Jumat, 27 Februari 2009

Caleg Instan, Kayak Mie

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Saya dapat membayangkan betapa peningnya jadi calon legislatif (caleg) sekarang ini. Jadi dewan belum pasti, uang keluar macam air mengalir. Ada yang keluar ratusan ribu rupiah, jutaan rupiah, ratusan juta, bahkan, kononnya, ada yang sudah keluar uang miliaran rupiah.



Ada yang menguras tabungan. Ada yang meminjam kredit di koperasi. Ada yang menjual kaplingan. Ada yang gadai-gadai. Bahkan, ada yang jual harga diri, buang malu pinjam sana-sini.
Lalu, ada yang kini termenung. Berhitung. Duduk di warung, membuat kalkulasi. Kongko-kongko dengan teman sesama caleg, atau dengan teman yang kononnya tim pendukung. Dari hari ke hari, itu selarat yang dikerjakan. Perkembangan politik dibahas detiil, tapi, turun lapangan sebatas kursi meja warung kopi. Jangan hitung berapa banyak batang rokok sudah hangus dibakar. Juga tak usah hitung berapa banyak kopi sudah diminum.
Sistem perolehan suara terbanyak sekarang ini benar-benar telah menyebabkan orang jadi hampir gila-gilaan.. Orang berusaha. Berjuang. Habis-habisan. Berharap. Bermimpi. Tunggang langgang.
Saya mendengar banyak khawatir –sambil bergurau, ada caleg yang kelak jadi orang gila, tak beres hidupnya setelah Pemilu 2009 usai.
Tak siap rasanya saya mendengar ada teman caleg yang sebelumnya hidup dengan harapan yang besar dan semangat menggebu-gebu, tiba-tiba menjadi orang tak tentu rudu.
“Ati-ati jak, kenak gila-gilakan orang, nanti jadi gila,”
“Siap-siap jadi penghuni rumah sakit Sungai Bangkong,”
Beberapa caleg yang saya kenal, pernah juga diingatkan:
Jangan terlalu banyak berharap dalam kondisi sekarang. Pemilu sekarang, anggap saja tahap pembelajaran bagi pemula yang ketiban runtuh diajak-ajak jadi caleg. Besok-besok, pemilu berikutnya, baru pasang target.
Mengapa? Karena saya pikir mereka harus bisa mengukur diri. Mereka tidak popular. Mereka kurang dikenal orang. Mereka tidak punya jasa kepada calon pemilih. Mereka tidak punya uang untuk memikat hati.
Bahkan ada yang saya kenal tidak memiliki kemampuan apapun. Tak punya nilai jual. Jujur saja, jangankan orang lain yang tidak kenal, saya yang kenal saja pasti tidak akan memilih dia jadi caleg. Bagi saya, memilih adalah menitipkan masa depan. Tentu masa depan kita harus dititipkan kepada orang yang layak mengemban amanah itu.
Memang ada macam-macam pertimbangan dalam memilih sekian banyak orang yang bisa diberi amanah. Misalnya ada yang karena pertimbangan keluarga. Dan setahu saya di sini, di Kalbar ini, orang banyak memilih karena pertimbangan emosional.
Ada yang memilih karena caleg itu orang satu kampong atau satu daerah, kawasan, atau satu suku.
Tentu juga ada banyak yang memilih karena pertimbangan jasa. Jadi konsep patron dan klien juga penting, Calon membantu sesuatu dan pemilih memberi suara. Sama-sama memberi.
Untuk sampai pada tingkat ini tentu tidak bisa main tembak.
Saya sawan melihat orang mau jadi caleg dan kemudian tabur uang untuk sosialisasi. Tak bakalan mempan di tengah masyarakat yang kian pandai.
Semuanya harus pakai proses. Saya kadang mengajarkan teman, kalau mau jadi caleg, lima tahun sebelumnya harus masuk lewat masjid, lewat majelis taklim, masuk lewat organisasi pemuda, wanita, atau kelompok tani, koperasi, dll.
Dalam proses situ, tentu orang akan menilai. Bila baik, sudah tentu orang akan mendukung. Orang bisa melihat kepemimpinan, sikap dan tingkah laku, dan lain sebagainya.
Karena itulah, kadang saya heran: nekadnya orang-orang jadi caleg. Masa’ karena dengar teman bilang dukung, langsung dia gee r. Padahal dukungan itu hanya basa basi. Ngambul kata orang Pontianak. Lidah tak bertulang.
Tapi itulah resiko orang yang maunya instan. Resiko orang yang mau jadi tapi tidak mau mempersiapkan diri.



