Oleh Yusriadi
“Kalian harus hati-hati dalam membuat liputan. Ini daerah perang”,
Pesan Andreas Harsono memukau saya dan 19 peserta pelatihan Narative Reporting yang dilaksanakan Tribune Institute bekerja sama dengan Yayasan Pantau, EC-Flegt, Eka Tjipta Foundation, Borneo Tribune dan Hotel Peony, di Hotel Peony, Jalan Gajahmada Pontianak.
Andreas adalah pelatih dalam kursus itu. Dia pernah membuat liputan mendalam terhadap konflik di Gang 17 Pontianak. Tulisan itu dimuat di Gatra beberapa bulan lalu.
Hari itu, hari Kamis (13/11). Andreas menjelaskan soal keragaman news room. Andreas mengingatkan keragaman yang ada di ruang redaksi dan di lingkungan sekitar ruang redaksi. Maksudnya di Pontianak dan Kalbar.
Pontianak memiliki komunitas yang beragam. Ada Melayu. Ada Tionghoa. Ada Madura. Ada Dayak. Dll. Masing-masing komunitas itu mesti dipahami sosial budayanya.
“Tidak bisa sembarangan,” ingat Andreas.
Dia mengingatkan soal identitas yang mungkin akan mempengaruhi liputan dan menimbulkan bias. Saat membuat liputan sebaiknya identitas itu ditinggalkan di rumah. Entah itu identitas agama, identitas etnis, dan sejenisnya.
Andreas juga mengingatkan liputan-liputan konflik harus berdasarkan sumber pertama. Wartawan harus sampai pada titik konflik. Harus mendapatkan informasi mengenai kejadian dari orang yang terlibat langsung. Baik pelaku maupun korban.
Lalu dia mengutip pendapat J. Davidson, ilmuan yang meneliti konflik di Kalbar. Ilmuan ini berkesimpulan media ikut bertanggung jawab terhadap konflik yang terjadi di Kalbar.
Saya mencatat dengan huruf besar pernyataan ini. Ya, saya sependapat. Media memang harus bertanggung jawab. Paling tidak secara moral.
Media adalah tempat masyarakat memperoleh informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan seharusnya, hanya informasi yang dapat dipertanggungjawabkan sajalah yang ditulis media.
Tetapi, saya jadi teringat keributan di Pontianak tahun 2000. Waktu itu saya merasakan sendiri bagaimana tidak mudahnya membuat berita yang memuaskan. Kerap kali wartawan tidak bisa masuk ke titik konflik. Ada cerita Nur Is, wartawan yang sekarang menjadi Pimpinan Redaksi Borneo Tribune, disandera. Cukup panjang cerita dia membebaskan diri. Entah berapa panjang doa dipanjatkan.
Ada juga cerita Nanang –saya tidak tahu di mana dia sekarang. Nanang sempat dikalungi senjata tajam. Sempat panas dingin. Untung selamat.
Karena itu, agak maklum, jurnalis kerap kali hanya mendengar cerita dari sumber polisi, atau dari sumber kedua dan ketiga. Sumber di lingkaran dua adalah sumber yang mendengar saja. Sedangkan yang di lingkaran tiga adalah orang yang mendengar dari orang yang mendengar. Tetapi, ini tidak bisa dibenarkan.
Kerap kali teman-teman menggunakan rujukan pakar untuk menanggapi konflik yang sedang terjadi. Padahal, seperti dikatakan Andreas, pakar itu sama sekali tidak pernah melakukan penelitian terkait komunitas dan persoalan yang sedang terjadi. Ya, tiba-tiba memang banyak orang yang disebut pakar. Saya akui, saya pun kerap kali risih dengan label yang diberikan teman-teman tentang pakar itu.
Seperti juga, saya rasa risih karena kawan-kawan kerap menobatkan seseorang sebagai tokoh. Sebab sering kali yang saya dengar tokoh-tokoh itu justru termasuk orang yang berkepentingan dengan komentar-komentar yang mereka lontarkan.
Kini, Andreas mengingatkan hal itu. Saya berharap mudah-mudahan ada perubahan. Setidaknya semakin banyak yang sadar mengenai kedudukan pakar dan tokoh dalam konflik.
Setidaknya, semakin banyak orang yang sadar untuk meminimalisir konflik yang mungkin terjadi di kemudian hari di Pontianak dan di Kalbar. Kita bosan dengan konflik. Kita mau damai selalu.
Senin, 17 November 2008
“Hati-hati, Ini Daerah Perang”
Diposting oleh Yusriadi di 01.51
Label: Menulis, Pontianak, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar