Selasa, 28 Desember 2010

P3M Gelar Bedah Buku Tokoh Pendidikan Islam di Kalbar; Club Menulis Launching Buku Perdana

Oleh: Mahmud Alfikri

Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak menggelar bedah buku berjudul “Tokoh Pendidikan Islam di Kalimantan Barat” di UPT STAIN Pontianak pagi ini.
Bedah buku ini akan dibuka oleh Pembantu Ketua I STAIN Pontianak H. Rustam, M.Pd mewakili Ketua STAIN Pontianak Dr. Hamka Siregar, dirangkai dengan kegiatan mahasiswa STAIN Pontianak dan kegiatan Pusat Studi Wanita STAIN Pontianak.
Kepala P3M STAIN Pontianak, Yapandi Ramli, M.Pd., dalam releasenya Senin (20/12) kemarin, kegiatan bedah buku dimulai dengan presentasi editor buku Yusriadi, yang akan memaparkan proses editing buku dan gambaran isi secara umum.
Kemudian dilanjutkan dengan presentasi para penulis buku. Penulis buku itu berjumlah 20 orang, mereka adalah mahasiswa STAIN Pontianak yang bergabung dalam Club Menulis STAIN.
“Setelah presentasi itu dilanjutkan dengan komentar dua orang pembedah buku, yaitu H. Nur Iskandar, SP, jurnalis yang menulis profil imam Masjid Mujahidin Pontianak dan profil mantan anggota DPR-RI, Fanshurullah Asa; dan komentar pemerhati sejarah dan dosen luar biasa STAIN Pontianak, Drs. H. Soedarto,” katanya.
Sesi ini akan dipandu oleh Dr. Hermansyah, Direktur STAIN Pontianak Press, yaitu lembaga yang menerbitkan buku tersebut. Hermansyah juga adalah Pembantu Ketua III STAIN Pontianak.
Menurutnya, penyelenggara telah mengundang mahasiswa dan dosen STAIN Pontianak, serta pelajar dari berbagai sekolah di kota Pontianak dan peneliti dari Balai Bahasa Pontianak.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Club Menulis STAIN Pontianak melakukan launching buku terbitan perdana hasil karya tulis anggota Club Menulis. “Ada 5 buku anggota Club Menulis yang dilaunching pagi ini,” kata Hermansyah, Puket III STAIN Pontianak yang menaungi Club Menulis STAIN Pontianak.
Selain launching, Puket III juga akan mengumumkan mahasiswa terbaik dari club-club binaan Puket III, yaitu Club Menulis, Klub Al-Quran, Klub Bahasa Inggris dan Klub Bahasa Arab. Mahasiswa terbaik akan mendapat “Anugrah Karya 2010”.
Pagi ini Puket III juga akan menyerahkan hadiah kepada pemenang lomba pada Pameran Majalah Gantung Club Menulis STAIN Pontianak, dan juara Majalah Gantung Favorit Pembaca.

Buku yang Dilaunching
Buku 1 . Cinta Sekufu: Sambas – Jakarta. Editor Yusriadi (2010). Pontianak: STAIN Pontianak Press. Buku ini memuat 11 kumpulan cerpen yang bernuansa Islami, yang ditulis oleh 11 penulis. Tulisan itu adalah: Abu Ahmad Al-Asfari berjudul: Sang Penguasa Kantor; Siti Hanina, Sang Pemaaf; Rendyatno Umboro, Aku tak Mau Jadi Sumanto; Patmawati, Nyanyian Lirih Buruh Saumata; Juniawati, Tersesat; Erika Sulistia, Senyum yang Hilang; Marisa, Maaf yang Tak Terucap; A. Mutamakin, Menghapus Noda; Mahmud Al-Fikri, Sentuhan Lembut di Hati; Yusriadi, Cinta Sekufu: Sambas – Jakarta; Atalia, Sisa Kenangan.
Buku 2. Tokoh Pendidikan Islam di Kalimantan Barat. Editor: Yusriadi (2010). Pontianak: STAIN Pontianak Press
Buku ini memuat profil 20 dosen STAIN Pontianak yang ditulis oleh 20 anggota Club Menulis STAIN Pontianak. Mereka adalah: Abd Rachman Abror, Guru Semua Orang, yang ditulis Nur Azizah; Haitami Salim, Popularitasnya Seantero Wilayah, ditulis oleh Kiki Supardi; Dwi Surya Atmaja , Mutiara Terpendam yang Terlupakan ditulis oleh Marisa; Hamka Siregar, Menuju Puncak ditulis oleh Sahirul Hakim; Hermansyah, Selalu Haus Ilmu ditulis oleh Mahmud Alfikri ; Rustam, Pak ‘Berat’ yang Disiplin ditulis oleh Kurnia Jumiati; Marsih Muhammad, Ada masalah? Cuek aja! ditulis oleh Farninda Aditya; Yusdiana, Setiap Usaha Pasti Ada Hasilnya ditulis oleh Lusi Fontiani; Yapandi Ramli, Dari Pembantu Biasa Hingga Pembantu Ketua ditulis oleh Rasmawati; M. Syaifullah, Dosen yang Romantis ditulis oleh Mery Supriadi.
Nelly Mujahidah, Berjuang untuk Sukses ditulis oleh Siti Hanina; Edi Kurnanto, Selalu Berusaha untuk Menulis ditulis oleh Erika Sulistia; Patmawati, Sosok Tegar dan Disiplin ditulis oleh Hiliyah; Harjani Hefni, Penasehat Segala Bidang ditulis oleh Nur Rabiyah; Zaenuddin, Dari Tengah Hutan Menuju Pusat Dunia ditulis oleh Romiyati;
Zulkifli, Minder Mengantarkannya pada Keberhasilan oleh Rita Sri Erviani; Rahmat, Nilai di Balik ‘Kesaklekan’ oleh Maisuri; Ita Nurcholifah, Pribadi yang Mengagumkan ditulis oleh Binti Suyanti; Yulia, Merantau Demi Ilmu ditulis oleh Mely Diana; Fitri Kusumayanti, Dosen Sosiologi yang Hobi Nyanyi ditulis oleh Hikmah.
Kisah kehidupan para tokoh sejak mereka kecil hingga sekarang ini, disajikan oleh para penulis dengan gaya bercerita, sehingga lebih mudah dicerna. Cita-cita dan harapan, serta perjuangan dan pertualangan mereka ditampilkan agar dapat memberikan inspirasi bagi orang yang membaca. Penulisan ini juga diharapkan menjadi dokumentasi perjalanan hidup seorang anak manusia.
Buku 3. Untuk Satu Mimpi. Editor Hardianti. (2010). Pontianak: STAIN Pontianak Press. Buku ini berisi kumpulan 12 cerpen yang dibuat oleh anggota Club Menulis STAIN Pontianak. 12 cerpen itu adalah: Jalan Menuju Sekolah (Farninda Aditya); Surat Terakhir untuk Kak Mi (Romi Yati); Impian Sang Fajar (Siti Khadijah); Wisuda Terakhir (Erika Sulistia); Kudapatkan Cita-citaku (Nur Rabiah); Mengejar Mimpi (Maisuri); Kegagalan yang Mendewasakan (Nur Azizah); Mukena untuk Emak (Hardianti); Memulai Perjalanan Baru (Lina Herliyanti); Jawara (Ambaryani); Petromarks di Kampung Canggih (Lusi Fontiani); Gara-gara Surat Gombal (Holi Hamidin).
Buku 4. Kisah Pelarian 97. Editor: Yusriadi & Ambaryani. Pontianak: STAIN Pontianak Press. Buku ini ditulis oleh 9 penulis anggota Club Menulis STAIN Pontianak. Siti Hanina, Kisah Pelarian 97. Mely Diana, Pelarian ke Rumah Kakek – Sisi Lain Kerusuhan Etnis 1997. Hiliyah, Ketika Peluru Berdesing. Erika Sulistia, Amukan Pendukung Caleg. A. Mutamakin, Jago Merah di Terminal Nipah Kuning. Sy. Sahara, Tanjung Satai Membawa. Hikmah, Puting Beliung di Tanggul Limbung. Nety Diana, Peristiwa Keramat Batu Klebut, Sepauk. Kurnia Jumiati, Tragedi Kamis Beruntun.
Cerita-cerita dalam buku ini merupakan kisah pengalaman masing-masing penulis. Mereka menceritakan bagaimana mereka, dan orang di sekitar mereka ketika peristiwa itu terjadi. Meskipun cerita-cerita ini berisi ketegangan dan ketakutan, namun pembaca pasti tidak selamanya diliputi ketegangan karena para penulis menyisipkan sisi homur di balik peristiwa-peristiwa tersebut.
Buku 5. Bugis Perantauan, Kisah Perjalanan Anggota Club Menulis di Parit Banjar. Editor Yusriadi. 2010. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
Buku ini berisi kisah perjalanan anggota Club Menulis yang mengikuti kegiatan Riset Wisata, Malay Corner (MC) ke Dusun Parit Banjar atau Dusun Melati, Kalimas, Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya.
Ketika kembali dari lokasi, setiap anggota Club Menulis membuat catatannya masing-masing. Pertama, tulisan A. Mutamakin berjudul Mengukir Sejarah Seharum Melati, Sedalam Parit Banjar. Ke dua,tulisan Nur Rabiyah berjudul Riset Awal yang Menyenangkan. Ke tiga, tulisan Mahmud Alfikri berjudul Belajar dari Parit Banjar. Ke empat, tulisan Rendyatno U berjudul Guru Kehidupan di Dusun Melati. Ke lima, tulisan Ambaryani berjudul Mengumpulkan Serpihan Keabadian.
Tulisan ke enam, oleh Farninda Aditya berjudul Bekennya Parit Banjar. Ke tujuh, tulisan tulisan Siti Hanina berjudul Berbeda dari yang Lain. Ke delapan, tulisan Romi Yati Bintun Nahl berjudul Inilah Pengalaman Pertamaku. Ke sembilan tulisan Erika Sulistia Maida Ningsih berjudul Tim Belajar ke Parit Banjar. Ke sepuluh tulisan Marisa berjudul Kehangatan di Parit Banjar; dan tulisan ke sebelas oleh Nur Azizah berjudul Perjalanan yang Berkah.
Buku 6. Jejak Bugis di Tanah Borneo. Editor Yusriadi (2010). Pontianak: STAIN Pontianak: Press. Buku ini berisi 13 tulisan yang menggambarkan situasi perjalanan dan apa yang diamati peserta di Parit Banjar atau Dusun Melati, Kalimas, Kecamatan Sungai Kakap, Kubu Raya.
Tiga belas tulisan itu adalah: Pertama, tulisan Ibrahim berjudul Kisah Mengesankan di Kampung Melati. Ke dua, tulisan Yusriadi berjudul Mencari Identitas Bugis di Parit Banjar. Ke tiga, tulisan Ismail Ruslan berjudul Budaya "Keleleng" di Dusun Melati. Ke empat, tulisan Cucu Nurjamilah berjudul Kehidupan Masyarakat di Parit Banjar. Ke lima, tulisan Fitri Kusumayanti berjudul Berjuang untuk Hidup. Ke enam, tulisan Amalia Irfani berjudul Pengalaman yang Mengesankan.
Tulisan ke tujuh karya Dedy Ari Asfar berjudul Orang Bugis di Tanah Melayu. Ke delapan tulisan Hizbul Maududi berjudul Kelapa Naga di Parit Banjar. Ke sembilan, karya Martina berjudul Orang Bugis di Parit Banjar. Ke sepuluh, tulisan Nindwi Hafsari berjudul Semalam di Parit Banjar. Ke sebelas, tulisan Fitriani berjudul Parit Banjar, Bugis Kalolah dan Sistem Sapaan. Ke dua belas, tulisan Mardian Sagiant berjudul Bahasa Ibu; Bahasa Bugis dalam Nafas Eksistensinya di Dusun Melati. Ke tiga belas, tulisan Riani Kasih berjudul Menulis Kebudayaan Parit Banjar, Menulis Kebersamaan. (*)

Baca Selengkapnya...

Sabtu, 20 November 2010

Handphone Pak Oreng

Oleh: Yusriadi

Selasa lalu, saya dan beberapa rekan melakukan wawancara dengan Pak Nyirum Oreng, pengurus adat Kanayatn di Lintang Batang, Kubu Raya. Kami menggali pengetahuan beliau seputar adat istiadat di daerah tersebut.
Pak Oreng, lelaki berumur lebih 60 tahun itu melayani kami dengan ramah. Beliau juga sangat terbuka. Pengetahuan beliau tentang adat sangat dalam dan mengagumkan.
Saya kira keramahan beliau itu karena beliau orang gaul dan suka bertukar pikiran.

Saya katakan orang gaul karena beliau memiliki jam terbang sangat tinggi dalam berinteraksi dengan orang lain, baik sesama orang Lantang Batang, maupun dengan orang luar. Beliau mengaku keturunan Bugis dari kakeknya yang bernama Samad. Beliau pernah diangkat anak oleh orang Madura, dan itu pula menyebabkan dia memiliki nama “oreng”. Beliau juga belajar silat dari orang Melayu, belajar perobatan dari orang Cina, dll.
Tetapi lebih dari sekadar mengerti berkomunikasi, saya kira keramahan beliau juga disebabkan karena bersama kami ada muridnya bernama Atalia. Atalia belajar silat kepada Pak Oreng. Dialah yang menjadi pemandu kami di Lintang Batang.
Setelah panjang lebar wawancara itu, kami pamit. Agar komunikasi lebih mudah, saya meminta nomor handphone (HP) beliau.
Pak Oreng menyeluk koceknya dan mengeluarkan HP. Saya lihat sebuah HP sederhana jenis Nokia.
“Coba lihat nomor saya di situ,” katanya seraya meletakkan HP di atas meja yang membatasi kami.
“Cari ada nama saya di situ,” tambahnya.
Tentu saja saya tidak enak melakukannya. Atalia segera mengambil inisiatif meraih HP itu dan membukanya.
“Nek, banyak sms ini,” kata Atalia.
Atalia sejak awal memang memanggil Pak Oreng dengan Nenek. Nenek atau Nek adalah panggilan untuk kakek dalam masyarakat Kanayatn.
Pak Oreng meminta Atalia membacanya. Ada sms dari wartawan TV yang membatalkan rencana shooting atraksi silat Pak Oreng, dll. Atalia terkejut karena sms itu sudah agak lama terkirim, dan belum dibaca-baca oleh Pak Oreng.
Rupanya, Pak Oreng belum biasa membaca sms. HP bagi beliau lebih banyak untuk berkomunikasi lisan. Jadi, jika ada panggilan masuk, beliau menjawabnya, atau sebaliknya menghubungi nomor yang dituju.
Apa yang terjadi pada Pak Oreng mengingatkan saya pada Emak di rumah. Mungkin umur mereka kurang lebih. Emak juga pegang HP sejak beberapa tahun ini. HP Emak juga jenis sederhana.
Emak juga hanya biasa menggunakan HP untuk komunikasi lisan. Jika ingin kontak kami langsung telepon. Jangan kirim sms, karena Emak tidak pernah buka sms. Sms masuk baru dibaca kalau sudah ada anak atau cucunya yang membukanya.
Kami sudah coba menunjukkan cara membuka sms, menulis dan mengirimnya. Namun, Emak merasa tidak mudah. Emak lebih suka yang praktis. Pilihan jenis HP sederhana juga disebabkan pertimbangan praktis itu.
Saya membayangkan mungkin hari ini Pak Oreng dan Emak tidak biasa dengan sms, tetapi beberapa tahun mendatang mereka mungkin akan menjadi biasa. Tidak ada yang mustahil jika kebutuhan komunikasi di masa depan menuntut hal seperti itu. Asumsi ini muncul karena sebelum ini, HP bagi mereka juga bukan barang yang biasa. HP baru tergenggam oleh mereka dalam beberapa tahun ini, setelah menara dan jaringan telepon seluler dibangun di pelosok nun jauh di sana. Semua ini sesungguhnya tidak pernah saya dibayangkan terjadi saat saya menghayal 20 tahun lalu.

Baca Selengkapnya...

Belajar dari Orang Teluk Bakung

Oleh Yusriadi

Selasa lalu, saya bersama Juniawati, Hardianti dan Atalia berkunjung ke Teluk Bakung. Kampung ini terletak di ujung aspal jalan trans-Kalimantan dari arah Pontianak. Dari Pontianak kira-kira satu setengah jam perjalanan menggunakan motor.
Kunjungan ini dilakukan untuk memastikan hal-hal teknis berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan “Koran Perempuan” yang dikelola Juniawati dan Hardianti, plus kawan-kawan mereka di Pusat Studi Wanita (PSW) STAIN Pontianak.
Saya diajak Juniawati karena pada kegiatan hari Minggu besok, diminta menjadi pendamping saat pelatihan. Ca’-ca’annya, mengajar ibu-ibu di Teluk Bakung menulis untuk koran.


Kami berhenti di depan rumah kepala dusun, Pak Rita panggilannya. Rumah itu, wow… sungguh sangat besar dan megah. Modelnya juga modern. Saya mengagumi model yang dipilih, sekaligus mengagumi pemilik rumah yang pasti memiliki modal besar. Ratusan juta!
Kami berkenalan dengan Pak Gita. Kekaguman saya berlanjut. Kepala Dusun itu ternyata masih muda. Menurut saya, orang muda yang dipilih menjadi pemimpin pastilah orang muda yang istimewa. Dan benar, panjang cerita, ternyata beliau sedang kuliah ilmu hukum di Fakultas Hukum, Universitas Panca Bhakti Pontianak.
Mengapa kuliah lagi? Ternyata Pak Gita mau kuliah karena ingin memperoleh ilmu sehingga bisa mengadvokasi masyarakatnya. Beliau ingin masyarakatnya lebih maju, berpendidikan. Pilihan bersekolah lagi adalah salah satu upaya untuk memberi contoh kepada warganya.
Beliau juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap masyarakatnya sekarang, dan usaha-usaha apa yang sudah dilakukan untuk mereka itu selama ini.
Pandangannya soal pluralisme juga diungkap. Saya menangkap kesan bahwa orangnya sangat terbuka dan pikirannya sangat maju.
Setelah itu, kami berkunjung ke masjid Muhajirin di ujung kampung. Kami bertemu dengan ustadz di sana. Zulkifli namanya. Dia lulusan STAIN, dan ternyata saya pernah mengajarnya.
Saya sempat terpana. Oh, rupanya sewaktu mengajar saya tidak dapat melihat mutiara itu. Ya, dia adalah mutiara. Saya baru tahu Zul ini mengabdi di Teluk Bakung. Kok mau? Padahal dia sempat mengajar di beberapa tempat di Pontianak dan sangat pandai dalam soal computer. Dia sekarang juga sedang menyelesaikan studi S-2 di Jawa.
Beberapa waktu lalu dia membangun pesantren sederhana. Modalnya Rp 2 juta! Angka yang membuat saya terkejut. Benar-benar terkejut. Bisa ya? Lebih mengejutkan lagi mendengar cerita bagaimana perjalanan pesantren itu. Saya melongok ke tempat tinggal santri dan juga tempat tinggal ustadz. Keadaannya benar-benar sederhana. Jangankan kasur empuk, listrik saja tidak ada. Anak-anak tidak dikenakan biaya. Biaya sehari-hari? Sesekali mereka dapat bantuan. Tapi, pada saat yang lain dana dari ustadz sendiri. Zul mengalokasikan dana beasiswa pendidikan S-2-nya untuk makan santrinya.
“Bagi saya yang penting anak-anak di sini mau belajar, saya sudah senang,” katanya.
Atalia, yang datang bersama kami, juga membantu mengajar di sini sembari kuliah di STAIN Pontianak.
Menjelang siang, kami mampir di rumah Pak Rido, salah seorang pengurus masjid Muhajirin. Beliau adalah seorang mualaf. Setelah kami memberitahukan program kami di masjid itu, kami bicara banyak hal. Salah satu di antaranya adalah tentang pengembangan masjid dan lokasi itu.
“Pohon-pohon yang ada di lokasi ini harus dipertahankan. Tidak boleh ditebang. Biar generasi kita kelak tidak kehilangan pengetahuan mereka tentang kekayaan alam di sini,” katanya.
Menurutnya pohon-pohon yang dibiarkan itu akan menjadi daya tarik tempat ini dibandingkan tempat yang lain.
Saya terpana ketika beliau membayangkan lokasi ini kelak akan dikembangkan menjadi tempat pelatihan sambil refresing bagi anak-anak sekolah di kota.
Kejutan saya pada masyarakat di sini belum berakhir. Setelah dari tempat Pak Rido kami bertemu Pak Ije’, atau Nyirum Oreng. Beliau adalah tokoh adat di sini. Beliau juga boleh dianggap sebagai ahli perobatan. Beliau pernah menjadi pengurus kampung, sebagai kebayan beberapa puluh tahun lalu.
Tokoh berumur 62 tahun ini membuat saya tidak mau pulang dari Teluk Bakung. Saya ingin menggali pengalaman dan pengetahuan beliau. Pengetahuan yang beliau miliki luasnya tidak terukur, dalam tak terkira.
Tentang adat, dia pakarnya. Hukum adat diketahui dan beliau menjadi pengadil setiap perkara. Satu buku ditulis pun tak akan cukup untuk mencatat pengetahuan adatnya itu.
Beliau juga ahli dalam pengobatan. Kepakaran beliau tidak saja diakui orang di sekitarnya, tetapi juga oleh orang-orang lain. Bahkan orang yang meminta bantuannya dari dari mana-mana. Sistem pengobatan beliau agak berbeda dibandingkan kebanyakan tukang obat tradisional. Beliau menggunakan bahan-bahan daun, akar, kulit, dan batang tumbuhan yang ada di sekitarnya.
Beliau juga pegiat seni dan budaya. Kemampuannya bersilat sempat diperlihatkan kepada kami. Geraknya indah dan lincah. Beliau juga dapat memukul gendang dan gong. Beliau aktif di sanggar Bantola. Sanggar ini beberapa kali berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan di level provinsi. Ada beberapa piala dibawa pulang sanggar ini.
Beliau bisa menganyam ambenan. Beliau membuat topeng. Ketika beliau menunjukkan ambenan yang dianyam sekaligus menjelaskan nama-nama motif dalam anyaman itu, saya serta merta meminta izin belajar menganyam pada beliau di masa mendatang. Puji tuhan, beliau berkenan.
Soal kearifan, wawasan, dan visi beliau juga luar biasa. Kearifan itu dapat dilihat bagaimana beliau menangani perkara-perkara hukum di wilayahnya. Visi beliau juga bisa dilihat dari apa yang beliau lakukan. Salah satu yang berkesan pada saya adalah ketika beliau menunjukkan garam jepang. Garam itu berusia 40 tahun. “Saya menyimpannya karena saya pikir setelah garam baru masuk, garam Jepang pasti akan hilang. Kalau hilang tidak ada lagi contoh yang bisa kita lihat”.
Beliau memikirkan hal seperti itu sejak dulu. Luar biasa.
Kearifan dan wawasan serta pengetahuan dan pengalaman beliau mengingatkan saya pada Tok Olah, Zahry Abdullah, dulu. Datok kami itu memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, serta memiliki visi yang kuat. Sayangnya, saya tidak berkesempatan belajar semua itu dari beliau. (*)

Baca Selengkapnya...

Keberaksaraan di Parit Banjar

Oleh: Yusriadi

“Mohon matikan handphone (HP) Anda untuk sementara”. Tulisan huruf balok dengan tinta hitam di atas kertas putih ukuran setengah kuarto terpasang di dalam masjid Misbahuddin, Parit Banjar, Sungai Kakap, Kubu Raya.

Saya kira, tulisan itu memang sengaja ditempel di dinding bagian depan dan samping masjid agar jamaah dapat serta merta membaca tulisan itu ketika berada di masjid. Cukup celingak-celinguk, sambil melihat kaligrafi dan “jam penunjuk waktu salat” di dinding itu, tulisan tersebut sudah pasti terbaca.
Tulisan seperti itu memang familier bagi saya. Tulisan dengan bunyi dan maksud yang sama bisa dilihat hampir di semua masjid di kota Pontianak. Pengurus masjid merasa perlu mengingatkan pemilik HP agar bunyi nada dering HP tidak mengganggu kekhusu’an jamaah saat ibadah.
Sebab sering kali terjadi, saat orang sedang salat tiba-tiba HP berbunyi. Lumayan jika bunyinya sesaat dan hanya nada kring. Tapi, kalau bunyi HP adalah lagu dangdut atau celetukan Upin dan Ipin yang memanggil atok Alang-nya, berulang-ulang, jamaah yang imannya setebal kulit kacang tentu akan senyam senyum.
Walaupun tulisan itu sudah biasa dilihat, bagi saya tulisan di masjid ini sangat menarik. Ya, menarik karena tulisan itu ada di masjid di tempat agak terpencil; Parit Banjar. Parit Banjar ada di wilayah Kali Mas, Kakap, bukanlah daerah kota. Tempat ini kampung cukup jauh dari Pontianak. Sinyal HP pun juga pilih-pilih. Tidak semua jaringan seluler bisa diterima di sini. Hanya Simpati dan Flexi. Itupun, pilih-pilih tempat yang lokasinya ada sinyal kuat.
Seorang jamaah memberitahu: “Kalau di masjid begini kadang hilang. Biasa di jalan-jalan itu banyak sinyalnya”.
Pengangkutan umum ke tempat ini tidak ada. Bukan jalurnya. Masyarakat keluar dan masuk kampung ini harus menggunakan kendaraan sendiri. Motor boleh, mobil juga bisa. Kampung ini bisa dijangkau dengan motor melalui ujung Kota Baru. Namun, jalan ini juga terbatas. Jika musim hujan begini, jalannya becek. Lumpur di mana-mana membuat perjalanan terhambat. Pilihannya, melalui jalan berbatu dua kilometer dari Kali Mas.
Akses keluar yang sukar begini berpengaruh pada masyarakat. Mobilitas menjadi agak terbatas.
Pendidikan masyarakat juga tidak begitu baik. Memang ada beberapa anak kampung yang mengenyam sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Tetapi tidak banyak. Itupun untuk generasi baru. Setelah ada sekolah dasar yang dibangun di kampung ini.
Sedangkan generasi tua yang berpendidikan dapat dihitung. Mereka yang berpendidikan adalah mereka yang beruntung dapat keluar kampung dahulu. Mereka yang memiliki kemauan kuat untuk belajar, dan mereka yang memiliki dukungan dari orang tua. Mereka yang semangatnya kurang dan mereka yang dukungan orang tuanya tidak ada, tidak pernah sekolah. Mengaji mereka pandai, namun membaca latin mereka tidak bisa.
Saya yakin mereka yang muda tidak ada masalah dalam membaca tulisan itu. Tetapi orang tua bagaimana? Apakah mereka membaca tulisan itu?
Saya juga sangat penasaran ketika mengingat satu hal: apakah tulisan ini relevan dengan mereka? Apakah masyarakat di sini semuanya sudah punya HP? Sayang sewaktu di sana saya lupa bertanya soal itu.
Jika masyarakat di sini semua punya HP tentu ini akan menjadi tanda penting soal perkembangan ekonomi dan juga soal bagaimana globalisasi masuk ke rumah-rumah penduduk. Ini juga pasti akan menjadi babak penting bagi kemajuan penduduk dalam semua hal. Dampaknya, baik positif atau negative bisa dilihat dan dinilai beberapa tahun mendatang.
Tulisan di masjid ini membawa ingatan ke kampung halaman di Kapuas Hulu. Masyarakat kampung sekarang sudah sangat maju tingkat keberaksaraan mereka. Mereka sudah mengenal bahan bacaan, buku, majalah dan koran. Mereka juga sudah mengenal TV – malah sudah lama. Melalui TV mereka dikenalkan pada tulisan-tulisan terutama iklan, yang pada akhirnya membuat orang kampung mulai ‘berpendidikan’.
Bahkan ketika HP mulai dikenal masyarakat beberapa tahun belakangan ini, mereka mulai menjadi penulis. Ya, HP bagi mereka kini bukan saja alat berkomunikasi, berbicara dengan orang lain, tetapi juga dapat berinteraksi melalui tulisan.
Perkembangan seperti ini pasti tidak pernah kita bayangkan dahulu. Sekarang kita menyaksikan sendiri dunia berubah dengan cepat. Dan kita menjadi bagian dari perubahan yang cepat itu.

Baca Selengkapnya...

Menulislah Jika Ingin Berubah

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Menulis membuat orang berubah. Itulah kesimpulan dari pengalaman hidup teman saya Dudi, seorang peneliti di Balai Bahasa Pontianak.
Saat diberikan kesempatan bicara dalam rapat teknis persiapan kegiatan Riset Wisata Malay Corner (MC) kemarin, Dudi mengatakan dirinya merasakan perubahan yang besar dalam hidup setelah membiasakan diri menulis, khususnya menulis kisah perjalanan.


