ini, saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Apalagi ini ada penelitian yang menggarap bidang pendidikan, ekonomi masyarakat, dakwah dan penyebaran Islam.
Masalahnya, keluhan masih saja muncul, orang merasa masih saja kekurangan informasi mengenai Islam dan masyarakat muslim di Kalbar . Bahkan saya berani memastikan, di antara kita, banyak yang hanya pernah mendengar adanya penelitian, tetapi belum melihat wujudnya!

Penutup

Dari paparan di atas, kiranya kita memperoleh gambaran yang cukup, bagaimana penyelidikan bahasa yang dilakukan di Kalimantan Barat selama ini. Penelitian ini memberikan sumbangan terhadap pengetahuan mengenai orang Islam di sini.
Memang perlu konstruksi tersendiri untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan baik, memandangkan penelitian mengenai masyarakat Islam belum banyak dilakukan. Data-data yang ada, yang masih terkeping-keping perlu disatukan, sehingga membentuk mosaik indah wajah Islam di Kalbar.
Oleh sebab itulah senyampang dengan apa yang sudah dilakukan para linguis, para ahli sosial keagamaan juga perlu melakukan sesuatu; melakukan kajian –baik kajian lapangan maupun kajian kepustakaan. Data yang dikumpulkan linguis bisa menjadi pangkalan awal untuk usaha ini. Ibarat kata, inilah pangkalan seorang pelaut sebelum berlayar ke lautan informasi di belantara Kalimantan Barat.
Niscaya data ini juga bermanfaat sebagai penunjuk arah. Memandu peneliti dalam bidang sosial keagamaan untuk melukiskan gambaran sosial masyarakat muslim di pulau besar ini, gambaran masyarakat Islam di tengah pulau yang misteri ini. Gambaran ini kiranya sama pentingnya dibandingkan lukisan yang sudah dibuat mengenai masyarakat Islam di pusat Islam, setidaknya sebagai pembanding.
Takkan pula kita terus menggugat persoalan dikotomi yang sememangnya dianggap sebagai ciri profesionalisme seorang peneliti. Agaknya! **

Bahan Bacaan

Akmajian, dkk. 1995. Bahasa dan Komunikasi. Terj. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Bowrey, T. 1701. A dictionary, English and Malayo, Malayo and English, to which is added some short grammar rules & directions for the better observation of the propriety and elegancy of this language. London: Sam Bridge.
Collins, J. T. 1995. Kalimantan sebagai titik tolak pengkajian bahasa Melayu. Jurnal Dewan Bahasa 39 (10) : 866 - 879.
Collins, J. T.1990. Bibliografi dialek Melayu di Pulau Borneo. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Collins, J.T. 1999. Keragaman Bahasa Melayu di Kalimantan Barat. Makalah Seminar Festival Budaya Nusantara Regio Kalimantan, Pontianak, 23 September.
Collins, J.T. 2003a. Alam Melayu dan masyarakat Embau, dalam Yusriadi dan Hermansyah 2003. Orang Embau, Potret masyarakat pedalaman Kalimantan. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
Collins, J.T. 2003b. Contesting straits-Malayness: The fact of Borneo. Singapura: NUN Press.
Collins, JT. 2003c. Penelitian bahasa di Kalimantan Barat. Makalah pada acara peluncuran buku Orang Embau, Februari 2003.
Firman Susilo. 2001. Pemakaian bahasa Melayu di daerah aliran Sungai Melawi (Kajian Geografi Dialek. Tesis MA, Yogyakarta : Universitas Gajahmada.
Hermansyah. 2002. Magic Ulu Kapuas: Kajian atas Ilmu masyarakat Melayu Embau. Tesis Magister Agama IAIN Walisongo Semarang.
Jaludin Haji Chuchu. 2001. Posisi dialek Melayu Teluk Brunei dalam salasilah baha Melayu Purba. Disertasi Ph.D. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
King, Victor T. 1993. The peoples of Borneo. Oxford : Blackwell.
Mawardi Rivai. 1997. Kamus bahasa Melayu Sambas. Pontianak: Romeo Grafika Press.
Moh. Mar’a. 1990. Pronomina persona dan pronomina penunjuk dalam dialek Melayu Sambas. Jurnal Dewan Bahasa 34 (8): 598-603.
Moh. Haitami, dkk. 2000. Islam di pedalaman Kalimantan Barat (Studi kasus atas keberagamaan masyarakat Embau). Pontianak: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.
Muh. Gito Saroso. 2003. Dakwah Islam di Kalimantan Barat (Studi kasus atas Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Kota Pontianak 1977-2002). Tesis Magister Agama IAIN Walisongo Semarang.
Nothofer, B. 1993. Migrasi orang Melayu Purba. Sari 14:33-52
Wurm, S.A. dan S. Hattori. 1983. Language atlas of the Pacific area,
Part II. Canberra: Australian Academy of the Humanities in Collaboration with the Japan Academy.
Yusriadi. 1999. Dialek Melayu Ulu Kapuas. Tesis MA. Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Yusriadi, dkk. 2001. Judul dan abstrak penelitian Islam di Kalbar. Borneo Homeland Datat Paper 21.
Yusriadi. 2003. Bahasa Melayu di Sungai Laur. Naskah.
Yusriadi. 2004. Bahasa di Kapuas Hulu. Makalah pada Konferensi Linguistik Tahunan ke-2 Universitas Katolik Atmaja, Jakarta.
Yusriadi. 2004. Bahasa dan identiti di Riam Panjang, Kalimantan (Indonesia). Disertasi Ph.D Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Yusriadi dan Hermansyah 2003. Orang Embau, Potret masyarakat pedalaman Kalimantan. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
Yusriadi, Hermansyah dan Dedy Ari Asfar. 2005. Etnisitas di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Press.
Zainuddin Isman. 2001. Orang Melayu di Kalimantan Barat: kajian perubahan budaya pada komuniti pesisir dan komuniti pedalaman. Tesis MA, Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.



Baca Selengkapnya...

Sabtu, 27 Desember 2008

Petani Parit Wak Gatak, Kalbar


Warga Parit Wak Gatak, Kalbar. Mereka petani. Hasil pertanian mereka dipasarkan di pasar-pasar utama Kota Pontianak.



Baca Selengkapnya...

Harapan dari Parit Wak Gatak, Kalbar

Yusriadi

“Sampai juga harapan Bang Yus,”
Saya tersenyum mendengar Bang Yan. Bang Yan, panggilan untuk Hariansyah, M.Si, ketua panitia pelatihan penelitian Participatory Action Research (PAR) untuk dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak tahun 2008. Dia lulusan psikologi Universitas Indonesia. Dia memperlihatkan sikap apresiatif.


Bang Yan tahu, saya memang memilih kampung di pinggir kota Pontianak, ketimbang masjid, tempat yang semula hampir dipilih panitia PAR sebagai tempat studi lapangan peserta PAR. Kampung bagi saya menjadi laboratorium ilmu pengetahuan. Selalu menyenangkan. Banyak hal bisa diperoleh di sana. Banyak hal baru bisa dipelajari. Masjid sebenarnya juga menarik. Tetapi terbatas.
Saya sempat bicarakan hal itu pada Bang Yan, dan juga Ibrahim, MA. Ibrahim sekretaris panitia.
“Pilihlah kampung. Mungkin bisa kampung di ujung Kota Baru, pasti menarik dibandingkan masjid,”
Saya sempat mengirim sms kepada Ibrahim agar memilih kampung sebagai lokasi, ketimbang memilih masjid.
“Nanti kami bicarakan dengan Pak Mahmudi,”
Itu jawaban terakhir mereka.
Pak Mahmudi adalah instruktur pelatihan PAR dari INSIST, Solo.
Lalu, pagi itu panitia memberitahu.
“Kita konsultasi dengan Pak Mahmudi tadi malam. Hari ini kita akan pergi ke beberapa perkampungan di pinggir kota Pontianak.”
Tetapi, kata panitia, biar lebih adil empat lokasi diundi untuk empat kelompok. Satu persatu wakil kelompok memilih. Ada yang dapat lokasi Sungai Rengas, TPI. Ada yang dapat kampung pemulung, Waduk. Tempat ini di samping Hotel Kapuas Palace. Ada yang dapat lokasi Kampung Beting, Pontianak Timur.
Syaifullah –anggota kelompok kami yang mencabut undian, dapat giliran paling akhir.
“Parit Wak Gatak”.
Waw, saya merasa ini kejutan. Surprise. Kejutan yang menyenangkan. Saya memang lebih suka kampung di tepi kota, dibandingkan di tengah kota.
“Pilihan yang bagus,”
Syaiful mengangguk.
“Itu tempat Bang Yan dahulu bimbing KKN,” Kak Yus memberi penjelasan.
Pilihan ini juga menguntungkan bagi Syaiful. Saya sudah membayangkan jika tempat yang dipilih tidak ‘sesuai selera’ kelompok, pasti Syaiful yang diperolok-olok.
Kak Yus, Yusdiana, anggota kelompok kami, adalah istri Bang Yan. Suami isteri ini sama-sama dosen STAIN Pontianak, sama-sama lulusan Psikologi UI, dan sama-sama lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Pontianak. Mereka ketemu waktu kuliah dahulu.
“Ujung Kota Baru, lalu belok kiri,” kata Kak Yus memberi penjelasan tentang lokasi kampung ini.
Ibrahim memberitahu, “Kelompok ini akan didampingi Pak Yan,”
Dalam hati saya bersyukur. Ada anggota kelompok yang tahu lokasi. Jadi kami tidak perlu mencari-cari di mana lokasi. Bayangkan betapa repotnya kalau mau cari lokasi, tanya sana-sini.
Saya jadi teringat cerita Pak Mahmudi dahulu waktu dia mula mengikuti pelatihan penelitian, dahulu. Waktu itu, tahun 1984 instruktur pelatihan Prof. Juwi hanya menyebutkan nama kampung. Waktu ditanya, di mana lokasi itu dan bagaimana mencapainya, Prof. Juwi malah mengatakan ‘Peneliti kok begitu, cari sendirilah’. Peneliti harus melihat peta, mencari di mana letak kampung ini di dalam peta, baru kemudian bertanya di sana-sini untuk mencari cara mencapai lokasi. Bagi saya memang tidak ada masalah. Sudah biasa. Tetapi, kali ini agak beda. Waktu yang diagihkan untuk turun ke lokasi hanya satu hari, konon. Sebenarnya hanya 5 jam saja. Dari jam 09.00 - 14.00.
Lalu akhirnya kami pergi ke lokasi. Ismail Ruslan, Syaifullah, Saya, Yusdiana, Patmawati dan Ambaryani. Setelah sampai di lokasi saya tahu rupanya Bang Yan, Ibrahim, juga menemani kami ke lapangan. Bedanya, panitia pakai mobil.


Parit Wak Gatak.
Saya membaca tulisan warna hitam pada plang kecil warna putih ukuran panjang satu hasta, lebar satu jengkal. Tulisan itu, huruf balok.
Jalan masuk ke parit Wak Gatak, ke arah kiri. Badan jalannya luas, sama luasnya dengan jalan utama. Bedanya, jika jalan utama beraspal, jalan masuk ke Parit Wak Gatak, jalan tanah. Kering. Ada banyak bekas roda kendaraan membentuk garis. Jalan tidak rata.
Kami masuk melalui jalan ini. Sekitar 500 meter, kami berhenti. Saya melihat mobil Puket 1 sudah terparkir di sana, di samping sebuah warung. Sedangkan motor kawan-kawan diparkir di depan sebuah rumah yang besar. Rumah itu, beratap seng, Dindingnya semen. Ada dua pilar besar menopang kanopi rumah. Terasnya dilapisi porselin berwarna hitam. Ada sofa hijau di sana. Di teras dekat sofa itu, ada dua motor honda warna merah terparkir.
“Rumah kepala desa,”
“Ini, ya?”
Seorang wanita muda --yang semula saya kira istri Pak Kades nampak sibuk. Dia adiknya. Dia mencoba menghubungi lewat HP.
“Pak Kadesnya sedang keluar,”
Saya pernah beberapa kali bertemu kades ini. Nurdin namanya. Dia masih muda, mungkin dalam lingkungan umur 27 tahun. Lulusan S-1 Sekolah Tinggi Ilmu Kependidikan (STKIP) Pontianak. Dia aktif di organisasi ekstra kampus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Karena dia aktif di PMII inilah saya mengenalnya.
Saya mengambil HP dan mencari nomornya. Saya menghubungi Nurdin
Tidak aktif.
Sudahlah.
Saya menuju warung kecil yang berada di samping rumah Pak Kades. Ada seorang wanita muda sedang membuat kue gelang-gelang. Dia memakai baju kaos warna ungu. Di sampingnya seorang pemuda bercelana pendek warna putih, bajunya warna hitam. Ada seorang lelaki tua bercelana panjang tidak memakai baju. Saya menyapa mereka. Lalu saya duduk di ujung kursi yang diduduki perempuan dan lelaki muda itu.
Saya bertanya lagi tentang kepala desa. Seraya memberitahukan tujuan kedatangan kami.
“Kami dari STAIN Pontianak. Sedang praktik penelitian,”
“O, STAIN. Kemarin ada mahasiswa KKN di sini,” kata perempuan muda itu memberitahu.
“Ya, mahasiswa STAIN,”
Lalu obrolan beralih ke kue.
Lukman, Patmawati, Kak Yus dan Ambar bergabung ke warung. Mereka memilih duduk di kursi lain di depan kami. Ismail bergerak ke arah penggilingan padi, ke sebuah rumah di seberang parit. Syaiful juga bergerilya mencari objek yang bisa diwawancarai.
“Untuk dijual ya Kak?”
Patma bertanya.
“Iye, dijual,”
“Berapa harganya?”
“Harga satu kue gelang-gelang Rp500,”
Saya terkejut juga. Lumayan mahal untuk ukuran kue yang besarnya sebesar lingkaran nol dari jempol dan telunjuk. Seperti di kota saja.
“Bahannya dari apa?”
“Dari ubi, tepung,”
Saya jadi teringat sesuatu.
“Patma mau belajar buat?”
Saya menatap ke arah Patma. Memberi isyarat agar Patma turun tangan. Agaknya kandidat doktor di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ujung Pandang ini menangkap maksud itu.
Patma bangkit dari tempat duduknya. Sambil bergerak ke arah tempat duduk kami, Patma menggosok-gosok tangan. Patma sedikit cengengesan.
“Tidak kotor,”
“Heh, mana boleh. Cuci dulu,”
Mengerikan jika Patma langsung menggunakan tangan menggosok kue itu. Entah kuman apa yang akan masuk ke adonan. Entah sakit penyakit apa yang akan dialami orang yang makan kue produk tangan yang tak dicuci. Saya mengeluarkan botol Aqua besar dari dalam tas, yang sengaja saya bawa persiapan lapangan. Saya perlu menyiapkan air dan kue, kalau-kalau kelaparan dan haus selama di lapangan. Saya meneteskan air ke tangan Patma.
Setelah itu dia menghampiri tempat duduk perempuan yang sedang membuat kue itu. Lelaki muda yang duduk di sampingnya bangkit. Memberi tempat untuk Patma duduk. Saya juga bangkit.
“Izin dululah,”
Saya mencandai Patma. Patma menurut.
“Boleh saya ikut buat kue ya?”
“Bolleh,”
Perempuan muda itu tertawa. Kami juga tertawa melihat sikap Patma.
Patma mulai ikut membuat kue. Dia mengambil sekepal adonan dan membuat seperti yang perempuan itu buat. Saya melihat dia melakukan proses interaksi yang baik. Saya mengabadikan prose itu.
“Pat kekecilan, nanti tidak laku,”
Kak Yus mengingatkan. Patma membalas.
“Ya, orang kecil, kuenya juga kecil,”
Saya juga ikut nimbrung.
“Mm, ndak juga. Kakak ini sama besar kok dengan Patma, tapi, kue buatannya lebih besar,”
Kami tertawa ramai melihat Patma terpojok. Sengaja memang bikin suasana lebih santai. Biar cepat akrab.
Saya mengajak Lukman mencari objek lain.
Seorang wanita muda yang sedang mengambil buat jeruk sambal di seberang jalan, di ujung jembatan tidak jauh dari warung, kami dekati.
“Panen jeruk ya?”
“Iya, ambil sedikit-sedikit,”
Dia menyahut ramah.
“Suke nengoknye. Orang di sini rajin-rajin ya. Tidak ada lahan kosong. Di sini jeruk, di sana serai,”
Saya memuji mereka. Tidak basa basi.
“Berapa banyak sekali panen?”
“Kalau yang ini, ada-lah dua tiga bakul itu,”
Dia menunjuk wadah dari rotan. Ukurannya mungkin muat 10 kilo. Tidak banyak. Pohon di sini juga memang tidak banyak. Ada 5 pohon saja. Buahpun juga tidak lebat. Saya melihat buat itu agak jarang-jarang. Malah sebagian pucuk jeruk itu seperti terserang ulat.
“Kalau pas dipupuk banyak lagi. Tapi jarang dipupuk,”
“Nanti kalau abis panen begini, bagaimana menjualnya?”
“Ada yang datang ambil. Sore nanti,” katanya.
Saya mengambil gambar. Lukman melanjutkan percakapan dengan perempuan itu.
Ada suara seseorang di seberang sungai, dalam bahasa Madura. Dia mengingatkan perempuan pemetik jeruk. Sambil tertawa.
Perempuan itu membalasnya.
Saya mengerti sedikit-sedikit percakapan mereka. Orang pertama mengingatkan perempuan itu, nanti wajahnya masuk TV.
Saya berjalan ke tempat lain, menuju arah ujung kampung.
Ada tiga anak duduk di pinggir sungai. Mereka menonton seorang anak sedang mandi. Saya menghampiri mereka.
“Mau difoto ndak?”
Dua anak nampak malu. Sedangkan seorang lain mau. Anak yang mau difoto mengajak dua anak lain. Mereka menggunakan bahasa Madura. Saya tidak tahu alasan anak yang enggan difoto. Seorang perempuan separoh baya di depan rumah di seberang sungai yang mendengar percakapan anak-anak itu ikut nimbrung. Tapi, kali ini saya tidak dapat menangkap maksudnya. Saya kira, dilihat dari senyumannya, dia menggoda anak-anak itu.
Anak yang sedang berenang di parit, naik. Dia juga mau ikut difoto.
Akhirnya keempat anak itu berfoto.
Satu, dua, tiga. Saya mengambil gambar berkali-kali. Mereka suka. Tertawa-tawa dan bercakap sesama mereka. Semuanya dalam bahasa Madura.
Saya bertanya nama mereka.
“Mi,”
Itu rupanya nama anak yang berenang tadi.
“Juliana,”
Anak yang mengajak teman-temannya berfoto tadi.
“Gebak,”
Anak yang pemalu. Bukan dia yang menyebut namanya. Nama Gebak tadi diperkenalkan oleh Juliana. Satu lagi anak, tidak jelas namanya.
Mi, kelas 1 SD.
“Juliana kelas 6.”
Saya terkejut.
“Masak kelas 6?”
Saya tidak percaya.
“He.. he…”
“Iya Bang, 6,”
Mi menambahkan.
Ya udah. Biar saja. Dia kelas 6. Iya. Saya tak mengulangi pertanyaan itu lagi. Tapi saya kira yang benar, Juliana berumur 6 tahun. Mungkin mereka tidak menangkap dengan baik pertanyaan saya dalam bahasa Indonesia. Maklum, anak-anak di sini sehari-hari menggunakan bahasa Madura.
Saya bertanya soal kemampuan mereka berenang.
Mi sudah pandai. Juliana pandai. Gebak, belum pandai.
Saya mulai berpikir tentang parit dalam kehidupan orang Wak Gatak. Parit jalan hidup mereka? Parit tempat bermain bagi anak-anak. Parit, tempat mandi. Tempat mencuci. Mungkin juga jalan keluar masuk ke kampung ini, dahulu. Jalan keluar masuk hasil bumi mereka, jalan keluar masuk kebutuhan pokok mereka.
Saya tinggalkan Mi dan kawan-kawan.
Saya menuju warung yang jaraknya sekitar sepelempar batu dari anak-anak mandi. Warung itu baru. Warna papan yang tidak dicat menunjukkan hal itu. Di depannya ada kursi dari sekeping papan plus sandarannya. Ada rak-rak berisi tiga gallon bensin. Kosong. Di dekat rak gallon ada 6 karung singkong.
Di teras warung ini terdapat meja. Di atasnya, botol-botol minuman jenis sirup. Macam-macam warnanya. Hijau, kuning, biru. Ada termos berisi es. Ada gelas plastic yang juga warna-warni.
Saya memesan minuman untuk membuka cerita. Es, limun.
Pemilik warung seorang perempuan muda. Saya kira umurnya 20 tahun. Ada seorang wanita tua di samping. Ada anak kecil, 2 tahun.
Perempuan itu berasal dari Teluk Pakkedai, kecamatan Kubu. Teluk Pakkedai, jaraknya cukup jauh dari Parit Wak Gatak. Perempuan tua itu mertuanya. Sedangkan anak itu, anaknya.
Sudah dua tahun dia tinggal di sini, di tempat mertua. Saya ingin mengambil gambar mereka, namun perempuan tua itu melarang.
“Jangan”.
Saya batalkan.
Saya bertanya tentang karung yang ada di depan warung.
“Itu karung ubi. Mau dijual ke pasar.”
Katanya, nanti sore ada yang akan mengambil karung itu. Pakai mobil. Dia tidak dapat memberitahu siapa nama pembeli dan berasal dari mana dia, walaupun saya tanya. Tetapi sebagai informasi awal cukup berguna juga.
Kami juga bicara soal lahan. Lahan di ujung kampung banyak sudah terjual. Pembelinya orang luar. Mengapa orang luar?
“Orang luar banyak uang. Orang di sini mana mampu”.
Katanya harga tanah mahal. Ratusan juta. Tidak ada yang harganya puluhan juta.
Biasanya orang menjual tanah untuk buat rumah, pergi haji, menikahkan anak. Saya jadi takjub mendengar hal itu. Apa yang akan terjadi kemudian jika tanah-tanah sudah habis terjual. Mereka hanya memiliki lahan perkarangan. Tanah milik mereka, hanya yang ada di sekitar kampung. Yang jauh-jauh, jadi milik orang lain. Buruh. Pasti hal yang begini akan jadi mimpi buruk mereka. Nanti.
Kami beralih soal warung. Katanya, warung ini baru buka dua hari. Dibangun di halaman mertuanya. Mereka orang Bugis. Kebanyakan di sini orang Madura.
Dia tidak mau menyebutkan berapa pendapatan satu hari dari warung. Tetapi, saya rasa cukup lumayan. Selama saya duduk dan bercakap-cakap dengan mereka, banyak anak yang datang belanja. Ada yang beli es. Ada yang beli snack. Ada juga yang singgah mau beli bensin. Daya beli masyarakat cukup tinggi.
Barang-barang ini mereka beli dari pedagang di pasar bundaran Kota Baru. Pasar Kemuning.
“Untungnya sedikit,”
Mereka membeli barang yang dijual juga dalam jumlah yang sedikit. Suaminya membeli barang dan membawanya dengan sepeda motor.
Sepanjang percakapan kami, saya melihat ada penjual es potong dengan sepeda motor lewat. Juga ada gerobak kayuh yang membawa es walls lewat. Anak-anak ‘doyan’ belanja. Kalau tidak laku tidak mungkin tukang es mau masuk ke tempat yang jauh begini.
Tak lama kemudian seseorang datang membawa pisang. Pisang ambon yang sudah masak, pisang nipah yang besar-besar, pisang lemak manis yang ranum. Beda dibandingkan pisang yang biasa dijumpai di warung-warung di Pontianak. Pisang di warung biasanya pisang masak karbit.
“Makan Pak, pisang masak,” kata lelaki itu menyilakan.
Saya mengambil gambarnya.
“Mu’, masuk TV nanti,” kata pemilik warung itu.
“Ya, masuk TV. Lihat saja nanti sore,”
“TV wan,”
Mereka tertawa.
Saya membantu Mu menurunkan pisang. Ini kesempatan saya bertanya banyak hal.
Mu sangat ramah. Harga setiap tandan tergantung bentuk buahnya. Buah pisang nipah yang besar itu, bisa Rp20 ribu. Tandan yang biasa bisa laku Rp10 ribu. Kalau per kilo harganya Rp1.000,-
Saya melihat pemuda yang sebelumnya duduk di warung dekat rumah Pak Kades --tempat Patma belajar bikin kue gelang-gelang datang membawa timbangan besar dan sebatang kayu panjang satu depa. Dia juga membawa tali nilon sebesar kabel listrik.
Lalu, berdua mereka menimbang ubi yang ada di dalam karung tadi. Ujung kayu panjang diletakkan di pundak keduanya, di tengah-tengah tergantung timbangan. Tali dililitkan di karung dan kemudian dikaitkan ke timbangan. Lalu diangkat.
“80”
Mereka menurunkannya kembali. Lalu pindah ke karung lain. Agak repot sambil mengaitkan tali ke karung dan mengangkatnya sekaligus. Saya membantu mereka. Kemudian, seorang perempuan paroh baya berlari dari rumah di seberang parit dia ikut membantu. Belakangan saya tahu perempuan itu adalah mertuanya Mu.
Ada dua karung yang beratnya lebih dari 100 kilo.
Proses menimbang jadi lebih cepat. Setelah selesai, saya melihat Mu menghitung jumlahnya.
Dia tidak menggunakan catatan untuk mengingat berapa kilo masing-masing karung itu. Ingatannya bagus.
“Kalau saya, pasti sudah lupa,”
Mu tertawa mendengar komentar saya.
Saya tidak tanya berapa ratus kilo semua ubi itu. Jumlahnya banyak. Mungkin 500 kilo. Harga per kilo ubi mencapai Rp700. Saya memberitahu dia, di pasar ubi itu Rp2000. Selisih yang cukup lumayan. Tetapi, orang kampung tidak mempersoalkan selisih harga itu. Selisih itu dianggap wajar karena peraih juga harus dapat bagian dari kerja mengangkut dan mendistribusikannya. Karena itu sepanjang hasil produksi alam mereka, ada yang membeli, mereka tidak ada masalah.
“Kalau peraih mau beli, dia pesan lewat telepon. Nanti kita siapkan,”
Kalau dahulu, saat belum ada telepon, peraih akan datang langsung memberitahu, lalu hari berikutnya peraih datang menimbang dan mengangkutnya.
Sejauh ini, tidak pernah hasil alam dalam bentuk apapun, tidak dibeli peraih. Ubi, daun ubi, pisang, tebu, serai, lengkuas, kelapa, jeruk sambal, semua laku. Timbang terima di depan rumah petani. Petani menyerahkan barang di depan rumah mereka. Sekaligus menerima uangnya. Sangat mudah. Tentu juga menyenangkan karena langsung mendapatkan uang.
Saya melihat semua yang ada di Wak Gatak adalah uang. Semua bernilai. Dan masyarakat mengerti itu. Karena itu siapa yang rajin dia akan dapat uang. Tinggal pilih, mau tanam apa.
Mu menceritakan tentang ubi. Ada dua jenis ubi. Ubi pulut dan ubi itam. Ubi pulut lebih baik dimakan. Sedangkan ubi itam lebih baik dibuat keripik. Tidak mudah pecah sebab bagian tengahnya kecil. Ubi pulut lebih empuk, bagian tengahnya besar.
Lalu dia cerita juga tentang daun ubi. Pucuk ubi ada dua jenis. Pucuk biasa dan pucuk ubi pancang. Pucuk ubi pancang bentuknya lansing, lembut dan putih. Saya sering membeli jenis daun ubi seperti itu. Saya mengenalinya sebagai ubi pagar. Kebalikan dari pucuk ubi biasa. Pucuk ubi biasa lebih keras.
Dia menceritakan bagaimana menanam ubi pancang ini dan bagaimana merawatnya. Katanya, mula-mula batang ubi dipotong pendek dan kemudian ditanam pada satu lahan. Di atasnya dibuat pelindung dari daun kelapa. Pelindung ini membentuk para-para. Saya sangat antusias dengan cerita. Saya belum pernah mendengar sebelumnya. Saya kira daun ubi pagar itu adalah ubi yang ‘diramban’ –dipungut begitu saja, oleh pemetik atau peramban. Bukan ditanam.
Cara menanam seperti ini jelas membayangkan ‘keterampilan’ masyarakat di sini. Menurut Mu, banyak masyarakat yang menanam ubi jenis ini.
“Kalau bapak mau lihat saya bisa antar. Di sana,” kata Mu. Dia menunjuk arah seberang jalan.
“Ya, mau,”


Kami berjalan. Meninggalkan warung, menyeberangi parit. Melalui jembatan, masuk ke halaman rumah besar. Mu masuk ke kaki lima rumah itu. Saya kira ini rumah Mu. Mungkin dia mau singgah sebentar.
Tetapi bukan. Mu ingin menunjukkan sesuatu. Di kaki lima rumah ada mesin padi tradisional.
“Itu kipas padi,”
Saya mengamati alat itu. Masih bagus. Masih sering dipakai. Bergantian bagi yang memerlukan. Tetapi, tentu tidak banyak. Orang lebih banyak menggunakan mesin penggiling padi. Lebih cepat.
Mu memberi contoh cara menggunakan mesin itu. Dia memutar kipas. Saya merasakan angin bertiup dari lubang bagian ujungnya. Mu menjelaskan proses kerja alat itu. Saya mencatanya.
Setelah itu kami ke kebun. Menyusuri jalan tanah, agak licin. Ada bekas ban sepeda. Beberapa jam lalu Mu melewati jalan ini membawa buah pisang.
Dia sempat mengkhawatirkan saya tidak bisa melewati jalan becek ini.
“Tenang Pak, biasa. Saya orang kampung,”
Di kiri kanan jalan terdapat pohon kelapa. Pohon kakau. Kopi. Saya mengagumi kebun-kebun itu. Nampak subur dan terpelihara.
“Ini kebun mertua saya,”
Menurutnya, orang yang punya kebun sendiri biasanya lebih giat. Mereka bisa menanamkan berbagai tanaman. Hasilnya mereka bisa nikmati sendiri. Sedangkan orang yang mengerjakan kebun orang lain tidak bisa begitu.
Lebih kurang sepuluh menit, kami sampai di kebun ubi milik Mu. Luas sekali. Ada beberapa petak yang ubinya sudah tinggi batangnya. Siap panen.
Ada beberapa ikat pohon ubi disandarkan di pohon kelapa. Panjang dan lurus. Batang-batang pilihan. Ini akan ditanam kembali.
“Kalau diletakkan di sini lebih sejuk,”
Mu ingin mencabut ubinya untuk saya. Namun saya melarangnya.
“Kami masih putar-putar,”
Lalu dia menunjukkan ubi yang baru ditanam. Sebelum ditanam, tanah dicangkul dahulu. Tidak semua. Hanya di bagian yang akan ditanam saja.
Saya menyaksikan kebun singkong dengan takjub. Sungguh beruntung orang di sini. Tanah liat bercampur gambut yang subur.
Tidak berapa jauh dari kebun yang baru ditanam, ada tanah lapang. Di sana ditanam ubi pancang itu.
Penanamannya berkelompok. Panjangnya lebih kurang 5 meter. Pada kelompok pertama, ubi baru ditanam. Di kelompok yang lain, panjang ubi sudah satu jengkal.
“Yang itu, sebentar lagi panen,”
Mu memberitahu masa panen ubi pancang itu lebih kurang 20 hari. Setiap kelompok bisa dipanen empat kali. Setelah itu ubi tidak mau tumbuh lagi. Harus dibakar. Dicangkul dan kemudian ditanam kembali. Mereka tidak menggunakan pupuk untuk ubi pagar.
Mu membawa saya ke tempat lain. Dia menunjukkan petak ubi pancang yang sudah siap panen dan petak ubi pancang yang sudah tiga kali panen.


Saya melihat di sela-sela kebun ditanami lengkuas, serai, pisang, dan kelapa. Kelapa menjadi tanaman terakhir. Setelah kelapa ditanam, ubi tidak bisa tumbuh lagi. Paling yang bertahan jenis tanaman langsat dan pisang, atau coklat.
Saat ini, kebanyakan kelapa di kebun milik mertua Mu, baru setinggi kepala. Satu dua kelapa yang setinggi bumbung rumah. Kelapa tinggi ditanam di dekat parit. Sudah berbuah. Mu menawarkan buat kelapa.
Semula melarangnya. Pasti dia capek. Sudah siang.
Tetapi dia tetap memanjat.
“Kalau rendah begini saya bisa. Kalau tinggi, tidak,”
Dia bergerak cepat. Dalam tiga tindak, dia dua mencapai pelepah kelapa. Dia mengambil dua buah.
Lalu, dia turun dan mengupasnya. Dia membuat lubang dengan pisaunya yang tajam. Lantas, memberikan pada saya.
“Diminum begitu. Langsung. Bisa?”
Saya menyiyakan. Dan mengambilnya.
“Boleh diminum langsung? Ndak ada pantang larangnya ke?”
Saya bilang kalau di masyarakat tertentu tidak boleh minum langsung dari kelapa. Harus pakai gelas, atau daun. Meminum langsung menyebabkan kelapa ditebuk tupai. Tupai akan meniru cara orang minum langsung.
“Tidak ada. Minum saja,”
Saya meminumnya, langsung. Satu orang satu. Nikmat sekali.
Setelah itu dia membelahnya.
“Agak tua ya,”
“Ndak juga. Begini lebih enak,”
Mu membuat pencongkel isi kelapa dari kulit kelapa. Untuknya satu, dan satu lagi untuk saya. Alat yang praktis. Saya menghabiskan isi kelapa. Tak tersisa. Mu melihat dengan senyum.
Kami juga bicara tentang tanah pertanian. Menurut Mu tanah yang dipergunakannya bukanlah tanahnya sendiri. Semua itu tanah mertuanya, Haji Samsuri. Tanah mertuanya masih sangat luas. Tapi saya tidak sempat bertanya siapa Haji Samsuri.
Penjelasannya soal masuknya orang luar membeli lahan di sini lebih menarik. Saya jadi teringat informasi yang saya peroleh di warung tadi.
Selain itu, soal konversi lahan lebih menarik. Mu mengatakan kalau membuka lahan baru mula-mula yang ditanam, padi. Biasanya tiga kali tanam. Setelah ubi. Beberapa kali tanam ubi, kemudian lahan itu ditanami kelapa dan jenis tanaman keras lainnya.
“Kalau sudah ditanam kelapa, ubi tidak bisa lagi,”
aya bertanya soal upah. Menurut Mu bertanam di lahan orang pembagiannya, bagi dua. Satu bagian untuk pemilik lahan, satu bagian untuk pekerja. Pembagiannya, setelah hasil bersih.
Ada juga orang kampung yang mengandalkan kerja upah. Mereka yang seperti ini karena tidak memiliki lahan.
Tetapi saya tidak memperoleh jawaban, berapa banyak orang yang tidak memiliki lahan itu.
Saya melihat waktu menunjukkan pukul 12.30. Sudah siang. Kasihan Mu. Belum rehat. Tentu capek. Tentu dia lapar. Tetapi, dia nampak semangat. Saya mengagumi semangatnya. Jika dia punya lahan sendiri, saya yakin, Mu akan menjadi petani yang sukses.
Kami pulang.
Mu mempersilakan saya naik ke rumahnya. Dia mencuci kakinya di parit depan rumahnya. Dia menggantikan pakaiannya. Saya naik sebentar duduk di teras. Ada dua kursi di situ.
Mu masuk ke dalam. Lalu dia keluar lagi dengan membawa foto anak-anak STAIN yang pernah kuliah kerja lapangan (KKL) di sini. Beberapa bulan lalu. Orang-orang di sini sangat terkesan dengan kehadiran mahasiswa. Terutama karena mahasiswa bisa mendatangkan film layar tancap.
Istri Mu keluar sebentar. Menurut Mu, istrinya menjaga anaknya yang masih kecil. Anak lelaki. Anak itu lahir bulan puasa lalu. Sekarang berumur empat bulan. Pasangan ini memiliki 4 orang anak. Anak tertua, perempuan kelas 6 SD. Anak kedua, lelaki kelas 2. Anak ketiga perempuan, masih berumur 4 tahun. Anak keempat, yang paling kecil itu.
Saya memujinya karena urutan anaknya bagus. 2 pasang. Perempuan, laki, perempuan, laki.
Tidak lama saya duduk bersama Mu. Saya pikir, Mu harus istirahat. Dia tidak akan bisa istirahat jika ada saya. Lagian, saya lihat langit mendung. Pasti sebentar lagi turun hujan. Saya tidak ingin terperangkap hujan.
Saya permisi.