Baca Selengkapnya...

Jumat, 20 Februari 2009

Kemarau dan Kabut Asap di Pontianak

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Asap.
Di mana-mana ada asap. Pagi, siang, malam. Asap.
Dari mana sumbernya? Ada yang bilang perusahaan bakar lahan untuk perkebunan. Ada yang bilang asap berasal dari lahan pertanian yang dibakar petani. Ada yang bilang, asal itu dari kebakaran hutan dan kebakaran lahan gambut.


Ya, mungkin mereka benar. Titik api – hot spot, terpotret satelit ada di sekitar kawasan hutan, di kawasan-kawasan perkebunan.
Tetapi, jujur saja, kadang saya ragu, apa benar asap yang saya sedot masuk ke paru-paru saya itu berasal dari hutan nun jauh di sana?
Saya ingin membantah.
Saya merasa asap yang saya hirup dengan nafas ngos-ngos itu, adalah asap yang dibakar orang di pekarangan.
Sore, beberapa hari lalu, pulang dari kantor, saya melintasi beberapa ruas jalan di kota ini. Saya lewat gang. Saya memintas jalan kecil. Lewat juga di komplek perumahan.
Saya menghitung ada enam tempat orang membakar sampah. Apinya bisa dilihat dari pinggir jalan.
Saya mencium aroma khas: bau plastic yang terbakar.
Asap. Saya tidak ragu bahwa asap yang saya hirup itu berasal dari asap pembakaran kecil yang saya lihat.
Selalunya saya merungut dalam hati.
Orang yang membakar sampah tidak tahu betapa menderitanya saya mencium asap pembakaran itu.
Ingin rasanya saya mendatangkan teman saya yang suka menyumpah. Saya pernah dengar dia marah: “Bodo bale’, siape yang membakar sampah ni?!. Padamkan ndak!. Angos nanti rumah orang,”
Saya tidak tega menyumpah mereka-mereka itu, walaupun ingin.
Saya melihat, biasanya yang membakar itu orang-orang tua. Nenek-nenek. Kakek-kakek. Anak muda jarang sekali.
Mereka membakar karena mereka orang pembersih. Mereka orang rajin.
Orang yang membakar sampah itu, berniat baik. Musim sekarang, sampah kering. Mudah dibakar. Lalu mereka kumpulkan. Mereka tumpukkan. Mereka bakar barang itu. Lalu, asap membumbung.
Lalu, kita menghirup asapnya. Ngos-ngosan.
Lalu kita menderita penyakit nafas saluran atas (ISPA). Ada yang jatok-jatok ke asma.
Lalu, mata kita terkena asap. Pedas. Iritasi.
Mereka yang membakar tidak merasa bersalah. Mereka tidak merasa salah telah melakukan pencemaran udara.
Mereka senang-senang saja melakukan itu.
“Hobby,” kata seorang teman.
Membakar sampah memang bagian dari budaya kita menghilangkan sampah. –Kita belum terbiasa membuang sampah di tempat sampah, secara baik dan benar.
Membakar sampah menjadi pekerjaan mengasyikkan.
Saya ingat dahulu tahun 1997. Ketika saya sampai di Kota Kajang, di Selangor. Saya membakar sampah di depan rumah. Teman saya cepat-cepat mengingatkan saya:
“Heh, jangan bakar sampah. Nanti ditangkap,”
Saya tentu saja terkejut. Membakar sampah bisa ditangkap? Waktu itu saya hanya heran. Heran buangettt.
Tidak lama setelah jerebu kiriman dari Kalimantan sampai di Malaysia, setelah media memberitakan komentar kekesalan orang Malaysia terhadap asap kiriman Indonesia --- Kalimantan dan Sumatera, saya menyadari mengapa orang membakar sampah harus ditangkap.
Dan, justru sekarang, saya berharap aturan seperti itu juga berlaku di Kalimantan Barat. Mungkin tidak ditangkap. Mungkin, orang yang membakar didatangi petugas lingkungan dan satpol PP. Petugas ini yang mengingatkan agar sampah tidak dibakar. Petugas yang kemudian memadamkan api.
Mungkin.
Kadang kala saya menghayal menjadi tokoh super yang terbang membawa air dan memadamkan api-api itu. Saya akan datangi tempat pembakaran itu dan mencurahkan air yang saya bawa. Sampai padam.
Dan, malangnya saya bukan orang super. Saya hanya orang yang berharap udara di sekitar tetap bersih. Tetap segar.
Saya yakin jika budaya membakar itu bisa diubah, pasti kabut asap tidak akan sedahsyat sekarang – di setiap musim kering. Tak lagi kita dengar orang berteriak: “ISPA- ISPA”.


Baca Selengkapnya...

Selasa, 17 Februari 2009

Malay Corner Bertemu MABM Kalbar: BICARAKAN RENCANA WORKSHOP PENULISAN BUKU MELAYU DI KALBAR

Oleh Yusriadi

Senin, 16 Februari 2009. Pukul 10.02. Rombongan pengurus Malay Corner (MC), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak datang ke rumah Melayu Kalbar di Jalan Sutan Syahrir Pontianak. Dalam rombongan itu Direktur MC Ibrahim M Shaleh. Sekretaris MC Didi Darmadi. Anggota MC yang juga Kepala Perpustakaan STAIN Pontianak Fahrizandi.



Rombongan ini mengadakan pertemuan dengan Ketua MABM Kalbar H. Imien Thaha.
MC datang menawarkan kerja sama.
Saat ini, MC sedang menyusun rencana workshop penulisan buku Melayu di Kalimantan Barat.
“Kegiatan ini besar, pekerjaan ini akan berat jika dikerjakan sendiri. MC mengajak MABM bekerjasama dalam program ini. Pekerjaan besar akan menjadi mudah jika dikerjakan bersama-sama,” kata Ibrahim.
MC juga akan mengajak pihak lain untuk mengerjakan rencana monumental ini bersama-sama.
Workshop rencananya akan digelar di kantor MC, Lt 2 Bangunan Perpustakaan STAIN Pontianak. Melibatkan 20 peserta dari berbagai kalangan. Terutamanya akademisi dan peneliti yang konsen terhadap masyarakat Melayu.
Jumlah sebanyak ini, sesuai dengan jumlah subkelompok Melayu di Kalbar yang diketahui sejauh ini. 20 subkelompok itu adalah: Melayu Pontianak, Mempawah, Landak, Mempawah, Sambas, Kubu, Sukadana, Ketapang, Laur, Sanggau, Sekadau, Sintang, Pinoh, Silat, Selimbau, Embau, Bunut, Boyan, Badau, Putussibau.
Peserta yang mengikuti workshop ini masing-masing akan menulis tentang subkelompok Melayu di Kalimantan Barat itu. Tulisan yang dibuat diusahakan sejajar informasinya antara satu komunitas Melayu dengan komunitas Melayu yang lain. Pada bagian pertama akan ditulis tentang identitas, populasi, sejarah, bahasa dan keadaan hari ini.
Menurut Ibrahim sebagian dari subkelompok Melayu ini sudah ditulis. Misalnya, tentang Melayu Pontianak sudah ditulis oleh Haitami Salim, Abdurrahman Abror, dll. Tentang Melayu Mempawah sudah ditulis oleh Elyas Suryani Soren. Tentang Kayong sudah ditulis oleh Dardi Has. Tentang Landak sudah ditulis Syafaruddin Usman. Tentang Sambas sudah ditulis Chairil Effendy, Muin Ikram, dll. Tentang Sanggau sudah ditulis Zahry Abdullah. Tentang Embau sudah ditulis Yusriadi dan Hermansyah. Dan seterusnya.
Melalui usaha penerbitan buku, diharapkan informasi yang sudah ditulis dan diterbitkan itu bisa disatukan dalam satu buku. Upaya ini akan memudahkan orang mencari informasi mengenai Melayu di Kalbar.
“Selain itu, dengan usaha ini, informasi yang disajikan bisa lebih seragam dalam soal format dan kedalamannya,”
MC menargetkan pada Juli 2009, bahan ini sudah siap terdokumentasikan dan diterbitkan menjadi buku.
Selain menulis buku tentang Melayu, MC juga merancang mengkompilasikan hukum adat Melayu dari berbagai daerah.
“MC berharap dengan jaringan yang dimiliki MABM di tiap kabupaten akan memudahkan upaya menerbitkan kompilasi itu,” kata Ibrahim.
Imien Thaha terlihat antusias mendengar presentasi rombongan MC. Katanya, MABM sangat mendukung rencana ini.
“Upaya ini penting untuk sejarah kita,” katanya.
Imien juga berharap buku-buku ini akan menambah khazanah informasi mengenai masyarakat Melayu di Kalimantan Barat. Karena bahan yang lengkap mengenai masyarakat Melayu di Kalimantan Barat belum ada.
Imien juga berharap suatu saat kelak, usaha-usaha lain dilakukan.
Ketua MABM Sangau, M Nasir yang kebetulan bersama Ketua MABM Kalbar menerima MC memberikan apresiasi serupa.
“Kalau datang ke Sanggau, nanti kami bantu,” katanya.
Nasir kemudian menceritakan bahwa dia sudah menulis buku tentang adat perkawinan Sanggau. Saat ini dia sedang mengusahakan penulisan kamus bahasa Melayu Sanggau.
Kepada MC dia berharap suatu saat dapat diusahakan penulisan enseklopedi Melayu Kalimantan Barat.