Sejak mengikuti kegiatan pelatihan “Ayo Menulis” yang diselenggarakan MC dua tahun lalu, Dudi menjadi lebih sering menulis untuk menggambarkan apa yang dia lihat dan apa yang dia alami, serta apa yang dia rasakan setiap kali melakukan perjalanan.
“Belum lama ini saya menunggu pesawat delay di Terminal III, Halim Perdana Kusuma. Sambil menunggu, saya menulis apa yang saya lihat dengan menggunakan handphone. Dari jam 3 sampai ke jam 7, tidak terasa”.
Padahal katanya, sebelum ini, jika menunggu sebentar saja dia sudah merasa bosan. Apalagi selama itu. Dengan menulis Dudi mengaku dia tidak sempat bosan karena menjadi lebih perhatian terhadap apa yang terjadi di sekitar. Dengan mengamati gerak-gerik orang dia di sekitar juga bisa menikmati suasana lucu dan menghibur.
Cerita Dudi itu bagi saya merupakan cerita yang penting, dan tentu sangat inspiratif. Saya jadi bisa membayangkan betapa asyik menjadi Dudi saat itu. Betapa serunya menjadi peneliti.
Saya jadi teringat pada saat memberikan saran kepada mahasiswa yang mengadu bosan karena terlalu lama menunggu seseorang. Saat itu, mahasiswa ditugaskan melakukan wawancara latihan di sebuah lembaga penyiaran. Ketika sampai di kantor media itu, mahasiswa tersebut diminta menunggu karena pimpinan sedang sibuk.
Waktu itu saya menyarankan, jika tidak mau bosan menunggu isi waktu menunggu dengan aktivitas. “Sambil menunggu, kamu melihat keadaan ruang tunggu. Lihat lantainya, dindingnya, plafonnya, hingga isi ruangan. Lalu, buat catatannya untuk memperkaya bahan penulisan”.
Rupanya, dengan jalan yang lain, Dudi menemukan kesimpulan bahwa jika tidak ingin bosan menunggu, isilah waktu dengan menulis. Dengan menulis seseorang akan aktif mengamati keadaan di sekitar. Pasti tidak sempat membosankan. Dudi sudah mempraktekkannya. Dudi sudah membiasakan diri menulis kisah-kisah perjalanannya.
Saya memberikan stressing kesimpulan Dudi itu dengan maksud memberikan penguatan kepada teman-teman lain yang sempat terpingkal-pingkal ketika Dudi mengungkapkan cerita lucu di Terminal 3 itu. Saya ingin ada banyak Dudi lain di sekitar saya.
Bagi saya, cerita Dudi ini menjadi kesempatan juga bagi saya untuk membangkitkan semangat kampanye menulis. Keinginan saya dan kawan-kawan menjadikan budaya menulis sebagai bagian kehidupan sudah lama terbetik. Jauh sebelum Dudi bercerita kemarin, dan juga jauh sebelum mengikuti pelatihan yang kami selenggarakan.
Oleh sebab itulah saya bersama teman-teman membuat macam-macam program untuk menumbuhkan minat menulis. Kami menyelenggarakan pelatihan beberapa kali. Kami juga menyelenggara kampanye menulis dengan datang ke sekolah-sekolah di Kota Pontianak, dan juga membuat pameran di kampus melalui ‘Majalah Gantung’. Kami melakukan publikasi tulisan di koran –khususnya Borneo Metro dan Borneo Tribune, serta di blog.
Usaha penerbitan buku telah dilakukan untuk melengkapi apa yang kami lakukan. Ada beberapa buku telah diterbitkan. Harap-harap semua itu berhasil.Mimpin menjadi kenyataan.

Baca Selengkapnya...

Orang Bugis di Parit Banjar

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Parit Banjar. Saya mendengar nama itu dari Mahmud Alfikri, mahasiswa yang aktif menulis, sejak puasa lalu. Saat itu dalam sebuah pertemuan anggota Club Menulis STAIN Pontianak dengan Gero Simone dan David Maschede mahasiswa asal Jerman, yang didampingi Nur Iskandar, redaktur di Borneo Tribune, Mahmud mengatakan lebaran di Parit Banjar sangat menarik.


Kata Mahmud, “Di sana mayoritas penduduknya, orang Bugis. Mereka masih cukup kuat mengamalkan budaya Bugis. Kamu bisa ikut saya melihat budaya lebaran mereka, kalau mau”.
Meskipun tawaran itu untuk Gero dan David, namun saya tertarik juga. Pertama, saya memang sedang melakukan penelitian sederhana tentang identitas orang Bugis di Sungai Kakap, dan kedua, kami – saya dan anggota Club Menulis, sedang berusaha menggarap tulisan tentang budaya. Dalam hati, suatu saat saya ingin datang ke kampung ini.
Ketika kemudian beberapa minggu lalu saya berkesempatan berkunjung ke Parit Banjar bersama Mahmud, saya mengakui bahwa kampung ini memang benar-benar mengesankan.
Pertama, jalan menuju kampung ini masih jalan tanah. Saya dan Mahmud berangkat ke Parit Banjar melalui ujung Kota Baru. Jalan masuk ke kawasan Parit Banjar hari itu becek sekali. Banyak lumpur. Licin. Dua kali saya harus turun dan berjalan kaki saat melintas bagian yang sangat, sangat becek. Hampir sepanjang 3 kilo, Mahmud yang membawa motor harus menjulurkan kaki sebagai tongkat motor agar tidak jatuh.
Keadaan jalan seperti ini tentu saja membuat saya heran. Masak jalan dekat kota bisa begitu parah. Dalam bayangkan saya, seharusnya jalan di Parit Banjar ini keadaannya baik. Seharusnya pemerintah memberikan prioritas.
Dalam keadaan becek seperti ini, saya merasakan Parit Banjar itu tempat yang jauh. Penduduk yang cukup ramai menjadi susah bergerak. Mobilitas mereka menjadi terbatas. Lebih dari itu, jalan yang rusak ini pasti mempengaruhi geliat ekonomi mereka. Hasil kebun jadi susah keluar, susah dipasarkan, dan barang kebutuhan pokok menjadi susah masuk. Biaya angkut pasti akan menjadi agak sedikit mahal.
Kedua, ketika saya sampai di sana saya juga melihat keadaan penduduk juga menarik. Sebelumnya Mahmud mengatakan penduduk di kampung ini mayoritas Bugis. Orang Bugis tinggal di bagian kuala dekat Kalimas, hingga bagian pertengahan. Di antara orang Bugis ini terdapat satu dua orang Melayu. Sedangkan di bagian pertengahan hingga ke arah Kota Baru, penduduknya orang Madura. Antar pemukiman orang Madura dan orang Bugis dibatasi kebun langsat.
Lalu, orang Banjar? Sayangnya saya belum sempat menggali informasi mengenai sejarah tempat ini dinamakan Parit Banjar. Apakah nama parit ini ada hubungannya dengan suku dari Kalimantan Selatan itu? Kalau ada, di mana orang Banjar itu sekarang? Apakah orang Banjar itu adalah orang Melayu? Jika mereka Mengapa sedikit?
Nama Parit Banjar juga menarik karena sering kali sebenarnya di kawasan ini nama parit dikaitkan dengan nama orang yang membukanya. Di dekat Parit Banjar misalnya ada Parit Wak Gatak. Jadi, nama tokoh yang dikekalkan, tanpa kira apakah tokoh itu orang Banjar, Bugis atau Madura. Dari sudut ini, nama Parit Banjar itu jelas menarik.
Saya mencoba-coba mengagak-agak, apakah ada arti lain dari Banjar, selain merujuk kepada nama suku dari Kalsel ini? Saya mesti menggali informasi ini.
Ketiga, saat saya dan Mahmud sampai di sana saya melihat sejumlah anak perempuan sedang main kelereng. Biasanya, yang main kelereng itu anak lelaki. Dalam masyarakat Melayu, sering kali anak perempuan dilarang mengikuti permainan lelaki. Anak-anak dipisahkan dunianya antara lelaki dan perempuan.
Apakah yang saya lihat ini kebetulan saja? Atau, apakah ini cerminan budaya yang berbeda?
Belum habis renungan itu, saya agak heran ketika mendengar mereka berkomunikasi. Semuanya dalam bahasa Melayu, bukan bahasa Bugis. Apakah anak-anak ini besar dalam budaya bahasa Melayu? Lalu, di mana bahasa Bugis dalam kehidupan mereka? Apakah bahasa ini hanya miliki orang tua mereka, seperti kebanyakan anak-anak Bugis yang hidup di lingkungan terbuka di Pontianak?
Saya sangat penasaran karena banyak sekali pertanyaan belum terjawab. Saya harus datang ke kampung ini lagi dan mencari jawabannya. Saya akan menulis tentang semua itu. Nanti biar orang lain juga tahu betapa menariknya meneliti komunitas ini.
Lebih menarik lagi… orang Bugis di sini … menganut pola hidup seperti orang Melayu.
Misalnya … bahasa. Bahasa Melayu digunakan anak-anak yang sedang bermain.
Saat kami duduk di warung, kami juga mendengar anak muda bercakap bahasa Melayu juga sesama mereka.

Baca Selengkapnya...

Menggugah Minat Baca Ala Nano Basuki

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


FX. Nano Basuki. Saya mengenalnya sedikit. Perkenalan dimulai ketika dia membawa siswa sebuah SMA Swasta di Singkawang berkunjung ke Harian Borneo Tribune beberapa tahun lalu.
Waktu itu ada puluhan siswa diajaknya untuk mengenal media. Penuh ruang redaksi dibuatnya. Ramai. Mereka (lebih tepatnya sebagian dari mereka) nampak sangat antusias. Saya sangat terkesan. Dia nampak sangat dekat dengan anak-anak itu.
Sebagai guru, Nano sangat ideal. Sebab, kedekatan seperti itu pasti akan memiliki pengaruh yang luar bisa untuk pengembangan mereka; dan ini penting dalam proses pembelajaran. Tidak banyak guru bisa seperti itu. Biasanya guru menjaga jarak dengan siswa. Jarak itu mungkin disebabkan cara guru memandang kewajibannya mengajar – bukan panggilan hati. Mungkin juga karena anak-anak gagal berkomunikasi dengan guru, mungkin juga karena sebab-sebab lain.
Sebagai guru, saya ingin seperti Nano. Ingin membangun kedekatan dengan siswa. Dahulu, sekitar 17 tahun lalu, sewaktu saya mengajar di Tsanawiyah Riam Panjang, rasanya saya bisa sangat dekat dengan semua anak. Saya merasa berhasil membangkitkan semangat belajar anak.
Namun, setelah saya masuk ke perguruan tinggi rasanya kedekatan itu tidak pernah lagi terbangun dengan baik. Memang ada sebagian mahasiswa yang dekat dan berhasil dibina menjadi penulis. Tetapi, banyak juga yang gagal. Malah saya dikenal sebagai guru yang tidak baik. Menakutkan. Setidaknya, kewajiban berkarya, dan kurang bertoleransi pada mahasiswa yang tidak membuat tugas, telah membuat saya menjadi momok.
Nah, melihat bagaimana Nano duduk melantai dengan siswanya, melihat siswa begitu enjoy belajar dengan dia, saya terpana. Sungguh pemandangan yang mengesankan. Karena itu saya tidak melupakan Nano ketika dia hadir di sebuah seminar di ruang Rektorat Untan Pontianak. Saya ingat dia sebagai guru yang baik.
Malah, usai materi waktu itu, Nano menghampiri saya dan menyerahkan sebuah buku kumpulan puisi.
Wow. Hadiah buku ini juga kejutan lain. Rupanya, Nano, guru yang dekat dengan siswanya itu, adalah guru yang berkarya. Dia ada buku! Ini kelangkaan lain seorang guru.
Setahu saya tidak banyak guru di Kalbar ini yang bisa menulis dan menerbitkan buku. Hatta guru yang sudah S-1 dan S-2, atau guru-guru senior yang ngomongnya tokcer. Lebih banyak guru di Kalbar yang pandai ngomong dibandingkan pandai menulis. Guru-guru yang suka menulis dapat dihitung dengan telunjuk; sebut misalnya Y Priyono Pasti, Sasmito Aripala dan beberapa lagi.
Lama setelah seminar itu, saya tidak bertemu dengan Nano. Saya hanya mendengar dari Wisnu Pamungkas, penulis hebat Kalbar, bahwa mereka (termasuk Nano), sedang mengumpulkan puisi dari beberapa ‘seniman’ di Kalbar untuk diterbitkan.
Bulan lalu, atas undangan Krisantus, kepala biro Borneo Tribune di Bengkayang, saya masuk ke SMP Katolik Santa Tarsisia, Bengkayang. Di sini, saya bertemu lagi dengan Nano.
Kami bertukar cerita tentang kegiatan masing-masing. Rupanya, Nano sudah tidak lagi mengajar di Singkawang. Dia mengajar di sebuah sekolah di Darit. Selain mengajar di kelas, dia juga giat melakukan kampanye kepenulisan ke sekolah-sekolah.
“Saya mengajarkan anak-anak kampung, agar mereka suka menulis,” katanya.
“Anak-anak kampung selama ini jarang disentuh”.
Dia datang ke sejumlah sekolah membimbing anak-anak membuat puisi. Dia juga membawa koran bekas untuk bahan bacaan anak-anak agar wawasan anak dalam berkarya, bertambah.
Di sebuah kampung dia menggugah minat baca orang dengan cara membuat pameran di pinggir jalan setapak, di kebun karet. Puisi anak-anak dipajangnya di sana.
“Luar biasa. Orang-orang yang lewat, singgah untuk membaca karya-karya itu. Mereka tertarik dan bertanya-tanya,” ungkapnya.
“Ketika orang-orang singgah dan bertanya-tanya, tujuan yang ingin dilakukannya tercapai”.
Saya geleng-geleng kepala takjub pada apa yang dia lakukan. Apa yang dia lakukan benar-benar luar biasa. Sangat inspiratif. Selama ini saya hanya membayangkan pameran dilakukan orang di ruang tertutup. Tak terpikir, ada orang menyelenggarakan pameran di kebun karet. Tak terpikir, bapak-bapak dengan ambenan berisi karet di punggung, mengunjungi pameran dan tergugah pada karya sastra. Wow, keren sekali!

Baca Selengkapnya...

Senin, 11 Oktober 2010

Lebaran, Kok Pilih Piknik?