Saya menuju masjid. Zuhur telah lewat. Sewaktu wudhu’, anak-anak yang tadi saya potret meminta dipotret lagi. Saya menanggapi permintaan mereka.
Saya melihat ada seorang lelaki sedang mencuci serai. Dia bersama seorang perempuan tua dan seorang perempuan muda. Nampaknya anak beranak.
Saya menghampiri mereka dan menyapa. Saya bertanya tentang penanaman serai. Saya juga bertanya tentang pemasaran.
Dia juga bertanya tentang saya, dan apa yang saya lakukan. Saya ceritakan tentang apa yang kami lakukan.
“Kami lagi praktik penelitian,”
Dia mengangguk.
“Saya ketua RW di sini,”
Saya tidak terlalu jelas apa maksudnya. Dan tidak sempat bertanya lebih jauh. Walau demikian saya sempat bertanya di mana rumahnya. Di menunjuk ke arah yang searah dengan rumah kepala desa.
Lalu, saya permisi. Saya menuju rumah kepala desa.
Di teras rumah sudah ada kantong hitam, isinya nasi kotak. Di dalam saya lihat Ismail, Kak Yus, Patmawati, Syaiful, Lukman dan Ambaryani sedang mendengar kepala desa, Nurdin.
Saya menyalami Nurdin. Baju safari yang dikenakannya membuat dia nampak berwibawa.
“Sudah mirip ketua dewan. Tinggal pasang emblem jak,”
Nurdin menyambut gurauan saya dengan tertawa.
Lalu, pembicaraan dilanjutkan. Dia menjawab pertanyaan Ismail tentang pemasaran produk pertanian.
Dia menjelaskan, pemasaran sangat mudah. Produk pertanian masyarakat berapa pun banyaknya, tetap dibeli oleh peraih. Peraih datang menjemput. Ini memudahkan masyarakat.
Saya menyampuknya.
“Masyarakat rajin. Uang pasti banyak. Rumah besar.”
“O, itu. Rumah besar karena masyarakat perlu mengumpulkan orang lain di rumah,”
Nurdin kemudian menceritakan ada berbagai budaya yang harus diperingati setiap keluar. Orang mengundang tetangga untuk acara ruwahan, berebe.
Dia juga menceritakan biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan untuk kepentingan budaya itu. Misalnya untuk maulidan, langsaran, peringatan Muharam.
Dia juga mengungkapkan tentang pekerjaan penduduk. Selain petani, warga Parit Wak Gatak ada yang menjadi “belukar”, yang memfasilitasi kegiatan jual beli. Terutama belukar motor dan tanah. Selain itu juga ada yang pergi merantau, bekerja di Pontianak, ada juga yang ke Malaysia.
“Mereka yang keluar perlu mencari pengalaman. Biasanya yang pergi merantau, pulang membawa banyak uang. Bisa membangun rumah,”
Kepala desa juga menceritakan tentang masuknya orang luar yang membeli lahan di ujung kampung. “Ada pengusaha, ada juga anggota Dewan,”
Saya penasaran.
“Siapa anggota Dewan itu?”
Dia menyebut namanya.
Katanya, hanya orang kaya yang mampu beli. Tanah di sini sudah mahal. Untuk tanah kapling ukuran 10 X 20 merer, harganya di atas Rp10 juta.
Kecenderungan menjual tanah di kalangan masyarakat cukup tinggi, karena harga tanah yang mahal. Masyarakat menjual tanah mereka antara lain disebabkan karena mereka perlu uang untuk membangun rumah, naik haji atau menikahkan anak mereka.
“Kecenderungan itu mulai nampak di tahun 2004-2002,”
Seiring pertumbuhan penduduk, lahan menjadi masalah. Yang tak punya lahan, pada akhirnya menjadi buruh, sebagian lagi merantau ke luar kampung.
Percakapan terus mengalir ke sana ke mari. Tentang adat istiadat yang mengatur buah durian. Tentang hujan yang turun. Tentang jalan yang becek.
Percakapan terputus ketika kami makan siang. ‘Nasi Beringin’ yang dibawa panitia ada 8 kotak. Rombongan kami 7 orang. Masih ada satu untuk Pak Kades. Kami makan bersama di ruang tamu.
Usai makan, saya sempat pamitan mau ke masjid. Lukman juga pergi setelah meminjam kamera yang saya bawa.
Setelah dari masjid, saya gabung kembali dengan mereka. Saya ikut mendengar Ismail yang bertanya tak henti-hentinya. Kak Yus dan Syaiful yang sesekali nimbrung bertanya. Patmawati yang membanding-banding temuan penelitiannya. Ambar lebih banyak diam, tetapi saya lihat dia lebih banyak mencatat.
Hujan terus turun, tak henti. Saya minta izin menumpang WC. Kepala desa mengantar ke belakang, menunjukkan tempatnya. Kami melewati ruang tengah. Ada anak yang menonton TV. Lalu, di bagian belakang rumah, dekat pintu keluar sebelah kanan ada seorang ibu bertutup kepala sedang mengikat daun ubi pancang. Ada tumpukan daun ubi yang sudah diikatnya. Diletakkan di dekat sofa panjang. Ada juga tumpukan kain di atasnya. Di sudut yang lain, di samping kiri pintu masuk terdapat sepeda kumbang.
Bagian belakang rumah berlantai papan.
‘WC di sana, kanan,”
Nurdin memberi petunjuk dengan menunjukkan tangannya. Pakai jempol. Setahu saya orang Jawa biasa begini. Ada dua WC di rumah ini. Saya masuk ke WC yang kedua, sesuai yang ditunjukkan Nurdin. Luasnya lebih kurang 2 meter persegi. Lantai dan dinding separoh diporselin. Ada bak mandi kecil. Airnya sepertiga. Jernih. Kelihatannya air hujan. Sebab kalau air parit warnanya hitam.
“Airnya ada ndak?”
“Ada, banyak,”
Nurdin kembali ke depan.
Setelah selesai, saya juga kembali ke depan. Tetapi sebentar.
“Saya mau omong-omong dengan ibu di belakang. Lihat ubi pancang,”
Saya mengambil catatan dan kamera.
“Yuk Mbar, kita ke sana, kawankan ibu ngikat ubi pancang,”
Ambar menurut, menyusul saya. Bergabung dengan ibu yang duduk di depan pintu.
“Bu, kami mau ikut ikatkan ubi pancang,”
Ibu Marginten --saya tahu karena bertanya pada Nurdin setelah itu, memberi isyarat, mempersilakan kami menemaninya. Ibu Marginten, ibunya Nurdin.
Saya dan Ambar mengambil daun ubi.
“Satu ikat berapa?”
“Satu ikat Rp300,”
“Kalau di pasar Rp1000. Kalau sore, 3 ikat Rp 2000,” Ambar menyampuk.
Saya mencatat. Penting.
“Kalau satu ikat begini, berapa batang?” saya mengulang pertanyaan.
“Tidak tentu. Dikira-kira. Segini saja,”
Ibu Marginten mengangkat seikat, memberi contoh.
Saya juga mengambil satu ikat, ikatan yang sudah dibuat Bu Marginten. Saya menghitung. 5 batang.
Lalu, saya mengambil beberapa batang ubi yang belum diikat, persis di depan Ibu Marginten. Ambar juga.
“Ikatnya pakai apa?”
“Pakai itu,”
Dia menunjuk potongan daun serai, sepanjang satu jengkal.
Saya mengambil potongan itu.
“Bagaimana cara mengikat?”
Ibu tertawa kecil.
“Begini khan Bu?”
Ambar menyela seraya menunjukkan hasil ikatannya.
“Masa’ tak bisa,”
Saya melirik ke Ambar. Memberi isyarat. Tapi pesan tatapan itu tidak sampai. Ambar lebih memperhatikan daun ubi dan ibu.
“Uhhh, ikatan saya lepas. Dililitnya ke mana Bu?”
Ibu tertawa melihat kegagalan saya. Ambar juga.
Saya membetulkan ikatan. Ujung simpul daun serai itu saya selitkan di antara batang-batang ubi.
Ibu Marginten menceritakan kalau daun ubi yang dia ambil dari kebun hanya sebagian saja. Tidak semua.
“Semampu yang bawa,” katanya.
Dia menceritakan tentang penjualan daun ubi pancang. Suplai dari kebun tetap ada. Peraih tetap datang membeli. Namun harga tidak selalu sama. Harga tergantung sayur lain seperti bayam dan sawi. Jika bayam dan sawi agak kurang, daun ubi agak mahal. Jika bayam dan sawi banyak, daun ubi jadi murah. Sebagai contoh, sekarang daun ubi per ikat Rp3000, sedangkan sebelumnya harganya cuma Rp150-200 per ikat.
Dia juga menceritakan, dahulu, sebelum banyak peraih yang masuk ke kampung, kadang kala mereka membawa langsung sayur ke pasar Kota Baru atau Flamboyan. Itu terjadi sewaktu jalan rusak dan peraih enggan masuk. Sekarang setelah jalan bagus, peraih banyak masuk, penjualan jadi lebih mudah.
“Kan bedanya jauh Bu, kalau di sini harganya Rp300, di pasar harganya Rp1000. Kalau bawa sendiri bisa dapat banyak untung,”
“Ya, itu untung dia –peraihlah,”
Ibu Marginten menceritakan kalau mereka membawa langsung ke pasar, repot. Mereka harus berangkat tengah malam. Padahal, siangnya mereka harus tetap kerja.
Saya bertanya padanya tentang penggarapan lahan. Menurutnya, upah kerja di sini rendah. Orang yang bekerja mulai pukul 6-11 upah orang yang bekerja di kebun Rp13.000. Pagi-pagi diberi sarapan. Selama bekerja disediakan kopi. Makan siang ditanggung. Karena itu kalau hasilnya tidak bagus, hasil yang diperoleh cukup-cukup untuk modal saja.
“Susah,”
Dia cerita soal jajan anaknya yang besar. Kalau mau sekolah anaknya minta jajan Rp3000. Nanti kalau pergi mengaji, minta lagi jajan Rp2.000. Kalau di rumah jajannya Rp3.000.
“Minta terus,” katanya.
Di sini, beras tidak beli. Yang beli lauk pauk.
Setelah merasa cukup, kami permisi. Kembali ke depan bergabung dengan teman-teman. Tak lama kemudian kami pamit.


HUJAN sudah berhenti. Kami bersiap pulang.
Jalan becek dan licin. Ismail, Syaiful dan saya lebih memilih menyeret motor ketimbang naik. Lukman membantu mendorong motor Kak Yus. Kak Yus, Patma, Ambar jalan kaki sampai ke persimpangan.
Nurdin sempat mengingatkan saya soal jalan ini ketika kami mulai menyeret motor.
“Muatkan di koran,”
Saya mengangguk.
Lalu, mengambil gambar. Untuk Harian Borneo Tribune.
Setelah itu saya memastikan lagi informasi tentang jalan. Tadi, Nurdin menceritakan dia sudah mengusulkan jalan ini kepada Dewan. Dan katanya tahun 2009 akan diusulkan. Saya merasa perlu tahu, kepada siapa dia mengusulkan itu.
“Saya ketemu Mulyadi,”
Mulyadi anggota Dewan di DPRD Kabupaten Pontianak dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Saya mengenal anggota Dewan in. Masih muda. Aktivis di GP Ansor Kalbar. Sayap organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Tetapi kami menyeret motor, tidak lama. Seratus meter kemudian, saya lihat Ismail dan Syaiful sudah naik motor. Perlahan-lahan. Saya ikut juga.
Kami sampai ke simpang jalan masuk. Jalan utama yang beraspal. Mereka mencuci kaki yang berlumpur.
Setelah itu, kami memacu kendaraan masing-masing. Meninggalkan Parit Wak Gatak.
Sekitar 20 menit kemudian, kami sampai di kantin Borneo Tribune. Saya memasukkan foto jalan yang becek di folder redaksi, secepatnya, biar bisa diterbitkan besok. Kawan-kawan lain duduk melingkari meja, membahas temuan-temuan lapangan. Diskusinya sangat rancak. Saya melihat keseriusan kawan-kawan. Ada gairah akademik menyeruak. Bagi saya, ini adalah optimisme, mimpi yang akan jadi kenyataan. Kampus riset yang diura-urakan beberapa kalangan di STAIN Pontianak akan nampak. Saya membayangkan semangat ini bisa dibawa kembali ke Parit Wak Gatak, pada waktu yang lain.


Baca Selengkapnya...

BUKU BARU


Judul : Memahami Kesukubangsaan di Kalimantan Barat
Penyusun : Yusriadi
Tahun : 2008
Penerbit : STAIN Pontianak Press
Tempat Terbit : Pontianak





Baca Selengkapnya...

Tak Kenal Maka Tak Tahu: "MEMAHAMI KESUKUBANGSAAN DI KALIMANTAN BARAT"

Yusriadi

Tak kenal maka tak tahu, tak tahu maka tak cinta. Pepatah ini berlegar dalam ingatan saya. Saya sering menggunakannya. Dahulu.

Terutama saat bicara di forum resmi di depan orang-orang. Saya memulai ungkapan ini sebagai ungkapan pembuka kata. Tidak ada makna mendalam yang resapi. Basa basi. Saya tahu, orang lain juga sering menggunakan ungkapan itu.
Ketika saya memilih judul “Memahami Kesukubangsaan di Kalimantan Barat” untuk kumpulan tulisan saya yang dibukukan dan diterbitkan oleh STAIN Pontianak Press (2008), saya teringat akan pepatah ini.
Beda dibandingkan sebelumnya, saya menggunakan kata-kata ini dan meresapinya.
Dalam pikiran saya, masalah kesukubangsaan di Kalbar harus dipahami. Orang harus berusaha tahu tentang komunitas lain, selain komunitas sendiri.
Pengetahuan ini penting karena latar belakang masyarakat Kalbar. Masyarakat Kalbar terdiri dari berbagai kelompok etnik, kelompok suku bangsa. Ada Dayak, Melayu, Tionghoa, Madura, Bugis, Jawa. Ada lagi kelompok lain.
Orang Melayu, Tionghoa, Madura, Bugis, Jawa, perlu mengetahui tentang kelompok Dayak. Mereka perlu mengetahui ciri atau identitas Dayak. Mengetahui budaya, bahasa, dll. Semakin dalam pengetahuan, semakin baik.
Begitu juga sebaliknya. Orang Dayak, perlu mengetahui kelompok lain. Semua suku.
Pengetahuan yang terbatas akan menimbulkan praduga. Sebaliknya, pengetahuan yang cukup, pengetahuan yang baik dan mendalam tentu akan menghilangkan stereotip, akan menghilangkan praduga. Pengetahuan seumpama ini akan membantu orang saling memahami.
Saya membayangkan jika masing-masing saling memahami. Saya membayangkan jika kesalingpahaman bisa diwujudkan, bisa ditumbuhkembangkan sejak awal, sudah tentu penghargaan akan tumbuh.
Tidak perlu orang berkelahi karena mereka tidak mengerti orang lain. Tidak perlu orang ribut hanya karena mereka curiga, curiga pada sesuatu yang seharusnya tidak dicurigai. Ambil contoh yang paling sering digunakan orang, tentang carok di kalangan orang Madura. Di dalam budaya asal, carok dilihat sebagai sesuatu yang positif. Carok dilihat dalam konteks orang mempertahankan dan mengembalikan harga diri. Pertahanan berarti pasif. Hanya untuk membalas jika harga diri diserang. Bukannya memulai menyerang. Orang tidak memahami konteks carok. Orang tidak memahami mengapa carok dipertahankan dalam budaya orang Madura. Jika orang memahami dengan benar tentu tidak akan menganggap carok dari sisi negatif saja. Begitu juga sebaliknya, orang Madura yang mengerti tentang carok tentu tidak akan asal ‘pakai’ istilah itu untuk melegitimasi tindakan kriminal yang dilakukan.
Saya berusaha menerbitkan buku ‘Memahami Kesukubangsaan di Kalimantan Barat” dengan harapan, buku ini bisa memberikan sumbangan untuk membangun saling memahami itu. Di dalam buku ini digambarkan tentang identitas, persebaran, dan budaya suku Dayak, Melayu, Tionghoa, Madura dan Bugis. Ada harapan besar untuk masa depan, agar setiap orang menjadi lebih memahami diri dan orang lain dengan baik. Orang menjadi lebih mengerti. Orang menjadi lebih berpengetahuan. Orang menjadi lebih beradab.
Harap-harap kelak setiap orang bisa menebarkan cinta untuk orang lain. Setiap orang, kelak, bisa memandang orang lain sebagai bagian dari dirinya juga. Sama-sama orang-orang Kalbar, “orang diri’” atau “orang kita”.


Baca Selengkapnya...

Sutarmidji dan Masyarakat Kota Pontianak

Yusriadi
Borneo Tribune

Seorang teman –peserta pelatihan penelitian dosen STAIN Pontianak, melakukan ‘penelitian’ di sebuah lokasi pemukiman di kota Pontianak. Saat melakukan penelitian dia terkejut.
“Saya mewancarai seorang seorang pemuda. Dia bilang, pemerintah pernah mengadakan pelatihan keterampilan pertukangan untuk mereka, dan kemudian memberikan bantuan alat pertukangan. Para pemuda mengikuti pelatihan, dan mereka menerima bantuan itu dengan senang hati. Mereka membawanya pulang ke rumah. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Beberapa hari setelah itu alat pertukangan yang diberikan pemerintah mereka jual,”.




Saya dan beberapa teman yang mendengar temuan itu terkejut. Pemuda berhasil menipu pemerintah! Sebagian besar dari kami yang mendengar informasi itu tertawa. Tertawa pada ‘kecerdasan’ pemuda-pemuda itu.
“Hebat kali,”
Saya merenung. Saya lantas teringat ‘proyek’ yang akan digarap oleh Walikota Pontianak, Sutarmidji, M.Hum. Sutarmidji ada proyek besar: merehab rumah penduduk miskin kota. Sutarmidji ingin mewujudkan janji politiknya.
Banyak orang yang menunggu janji politik itu. Bahkan, menagihnya.
Saya termasuk orang yang menunggu realisasi janji. Saya juga ingin melihat bagaimana janji itu ditunaikan. Saya juga akan merasa senang kalau tidak ada lagi rumah penduduk yang beratap daun. Harapan kita, semua orang dapat merasakan tempat berteduh yang baik.
Tetapi, tentu saya khawatir jika perhatian terhadap soal kemiskinan kota berhenti pada tampilan fisik. Saya membayangkan jika perhatian berhenti sampai di sini, jadinya bantuan yang diberikan Sutarmidji akan sama seperti bantuan alat pertukangan yang diberikan pemerintah kepada pemuda yang diceritakan teman saya tadi.
Sama dalam artian, bantuan itu tidak menyentuh kebutuhan esensi masyarakat. Masyarakat berterima kasih terhadap bantuan yang diberikan. Masyarakat senang. Tetapi, hanya di mulut. Di dalam hati mereka tidak senang. Mereka tidak memerlukan bantuan itu.
Saya jadi teringat nasehat Pengangguran, rumah atap daun, adalah fenomena. Ini adalah akibat. Mengatasi pengangguran dengan membuka lapangan kerja, atau mengatasi atap daun dengan bantuan atap zing, adalah seperti menghalau asap dengan meniup asap itu. Asap memang akan hilang, namun, akan datang lagi. Asap akan terus muncul selagi sumber asap tidak dipadamkan. Kalau mau asap hilang, cari apinya. Padamkan saja apinya.
Saya sangat yakin, kalau mau, Sutarmidji akan dapat menemukan asap itu. Dan dia akan dapat memadamkannya. Bahkan, lebih dari itu saya yakin dia akan menemukan alternatif untuk membawa masyarakat miskin itu menjadi masyarakat yang kaya, berdaya dan kuat.
Saya yakin kepada kemampuan Sutarmidji. Dia seorang cendikia. Sebagai garansi, dia adalah lulusan magister hukum dari Universitas Indonesia. Universitas Terbaik di Indonesia. Selama ini Sutarmidji mengajar. Dosen. Wawasannya sangat luas. Otaknya encer. Visinya kuat. Meyakinkan. Dia tidak akan mengecewakan masyarakat kota. Tunggu saja.


Baca Selengkapnya...

Kamis, 18 Desember 2008

Menunggu Patung Naga Singkawang Menjadi Patung Naga Api

Oleh: Yusriadi

“Singkawang ribut. Massa Melayu memprotes pendirian patung naga di tengah kota. Massa minta patung itu dirobohkan”.

Itulah informasi yang saya terima Jumat lalu. Informasi ini membuat saya bingkas. Saya tertarik dengan kabar ini. Saya ingin mengetahui lebih jauh perkembangan kejadiannya. Namun sayang, perkembangan tidak banyak diperoleh. Saya hanya mendapatkan nama kelompok organisasi yang menggalang protes itu: Front Pembela Islam (FPI).



Saat itu saya tidak mendapat siapa nama tokoh-tokoh gerakan. Saya tidak mendapat informasi mengenai jumlah orang yang terlibat aksi ini. Saya juga tidak mendapat informasi bagaimana gerakan ini dilakukan.
Saya juga tidak mendapat informasi mengenai siapa orang yang menggagas pembangunan patung ini. Siapa yang mengerjakannya. Saya hanya menduga, mungkin Dinas Pariwisata atau mungkin juga Walikota.
Karena itu hari Sabtu saya langsung memburu koran. Saya mencari berita di Equator, karena media ini menjadikan kasus Singkawang sebagai HL. Saya mencari berita serupa di Pontianak Post dan di Tribun Pontianak.
Hari berikutnya, saya juga mencari koran untuk mendapatkan perkembangan selanjutnya. Namun, tidak ada perkembangan berarti setelah itu.

***

Bagi saya kasus ini sangat menarik karena berkaitan dengan persoalan etnik –bidang yang selama ini saya geluti.
Kasus Naga Singkawang berkaitan dengan identitas masyarakat Cina (Tionghoa). Naga adalah salah satu simbol; selain barongsai.
Dalam kasus ini, orang Cina (agaknya begitu) ingin naga dibangun di tengah kota untuk menambah daya tarik pariwisata.
Saya mengaitkan hal ini dengan pengetahuan umum bahwa Singkawang memang dikenal sebagai kota Cina. Nama lain Singkawang katanya adalah “Sin Kiu Jong”. Saya sangat sering mendengar orang menyebut Singkawang sebagai “Kota Amoy”. Itu yang saya dengar sejak lama. Mendengar nama ini saya (dan mestilah semua orang) membayangkan gadis-gadis Cina dijumpai di mana-mana.
Belakangan saya juga mendengar orang menyebut Singkawang sebagai kota seribu kelenteng. Sebutan ini untuk menunjukkan bahwa di kota ini sudah terbangun 1000 buah kelenteng. Jumlah sebanyak itu, membuat kelenteng nampak di mana-mana. Mulai dari pintu masuk ke kota Singkawang hingga di pusat kota.
Jadi, kehadiran Naga di tengah kota menambah kuat identitas untuk kota Singkawang sebagai kota Cina.

***

Tetapi tentu saja masalah di Singkawang tidak bisa dilihat dari konteks itu. Masalah di Singkawang mestilah berkaitan dengan situasi sosial politik lokal dan regional. Di Singkawang, ada pertarungan politik antar kelompok. Dalam suksesi lebih setahun yang lalu, Hasan Karman, walikota sekarang berhadapan (mungkin juga berkaitan) dengan etnis. Hasan Karman adalah Cina. Sedangkan lawan tarungnya, beberapa di antaranya menggunakan simbol Melayu. Sehingga secara ringkas orang melihat pertarung dalam Pilwako Singkawang adalah pertarungan antara Melayu dan Cina. Masyarakat pemilih diramalkan banyak juga yang mempertimbangkan isu ini.
Meskipun tidak secara gamblang disebutkan ada pertarungan isu ini dalam Pilwako, namun aromanya terasa sekali.
Melihat situasi kala itu saya sempat meramalkan Pilwako Singkawang akan ribut. Kelompok tertentu dari kelompok Melayu akan melakukan sesuatu untuk orang Cina. Saya mengkhawatirkan hal itu. Kemungkinan ributnya cukup besar. Saya terobsesi dengan teori Ogborn. Kira-kira, keributan di Singkawang bisa terjadi karena orang Melayu merasa lebih kuat. Singkawang ‘terkepung’ oleh kampung-kampung Melayu. Kelompok Melayu tertentu mungkin merasa bisa menggerakkan simpati orang-orang kampung ini untuk kepentingan mereka.
Kemudian, syukurlah, keributan itu tidak terjadi. Kemenangan Hasan Karman diterima dengan ‘lapang dada’. Orang Melayu masih bisa menerima walau dengan berat hati, karena masih ada Edy R Yakoub, yang “urrang kitte jua’”.
Penerimaan belum sepenuhnya. Masih ada perasaan ‘kosong’ pada kelompok tertentu. Masih ada orang yang berusaha mencari revans atas apa yang dianggap mereka sebagai ‘kekalahan’. Ada yang terus melakukan hitung-hitungan terhadap orang Cina. Bak kata, seperti di Pontianak, ada orang yang menunggu waktu untuk membuat perhitungan.