Baca Selengkapnya...

Kabar dari Ulu: “Kini Lebih Banyak Orang Pakai Kompor Gas”

Oleh Yusriadi

Emak memberitahu saya, bahwa di kampung kami, Riam Panjang, yang nun jauh di pedalaman Kapuas Hulu, sebagian besar orang sudah pakai kompor gas.
“Kebanyak orang sudah pakai,”
Saya percaya Emak. Selalu.


Tetapi, informasi ini membuat saya terkejut. Saya tidak membayangkan hal itu. Dalam bayangan saya, orang di kampung masih sangat tergantung pada kompor minyak tanah, dan dapur kayu.
Walaupun kayu api mulai agak sulit diperoleh, walau minyak tanah sering sukar didapat, namun, dugaan saya, tradisi berkompor minyak dan berdapur kayu, pasti sulit dilepaskan. Ada banyak faktor. Faktor sosial. Faktor ekonomi.
Lagi, gas khan mahal.
Orang yang tinggal di dekat kota saja susah lepas dari minyak tanah.
Tengok program konversi kompor minyak tanah ke kompor gas yang dicanangkan pemerintah: susah berjalan. Tidak semua masyarakat bisa beralih. Tidak semua orang mau. Macam-macam alasannya.
Saya lantas menyebutkan nama beberapa tetangga kami. Pak Ngah, adik bapak, tetangga di sebelah kanan rumah.
“Rumah Pak Ngah?”
“Sudah. Mereka pakai sudah lama,”
Ahmad Azmi, anak Pak Ngah, yang hari itu menemani kami ngobrol, membenarkan.
“Auk, dari dulu’ udah pakai gas,”
“Mak Imun?”
“O, udah. Malah sidak ada dua tabung,”
Imun, adalah nama tetangga sebelah kiri rumah kami. Dia janda. Umurnya sudah 50an.
Beberapa lagi nama saya sebutkan. Emak menjawab, dengan kata sudah, atau belum.
“Orang mau kompor gas karena cepat masak. Bersih,”
“Orang mau kompor gas karena cari minyak tanah susah,”
Nah, ini dia. Saya antusias.
Kata Emak, suatu ketika dahulu harga minyak tanah di kampung kami mencapai Rp 7000 per liter. Satu kali isi kompor sekurangnya dua liter. Beberapa hari sudah habis. Isi lagi. Beli lagi. Susah lagi.
“Ndak ke kompor gas mahal? Tabung mahal. Beli gas juga mahal?”
“Sesuailah dengan penghasil masyarakat. Daluk, karet ‘kan mahal,”
Ya, dahulu –beberapa bulan lalu, harga karet mahal. Satu kilo Rp 12 ribu.
Minimal sekali menyadap karet, orang bisa dapat 5 kilogram. Ada banyak juga yang bisa mendapat 10 kilogram.
Saya teringat dahulu waktu masih menyadap karet –kira-kira 20-an tahun lalu. Saya bisa dapat 7 kilo getah. Emak yang menyadap di kebun karet yang lain, dapat lebih banyak dari itu. Belum lagi kakak dan adik saya. Dahulu, kami bisa mendapat 15 kilogram satu pagi. Tapi, waktu itu harga getah masih murah.