Oleh: Yusriadi

Tulisan Pak Dr. Leo Sutrisno berjudul “Lebaran di Kuching” yang dimuat di Borneo Tribune (14/9) lalu sangat menarik perhatian saya. Kata beliau: “Kesan saya, hari raya Idul Fitri, bagi umat Muslim sungguh digunakan untuk menjalin silaturahmi. Hampir tidak ada masyarakat Muslim yang mengunjungi tempat-tempat wisata”.
Saya terkesan pada tulisan itu karena perbandingan-perbandingan yang beliau nyatakan. Perbandingan yang saya kira bisa menjadi cermin bagi orang yang dibandingkan. Perspektif yang beliau gunakan berbeda dibandingkan kalau saya sendiri yang membandingkan.

Oleh karena itu, rasanya, tak puas-puas saya membaca tulisan itu. Saya membacanya berulang-ulang. Bak iklan: baca, lagi, lagi, dan lagi.
Sembari membaca tulisan itu, saya merenung soal budaya lebaran orang Islam di Kuching dan budaya lebaran orang Islam di Kalimantan Barat.
Saya jadi teringat pada tetangga dan beberapa teman saya yang memilih pergi ke Singkawang di hari ke-2 lebaran. Wisata. Bahkan, teman juga sempat mengajak pergi bersama.
“Kita mau ke Singkawang ni. Mau ikut?”
Teman ini sudah menyewa mobil, dan dengan mobil itu dia akan mengangkut keluarganya ke Pantai Teluk Mak Jantu’ dan ke Pasir Panjang Singkawang. Kebetulan, masih ada tempat kosong di mobil.
Tetapi, saya tidak ikut. Alasannya, banyak kerjaan.
Beberapa hari kemudian ketika teman sudah kembali ke Pontianak, dia menceritakan betapa ramainya suasana di tempat wisata itu. “Manusia di sana …. Uuu… ramai sekali. Entah dari mana-mana mereka”.
Saya juga ingat pengalaman lebaran di kampung, di Riam Panjang, Kapuas Hulu belasan tahun lalu. Pada hari kedua lebaran anak-anak muda ramai-ramai mengunjungi objek wisata “Medang Pulang” di Hulu Gurung. Waktu itu, saya ikut juga pergi. Hampir seluruh anak muda di kampung pergi. Satu truk penuh. Penumpangnya berdiri-diri, persis seperti ikan sarden, berdesak-desakan. Walaupun menderita dan sengsara nampaknya, namun, saya tahu hampir semua orang gembira. Justru bagi sebagian teman yang nakal, berdesakan begini ‘banyak nikmatnya’. Wisata begini juga kesempatan mereka untuk ‘pedekate’.
Saya hampir melupakan semua itu. Tidak mengingatnya, karena tidak menganggap penting. Saya menganggap itu sebagai hal yang biasa, tidak menarik.
Nah, saya baru tersentak setelah membaca tulisan Pak Leo seperti yang saya kutip di awal. Tulisan itu, membuat saya menjadi memikirkan fenomena itu. Ya, fenomena yang penting diamati. Apalagi setelah saya renung-renung, fenomena ini terjadi hampir menyeluruh.
Saya jadi memikirkan, mengapa orang Islam di Kalbar begitu? Mengapa orang Islam lebih suka berwisata dibandingkan mengisi seputar hari raya dengan silaturrahmi? Bagaimana orang Islam memandang silaturrahmi itu?
Uh, saya jadi ingat ada teman saya orang penting yang lebih suka tidak di rumah selama lebaran. Mengapa? “Kalau keluar kota ada alasan untuk tidak main ke rumah orang”. Lho?
Katanya, kalau balek ke rumah sesudah masuk ke kerja seperti hari biasa, dia akan punya alasan lain untuk tidak datang berkunjung.
Saya juga pernah mendengar seorang mantan pejabat yang menderita karena banyak orang yang datang berkunjung.
“Saya menikmati suasana sekarang. Dahulu, sibuk sekali menerima tamu yang datang,” katanya.
“Coba, apa ndak capek senyum terus dari pagi hingga malam? Capek tu”.
Saya kira, saya bisa memafhuminya. Benar. Beberapa hari setelah Idulfitri orang tidak bisa istirahat dengan baik. Ada tamu datang, dan dia harus membalas kunjungan. Balas membalas ini yang bikin repot.
Tentu, saya juga menemukan tidak semua orang begitu. Jauh lebih banyak orang yang menyadari pentingnya silaturrahmi dan melakukannya. Apatah lagi Islam sendiri menganjurkan mempererat silaturrahmi. Dan, pasca Idulfitrilah momentumnya.


Tapi, saya tidak sadar bahwa fenomena ini menunjukkan betapa orang Islam lebih senang berwisata dibandingkan silaturahmi.







Baca Selengkapnya...

“Belikan Bapak Pulsa”

Oleh: Yusriadi

“Tolong belikan Bpak pulsa Rp.20, di no 085215229808 skrng Bpk ada di kntor polisi ada msalah. Jgn nelpon dlu dan sms biar Bpk yg hubungi nanti, penting skrng..”
Itulah bunyi SMS yang masuk ke nomor HP saya, tanggal 20/09/2010 pukul 14:46. Saya memberi catatan khusus soal bentuk sapaan yang dipilih: “Bpak, Bpk”. Pasti maksudnya bapak. Bapak bisa berarti orang tua lelaki, bisa juga sapaan untuk orang lelaki yang dihormati. Ini bentuk takzim dalam masyarakat penutur bahasa Indonesia.

Saya mencoba menebak siapa ‘Bapak’ itu, atau lebih tepat siapa yang membahasakan diri sebagai bapak kepada saya. Rasanya tidak ada. Di rumah, saya tidak memanggil orang tua lelaki dengan bapak. Di kantor, atasan saya juga tidak dipanggil bapak. Di Borneo Tribune, atasan saya Nur Is, atau Tanto, atau Hairul Mikrad, tidak pernah dipanggil bapak. Mereka disebut nama saja. Sesekali kalau mau sopan santun, mereka dipanggil ‘Bang’. Mereka tidak pernah membahasakan diri dengan panggilan ‘Bapak’.
Di STAIN, Ibrahim, Direktur Malay Corner -- tempat saya bergabung, panggil nama saja. Hamka Siregar, Ketua STAIN, biasa saya panggil ‘Bang’ juga, kadang-kadang ‘Pak’. Tetapi hampir tidak pernah ‘Bapak’. Mereka pun tidak membahasakan diri dengan ‘Bapak’.
Satu-satunya orang yang dibahasakan sebagai ‘Bapak’ di kalangan awak Borneo Tribune, hanyalah … (beliau) itu. Itupun karena meniru panggilan yang digunakan seorang fotografer dan seorang wartawan yang sangat takzim pada beliau.
Sangat tidak mungkin ‘bapak’ yang itu mengirim SMS. Dia kenal saya pun tidak. Oleh karena itu, saya tidak dapat menebak siapa ‘Bapak’ yang mengirim SMS itu.
Saya tidak dapat menelusuri pemilik nomor HP, karena nomor itu tidak terekam dalam HP saya sekarang. Tidak ada nama.
Apakah dia benar teman saya atau orang yang saya kenal? Kalau dia teman saya, tentu saja saya harus membantunya. Jangankan Rp.20 (dua puluh rupiah), Rp10 ribu atau lebih dari itu akan dibantu. Rp20, terlalu kecil dibandingkan keberanian dia meminta bantuan. Keberanian meminta itu tidak sepala dengan nilai Rp10 ribu. Kalau kita bisa bantu orang, bantulah! Jadilah orang ringan tangan, pesan orang tua.
Setengah penasaran, saya membalas SMS itu. “Masalah apa bapak di kantor polisi?”
Saya menunggu jawabannya. Lima menit, sepuluh menit, satu jam, bahkan sampai hari ini tidak ada balasannya.
Mengapa dia tidak membalas SMS saya itu? Apakah dia kehabisan pulsa? Saya pernah mencoba menghubungi nomor itu dan ternyata tidak aktif. Saya tidak tahu apakah dia sudah tidak boleh lagi ber-hp karena sudah ditahan polisi, atau apakah nomor ini sudah tidak aktif karena dia tidak mau dihubungi seperti permintaannya? Entahlah!
Saya sudah melupakan orang yang meminta bantuan itu, ketika tiga hari lalu ada teman yang menceritakan temannya mendapat SMS yang isinya kurang lebih sama. “Bapak minta kiriman pulsa”. Teman juga berpikir sama: “Siapa orang yang saya panggil Bapak?”
Cerita teman membuat saya tersentak: “Wah, rupanya ada orang yang sedang melakukan penipuan”.
Saya merasa beruntung tidak sampai terkena tipuan itu. Saya mengandaikan, seandainya saya punya atasan yang saya panggil bapak dengan takzim mungkin saya akan terkena. Seandai saya seorang istri dan ada suami yang sehari-hari dipanggil bapak, mungkin saya cemas dan lalu mengirim pulsa juga. Gawat!
Pengandaian saya tidak berhenti di situ. Saya mengandai-andai, andai saya memiliki kekuasaan dan kekuatan, saya akan perintahkan anak buah saya menyelidiki soal ini. Saya akan mencari siapa pemilik nomor itu, dan saya akan bertanya pada dia, apa yang sudah dia lakukan. Berapa orang yang sudah ditipu.
Saya mengandai begitu karena seingat saya setiap orang yang memiliki nomor HP mestilah namanya terdaftar di operator selular, dengan nomor KTP.
Jika kemudian dia tidak terdaftar dengan benar –selama ini masih banyak yang palsu, saya akan menegur operator selular untuk meminta pertanggungjawaban. Kesalahan mereka adalah mengapa regulasi soal pendaftaran pemilik kartu tidak dipatuhi. Operator bisa menciptakan system pendaftaran yang akurat: setiap pengguna nomor baru harus terdaftar secara resmi di konter penjualan nomor. Tidak lagi secara langsung via SMS, cara ini mudah pemalsuan. Kalau kemudian setelah model pendaftaran di konter ada pemalsuan, penerima pendaftar dapat diminta pertanggungjawaban.
Saya kira, jika tidak mematuhi aturan yang sudah ada, operator tidak bisa lepas tangan dalam kasus penipuan seperti ini.
Seharusnya penipuan-penipuan via telepon yang pernah terjadi sebelum ini menjadi catatan tersendiri bagi operator seluler. Ada panggilan moral menyelamatkan orang dari kejahatan itu. Tentu saja, kasus begini menjadi catatan juga bagi polisi dan para pembuat kebijakan.

Baca Selengkapnya...

Melepus Biar Tak Kemponan

Yusriadi

Kepercayaan kepada kemponan sudah lama tidak saya dengar. Sudah lama juga saya tidak mempercayainya. Sejak saya tinggal di Pontianak saya jarang mendengar kata kemponan itu. Lagi, teman-teman di Pontianak jarang sekali percaya pada hal itu, sekalipun mereka berasal dari daerah. Mereka yang sudah hidup di kota, tergerus oleh budaya baru yang tidak percaya pada kemponan.


Karena itu, ketika kemarin, beberapa hari lalu, saya menyaksikan ada teman yang masih masih percaya pada tradisi ini, saya jadi takjub. Juga heran.
Ceritanya, siang kemarin, ada teman asal Kapuas Hulu bersama istri dan anaknya datang ke rumah. Kami ngobrol dalam suasana lebaran yang agak terlambat. Ketika menjelang waktu makan, kami --saya dan emak, menyilakan mereka ikut makan. Mula-mula mereka menolak.
“Udah. Masih kenyang.”
Tetapi saya memaksa. “Makanlah, biar sedikit. Ini, lauknya istimewa.”
Ya, istimewa. Emak memasak labu kuning (rongi), dicampur dengan timun dan ikan asin. Masaknya direbus. Ini jenis bahan sayur kampung yang dimasak dengan cara kampung. Orang Pontianak tidak mengenal campuran sayur begini, dan saya kira cara masak begini jarang jadi menu orang di Pontianak.
Akhirnya dia menyerah. Mau juga dia ikut gabung menghadap hidangan yang sudah diletakkan di ruang belampar di dapur. Sedangkan istrinya, mengurus anak lebih dahulu. Anaknya dibaringkan di ruang tengah.
Saya dan teman mulai makan. Tak lama kemudian, istrinya juga bergabung. Dia ikut duduk mengelilingi hidangan. Lalu, istri teman itu kemudian menyentuh sisi mangkok satu persatu dengan telunjuk, serta menjumput sedikit nasi. Semula saya kira dia memilih mana makanan yang akan disendoknya lebih dahulu. Mungkin dia agak ragu mana jenis makanan yang akan diambil, pikir saya.
Tetapi, ketika dia menyentuh, sepertinya dia menarik mangkok, dan kemudian mendorongnya sedikit, saya terperangah. Dugaan saya salah. Ternyata dia hanya menyentuh sisi mangkok. Setelah itu dia bangun dari duduk, dan menuju ruang tengah, tempat anaknya dibaringkan tadi.
Dia jongkok di depan anaknya. Dengan telunjuk dia menyentuh kaki, tangan dan kening anaknya. Saya memandang ‘prosesi’ itu dari tempat saya duduk.
Suaminya yang duduk di depan saya dan membelakangi ruang tengah, rupanya tahu apa yang dilakukan istrinya. Dia juga melihat keheranan saya.
“Biasa… pakai melepus,”
Aha.. saya tahu itu. Cara menyentuh itu disebut ‘melopus’ dalam budaya kami di Riam Panjang, dan dalam bahasa teman saya ‘melepus’. Maksud dari melepus adalah agar orang yang tidak ikut makan itu tidak kemponan. Kemponan bisa berbentuk kecelakaan. Misalnya, jatuh dari motor, jatuh dari pohon, dipatok ular, dll. Pokoknya semua kemungkinan yang timbul karena tidak makan saat ditawarkan makan, disebut kemponan. Karena bentuknya abstrak, semua orang takut.
Setahu saya tidak ada orang berani melanggarnya. Saya juga termasuk orang yang takut terhadap kemponan itu. Karena itu, ritual melopus pun juga sering dilakukan. Saya terbiasa menyentuh makanan sedikit, atau kalau bisa mencicipinya. Jika tidak sempat makan, pada saat ditawarkan, saya akan menggigit bagian belakang telapak tangan ala kadarnya. Digigit sedikit saja sebagai syarat.
Masyarakat kami akan merasa lega dan percaya tidak akan kena kemponan jika sudah melakukan itu.
Tetapi, seiring perjalanan waktu, kepercayaan pada kemponan sudah tidak lagi kuat. Jika terjadi sesuatu, tidak pernah lagi dikaitkan dengan kemponan itu. Saya ingat dua bulan lalu, anak saya Fa, dipatok ular di teras rumah. Sama sekali waktu itu saya tidak mengingatkan Fa kemponan. Setelah Fa dipatok ular, kami (saya dan emak) langsung menolong Fa dengan memijit luka, dan mengolesnya dengan otak ular yang mematok. Baru kemudian setelah itu saya membawa Fa ke Bidan, dan lalu dirujuk ke RS Antonius Pontianak.
Saya ingat, kalau dikaitkan dengan kemponan, obat sementara Fa mestilah barang yang membuatnya kemponan. Jika dia kemponan nasi, maka nasilah obatnya. Jika kemponan air susu, maka susulah obatnya.
Sering kali juga ketika ditawarkan makan, saya menolak – karena masih kenyang, dan lain-lain. Setelah itu, saya berjalan, tanpa melopus. Apapun kejadian selanjutnya, sama sekali tidak pernah dikaitkan dengan tawaran itu.
Saya merenungkan perubahan itu. Ada nilai yang hilang di sana. Beruntunglah sebenarnya jika masih ada orang yang dapat menyelamatkannya.