***

Tentu banyak orang yang tidak setuju dengan hal itu. Banyak orang yang menyadari kalah menang dalam dunia politik adalah sesuatu yang biasa. Orang sendiri memimpin belum tentu lebih baik dari orang lain. Orang lain memimpin belum tentu buruk.
Tetapi, kelompok tertentu ini tentu tidak boleh diabaikan. Mereka harus mendapat perhatian dan ditangani searif mungkin.
Pilihan mengabaikan mereka sama saja membiarkan titik api hidup di atas sekam. Lama-lama akan membesar.
Sudah banyak contoh keributan besar muncul dari persoalan kecil. Keributan besar terjadi karena adanya akumulasi dari berbagai persoalan.
Dan, saya melihat persoalan antara Cina dan Melayu sangat banyak. Kedua komunitas ini sangat mudah dipisahkan dan dibedakan. Ada isu agama yang bisa menjadi bensin dalam hubungan ini. Ada isu ekonomi: soal lapangan kerja, soal kaya-miskin, yang tidak kalah kuatnya. Ada isu politik yang juga sangat mudah menyulut konflik.
Isu-isu seumpama ini memang tidak penting bagi orang yang memahami perbedaan, tetapi, berapa banyak orang yang memahami dan mau memahami itu?
Saya meramalkan jika penanganan Naga Singkawang tidak dilakukan sebaik mungkin, naga itu kelak akan menjadi naga api. Naga yang akan menyemburkan api dari mulutnya dan membakar bangunan-bangunan di kota Singkawang. Api dari mulut naga ini juga yang akan membunuh orang-orang yang tidak berdosa.
Saya selalu ingat dan sangat takut jika hipotesis konflik etnik di Kalbar terbukti kelak. Sebab saya meramalkan jika konflik ini terjadi, pasti Cina akan menjadi sasarannya. (Lihat Yusriadi. 2008. Tionghoa Kalbar di Titik Panas)


Baca Selengkapnya...

Kejujuran Intelektual di Untan

Oleh: Yusriadi

“Benarkah 80 persen mahasiswa S-2 Untan yang pejabat, tesisnya dibuatkan orang lain?”
Pertanyaan itu mengusik saya setelah membaca tulisan Rosadi Jamani di Harian Equator Pontianak, hari minggu, 2 minggu lalu. Dalam tulisan itu Rosadi menyebutkan, menurut pemerhatian–dan menurut perasaan dia, 80 persen mahasiswa S-2 Untan yang pejabat tesisnya dibuatkan orang. Begitu juga tugas-tugas kuliah mereka.



Walaupun saya tidak ingin percaya begitu saja dengan dugaan memalukan ini, saya kira, Rosadi tidak asal sebut. Rosadi kuliah di Untan di program S-2 Magister Ilmu Sosial. Jadi, dalam konteks ini, dia orang Untan juga. Dia bisa mengatakan begitu karena tentu dia melihat orang-orang melakukan itu. Mungkin termasuk teman-teman satu angkatannya.
Ya, ini tentu sesuatu yang luar biasa. Saya, bukan orang Untan. Tetapi, saya merasa malu membaca apa yang disebutkan dalam tulisan itu. Malu karena begitu parahkah keadaan akademik di kampus kebanggaan kita orang Kalbar.
Kalau saya orang Untan, pasti saya sudah bingkas. Pasti saya akan protes. Pasti saya akan mendorong komite etik di Untan untuk mengusut soal ini. Pasti saya akan minta informasi ini ditindaklanjuti. Mana mahasiswa yang tesisnya dibuatkan, gelarnya dicabut. Mana dosen yang terlibat, diberikan sanksi.
Saya berpikir, mana mungkin Untan akan mencapai kecemerlangan akademik jika situasi seperti ini dibiarkan. Ini bukan lagi soal mutu. Tetapi, soal kejujuran. Ini soal etika. Ini soal moral di kampus Untan.
Nah, beberapa hari lalu, dosen Untan, Turiman M.Hum muncul di redaksi Borneo Tribune. Turiman dikenal sebagai pengamat hukum. Dia mengajar program S-2. Kalau sudah bicara hukum, terutama hukum tata negara, dia jagonya. Kalau sudah bicara dalil Al-Quran, meletop, kata orang Melayu Pontianak. Maksudnya, kalau sudah bicara Al-Quran dalam konteks matematikan Al-Quran, dia hebat. Kami di redaksi Borneo Tribune sering dibuat terpana oleh kelebihannya itu.
Nah, ketika dia muncul di redaksi saya tanya lagi soal itu.
“Bang, kemarin Rosadi tulis, menurut dugaannya 80 persen mahasiswa Untan yang pejabat, tesisnya dibuatkan orang. Gimana tuh menurut Abang?”
“Ya, masuk akal. Saya saja sering menemukan tugas mahasiswa copy paste,”
“Benarlah Bang,”
“Ya, kadang segini,”
Turiman memberi contoh dengan jempol dan telunjuk tangan kanannya untuk menunjukkan tebalnya tugas-tugas copy paste itu.
Saya terdiam sambil memperhatikan Bang Turiman. Saya takjub. Sungguh takjub dengan hal seperti ini. Saya bayangkan dahulu dosen saya Pak Dwi Surya Atmaja pernah memanggil saya karena dia melihat tugas saya dan seorang teman hampir sama. Pak Dwi mengusutnya. Saya tidak mau menjawab pertanyaan beliau, siapa yang menjiplak tugas. Kalau saya jawab, teman saya akan menanggung akibat. Karena saya tidak jawab, nilai tugas dibagi dua. Tetapi, itu pelajaran: saya hampir tidak pernah meminjamkan tugas saya kepada orang lain setelah kejadian itu. Jera. Saya tahu, niat Pak Dwi baik.
Lalu, ketika saya mengajar, saya melakukan hal itu. Jangan harap ada mahasiswa yang bisa menyerahkan tugas copy paste. Pasti saya usut. Yang ketahuan, dapat teguran dan membuat tugas baru. Kejujuran harus dimulai dari awal. Bagaimana mungkin kejujuran tumbuh dari orang-orang yang memulai dari ketidakjujuran.
Karena itu, rasanya saya ingin mengirim sms kepada rektor Untan untuk mengingatkan soal itu – apakah bapak sudah membaca tulisan Rosadi, dll. Rasanya, beliau harus memperhatikan soal-soal seperti ini. Tetapi, tidak. Saya tidak berani, walau kepingin.
Lalu, saya pikir-pikir, lebih baik saya mengurus urusan sendiri. Masih banyak kerja lain.



Baca Selengkapnya...

Jumat, 05 Desember 2008

Seminar PSBMB - FLEGT: Mencari Kearifan Lokal, Belajar Menyelesaikan Konflik

Oleh: Yusriadi

Kita harus terus menggali kearifan lokal yang ada di tengah masyarakat. Pengetahuan mengenai kearifan masyarakat membantu kita memahami masyarakat, sekaligus membantu kita menyelesaikan persoalan yang ada di tengah masyarakat.
Itulah antara lain point penting yang terungkap dalam seminar reguler “Resolusi Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal” yang digelar bersama antara EC-Indonesia FLEGT Support Project – Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB) di Ruang Nadwah, Kampus STAIN Pontianak (21-22/11/2008) kemarin.


Seminar ini menampilkan 19 pembicara. Albertus, MA tentang Spiral Kekerasan. Ismail Ruslan, M.Si. tentang Kearifan Lokal Masyarakat Kapuas Hulu dalam Pengelolaan Perikanan di Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum. Didi Darmadi, M.A tentang Uma: Sebuah Kearifan Lokal Terhadap Alam. Dedy Ari Asfar, M.A. tentang Melembagakan Mitos Tembawang sebagai Upaya Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal: Catatan dari Masyarakat Iban, Kapuas Hulu. Yusriadi tentang Tungu dalam Konteks Hubungan Manusia dan Alam: Laporan dari Riam Panjang.
Dr. Hermansyah tentang Konflik berbasiskan Sumber Daya Alam dalam Kearifan Lokal Masyarakat Kapuas Hulu, Kalbar. Clarry Sada, M.Pd tentang Konservasi SDA Melalui Nilai-nilai Mitos: Sebuah Refleksi Nilai Etnisitas. Ibrahim, M.A. tentang Kearifan dalam Tradisi Peladangan. Laurensius Salem, M.Pd. tentang Sistem Peladangan dan Upacara Ritual – Studi Kasus pada Masyarakat Dayak Simpakng. Agustinus, S. Pd. tentang Analisis Pemicu Konflik Etnik di Kalbar. Ir. Abang Sukandar tentang Solusi Penyelesaian Konflik dalam Penggunaan Lahan. Doni Maja Perdana, S.Hut tentang Resolusi Konflik SDA di Kabupaten Sintang. Dedy Armayadi, S.Hut tentang Nilai-nilai Budaya Subsuku Dayak Desa di Kecamatan Kelam Permai yang Mendukung Perdamaian. Giring, M.Si tentang Tantangan dan Peluang Resolusi Konflik PSDA Berbasis Kearifan Lokal.
Hardianti tentang Pemali Musim Pangan dalam Masyarakat Bugis: Sebuah Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup. Ambaryani tentang Kearifan Lokal Masyarakat Jawa dalam Mengelola Sungai di Satai. Dwi Syafrianti tentang Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan SDA sebagau Upaya Menerjemahkan Keadilan Sosial. Marisa tentang Patang Larang dalam Masyarakat Sambas. Nur Iskandar, S.P tentang Berita Illegal Logging dalam Pendekatan Content Analysis.



Baca Selengkapnya...

Spot Jantung di Angkutan Umum

Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

“Bis terbakar”
Dug!
Saya terkejut. Badan yang semula menyandar di kursi, saya tegakkan. Secara replek, badan saya menjorong ke depan. Ke arah sopir. Saya ingin mendengar informasi lebih lengkap.
Sebelumnya saya tidur ayam –tidur tapi tidak nyenyak di kursi nomor 4 tepat di belakang sopir.




“Apa?”
“Ada bis terbakar,” sahut sopir.
Bis bergerak perlahan.
Saya menjulur kepala lewat jendela bis. Ya, di seberang jalan ada beberapa mobil berhenti –beberapa di antaranya truk.
Di sana saya lihat ada bekas ban terbakar. Bau sangit menyeruak.
“Bis Mudah ya,” teriak sopir pada temannya yang saat itu duduk di kursi nomor 1 dan 2.
“Bis ABM. Kalau ndak Pontianak-Sintang, Pontianak – Nanga Pinoh,” katanya.
Saya mengangguk saja. Memang tidak tahu.
“Agak-agak karena apa ya?” tanya saya lagi.
“Mungkin AC,” katanya.
Pikiran saya berkecamuk. Saya suka menumpang bus ber-AC dibandingkan tidak. Naik bus ber-AC bisa terhindar dari debu, karena tak ada jendela yang terbuka. Di bus ber-AC kita juga terhindar dari asap rokok, karena biasanya sopir dan penumpang tahu diri tidak merokok dalam bus ini. Sesekali kalau naik bus saja saya ketemu sopir yang nekat merokok. Biar tidak merebak ke dalam ruangan, kaca di samping kanannya dibuka lebar. Asap rokok yang dihembuskannya langsung ke luar bus, tak sempat mengharu biru penumpang. Jadi, masih aman juga.
Bus ber-AC agak lapang. Kursi yang di dalamnya agak jarang. Kadang masih bisa mengunjur bila sandarannya dimundurkan sedikit. Tidak ada juga kursi cadangan dalam bus ber-AC.
Tentu untuk semua kelebihan itu, penumpang harus membayar sedikit mahal. Sewajarnyalah.
Selain itu, bus ber-AC biasanya relatif bersih terawat. Kursinya jarang ada yang kumal. Baunya kadang juga agak wangi. Bandingkan dengan bus biasa, termasuk yang saya tumpang malam itu dalam perjalanan dari Putussibau ke Pontianak.
Baunya minta ampun. Kadang ada bau rokok. Kadang tercium aroma asam, bau muntahan. Kadang tercium aroma ayam (bau manuk), kata orang kampung. Kumalnya tak usah disebut. Tas kami, sudah tebal oleh debu jalan yang masuk lewat pintu dan jendela yang terbuka. Alas sandaran kursi sudah retak-retak dan retakan itu membentuk garis, hitam.
“Ada yang mati ndak?”
Saya mengajukan pertanyaan bodoh. Bah, mana tahu mereka. ‘kan sama-sama kami dalam bus, bukannya menyaksikan kejadian. Tetapi replek saja pertanyaan ini muncul. Menurut sopir biasanya kebakaran bus yang terjadi karena AC tidak terjadi tiba-tiba. Didahului asap. Masih ada waktu penumpang untuk keluar sebelum benar-benar hangus.
Tetapi, asap juga bukan tidak mungkin membunuh. Jika terhidu asap seseorang bisa lemas dan matilah dia.