“Orang pakai kompor gas ada rasa mewah, nak Mak?”
“Auk, apa na gensi ugak,”
Orang dapat menggunakan kompor gas karena gas agak mudah diperoleh. Pedagang-pedagang di kampung yang turun ke Pontianak belanja, bila kembali ke kampung membawa tabung gas yang terisi.
Tetapi, penggunaan kompor gas tidak serta merta membuat penduduk meninggalkan kompor minyak tanah atau dapur kayu. Kadang pakai kompor gas. Kadang pakai dapur kayu. Keduanya saling mengisi.
Saya lantas membayangkan situasi itu. Sungguh hebat.
Saya sendiri, yang kononnya tinggal di kota Pontianak, sampai sekarang belum bersentuhan dengan kompor gas.
Saya tahu kelebihan kompor gas. Tetapi, saya tidak mengindahkan kelebihan itu. Ada alasan untuk tidak beralih dari tradisi berkompor minyak tanah. Ini rahasia perusahaan.
Lalu, saya berpikir, kalau kompor gas menjadi salah satu simbol kemajuan, orang di kampung saya, lebih maju dari saya.
Makanya, saya kira, jangan pernah menganggap orang kampung tidak maju. Kalau menganggap orang kampung tidak maju, anggapan itu pasti meleset.
Orang kampung sangat maju. Di kampung sangat banyak parabola. Orang kampung bisa menonton TV apa saja, mulai dari siaran TVRI –dan TV itu agak jarang ditonton, hingga siaran dari TV Perancis. Di kota? Berapa banyak orang yang “punya TV” bisa menangkap siaran yang banyak? Terbatas. Langganannya agak mahal.
Motor? Sekarang orang kampung banyak yang punya motor. Hampir tiap rumah punya motor. Sekalipun, motor yang mereka beli lebih banyak beli dengan cara kredit.
Telepon? Hampir semua orang –terutama kaum muda punya HP. Dan, umumnya HP budak-budak kampung itu jenis HP mahal. HP yang ada kamera. HP yang bisa simpan banyak lagu. Mereka putar lagi di rumah. Mereka juga bisa putar lagu di kebun sambil menyadap karet.
Kata Emak, orang kampung bisa ‘maju’ seperti itu karena harga karet mahal. Beberapa bulan lalu harga karet per kilo di atas Rp 12 ribuan.
Siapa yang mampu beli kontan mereka membeli ‘barang-barang kemajuan itu’ dengan cara kontan. Barang yang tidak, membeli barang itu dengan cara kredit. Prosedur yang mudah membuat mereka gampang mengambil kredit.
Tetapi saya juga dengar cerita, sekarang harga karet anjlok. Masyarakat merasa terpukul. Kredit motor tak terbayar. Beberapa diambil agen. Mungkin tabung gas yang kosong bisa tak terisi.
Apakah kemajuan itu akan meninggalkan mereka? Apakah mereka masih tetap dapat mengiringi kemajuan itu?
Entah. Lihat saja nanti.




Baca Selengkapnya...

Jumat, 06 Februari 2009

Ovaang Oeray dan Borneo

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Ovaang Oeray. Rasanya tidak ada orang Kalbar yang tidak pernah dengar nama itu. Beliau gubernur Kalbar di awal kemerdekaan. Nama ini menjadi kebanggaan. Dialah perintis jalan: orang lokal, orang pedalaman bisa sukses di pentas politik. Nama ini mengingatkan: orang lokal bisa memimpin. Nama itu sangat popular.




Di Kalbar, bahkan, nama itu menjadi ikon penting. Ikon yang digunakan untuk menarik perhatian orang. Sejumlah orang-terutama politisi, menjadikan nama ini sebagai penarik simpati.
Popularitas itu merunu ke istri beliau. Manuver politik tidak sah tanpa sowan kepada beliau.
Tetapi, siapa sebenarnya beliau? Bagaimana kelahirannya? Bagaimana sejarah pendidikannya? Bagaimana kiprah politiknya? Bagaimana pemikirannya? Tidak banyak diketahui.
"Seharusnya ada tulisan tentang beliau,"
"Seharusnya ada yang mau menulis tentang beliau,"
"Seharusnya orang-orang yang mengagumi beliau, menghormati beliau, dan 'menggunakan beliau', mengusahakan hal itu,"
Inilah desakan yang muncul di dalam benak saya.
"Mengapa saya mendesak orang?"
"Mengapa saya tidak menulis sejarah beliau?"
Pikiran itu menggelegak di benak saya. Menggelek begitu saja.
Teman saya, Muhlis Suhaeri mempunyai pikiran yang sama.
"Mengapa orang tidak menulis tentang Ovaang Oeray?"
Kami membicarakan hal ini beberapa kali.
Tetapi, bedanya, saya tidak melakukan apa-apa. Muhlis memulainya.
"Mumpung ibu Ovaang Oeray-istri Ovang Oeray maksudnya, masih bisa ditanya-tanya," begitu kata Muhlis.

***
Satu bulan lalu, Andri, dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) bertemu saya. Dia meminjamkan bahan-bahan yang berkaitan dengan hipotesis Kalimantan bagian barat (KBB) sebagai tanah asal usul bahasa Melayu.
"Penelitian kecil-kecil," katanya merendah.
"Saya ingin menulis," Saya, seperti juga cerita Ovaang Oeray, menyadari pentingnya tulisan tentang KBB sebagai tanah asal usul bahasa Melayu.
Para ahli bahasa, ahli arkeologi sangat meyakini temuan itu. Sosiolog juga menyepakati hal itu.
Tetapi, temuan ini belum popular. Maklum, sarat dengan implikasi. Teori ini merubah keyakinan yang dipegang selama ini: bahasa Melayu asal dari Riau. Teori ini juga merubah pandangan orang yang membipolarisasi Dayak-Melayu di Kalbar berada pada dua sisi yang berbeda.
Teori ini menempatkan Dayak-Melayu pada satu sisi: Asal yang sama. Teori ini menyadarkan banyak orang bahwa Dayak-Melayu di Kalbar ini berbeda karena perbedaan social -dan semakin sangat berbeda karena perbedaan politik.
Orang yang punya kepentingan pasti tidak mau kehilangan isu. Karena itu, mereka merasa penting untuk memelihara isu ini.
Malangnya, orang yang berkepentingan menghilangkan perbedaan itu juga tidak berniat mempopulerkan hipotesis ini. Sehingga akhirnya, momentum menghapus perbedaan lewat begitu saja.
"Lalu kamu?"
Ya, tiba-tiba saya merasa menjadi orang yang bermulut besar. Banyak omong, tetapi tak buat kerja.
Saya menjadi orang yang tak berdaya: hanya bisa menyaksikan perkembangan selanjutnya. Menjadi penonton yang melongo. Menjadi penonton yang dalam hati mengatakan: saya sudah pernah berpikir tentang itu.
Lalu, saya menjadi orang yang bisanya membaca tulisan orang lain: tulisan Muhlis tentang Ovaang Oeray, atau tulisan Andri tentang KBB. Merana sungguh.


Baca Selengkapnya...