Baca Selengkapnya...

Mengajak Anak Sekolah Menulis

Siswa SMP Santa Tarsisia Bengkayang sedang mendengar komentar karya mereka saat pelatihan penulisan Rabu (29/9) lalu. Foto Krisantus/Borneo Tribune

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Dalam satu pekan di minggu lalu, saya memiliki dua pengalaman kepenulisan yang mengesankan. Pengalaman pertama saya dapatkan ketika masuk ke ruang kelas Karya Tulis Ilmiah (KTI) di Madrasah Aliyah Negeri 1 Pontianak. Pengalaman kedua, ketika saya masuk ke ruang pelatihan ‘Menulis Berita dan Puisi’ di SMP Katolik Santa Tarsisia Bengkayang.


Di depan anak MAN 1 saya memberikan mereka motivasi berkaitan dengan pentingnya menulis. Saya mendorong mereka membuat buku harian sebagai bentuk latihan menuangkan gagasan. Usai kelas itu, dua orang pelajar membuntuti saya dan mereka bertanya tentang karya-karya mereka.
“Sekarang saya sudah punya 5 cerpen,” kata seorang pelajar yang saya lupa namanya.
Seorang lagi pelajar mengatakan dia sudah memiliki banyak puisi. Dan, mereka ingin karya itu diterbitkan.
Di SMP Tarsisia, selain memberikan motivasi, saya mengajarkan anak-anak menulis cerita. Respon positif anak ditunjukkan melalui karangan akhir mereka. Mereka diminta membuat tulisan menceritakan latihan yang mereka ikuti. Selain itu, hampir semua anak menulis mereka senang dengan pelatihan itu. Mereka mengaku mendapatkan hal baru dan akan terus berkarya.
Saya terkesan pada anak-anak itu. Mereka begitu bersemangat. Semangat mereka sukar saya lukiskan dengan kata-kata.
Saya sempat membayangkan jika semangat itu bisa terus dipelihara, pasti hasilnya akan menjadi sangat luar biasa. Bayangkan jika sebagian saja dari anak-anak itu menjadi penulis. Pastilah akan lahir kelompok penulis di Kalbar ini.
Kalaupun mereka mungkin tidak akan jadi penulis semua, minimal beberapa di antara mereka akan menjadi ‘elit’ di antara teman-temannya, di antara masyarakatnya.
Saya sangat percaya jika mereka terus mengasah kemampuan menulis, mereka akan berkembang kapasitasnya. Pertama, menulis membuat orang menjadi cerdas. Karena proses menulis memerlukan proses berpikir, menyoal diri sendiri dan menjawabnya. Orang yang terus menerus berpikir, bertanya dan menjawab, pasti akan menjadi orang yang pintar. Selain itu orang yang suka menulis cenderung akan menjadi orang yang gemar membaca. Gemar membaca akan membuat orang bertambah pengetahuan.
Kedua, latihan menulis sejak awal akan membantu anak-anak itu kelak hidup di level yang lebih tinggi. Umpamanya jika kelak mereka berkesempatan menapak langkah di perguruan tinggi, pasti kemampuan menulis ini akan memudahkan mereka beradaptasi terhadap tugas-tugas perkuliahan.
Pada tahapan selanjutnya kemampuan menulis ini akan menjadi bekal tambahan mereka dalam hidup. Saya sangat percaya kemampuan menulis dapat menjadi bekal hidup yang sangat bermanfaat. Saya mengenal beberapa orang yang sekarang ini pekerjaannya ‘penulis’. Hidup mereka berkecukupan. Malah kalau mau membandingkan, banyak sekali penulis-penulis hebat – sebut misalnya Andrea Hirata atau JK Rouwing, yang hidup mereka menjadi kaya.
Bahkan, pekerjaan wartawan sesungguhnya adalah pekerjaan menulis. Setiap hari wartawan menulis dan mereka dibayar karena produksi kata itu. Ada banyak wartawan di Indonesia.
Karena itu saya sangat berharap dapat ikut memelihara semangat anak-anak itu, sembari menumbuhkan semangat anak-anak yang lain.
Tetapi tidak mungkin. Saya tidak bersama mereka. Lantas, harapan itu disandarkan pada guru sekolah mereka. Bukan saja guru bahasa Indonesia, tetapi juga guru-guru lain secara sinergis, termasuk kepala sekolah, membantu menciptakan iklim kepenulisan.




Baca Selengkapnya...

Jumat, 08 Oktober 2010

SMP Katolik Santa Tarsisia Bengkayang



GAYA DULU
Siswa SMP Santa Tarsisia Bengkayang bergaya setelah selesai mengikuti pelatihan menulis cerita dan puisi di sekolah mereka, pekan lalu (Rabu, 29/9). Foto Krisantus/Borneo Tribune.

Baca Selengkapnya...

Selasa, 14 September 2010

Gara-gara Bunyi [e]

Oleh Yusriadi

Beberapa hari lalu saya disibukkan oleh bunyi [e]. Ihwalnya sepele. Saya mencari obat sakit tifus. Obat itu namanya : vermint. Saya menyebutnya [permin] –dengan e-pepet.
Saya singgah di 2 toko obat. Di Jalan Gusti Hamzah, dan di Kota Baru. Saya juga mampir di Apotik di Sutomo.
Di tiga tempat itu saya bertanya sama:
“Ada jual permin, ndak?”
Di tiga tempat itu, semuanya minta saya mengulang ucapan. Langsung dan tidak langsung.

Penjaga toko obat di Jalan Gusti Hamzah, seorang lelaki paroh baya, tidak jelas pendengarannya.
“Apa?”
“Permin”.
“Apa? Permen?”
Lelaki itu menekankan bunyi [e] di suku akhir [men] dengan bunyi [e] bunyi taling.
“Permin”.
Tentu saja saya harus mengulang lagi [permin], karena jika tidak, maknanya menjadi lain. Saya kira, dalam bayangan penjual yang saya cari itu permen atau gula-gula. Saya tidak mencari benda itu. Makan gula-gula juga saya sudah jarang, karena takut. Takut kencing manislah, takut batuk, dll.
Saya melihat penjual itu melongo. Apa karena saya salah ucap, atau dia memang tidak familier dengan obat itu.
“Itu… obat untuk sakit tifus”.
Dia masih belum nyambung. Ah, saya jadi ingat pengalaman Prof. Jim, pembimbing saya tentang pedagang di Kota Pontianak. “Pedagang di Pontianak kebanyakan tidak mengerti barang yang dijualnya. Mereka hanya menjual, tidak bisa ditanya. Susah”.
Ah, mungkin penjual obat ini termasuk dalam kelompok pedagang itu. Dia hanya menjual obat, tetapi tidak mengerti tentang obat-obat yang dia jual. Nasib pembelilah mengira-ngira sendiri obat apa yang harus dibeli.
Karena toko obatnya kecil, saya bias menyapu pandangan dari ujung ke ujung rak. Tidak ada. Dia tidak jual obat yang saya cari dan dia tidak tahu juga tentang vermint.
“Ya, udah. Permisi ya”.
Kemudian saya mampir ke apotik di Jalan Sutomo. Saya sering beli obat di sini karena harganya agak murah. Saya pernah membandingkan harga obat yang sama di apotik ini dengan apotik di Tanjung Pura. Selisihnya sampai Rp 6 ribu. Karena itu saya singgah di sini biar bisa saving. Lho, kalau ada tempat yang lebih murah mengapa cari yang mahal.
“Mba’, ada jual permin, ndak?”
“Apa?”
“Permin, obat tifus yang dari cacing itu”.
“Oo… permin”. Dia menekankan bunyi [e] dengan bunyi taling. Bukan bunyi pepet.
“Ya, per-min”. Saya sengaja mengejanya dengan cara dia menyebutkannya.
Dia segera mencari di rak yang terdapat di belakangnya.
“Di mana ya?”
Dia mencari di bagian bawah. Menyapu pandangan di beberapa rak.
“Biasanya di bagian itu”.
Saya mencoba mengingatkan dia tempat biasanya vermint diletakkan. Rak bagian tengah agak ke tepi. Tidak ada.
“Kosong, Pak”.
Saya meninggalkan apotik itu. Lalu di depan SPBU Kota Baru saya singgah di sebuah toko obat.
Seorang penjaga, anak kecil melayani saya.
“Cari apa ya?”
“Saya cari permin”.
“Apa?”
“Permin”.
Cepat dia menjawab, “Tidak ada”.
Saya jadi ragu. Apakah dia cepat menjawab karena saya salah ucap atau karena dia tidak tahu. Maklum, masih budak-budak. Mungkin SD atau SMP.
“Itu obat yang dari cacing, untuk sakit tifus”.
“Tidak ada”.
“Tidak ada?”
Saya mengulang kata itu dalam hati. Aneh juga toko obat dan apotik tidak ada stok itu. Apakah banyak pembeli? Apakah orang yang menderita sakit tifus meningkat?
Saya mungkin agak sedikit kecewa karena tidak mendapatkan barang yang saya cari. Namun, saya merasa beruntung mendapat pengalaman menarik ini. Pengalaman ini menambah keyakinan saya bahwa bunyi e-pepet dan e-taling dalam bahasa Indonesia cukup penting. Mungkin pengambil kebijakan yang menyatuhkan bunyi /e/ dahulu lupa mempertimbangkan hal itu, karena mereka berpikir untuk kepentingan penyederhanaan bahasa Indonesia.

Baca Selengkapnya...

Identitas Bugis Kalbar

Oleh Yusriadi

Dahulu, beberapa tahun lalu, saya sering merasa heran ketika melihat orang-orang Bugis di sekitar Pontianak sibuk sekali menyelenggarakan acara khataman al-Quran untuk anak mereka. Benar-benar sibuk.
Acara ini meriah. Yang bikin acara ini sangat meriah karena biasanya diselenggarakan bersamaan acara perkawinan. Menurut informasi yang saya peroleh, umumnya orang Bugis sangat bangga bisa menyelenggarakan acara khataman ini. Iyek, Uwak, Induk, Emak, keluarga, bangga karena anaknya sudah khatam Quran. Oleh karena itu, mereka tidak sungkan-sungkan mengeluarkan uang untuk acara ini.
Paling mengesankan ketika saya menyaksikan sebuah keluarga Bugis yang tinggal di Jeruju, Sungai Kakap, menyelenggarakan acara khataman untuk anaknya.

Acara khataman waktu itu, dua tahun lalu, dilaksanakan malam setelah Isya.
Saya melihat anak yang khataman itu diarak dari rumah guru ngaji di ujung kampung, menuju rumah orang tuanya. Anak itu, didandan layaknya seorang mempelai. Penggiringnya sama seperti penggiring pengantin. Ramai. Jumlahnya lebih 20 orang. Para penggiring itu berjalan di belakang anak depan membawa poko’ telo’ dan beberapa barang lain dalam kotak. Ada iringan tahar, ada juga tanjidor.
Sampai di rumah tempat acara, anak disambut dengan tepung tawar, dan kemudian dia menyalami orang-orang yang sudah datang (undangan) menghadiri acara itu. Jumlah tamu saya kira ada 300 orang lebih. Mereka berdiri dalam 4 barisan (saprahan) panjang di bawah tenda yang besar, saling berhadapan.
Kemudian anak duduk di atas panggung yang gemerlap, yang di belakangnya adalah pelaminan untuk mempelai besoknya, didampingi guru mengajinya. Dia hampir tidak nampak karena di depannya ada banyak ‘pokok telok’ dan bunga-bunga buatan yang indah-indah belaka.
Ada beberapa acara pendahuluan sebelum akhirnya anak tersebut membaca ayat pendek dari bagian akhir Al-Quran.
Setelah itu, acara istirahat dan hadirin dijamu dengan makanan ringan. Tukang sajinya berjumlah enam lelaki dan enam perempuan berpakaian seragam ungu, baju telok belanga. Cara mereka menyajikan kesannya professional. Sangat tertib. Bagi saya ini juga pemandangan baru.
Kue yang mereka sajikan seingat saya ada 5 jenis kue – kue buatan sendiri, plus ‘tapai menaun’, serta minuman. Pada saat hadirin menikmati jamuan, ada iringan musik live dari panggung yang berada di bagian kiri rumah.
Ketika pulang, setiap orang yang datang diberikan bingkisan nasi kotak.
Saya sempat bertanya-tanya dalam hati berapa juta uang yang dikeluarkan untuk acara ini. Pasti jumlah tidak sedikit. Saya mengandai-andai uang itu ditabung untuk anak sekolah, atau untuk dibantu-bantu ke tempat pengajian, untuk honor guru ngaji.
Mengapa khataman harus dibuatkan acara besar seperti itu? Mengapa khataman penting bagi orang Bugis? Bagaimana penjelasannya?
Selama ini yang saya kenal, orang Bugis semuanya beragama Islam. Islamnya cukup kuat. Seolah-olah Bugis adalah Islam, tidak ada Bugis yang beragama bukan Islam.
Nah, kemarin, saat saya mempresentasikan rencana penelitian terhadap identitas Bugis di pinggir Kota Pontianak, Dr. Wajidi Sayadi yang membahas proposal itu bersama Dr. Hermansyah, memberikan saya jawabannya.
“Agama sangat penting bagi orang Bugis”.
Dahulu, katanya, pandai tidaknya mengaji, menjadi pertimbangan penting bagi orang Bugis untuk mengambil seseorang menjadi menantu. Orang Bugis tidak mau mendapat menantu yang tidak pandai mengaji. Orang Bugis juga malu memiliki anaknya yang tidak pandai mengaji.
“Kalau penelitian ini juga menyentuh religiusitas orang Bugis, saya rasa akan lebih menarik,” Wajidi menyarankan.
Saya bagaikan tersengat. Iya, itulah jawabannya mengapa sebagian orang Bugis bela-belain menyelenggarakan khataman Quran anaknya. Itu jawaban mengapa mereka bangga anaknya khatam Quran. Ya, regiliusitas. Inilah salah satu identitas penting bagi orang Bugis, selain bahasa yang semula saya pikirkan. Jadi, dalam soal ini, saya tidak perlu bingung lagi. Thanks.





Baca Selengkapnya...

Kehilangan Tok Olah, Ahli Sejarah Ulu

Oleh: Yusriadi

Kaget luar biasa. Itulah yang saya alami Jumat kemarin saat mendapat telepon dari Dr. Hermansyah, teman saya di STAIN Pontianak. Sebabnya, saat menelepon itu, Hermansyah memberitahu saya: Tok Olah meninggal. Tok Olah adalah panggilan kami untuk Drs. H. Zahry Abdullah Al-Ambawi.

Kabar itulah yang membuat seketika saya menjadi lunglai. Lemas. Saya tidak siap mendengar kabar itu.
Sehari sebelumnya memang saya sudah tahu Tok Olah kena stroke. Bagian kiri badannya lumpuh. Hermansyah, Ibrahim, sudah mengunjungi beliau Kamis. Kabar dari Ibrahim, perkembangannya bagus. Kaki kiri sudah bisa bergerak sedikit. Karena kabar baik itu, saya menunda kunjungan. Niatnya, setelah Jumatan, saya ke sana.
Nah, belum niat itu terlaksana, saya mendapat kabar kalau beliau sudah meninggal dunia, sebelum salat Jumat.
Saya lunglai bukan saja karena saya terlambat menjenguk beliau, tetapi juga karena saya merasa kehilangan dan kerugian besar. Kehilangan yang tak ternilai.
Beliau adalah orang baik. Dan kami semua anak-anak beliau merasa kebaikannya. Beliau sangat luar biasa.
Kami juga membanggakan beliau, dan beliau membanggakan kami. Kami sering bekerja sama dalam upaya penelitian dan penggalian informasi sejarah. Beliau rekan kerja yang sungguh sangat koperatif. Beliau sangat terbuka. Datanya, ilmunya, semua disampaikan jika diminta.
Beberapa kali saya datang ke rumah beliau, dan setiap kali datang beliau akan bangga menunjukkan data-data yang beliau miliki. Buku, lembaran copian, foto, artifak., jika diperlukan, beliau keluarkan.
“Itu’ ladang amal aku,” kata beliau dalam bahasa Ulu -- Bahasa Ulu tetap dipakainya bila berkomunikasi dengan kami, mengenai pendiriannya.
Ya, beberapa kali beliau meniatkan beramal dengan ilmu itu. Bagi beliau, ilmu harus selalu dibagi. Ilmu akan berkembang jika dikongsi.
“Untuk apa bah disimpan sendiri,” ujar beliau lagi.
Karena beliau terbuka pada orang lain, orang lain pun terbuka pada beliau. Beliau dapat menyerap banyak informasi dari hal ini. Beliau sangat rajin menghadiri pertemuan dan seminar. Setiap kami undang, beliau pasti datang.
Justru itu, saya amat mengagumi beliau. Wawasan beliau luas, informasi yang beliau miliki dalam. Data yang ada mencukupi. Tanya saja tentang sejarah Kapuas Hulu; tentang Embau, tentang Jongkong, juga tentang Sintang, tentang Sanggau, pasti akan ada jawabannya. Detail. Tanya juga tentang salasilah turunan-turunan bangsawan itu, beliau juga punya jawabannya. Beberapa kali saya dibuat geleng kepala melihat kelebihan beliau itu. Saya sering menyebut beliau enseklopedi hidup.
“Aduhh… coba kalau ditulis ya?” saya mengomentari beliau.
“Aku na nyaruk nulis. Aku tau ngumung magang. Kian mih”.
Lalu, beberapa kali kami menggarap karya bersama. Hermansyah bersama beliau pernah menulis beberapa artikel. Saya juga pernah mengedit tulisan beliau tentang Iban di Kapuas Hulu.
Karena aneka kesibukan, karena tidak membuat prioritas, tidak banyak kerja sama penulisan yang dibuat. Kalau bertemu, kami membahas beberapa temuan baru dan omong-omong biasa. Sama sekali saya tidak pernah berpikir bahwa beliau akan meninggalkan kami dengan cepat. Bahkan saya melupakan umur beliau yang sudah sepuh -- Hampir 70 tahun – karena beliau tampil energik, sehat, ramah, hangat, dan humoris.
Nah, karena itulah, saya merasa kehilangan besar atas kepergian beliau. Jejak pengetahuan beliau belum tergores dalam pahatan sejarah. Pengetahuan sejarah yang luas itu belum banyak didokumentasikan. Dan sekarang, pengetahuan itu hilang bersama kepergian beliau. Mungkin, jejak beliau juga akan hilang oleh perjalanan sejarah.
Sungguh kehilangan yang besar. Saya merasa kehilangan. Dunia akademik ulu juga kehilangan. Kalbar juga kehilangan.
Tapi, begitulah takdir Allah. Setiap yang bernyawa akan mati. Beliau sudah mendahului kita, dan kita akan menyusulnya kelak. Semoga amal ibadahnya diterima Allah. Semoga amal jariahnya menjadi pahala yang mengalir terus untuk beliau. “Maafkan salah khilaf kami Tok. Minta’ halal rela semuanya”.

Baca Selengkapnya...

Antrian di RS Soedarso

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Bagaimana cara menunggu giliran mendapatkan pelayanan? Masyarakat di Negara maju akan menjawab: Q, istilah untuk menunjukkan cara mereka mengantri satu per satu, tertib beratur. Sedangkan masyarakat kita agaknya akan menjawab: cara menunggu paling enak adalah dengan mengerubungi tempat pelayanan.

Saya yakin begitu saat saya melihat cara warga menunggu giliran pelayanan di RS Soedarso Pontianak beberapa hari lalu. Hari ini, sekitar pukul 07.30 WIB saya sampai di rumah sakit kebanggaan warga Pontianak. Saya langsung masuk ke ruang pelayanan rawat jalan. Di sana sudah ramai. Ratusan orang.
Sejenak saya menyapu pandangan. mencari di mana tempat mendaftar. Maklum, sejak di renovasi dengan tampilan yang wah, saya belum pernah lagi berobat di sini. Terakhir saya berobat untuk membersihkan karang gigi sekitar 3 tahun lalu. Waktu itu tempat pelayanan umum ini masih di bagian belakang, dekat Unit Gawat Darurat (UGD), satu arah dengan kamar jenazah. Waktu itu orang menunggu di selasar.
Saya melihat orang banyak berkumpul di depan loket informasi. Saya merapat ke sana. Niatnya ingin bertanya bagaimana saya berurusan. Di situ ada seorang satpam berumur mungkin 50 tahunan sedang melayani banyak orang. Beberapa orang bertanya tempat berobat dan ruangan, ada juga yang bertanya prosedur. Saya melihat beberapa orang lagi mengisi formulir. Formulir warna biru ukurannya kecil. Di bagian atas ada tulisan formulir daftar berobat jalan. Yang satu untuk pasien baru, yang satu lagi untuk pasien lama.
“Hmm… rupanya di sini formnya”.
Saya minta pada satpam. Dan ingin bertanya. Tapi dia tidak dapat melayani pertanyaan saya. Akhirnya saya ambil sendiri. Lantas dengan pen yang ada di meja, saya mengisinya. Selesai.
Saya menuju loket pasien baru menyerahkan formulir yang sudah saya isi.
Untung loket itu kosong. Belum ada pelayanan. Saya langsung melihat ada boks plastic kecil warna merah, tempat untuk formulir itu.
Usai meletakkan kertas itu, saya langsung mencari tempat duduk yang disediakan di bagian tengah ruangan luas itu. Ada dua kelompok kursi menghadap ke loket pelayanan daftar pasien dan ada dua kelompok kursi juga yang membelakangi loket itu. Kelompok kursi ini khusus untuk orang yang menunggu pelayanan urusan administrasi asuransi kesehatan dan apotik.
Dapat. Masih banyak tempat kosong di dua kelompok itu. Di kiri kanan kosong. Di barisan kursi belakang ada dua orang perempuan, dan di kursi depan, ada seorang lelaki.
Sementara itu, di depan, di loket pasien lama, ada banyak orang antri di situ. Berdiri di depan loket. Saya mencoba menghitung. Satu, dua, tiga… 60 orang lebih. Dalam hati saya bertanya, mengapa orang lebih memilih berdiri di depan loket dibandingkan duduk di kursi yang kosong. Padahal kursi yang disediakan empuk lagi. Menurut saya duduk di kursi jauh lebih enak dibandingkan berdiri di depan loket. Berdiri pasti capek. Mendingan saat itu ada pelayanan. Belum. Seorang petugas di counter nampak masih sibuk berkemas-kemas.
Saya merasa jengah melihat perilaku orang-orang itu. Kesan saya, mereka seperti rebutan minta dilayani lebih dahulu. Seperti berlomba-lomba mendahului orang lain. Atau, mungkin juga kesannya mereka takut kalau-kalau tidak berdiri di depan counter, tidak akan dilayani.
Saya saya memikirkan hal itu, tiba-tiba menyeruak seorang lelaki tua sudah beruban, jalannya terseret-seret. Agak susah. Entah sakit apa dia. Dia berusaha maju ke depan memasukkan formulirnya ke dalam kotak. Setelah susah payah, sampai juga dia ke depan. Setelah memasukkan formulir itu, dia kembali ke bagian belakang kelompok orang-orang yang berdiri.
Tak lama kemudian, seorang perempuan yang kaki kanannya diperban dan melangkah terseret-seret juga mencoba menebus kerumunan. Saya sempat bergidik seandainya kaki yang diperban itu terinjak orang. Duh, apa tidak malah makin parah.
“Apa petugas tidak risau ya?”
Saya sempat bertanya dalam hati. Kalau saya yang menjadi petugas di situ, saya pasti risau. Saya tidak akan merasa nyaman bekerja di bawah tekanan begitu. Ya, bagi saya orang berdiri di depan loket seperti pressur mental bagi saya. Sempit rasanya. Belum lagi suara-suara orang itu pasti akan mengganggu konsentrasi saya.
Rupanya bukan hanya saya yang heran. Bapak yang duduk di depan saya, saya dengar juga ngomel melihat perilaku orang berdiri di depan loket.
“Orang ramai begitu bikin kita tidak dengar”.
Ya, setelah pelayanan dibuka, petugas memanggil nama pendaftar. Suara petugas terdengar tidak jelas menyebutkan nama orang dibandingkan hiruk pikuk orang-orang itu. sehingga petugas harus memanggil nama berulang-ulang.
Saat loket pelayanan pasien baru dibuka, saya sempat mendengar petugas menyuruh orang yang berdiri di depannya, duduk. Orang itu menjauh dari counter.
Setelah urusan pendaftaran selesai, saya naik ke lantai dua. Bagian Poli. Ruang pelayanan sudah buka. Saya menyerahkan kartu berobat. Lantas menunggu. Cukup ramai juga orang di lorong itu. Kursi panjang tidak cukup. Sebagian berdiri. Lama juga begitu. Kabarnya dokter baru datang jam 09.30 WIB.
Jam 09.00. Jenuh menunggu di lorong depan ruang poli, saya ke bagian tengah bangunan. Di situ ada kursi tunggu. Banyak. Tapi kursi itu penuh. Sementara itu di bagian depan ada counter Pelayanan Askeskin. Keadaannya sama seperti counter di bawah. Ramai. Saya menghitung ada 40 orang mengerubungi loket. Di antara mereka itu, ada lelaki dengan dua tongkat dikepit, ada perempuan dengan anak kecil di sampingnya.
Kasihan sungguh melihatnya. Tetapi, ya… saya kira hampir semua orang melihat pemandangan itu sebagai pemandangan yang biasa. Mereka anggap antri begitu merupakan bentuk pelayanan.
Saya sempat berpikir, kalau saya pengambil kebijakan saya akan minta mereka duduk dan menunggu giliran dengan sabar. Saya akan memastikan orang yang dahulu dilayani lebih dahulu, dan yang dudi dilayani belakangan.
Lalu, minta Satpam memastikan ketertiban ini dijaga terus menerus. Bukan tugas satpam membagi formulir. Formulir bisa diletakkan di satu tempat dan orang langsung mengambilnya. Juga bukan tugas Satpam menjelaskan tentang prosedur pelayanan. Ada bagian sendiri yang mengurus hal seperti itu. Ini rumah sakit besar. Bukan puskesmas.
Tetapi, kemudian saya sadar: mungkin upaya membuat tertib itu sudah dilakukan, dulu. Awal-awal. Sekarang, tidak bisa lagi. Masyarakat belum bisa menunggu dengan Q. Masyarakat merasa lebih nyaman antri dengan mengerubungi tempat pelayanan. Jadi, bagi mereka ini bukan soal tertib tidak tertib.

Baca Selengkapnya...

Sabtu, 07 Agustus 2010

Sanggau Permai

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Enam belas tahun lalu saya ikut dalam rombongan mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Pontianak, cabang Jakarta, mengadakan studi tour ke Sanggau. Saya sempat mengunjungi beberapa tempat di Sanggau.
Salah satu tempat yang paling mengesankan saya waktu itu adalah Sanggau Permai. Saya sangat mengagumi komplek Sanggau Permai yang dibangun Bupati Baisuni ZA.
Tempat itu, waktu itu, dianggap kawasan elit, seakan-akan ‘puncak’ bagi orang Sanggau. Kawasannya nampak rapi, bersih, terawat dan elit. Jalan menuju komplek itu yang mulus, serta kiri kanannya yang hijau menambah kesan ‘wah’ tempat ini.


Saya juga sempat salat di masjid di atas puncak Sanggau Permai. Waktu itu, tak habis-habisnya saya mengagumi masjid itu. Setelah itu, kami sempat mencoba main bola di lapangan di kaki bukit. Lapangan yang sangat bagus.
Pak Bupati dalam kesempatan berbicara di depan rombongan STAIN Pontianak menceritakan tentang ‘proyek besarnya’ itu. Dia juga menjelaskan pengertian Sanggau Permai.
Saya mengagumi Pak Baisuni sebagai pemimpin yang visinya sangat kuat, dan pemimpin yang membawa Sanggau melakukan loncatan ke depan.
Perasaan saya waktu itu, Sanggau dengan Sanggau Permainya, mengalami kemajuan melebihi kabupaten lainnya.
Kesan itu terpacak kuat dalam benak saya. Hingga belasan tahun, ingatan itu tidak lekang. Setiap kali orang mengatakan Sanggau Permai, serta merta saya membayangkan tempat yang elit itu.
Bulan lalu, secara tak terduga saya berkesempatan melintas kawasan ini lagi. Kala itu, saya bersama rombongan mahasiswa yang akan melakukan kuliah kerja lapangan (KKL) ke Sanggau, melintas Sanggau Permai, saat naik pick up menuju lokasi KKL di kampung Mensarang. Karena saya mendapat tempat duduk di atas bak, saya jadi sangat leluasa melihat keadaan kiri kanan jalan. Tidak ada benda yang menghalangi pandangan.
Saya katakan tak terduga karena saya tidak tahu kalau jalan menuju Mensarang itu melalui Sanggau Permai. Semula saya kira, kami akan melalui jalan di pinggir Sungai Sengkuang.
Kebetulan yang baik.
Saya antusias sekali ketika mengetahui bahwa pick up kami bergerak ke arah Sanggau Permai. Kenangan lama berlegar kembali.
Tetapi, malangnya, kenangan indah itu ternyata t idak lagi nampak indah. Setidaknya, saya kehilangan keindahan ketika melihat Sanggau Permai sekarang. Tempat itu tidak lagi mengagumkan. Saya tidak lagi terpana seperti saat 16 tahun lalu.
Bahkan, kesan saya, biasa-biasa saja. Jalannya, pohon-pohonnya, rumah-rumah di kiri kanan jalan, tidak lagi nampak istimewa.
Saya sempat berpikir, apakah Sanggau Permai telah berubah? Mungkin! Ya, mungkin Sanggau Permai telah berubah menjadi tempat yang biasa, bukan tempat yang mendapat perhatian khusus seperti dahulu, Sanggau Permai kehilangan pemerhati. Sanggau Permai kehilangan keistimewaan. Saya kira, jangankan saya, orang Sanggau sendiri tidak lagi menjadikan Sanggau Permai sebagai kebanggaan. Sepanjang pertemuan kami dengan Wakil Bupati di Kantor Bupati – beliau menyambut kedatangan kami, saya tidak mendengar beliau mempromosikan Sanggau Permai, seperti dahulu Pak Baisuni lakukan.
Tetapi saya yakin, pikiran saya juga sudah berubah. Kalau dahulu, wawasan saya masih sangat terbatas pada Pontianak dan Jakarta, sekarang rasanya cakrawala agak melebar sedikit. Kuching dan beberapa kota kecil yang dibangun sebagai ‘proyek monumental seorang pemimpin’ di sekitar Kuala Lumpur, sedikit banyak membuat ekspektasi tentang pembangunan kota baru juga berubah.
Lalu? Ups! Saya mendapat bandingan baru. Pasar Kapuas Indah. Dahulu, sekitar 20 tahun lalu, bangunan berlantai tiga itu menjadi ikon kota Pontianak. Orang kampung, orang pedalaman seperti kami, sangat membanggakan bangunan ini. Hebat. Kalau ke Pontianak, tidak sah jika belum menginjak bangunan ini.
Sekarang? Hmmm…. Kita tahu sendiri jawabannya.

Baca Selengkapnya...

Biografi Tokoh Kalbar

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Rabu (21/7) Jurusan Dakwah STAIN Pontianak mengadakan workshop. Ketua Jurusan Dakwah, Dr. Wajidi Sayadi, mengundang Prof. Dr. Artani Hasbi, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang juga anggota Lembasa Sensor Film (LSF) tampil sebagai pembicara.


Prof. Artani bicara panjang lebar tentang media visual dan dakwah. Peserta – yang terdiri dari dosen dan mahasiswa, diceramahi dan diajak merenung. Dalil-dalil keluar satu persatu dari mulut pakar media lulusan timur tengah ini.
Nah, panjang cerita dia mengingatkan hadirin soal pekerjaan besar orang daerah. “Seharusnya ada penulis local yang menggarap local wisdom,” katanya.
Dia merinci, orang di Kalbar bisa menggarap profil Basuni Imran. Dia kenal Basuni sebagai tokoh besar dunia Islam dari Kalbar.
“Tulislah tentang kelahirannya, pendididikan, kisah cinta, pemikiran, dll”.
Katanya, di Jakarta sudah ada yang menggarapnya. Mahasiwa UIN Jakarta sudah belajar membuat film pendek dibimbing oleh orang dari LSF.
“Ini untuk memperkuat pesan dakwah agar diterima masyarakat,” ingatnya.
Saran Profesor Artani ini membuat pikiran saya terbang. Saya membayangkan Basuni Imran yang sangat terkenal itu. Gambarannya wujud dalam bentuk lelaki bersurban, dengan jubah putih. Wajah beliau yang bersinar, menghadapi murid-murid yang mengelilingi. Beliau mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya itu.
Gambarannya mirip-mirip gambar yang divisualkan dalam film Sunan Kalijaga. Keren sekali.
Lantas, pikiran saya terbang ke tokoh Kalbar lainnya. Ovang Oeray. Dia itu adalah tokoh besar. Idola banyak orang. Namun, gambaran tentang beliau belum cukup. Dahulu, ada teman saya yang mau menggarapnya. Entah sudah sampai di mana pekerjaannya itu, saya belum sempat bertanya kabarnya.
Saya ingat ada juga Sultan Hamid, tokoh futuris asal Kalbar yang berkiprah di pentas nasional. Beliau belum banyak ditulis profilnya. Walau begitu, berdasarkan foto-foto beliau, saya sudah dapat membayangkan figurnya.
Ingatan saya singgah pada pengalaman saya satu tahun lalu. Kala itu saya menghadiri seminar di Universiti Teknologi MARA Sarawak.
Saat itu ada seorang pembicara dari Semenanjung Malaysia. Dia menyampaikan makalah tentang Mufti Kesultanan Pontianak. Haji Ismail bin Abdul Majid al-Kalantani.
Dia itu adalah tokoh besar. Pemikirannya, dipuji-puji. Dia sangat berpengaruh dalam perkembangan pendidikan Islam di Kelantan.
Saya menjadi sangat bodoh karena tidak pernah mendengar tentang tokoh ini. Saya orang Pontianak. Saya sudah lama di Pontianak. Saya melakukan studi tentang Kalbar. Saya, di forum itu, kononnya, ilmuan dari Kalbar. Tetapi, naïf: tidak tahu tentang tokoh itu. Yang tahu justru orang luar.
Lalu di ujung perenungan itu saya mencoba bertanya: kapan bisa menggarapnya? Saya menjadi gagap: tidak tahu kapan. Kapan melakukannya. Kapan saya dapat menggarapnya? Saya memikirkannya. Memikirkan dan memikirkan. Tetapi tak ada jalan keluarnya.
Saya memerlukan orang untuk menggarapnya. Teman. Lantas siapa orang Kalbar yang juga mau peduli?



Baca Selengkapnya...

Inventarisasi Local Knowledge

Oleh: Yusriadi
Kalau orang luar mau tahu tentang budaya-budaya Kalbar, mereka cari di mana? Saya pasti bingung menjawabnya. Apakah ada buku yang memuat informasi tentang budaya-budaya local itu? Mungkin ada. Tetapi pasti terbatas. Terbatas garapannya, terbatas cakupan dan kedalamannya.
Kalau mau mendapatkan informasi yang komprehensif dan memuaskan, ya, harus gali sendiri. Harus ketemu narasumbernya langsung. Harus kulu kile’. Susah? Entahlah.

Alternatifnya, mungkin bisa dirujuk kepada MABM atau kepada Dewan Adat Dayak. Dengan begitu, taklah perlu susah payah turun ke lapangan, ke pedalaman yang jauh-jauh itu.
Tapi … bisakah kita akan menunjuk Ketua Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Dr. Chairil Effendy sebagai rujukan informasi budaya Melayu, atau, kita akan menunjuk Ketua Dewan Adat Dayak Thadeus Yus untuk rujukan budaya Dayak?
Mungkin. Tapi saya sudah kebayang betapa repotnya. Orang yang mau tahu repot, kedua tokoh itu juga pasti repot. Saya yakin pasti tidak akan mudah bertemu dengan beliau berdua ini. Keduanya pasti sangat sibuk. Banyak kegiatan. Mungkin harus buat janji dahulu. Bila nasib mujur, besok atau lusa bisalah bertemu. Jika tidak, mungkin beberapa hari kemudian. Atau mungkin tidak bisa sama sekali.
Kalau kemudian orang susah mendapatkan informasi mengenai budaya yang ada di Kalbar, kalau kemudian menyerah karena waktu dan biaya mereka yang terbatas, lalu menulis apa adanya berdasarkan apa yang dia peroleh, bagaimana?
Apakah kita akan protes terhadap tulisan itu? Apakah kita marah?
Seharusnya tidak. Jika orang luar itu sudah berusaha dan usaha mereka hanya segitu hasilnya, seharusnya kita terima dengan bijak. Kalau kemudian tulisan mereka tidak seperti yang kita ketahui, salah-salah, kita juga salah. Kita layak dipersalahkan karena membiarkan dunia akademik berkembang di luar kita, sedangkan kita sendiri tidak menggarapnya. Lihatlah apa yang sudah kita lakukan.
Kenyataannya, belum banyak yang kita lakukan. Kita masih kurang memberikan sumbangan terhadap konstruksi akademik tentang diri kita di dunia luar sana, di dunia akademik global. Menyedihkan.
Saya jadi teringat pekerjaan yang tertinggal itu ketika beberapa hari lalu mendengar ceramah Bapak Surahno, Kepala Sub Dit Hak Cipta, DTLST dan RD Departemen Hukum dan HAM RI di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisonal, Pontianak.
Dalam ceramah itu Surahno mengingatkan soal mendata semua hak kekayaan intelektual khususnya kepemilikan komunal yang ada di Kalbar. Kepemilikan komunal mencakup produk atau karya warisan turun temurun yang kita dapatkan dari generasi terdahulu.
Data itu akan menjadi pangkalan data (data base) tentang kekayaan tradisional di Kalbar. Orang yang ingin mengetahui dan mendapatkan informasi tentang kekayaan tradisional bisa merujuk pada data base itu.
Biar data itu mantap, pekerjaan ini harus digarap bersama banyak orang.
Seketika pikiran saya membayangkan sebuah buku: Enseklopedi Kebudayaan Kalbar. Buku itu tebal dan bagus, karena ditulis oleh banyak ilmuan Kalbar – mulai dari social- budaya, perobatan, pertanian, ekonomi hingga agama dan kepercayaan.
Ketika orang mencari apa itu ‘notokng’, belale’an, tolak bale, antar ajjung, nyapat taun, pak aloi, runa’, kepua’, atau keladi tikus, orang bisa mendapatkannya di buku itu. Tidak perlu susah payah kulu kile’, tak perlu susah payah menunggu janji, dll.
Selain itu, kalau buku ini wujud, pasti orang tidak akan susah payah memahami identitas setiap kelompok. Pasti orang akan mendapatkan informasi berharga tentang pengetahuan masyarakat di Kalbar.
Saya bisa merasakan kebanggaan: kebanggaan sebagai warga yang berdiam di daerah yang beragam. Kebanggaan sebagai orang daerah yang sudah dapat menunjukkan fakta tentang keragaman.
Uuh… andai buku itu bisa terwujud.

Baca Selengkapnya...

Perubahan yang Menakjubkan

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro


Sudah sejak lama saya mendengarkan slogan hidup adalah perubahan. Ciri hidup adalah berubah. Kalau tidak berubah, itu tanda mati.
Sudah sejak lama saya mempercayai itu. Sudah sejak lama saya mencoba menganut prinsip-prinsip menyadari dan memahami perubahan, serta prinsip ikut membuat perubahan dan berubah.
Tetapi, ternyata, tidak selalu perubahan muncul dari proses kesadaran itu. Saya mengalami bagaimana perubahan drastis terjadi dalam proses ketidaksadaran.
Ya, peristiwa bermula sekitar pukul 16.00, Kamis (5/8) kemarin. Saat itu saya sedang baring di ruang tengah di rumah. Tiba-tiba saya mendengar Fatia, anak saya yang berumur 4,6 tahun, menjerit.
“Ular!!!”



Dia menangis. Tangisnya kali ini berbeda dibandingkan tangisan biasa--misalnya karena dia dikacau-kacau saudaranya, atau ketika dia ngambek pengin sesuatu tetapi tidak diberikan. Tangis ini berisi tangis ketakutan.
Saya segera bangun, dan berlari keluar. Saya berhenti di teras. Saya lihat Fatia di tengah halaman, masih menangis, dan berurai air mata. Bibirnya nampak sedikit biru.
“Napa?”
“Kena ular”.
“Mana dia?”
Fatia menunjuk ular di dekat teras. Saya terkejut. Rupanya ular itu tidak jauh dari saya –posisinya di antara saya dan Fatia. Ular hitam kuning sebesar jempol Fatia. Ular itu agak melingkar badannya. Diam.
Saya tidak menghiraukan ular itu. Saya menuju Fatia.
“Mana kena ular?”
Fatia menunjuk kakinya. Di pegelangan kakinya saya lihat ada sedikit darah.
“Ini agaknya bekas gigitan ular itu”.
Saya membopong Fatia, membawanya masuk. Panik.
“Mak, Fatia kena patok ular”.
Saya membawa Fatia ke kamar Emak. Saat itu Emak sedang istirahat di sana.
Setelah dibaringkan, kami memberi Fatia minum air putih. Saya meneteskan luka itu dengan propolis dan kemudian memijitnya, mengeluarkan darah yang bisa.
“Coba ambil otak ular. Kata orang tua, otak ular bisa dipakai untuk menawar bisa”.
Kami ke teras. Ular masih ada di situ. Saya mencari kayu dan memukul ular dengan takut-takut. Ya, bagi saya, ular memang menakutkan. Tidak ada perlawanan. Ular menggeliat, mati. Saya memutuskan kepalanya agar yakin ular itu betul-betul mati.
Emak kemudian mengambil kepala itu dan mengeluarkan otak. Lebih tepat sebenarnya batok kepala ular. ‘Otak’ itu warna putih sebesar biji jagung, kemudian dioles-oleh ke bekas gigitan di kaki Fatia. Emak lalu mengikat kaki itu.
Meskipun lega karena pertolongan pertama ini, namun, saya masih ragu. Ini bisa ular. Bukan luka biasa. Kemudian, saya bersama Salsa, anak saya yang lain, membawa Fatia ke bidan Ester, bidan yang menjadi rujukan keluarga kami. Sebelum pergi mengambil ular itu dan memasukkannya ke dalam kantong plastic. Maksud saya, biar bidan tahu jenis ular yang menggigit Fatia. Menurut TV, jenis bisa ular yang diketahui akan memudahkan petugas memberikan pertolongan. Lain bisa ularnya, lain obatnya.
Ternyata, bu Ester merujuk Fatia ke rumah sakit Antonius.
“Cepat bawa ke sana. Di sana ada obat penawar bisa. Di sini tidak bisa”.
Saya dan Salsa membawa Fatia dan ular ke rumah sakit itu. Petugas di sana bekerja cepat membius Fatia dan membersihkan dan membor luka di kaki Fatia. Seorang wanita berbaju putih – yang kemudian saya ketahui bernama dr. Aini, sesekali memberi petunjuk.
Sembari proses pengobatan Fatia, dr Aini bertanya pada saya tentang kejadian itu. Saya ceritakan apa yang saya ketahui. Saya keluarkan ular dari bungkusan untuk menambah penjelasan.
“Ular … ular … jangan”.
Dr. Aini mundur menuju desk petugas. Terkejut. Saya, dan beberapa orang lain tersenyum melihat reaksi dokter.
“Udah mati”.
Saya memegang ekor ular, sehingga badannya menjulur ke bawah. Maksudnya biar nampak kepala ular yang buntung.
Saya memasukkannya kembali ke dalam plastik.
Lalu, beberapa saat kemudian, dr. Aini meminta saya mengeluarkan ular itu lagi. Tidak lagi terkejut. Beliau ingin mengambil gambar dengan kamera poket. Mula-mula saya letakkan ular di atas kantong di atas kasur.
“Hitam. Tidak nampak. Letakkan di atas yang putih”.
Saya memindahkan ular di atas kasur yang alasnya putih itu. Selesai dipotret, ular itu dimasukkan lagi ke dalam plastik.
Setelah dr. Aini berlalu, saya tiba-tiba tersadar.
“Lho, kok bisa?”
Saya takjub beliau. Pada mulanya nampak terkejut (mungkin geli atau takut juga). Tetapi kemudian berani mendekati. Cepat sekali berubah. Hanya hitungan menit.
Saya juga takjub pada diri sendiri. Takjub karena berani memegang ular. Tidak ada perasaan geli sedikit pun. Seakan-akan ular itu benda biasa. Padahal, biasanya, jangankan menyentuh dengan tangan langsung, menggerakkan bangkai ular dengan ranting saja saya geli-geli. Takut-takut. Wowww….