***

Saya membayangkan kondisi malam itu. Jika bus yang saya tumpangi terbakar, mungkin saya akan menjadi korban. Kalau tidak mati retung, hangus sedikit mungkin. Sebab pada posisi saya duduk banyak barang dan saya pasti tidak mudah keluar dari tumpukan barang tersebut. Lagi, kaki saya tidak nyaman sebab sebelumnya selama tujuh jam saya duduk di kursi cadangan. Kursi plastik. Pantat rasanya tepos. Punggung pegal-pegal karena tidak bisa menyandar. Menyumpah karena nasib malang ini, saya sudah tidak sanggup. Alahai. Nikmati sajalah.
Saya melihat kondisi bus yang ditumpangi. Kalau tiba-tiba terbakar mungkin akan ada yang mati. Sebab pintu tidak terbuka secara otomatis. Pintu bus sama dengan pintu rumah kayu – dikunci dengan slot besi. Mau membukanya susah minta ampun. Belum lagi di depan pintu diletakkan ban serep dan di atasnya diletakkan kursi cadangan (sebenarnya bantalan kursi) dari busa yang bisa dipakai baring. Slot besi digunakan karena kunci lama sudah tidak dapat digunakan lagi, keropos dimakan karat.
Pengalaman saya, apabila pintu ini sudah dikunci, untuk membukanya diperlukan waktu beberapa menit. Kursi cadangan harus disingkirkan lebih dahulu baru kemudian slot ditarik dan pintu bus yang berlipat harus ditarik. Baik kalau di belakang pintu tidak ada barang. Kalau ada barang waktu yang diperlukan bisa lebih lama lagi.
Saya juga tidak melihat pintu darurat di bus. Biasanya di tempat yang standar keselamatan terpantau, ada pintu darurat di bagian tengah atau belakang. Pintu ini untuk memudahkan penumpang keluar jika ada hal-hal darurat. Penumpang bisa keluar lebih cepat karena tidak perlu semua menumpuk pada satu atau dua pintu. Setahu saya ada juga bus dahulunya yang hanya pakai satu pintu saja.
Pilihannya memang dengan memecahkan kaca jendela. Tetapi apakah itu mudah? Kadang ada besi yang dipasang di tengah jendela. Kepala orang dewasa tidak akan bisa telus. Setakat yang saya tahu besi itu menjadi tempat penumpang yang diduduk di dekatnya berpegangan. Mungkin juga untuk menghindari masuknya pencuri ke dalam mobil melalui jendela.
Tetapi, dalam keadaan darurat besi ini bisa menjadi hambatan penumpang keluar melalui jendela, sekalipun penumpang bisa memecahkan kaca atau menggeser kaca yang mudah buka.
Di bus juga tidak ada tabung pemadam api. Jadi saya membayangkan jika bus terbakar hampir tidak ada alternatif untuk memadamkan api kecuali seperti memadamkan api yang membakar rumah warga di dalam gang. Air diambil pakai ember baru disiramkan. Mana dapat ember di bus? Mungkin pilihannya menggunakan kayu (ranting) yang dipukul-pukul ke sumber api.
Kalaupun ada racun api, siapa yang bisa menggunakannya? Saya sempat bertanya pada seorang kondektur apakah mereka pernah mendapatkan pembekalan untuk menjaga keselamatan penumpang? Dia menjawab, tidak pernah. Seorang kondektur lebih banyak bekerja berdasarkan apa yang dipikirnya patut dilakukan, sembari mengikuti perintah sopir, membantu penumpang.
Jadi kalau memang ada kejadian, mereka hanya membantu berdasarkan feeling. Apa yang patut dilakukan, dilakukan. Kalau mereka pikir tak patut, mereka mungkin tidak melakukan apa-apa. Mau mane duli juga tidak apa-apa! Tinggal penumpang yang panik sendiri. Mau jantungan, mau tidak, terserah!


Baca Selengkapnya...

Rabu, 03 Desember 2008

Jalan Lintas Selatan: JALAN YANG MENDATANGKAN BERKAH, JUGA BENCANA

Oleh Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Jalan Lintas Selatan membawa berkah bagi masyarakat pedalaman Kapuas Hulu. Banyak kemudahan yang diperoleh sejak poros penghubung Putussibau – Sintang ini dibangun. Lalu lintas menjadi lancar. Namun, jalan ini juga membawa kabar mengerikan. Satu per satu nyawa melayang di jalan yang mulai ramai itu.


Awal 1980-an – tepatnya saya tidak ingat lagi. Ada orang Jakarta datang ke kampung kami, Riam Panjang. Dia menginap di rumah kami –kebetulan bapak kepala kampung. Beberapa malam.
Bapaknya saya, Zainal Abidin, memberi tahu nama tamu yang datang itu: Ir. Bachtiar Sirait –belasan tahun kemudian saya bertemu dia lagi: dia datang ke Kalbar sebagai staf ahli Menteri Pekerjaan Umum.
Kami menyambut Pak Bachtiar sebagai tamu yang dihormati. Maklum, dia orang kota yang datang ke kampung kami yang terpencil.
Kami menyambut beliau dengan istimewa karena tugasnya: merintis jalan raya. Jalan raya itu, begitu yang dibicarakan masyarakat waktu itu, akan menghubungkan kampung-kampung kami di hulu sungai dengan kota.
“Kita urang ulu bisa ili’ ke kota, lewat jalan itu,”
“Nanti ada sepeda motor datang,”
“Ada terak –truck,”
Kehadiran jalan membawa masyarakat pada impian tentang masa depan yang indah. Pada dunia yang lain dibandingkan dunia sehari-hari mereka. Pada kehidupan orang kota. Pada kemajuan.
Impian itu disandarkan pada Pak Bachtiar yang saat itu sedang merintis jalan impian tersebut.
Selama di kampung kami, Pak Bachtiar pergi pagi pulang sore. Mula-mula dia berjalan ke arah selatan kampung, tepatnya ke arah Menendang. Lalu, beberapa hari kemudian dia bergerak ke arah utara, Nanga Jajang.
Dia berjalan dengan gagah. Dia memakai sepatu karet –sepatu bot. Kesan kami seperti sepatu koboi. Orang kampung waktu itu memakai sepatu kulit –tidak ada alas kaki. Dia membawa peralatan –yang saya tidak tahu namanya.
“Jalan ini tidak lama lagi akan jadi. Setelah dirintis, nanti akan datang alat untuk mengerjakannya,”
Begitu kata Pak Bachtiar. Saya mendengar hal itu saat dia memberitahu bapak. Tidak ada bayangan alat apa yang beliau maksudkan. Juga tidak ada bayangan jalan seperti apa yang akan jadi kemudian.
Pikiran saya terlalu sempit untuk membayangkan jalan raya di antara pokok-pokok tengkawang di hilir kampung –arah Sungai Pengkadan, sungai utama di kampung kami. Alat apa yang bisa merobohkan pokok yang besarnya tiga pelukan orang dewasa, yang tinggi menjulang.
Saya juga tidak mampu membayangkan bukit-bukit kecil yang mengelilingi kampung bisa dilewati sepeda motor dan mobil. Bisakah motor dan mobil melalui akar-akar yang besar, dan sungai-sungai yang lebar? Kalau kuda mungkin tidak ada masalah. Saya sering menonton film koboi. Kuda-kuda tunggangan para koboi bisa lewat di berbagai medan.

***
Beberapa tahun kemudian alat yang disebut Pak Bachtiar datang juga. Suaranya menggelegar. Masyarakat menyambut kedatangan alat-alat itu dengan takut-takut. Tetapi, penasaran. Lalu, semua orang menyempatkan diri menonton pekerja dari jauh. Siapa yang mendekat akan diteriaki oleh orang kampung yang lain.
“Hoi, jangan dekat,”
“Apa mau matikah?”
Alat-alat itu orang kampung diperkenalkan dengan nama doser, ssonuk, kepitin, gleder, bekerja sepanjang siang. Pohon-pohon besar dirobohkan. Batang-batang pohon yang melintang didorong ke pinggir. Bukit-bukit kecil diseruduknya. Lembah-lembag ditutup.
Jalan lempang mulai nampak. Luasnya, seperti padang bola. Masyarakat takjub. Keajaiban.
Setelah itu, secara bertahap mobil-mobil dan motor-motor pekerja mulai masuk. Truk-truk mengangkut tanah untuk mengangkut tanah-tanah dari bukit yang tinggi. Tanah itu kemudian digunakan untuk menimbus bagian yang rendah. Sesekali orang kampung menumpang truk itu. Pengalaman yang mengasyikkan. Saya ingat orang-orang yang sudah naik truk atau naik alat berat bercerita tak putus-putus tentang pengalaman pertama mereka.
Waktu berlalu. Di tahun 1990-an jalan yang kemudian disebut Jalan Lintas Selatan itu mulai diaspal. Jembatan dibangun di atas sungai-sungai yang memotong jalan.
Lalu lintas mulai ramai. Sudah ada bus jurusan Pontianak – Putussibau yang melayani rute itu. Dari Riam Panjang ke Pontianak lebih kurang 14 jam. Bandingkan sebelumnya dari Riam Panjang ke Pontianak perlu waktu empat hari kalau lancar. Rincian perjalannya: dari Riam Panjang ke Jongkong –ibukota kecamatan perlu waktu satu hari dengan perahu tempel (speedboat). Bermalam di Jongkong menunggu motor tambang jurusan Pontianak- Putussibau. Dari Jongkong ke Pontianak lebih kurang tiga hari, langsung. Kadang, bagi yang ingin cepat, singgah di Sintang. Dari Sintang ke Pontianak naik bus. Waktu yang diperlukan kurang lebih 8-10 jam.
Lalu lintas yang sulit sebelum tahun 1990-an menyebabkan orang Riam Panjang –dan orang-orang di kampung lain terbelakang. Pendidikan terbatas. Pengetahuan terbatas. Pengalaman terbatas.
Saya ingat dahulu 80-an awal betapa susahnya orang Riam Panjang kalau mau melanjutkan sekolah menengah. Sekolah menengah pertama bisa dilanjutkan di Jongkong. Tetapi, untuk sekolah menengah atas belum ada hingga di Jongkong didirikan Madrasah Aliyah Swasta. Orang yang ingin melanjutkan sekolah pilihannya ke Pontianak atau Putussibau. Jauh sekali. Orang tua sangat susah mengirimkan biaya sekolah anak. Karena belum tentu ada orang Riam Panjang sebulan sekali ke Pontianak atau Putussibau. Yang beruntung biasanya bila ada keluarga di Pontianak atau Putussibau yang bisa dijadikan tempat menumpang bermalam, dan menyerahkan nasib bila sewaktu-waktu kiriman beras dari kampung belum sampai.
Kesulitan yang tidak mungkin dilupakan adalah ketika di tahun 1980-an terjadi kemarau panjang. Saat itu kami harus berjalan kaki dari Riam Panjang ke Nanga Sengkalu –kampung yang tidak jauh dari Jongkong untuk mengambil beras. Kami berjalan kaki selama 3,5 jam. Beras tidak bisa diangkut dengan sampan melalui sungai yang mengering. Jadi harus dipikul.
Pembangunan jalan darat ini membuat kampung menjadi terbuka. Dan memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat. Tidak ada lagi cerita orang kampung kehabisan beras sekalipun musim kemarau panjang. Tak ada lagi cerita jalan kaki berjam-jam.
Orang kampung mulai sering ke kota. Sebaliknya orang luar juga masuk. Semakin banyak orang Riam Panjang yang sekolah. Pengiriman uang semakin mudah.
Perubahan drastis terjadi dalam waktu yang relatif singkat karena kehadiran Jalan Lintas Selatan itu. Bersambung.

***

“Ada dengar bus tabrakan ndak? Bis Sentosa tabrakan dengan truk di sekitar Silat. Ada orang Riam Panjang ningal,”
Pagi itu, Rabu, dua minggu lalu, Ibrahim, sepupu saya memberitahu. Saya bertemu dia di ruang Malay Corner, Kampus STAIN Pontianak, tempat kami ‘ngepos’. Ibrahim baru kembali dari Nanga Jajang. Dia balik kampung.
“Tau, siapa?”
“Tak sempat tanya. Hanya dengar sepintas,”
Saya penasaran. Siapa orang Riam Panjang yang meninggal dalam tabrakan itu. Saya telepon Adi, adik ipar saya, di kampung. Saya duga pasti Adi tahu siapa yang meninggal itu.
Nomor yang saya hubungi tidak diangkat. Putus. Saya menunggu.
Sesaat kemudian Adi menghubungi saya.
“Ada apa Ba?”
Dia memanggil saya Aba.
“Katanya ada bus tabrakan. Siapa orang Riam Panjang yang ningal?,”
“Auk. Ada. Bis Santosa. Yang ningal Muk Erun. Sentua magang,”
“Heh, Muk Erun?!”
“Innalillahiwainnailaihi rajiunnnn,”
Saya terdiam. Saya kenal Muk Erun. Masih terhitung keluarga. Sepupu emak saya. Orang tua Muk Erun dan Emak, saudara.
Muk Erun jauh lebih muda dari Emak. Umurnya 40-an. Waktu dia kawin saya masih kecil. Tapi saya ingat pernikahan mereka. Saya menonton. Muk Erun menikah dengan Pak Syafrin. Pernikahannya dahulu ramai. Dilaksanakan bersamaan dengan dua pasang pengantin lain. Jadi bayangkan 3 pasang pengantin menikah dalam satu malam.
Setelah menikah, Muk Erun dan Pak Syafrin merintis usaha dagang. Cukup maju.
Dagang ini yang membuat dia lebih sering ke Pontianak. Entah dengan truk sendiri, atau dengan bus. Tapi, saya tidak tahu apakah kemarin dia pergi ke Pontianak dalam urusan bisnis.
Kematian Muk Erun dalam kecelakaan lalu lintas, bukan kematian pertama di jalan raya di Lintas Selatan ini. Banyak.
Pada awal pembangunan, seorang pekerja jalan, Pak Samiran tewas. Dia tewas dalam kecelakaan di tanjakan panjang dekat Nanga Jajang. Sampai hari ini, tanjakan itu dinamakan orang Bukit Semiran. Di tanjakan yang sama, Dudung, pekerja jalan juga tewas. Dudung terjepit oleh kendaraan yang dioperasikannya.
Di tempat yang lain, dekat Nanga Tepuai, ibukota kecamatan Hulu Gurung, seorang anak muda, Anus, namanya, tewas.
Anus anak Pak Bakar. Saya mengenal dia sewaktu saya sekolah di Jongkong. Tidak akrab. Kami tidak sebaya. Anus beberapa tahun lebih muda. Tetapi kami sering main sepakbola. Kadang satu tim, kadang juga jadi lawan.
Sejak saya ke Pontianak, saya tidak pernah bertemu dengan dia. Lalu, tiba-tiba saya mendengar Anus meninggal. Motor yang dikendarainya menabrak jembatan tidak jauh dari Nanga Tepuai itu.
Sesekali kalau kebetulan lewat jembatan besi itu saya ingat Anus. Anak muda yang meninggal di jalan Lintas Selatan itu.
Saya juga ingat As, teman main sewaktu kami di Jongkong. As sangat dekat dengan Sri Buti, adik saya. Kebetulan lanting –rumah rakit keluarga As di tebing sungai persis dekat rumah kami. Kalau air sungai Embau sedang pasang, lanting akan sejajar dengan rumah, dapur kami dan keluarga As jadi sangat dekat. Bisa saling omong dari pintu dapur, kata orang.
As meninggal di tikungan tajam di Riam Panjang beberapa tahun lalu. Motor yang ditumpanginya slip. Dia terlempar. Kepalanya terbanting. Temannya yang membawa motor, luka-luka, tapi selamat.
Tidak jauh dari kampung Riam Panjang, di tempat yang orang kampung sebut Menua’, juga pernah terjadi kecelakaan. Bus dari Putussibau menabrak jembatan. Saya menyaksikan orang berdarah-darah. Ada yang tertancap kaca. Ada yang mukanya lebam. Ada yang patah tulang. Mengerikan sekali. Korban-korban diangkut ke Puskesmas Riam Panjang –yang waktu itu ada di tengah kampung. Mereka diberikan pertolongan pertama oleh petugas kesehatan di sana.

***

Banyak orang terkorban di jalan yang diimpikan itu. Puluhan. Pak Samiran, dan yang lain itu adalah sekadar contoh.
Dan, pasti, korbannya akan terus bertambah. Sikap pengguna jalan, pemilik kendaraan, bersebahat membuat nyawa kadang-kadang seperti tak bernilai.
Jalan yang bagus sekarang ini membuat orang lebih cemas. Kecepatan kendaraan sekarang kendaraan gila-gilaan. 100 kilometer per jam. Tikungan banyak. Tanjakan banyak. Tanda jalan tidak semuanya ada. Kendaraan juga tidak selalu berfungsi baik: remnya yang tidak tajir, ban yang mulai gundul, dan lain-lain.
Saya jadi teringat betapa mengerikan dahulu ketika saya menumpang bus pulang kampung. Bus yang saya tumpangi dipandu oleh hanya satu sopir. Tidak ada sopir cadangan. Padahal jarak tempuh belasan jam. Sopir menjadi seperti robot. Seperti mesin yang tidak bisa capek. Kalau capek, bus berhenti sebentar. Sopir tidur.
Tidak heran beberapa sopir harus menjaga staminanya dengan jenis-jenis minuman tertentu, sebutnya misalnya extrajos dan minuman keras.
Belum lagi isi bus yang kadang melebihi kapasitas. Bus yang seharusnya memuat 28 penumpang, diisi sampai lebih 30-40 penumpang. Tak cukup kursi yang ada, penumpang diselitkan di lorong. Kadang penumpang berdiri, bergelantungan. Sesekali penumpang duduk di kap bis, di atas, karena di dalam sudah penuh.
Memang suka sama suka. Bus suka karena mendapat uang dari penumpang. Penumpang suka karena memperoleh tumpangan.
Pemilik bus suka memakai satu sopir saja, ketimbang sopir cadangan karena tambah sopir pasti tambah pengeluaran mereka.
Mereka, penumpang, sopir dan pemilik bus, kurang memikirkan keselamatan bersama.
Kesadaran tentang keselamatan selalunya muncul setelah ada kecelakaan. Penyesalan selalu muncul belakangan.
Malangnya, pemerintah juga tidak cukup peduli pada situasi itu. Pengawasan kendaraan hampir tidak dilakukan. Sepanjang saya mengikuti perjalanan bus, belum pernah saya lihat petugas angkutan jalan –Dinas Perhubungan, memberikan peringatan kepada bus yang penumpangnya melebihi kapasitas. Belum pernah dengar ada peringatan disampaikan kepada bus yang tidak mempunyai sopir cadangan. Bahkan tidak juga untuk kendaraan yang habis masa uji kirnya.
Sikap pemerintah, sikap pengguna jalan, sikap pemilik kendaraan, adalah kabar buruk. Kabar yang mengerikan. Petanda akan banyak lagi jiwa orang yang terkorban di jalan Lintas Selatan. Sesuatu yang menyajikan ironi.


Baca Selengkapnya...

Senin, 17 November 2008

“Hati-hati, Ini Daerah Perang”

Oleh Yusriadi

“Kalian harus hati-hati dalam membuat liputan. Ini daerah perang”,
Pesan Andreas Harsono memukau saya dan 19 peserta pelatihan Narative Reporting yang dilaksanakan Tribune Institute bekerja sama dengan Yayasan Pantau, EC-Flegt, Eka Tjipta Foundation, Borneo Tribune dan Hotel Peony, di Hotel Peony, Jalan Gajahmada Pontianak.



Andreas adalah pelatih dalam kursus itu. Dia pernah membuat liputan mendalam terhadap konflik di Gang 17 Pontianak. Tulisan itu dimuat di Gatra beberapa bulan lalu.
Hari itu, hari Kamis (13/11). Andreas menjelaskan soal keragaman news room. Andreas mengingatkan keragaman yang ada di ruang redaksi dan di lingkungan sekitar ruang redaksi. Maksudnya di Pontianak dan Kalbar.
Pontianak memiliki komunitas yang beragam. Ada Melayu. Ada Tionghoa. Ada Madura. Ada Dayak. Dll. Masing-masing komunitas itu mesti dipahami sosial budayanya.
“Tidak bisa sembarangan,” ingat Andreas.
Dia mengingatkan soal identitas yang mungkin akan mempengaruhi liputan dan menimbulkan bias. Saat membuat liputan sebaiknya identitas itu ditinggalkan di rumah. Entah itu identitas agama, identitas etnis, dan sejenisnya.
Andreas juga mengingatkan liputan-liputan konflik harus berdasarkan sumber pertama. Wartawan harus sampai pada titik konflik. Harus mendapatkan informasi mengenai kejadian dari orang yang terlibat langsung. Baik pelaku maupun korban.
Lalu dia mengutip pendapat J. Davidson, ilmuan yang meneliti konflik di Kalbar. Ilmuan ini berkesimpulan media ikut bertanggung jawab terhadap konflik yang terjadi di Kalbar.
Saya mencatat dengan huruf besar pernyataan ini. Ya, saya sependapat. Media memang harus bertanggung jawab. Paling tidak secara moral.
Media adalah tempat masyarakat memperoleh informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan seharusnya, hanya informasi yang dapat dipertanggungjawabkan sajalah yang ditulis media.
Tetapi, saya jadi teringat keributan di Pontianak tahun 2000. Waktu itu saya merasakan sendiri bagaimana tidak mudahnya membuat berita yang memuaskan. Kerap kali wartawan tidak bisa masuk ke titik konflik. Ada cerita Nur Is, wartawan yang sekarang menjadi Pimpinan Redaksi Borneo Tribune, disandera. Cukup panjang cerita dia membebaskan diri. Entah berapa panjang doa dipanjatkan.
Ada juga cerita Nanang –saya tidak tahu di mana dia sekarang. Nanang sempat dikalungi senjata tajam. Sempat panas dingin. Untung selamat.
Karena itu, agak maklum, jurnalis kerap kali hanya mendengar cerita dari sumber polisi, atau dari sumber kedua dan ketiga. Sumber di lingkaran dua adalah sumber yang mendengar saja. Sedangkan yang di lingkaran tiga adalah orang yang mendengar dari orang yang mendengar. Tetapi, ini tidak bisa dibenarkan.
Kerap kali teman-teman menggunakan rujukan pakar untuk menanggapi konflik yang sedang terjadi. Padahal, seperti dikatakan Andreas, pakar itu sama sekali tidak pernah melakukan penelitian terkait komunitas dan persoalan yang sedang terjadi. Ya, tiba-tiba memang banyak orang yang disebut pakar. Saya akui, saya pun kerap kali risih dengan label yang diberikan teman-teman tentang pakar itu.
Seperti juga, saya rasa risih karena kawan-kawan kerap menobatkan seseorang sebagai tokoh. Sebab sering kali yang saya dengar tokoh-tokoh itu justru termasuk orang yang berkepentingan dengan komentar-komentar yang mereka lontarkan.
Kini, Andreas mengingatkan hal itu. Saya berharap mudah-mudahan ada perubahan. Setidaknya semakin banyak yang sadar mengenai kedudukan pakar dan tokoh dalam konflik.
Setidaknya, semakin banyak orang yang sadar untuk meminimalisir konflik yang mungkin terjadi di kemudian hari di Pontianak dan di Kalbar. Kita bosan dengan konflik. Kita mau damai selalu.




Baca Selengkapnya...