Baca Selengkapnya...

Jumat, 02 Juli 2010

Batu dalam Celana

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Pagi itu, beberapa hari lalu, saya bersama dua teman saya –Me dan Miji, lari pagi menyusuri jalan di Kota Singkawang. Lari pagi kami lakukan untuk menjaga fisik agar tetap segar saat laga futsal Porda Depag 2010.
Kami menyusuri Jalan Diponegoro – masuk pasar, lewat patung Naga, hingga sampai ke ujung Jalan Niaga. Di depan masjid raya, kami berhenti, singgah di kedai makan. Kami pesan bubur dan minuman. Bubur porsinya agak jumbo.
Usai makan, tiba-tiba saya rasa ada yang mau lewat.

Me juga bilang dia memerlukan WC karena kebelet. Saya mendatangi penjaga kedai, bertanya di mana tempat pembuangan akhir. Mulanya saya kira di belakang warung ada tempat.
Tetapi malangnya, WC tidak ada.
“Kalau mau, bisa numpang WC masjid,” kata pemilik warung itu.
Dia memberi petunjuk. WCnya ada di samping kanan masjid. “Itu di sebelah situ ada pagar, masuk saja, lurus”.
Saya melangkah tangkas, berjalan paling depan menyeberang jalan menuju masjid. Sedangkan teman yang hampir kebelet tadi berjalan agak lambat. Maklum, sudah benar-benar pengin keluar katanya. Dia khawatir kalau melangkah buru-buru, yang mau lewat itu bisa lewat benaran.
Kami masuk lewat celah pagar yang masih sedang dalam pengerjaan—bukan lewat pintu. Mungkin karena hari masih pagi belum ada pekerja di sana. Beberapa meter dari pagar itu sudah nampak WC masjid.
Ada tiga WC di sini. Saya masuk ke salah satu WC itu. Karena hanya melepas yang kecil, tidak lama, saya sudah keluar.
Tapi, saya terkejut karena ternyata teman saya yang kebelet sudah berdiri di dekat pagar.
“Lho, kok udah?”
“Kencing jak Bang,”
“Heh? Katanya tadi udah mau keluar?”
“Ndak jadi. Nanti di penginapan saja,” katanya.
“Kuat? Khan jauh”.
“Udah. Ini udah pakai batu”.
Dia merogoh sakunya. Menunjukkan sesuatu sebesar ibu jari.
“Maksudnya?”
Me menjelaskan, menurut Miji kalau kebelet bisa diatasi dengan batu. Batu dimasukkan di dalam saku celana.
“Itu petua orang tua,”
“Kami percaya itu. Keci’-keci’ dulu saya sering begitu. Biasanya memang benar,” Miji menimpali.
Miji, orang Melayu. Dia kelahiran kota Pontianak. Kecil-kecil dia main di kampung Bansir.
Saya belum pernah mendengar hal begitu dipercayai orang di Pontianak. Tentu saja apa yang saya dengar dari Miji pagi itu-- bahwa di Pontianak ada orang yang percaya pada hal seperti itu, merupakan hal baru. Biasanya, kepercayaan seperti itu ada pada orang kampung saja, tempat yang nun jauh dari kota.
Ini jelas petanda kalau saya masih buta pada khazanah budaya masyarakat Melayu di kota Pontianak. Saya merasa takjub mendengar bentuk kearifan begini. Sepanjang jalan pulang tak habis-habisnya saya memikirkan hal ini. Duh, sayang belum ada penelitian tentang hal ini.
Kami terus berjalan menuju penginapan sambil bercakap-cakap. Sesekali saya bertanya pada Me.
“Gimana Me, manjur ndak batunya?”
“Kayaknya iya Bang. Udah ndak macam tadi”.
Walaupun kami melihat kenyataan batu bisa membuat orang tidak jadi buang air, namun, masing-masing ada keraguan. Setidaknya kami tidak menemukan apa kaitannya antara batu dengan keinginan buang air itu. Mengapa orang yang sangat ingin ‘beol’ bisa tahan setelah batu dimasukkan ke dalam saku.
“Apakah ini hanya sugesti saja?!”
Entahlah. Saya harap suatu saat ada orang yang bisa menjelaskan hubungan antara batu dan beol itu. Apakah hubungan itu lebih dari sekadar sugesti?

Baca Selengkapnya...

Perlu Teman Menulis

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Hari itu, beberapa waktu lalu, seorang mahasiswa datang kepada saya minta didaftarkan dalam kelompok Klub Menulis STAIN Pontianak yang saat ini saya kelola. Katanya, dia ingin belajar menulis secara lebih intensif bersama orang lain.
“Selama ini saya menulis sendiri dalam buku harian,” katanya.
Saya terangguk-angguk mendengar ceritanya itu. Ya, saya memberikan apresiasi terhadap dia karena sudah ada upaya menulis kisah hidup sehari-hari. Dia sudah berusaha. Usaha yang baik dan sangat produktif. Saya katakan ini baik karena saya membandingkan dengan banyak orang lain yang tidak punya tulisan, tidak punya karya.
Saya juga memberikan apresiasi terhadapnya karena dengan begitu dia menunjukkan kapasitasnya sebagai mahasiswa, makhluk kampus.


Selama ini saya selalu menganggap bahwa sebagai komunitas akademik mahasiswa harus menulis. Tidak cukup hanya belajar duduk di dalam kelas mendengar dosen ceramah. Mahasiswa harus menulis untuk mengukur pemahaman dia terhadap materi yang disampaikan. Mahasiswa harus menulis untuk mendalami masalah atau tema-tema dalam perkuliahan. Mahasiswa harus menulis dengan begitu dia mengasah kemampuan dirinya.
Sebaliknya dari anggapan ini, saya selalu merasa agak heran ketika mendapati mahasiswa malas menulis (dan malas membaca). Lebih mengherankan lagi kalau melihat mereka tidak menyukai aktivitas ini, sementara pada saat yang lain mereka berapi-api mengklaim dirinya sebagai intelektual kampus. Saya member cap: “Ngomongnya berasap, nulisnya, angin”.
Kadang kala sering kepikiran, mengapa mahasiswa begitu? Mengapa mereka tidak menyukai aktivitas ini? Mengapa?
“Oh, mungkin mereka ikut dosen mereka?”
Lho? Ya, banyak dosen yang malas menulis. Meskipun Tri Dharma Perguruan Tinggi sering disinggung-singgung, namun penerapannya kurang. Tidak banyak dosen yang terlibat dalam kegiatan penelitian dan publikasi karya akademik mereka. Tidak banyak dosen yang memiliki karya akademik yang proporsional.
Saya kenal seorang dosen senior. Dia sudah bertugas selama lebih dari 20 tahun. Golongan kepangkatannya sudah tinggi. Namun, sampai saat ini bukunya baru 2, itupun nama sebagai penulis bersama –yang tulisannya termasukk dalam bab dari buku itu. Dia numpang satu bab tulisan dalam buku ini. Bukan buku sendiri.
Seorang lagi dosen dibuatkan profil oleh media. Dia disebut sebagai dosen yang hebat. Pendapatnya sering dikutip wartawan. Dia disebut pakar dalam banyak bidang. Tetapi, alamak … ketika saya lihat riwayat penelitiannya, penelitiannya dapat dihitung dengan telunjuk. Itupun, tidak semua penelitian dia lakukan. Dia hanya menumpang nama. Beberapa lagi penelitian tidak ada hubungan dengan bidang dasar ilmu dia.
Walaupun saya belum melakukan riset untuk melihat kompetensi dosen dalam menulis dan menerbitkan buku, rasanya, secara kasar jumlahnya pasti tidak banyak. Lebih banyak dosen melupakan tradisi meneliti dan menulis makalah, karena disibukkan oleh pelbagai urusan. Mulai urusan mengajar, hingga urusan sibuk menangani proyek luar.
Nah, jika dosen sudah begitu, wajar saja kalau mahasiswa pun meniru-niru. Bagaimanapun dosen adalah contoh dan teladan mahasiswa. Ini yang dikatakan pepatah: “Guru kencing berdiri, anak-anak kencing berlari”.
Bah, apa jadinya kalau komunitas intelektual melempem seperti itu?
Tetapi, hal ini tidak bisa dihindari karena mereka, kita semua, berangkat dari system yang terbangun selama ini. Selama ini mereka memang tidak dibina menjadi akademisi yang intelektual. Mereka hanya dibentuk menjadi seperti guru. Bisanya hanya mengajar. Sedangkan meneliti dan publikasi, kurang ditekuni karena tidak dipentingkan.
Oleh sebab itulah ketika melihat ada kegairahan menulis dan berkarya di kalangan mahasiswa yang ingin bergabung dalam Klub Menulis, saya menaruhkan harapan baru: generasi intelektual bakal lahir. Hanya soalnya sekarang apakah saya (sendiri) dapat membesarkan mereka? Siapa yang mau peduli dan siapa yang mau membantu?

Baca Selengkapnya...

Trademark Kota Pontianak

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Metro
Tiba-tiba terlintas bayangan dalam benak saya: Orang berkumpul di sepanjang Jalan Ahmad Yani Pontianak. Mereka yang melakukan jogging dan jalan-jalan bersama anak istri. Peminat futsal, bermain santai di atas aspal. Sebagian lagi memilih bersenam erobik atau taichi. Di bagian tertentu di jalan ini ada yang jualan makanan ringan, yang lain jualan perlengkapan olah raga atau mainan.



Mengapa bayangan itu terlintas? Rudi Agus pasalnya. Rudi, yang kini menjadi Pimred Metro Pontianak bertemu saya kemarin, usai salat Jumat di masjid Syahid Pontianak. Panjang cerita, Rudi menceritakan bahwa dia sedang mengupayakan program car free day di setiap daerah. Di Pontianak program itu sudah dicanangkan oleh Gubernur Kalbar; kawasan yang dipilih adalah Jalan A. Yani Pontianak. Salah satu ruas jalan A Yani, yakni jalur dari simpang empat A. Yani – Ahmad Dahlan, hingga belokan SPBU OSO, dipilih sebagai kawasan jalan bebas di hari Minggu mulai pukul 07.00-09.00. Namun, di tengah perjalanan, program ini ada yang protes.
Walaupun begitu, program ini terus berjalan. Ada dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Pontianak.
Sampai hari ini kegiatan itu berjalan, walaupun perjalanannya tidak seperti yang dibayang pencetusnya.
“Kita inginkan Jalan A Yani ini bisa menjadi tempat alternative berkumpulnya warga di hari Minggu, selain stadion,” kata Rudi.
Ya, saya kira, impian itu bukan impian kosong. Pasti bisa diwujudkan. Bisa -- jika sosialisasinya berjalan, jika program itu dikemas dengan baik sehingga jadi menarik.
Seperti Rudi, saya sudah bisa membayangkan satu ruas jalan itu akan menjadi tempat orang berkumpul untuk berbagai tujuan – untuk olahraga, santai, wisata keluarga, dan juga untuk berjualan.
Tidak sulit membayangkan tempat seperti itu. Monas, Jakarta, merupakan contohnya. Di luar negeri, di Malaysia, sudah ada misalannya: pasar malam (minus olahraganya).
Saya kira, jika Buchary membangun beberapa trade mark kota Pontianak, Sutarmijdi dapat juga melakukan hal itu. Ada monumennya.
Lantas saya teringat upaya yang sekarang dilakukan Sutarmidji: penataan kawasan Kota Baru Pontianak. Di Kota Baru itu dibangun tugu indah. Ada taman kecil, ada tempat santai, ada air mancur. Tugu itu sekarang sudah menjadi salah satu objek wisata: sering saya melihat orang singgah di sini, sembari foto-foto.
Di Kubu Raya, tugu di persimpangan Ambawang juga sekarang menjadi salah satu tempat ‘indah’ untuk foto-foto.
Nah, pasti tidak akan sukar membangun hal yang hampir serupa di sekitar persimpangan A Yani itu, atau kalau mana-mana tempat yang memungkinkan. Tempat itu akan menjadi daya tarik tambahan di kawasan ini; sekaligus mendukung program seperti yang Rudi bayangkan. Rasanya pasti akan lebih semarak dibandingkan Taman Alun Kapuas, tugu Khatulistiwa, atau bahkan Stadion sendiri.

Baca Selengkapnya...