Selasa, 03 Februari 2009

Ribut Naga di Singkawang dan Pontianak

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Ribut pasal naga melanda ruang sosial masyarakat di dua kotamadya di Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu. Di Singkawang, kelompok Forum Umat Islam dan kelompok organisasi Melayu menolak pembangunan tugu naga di tengah kota. Di Pontianak, kelompok Melayu menolak perarakan naga pada saat Cap Go Me.







Sepintas lalu, sepertinya tidak ada jalan keluar. Setidaknya jalan keluar yang mudah. Masing-masing ngotot. Kelompok yang menolak, ngotot. Mereka mengatakan tidak ada kompromi. Kalau tugu terus dibangun mereka akan merobohkan. Kalau naga terus diarak, mereka siap menghadang.
Sebaliknya, pihak yang mensponsori pembangun tugu Naga juga terus ngotot. Pembangunan jalan terus. Ini untuk kepentingan pariwisata. Di Pontianak, kelihatan ada upaya berbagai pihak mendorong agar perarakan naga di Pontianak jadi dilaksanakan pada acara Cap Go Me. Juga untuk kepentingan pariwisata.
Yang penting tentu pemerintah. Wakil Walikota Singkawang Eddy R Yakoub ditugaskan memfasilitasi pertemuan pembangunan tugu naga seperti dikutip media mengatakan pening mengurusnya.
Saya kira walikota Pontianak mungkin juga akan pening memikirkan bagaimana jalan keluarnya jika semua pihak ngotot. Pasti tidak mudah usaha dia menyadarkan orang Melayu yang menolak arakan naga: sekalipun dia sudah mencontohkan apa-apa yang dibuat orang Melayu saat perayaan hari besar Islam.
Tetapi, saya percaya tentu ada jalan keluarnya. Pihak yang panas bisa didinginkan. Bisa dibujuk. Tentu ada aktor-aktor penting di balik semua itu. Aktor ini yang cukup menentukan: mau bagaimana.
Pilihan lain, pihak yang ngotot bisa dilawan. Lihat statemen polisi: Kami siap melakukan pengamanan. Statemen ini jika diterjemahkan bermakna: polisi siap menjaga kemungkinan terburuk dari ancaman-ancaman ini. Polisi siap menjaga situasi dan kondisi.
Bagi saya, jalan keluar begini, jangka pendek. Dan, mungkin akan menimbulkan masalah baru. Coba, pujukan bagaimana yang bisa dilakukan? Apakah pujukannya seperti orang tua yang membujuk anaknya dengan permen? Apakah pujukannya seperti seorang lelaki kepada kekasihnya yang merajuk? Mengapa pujukan harus seperti itu? Memangnya orang yang marah, apa-apaan bisa dibujuk begitu?
Masalahnya, kemarahan itu bukan kemarahan yang spontanitas. Penolakan itu bukan muncul tiba-tiba. Ada rentetan sebelumnya. Ada faktor-faktor penting di balik itu. Kita semua bisa menghubungan fenomena satu dengan yang lain.
Pilihan lain, polisi turun tangan mengamankan semua itu. Benarkah? Benarkah semua itu dapat terkontrol? Kita tidak meragukan kemampuan aparat keamanan. Tetapi, rasanya, pengamanan begitu terlalu frontal dan mahal. Bagaimana kalau pengamanan ini gagal? Bagaimana kalau orang Cina dan kelompok Melayu terlanjur ribut dan saling bunuh? Apakah polisi cukup puas dengan menembak Melayu yang mengamuk dan lantas masalahnya selesai?
[[Syukurlah kemudian Walikota Pontianak Sutarmidji menemukan jalan keluar: Naga boleh diarak pada hari puncak Cap Go Meh, selama 5 jam mulai pukul 13.00-18.00, di kawasan Jalan Gajahmada Pontianak. Kelompok pro-naga puas, kelompok kontra juga puas.]].



Baca Selengkapnya...

Minggu, 01 Februari 2009

Kompromi Naga

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

“Arak-arakan naga di Pontianak, boleh,”
Saya menyimak kabar yang disampaikan teman wartawan, kemarin.
“Perarakan dilaksanakan di kawasan Jalan Gajahmada Pontianak dari jam satu sampai jam enam,”
Ya, syukurlah.
“Semoga berjalan baik,”




Saya mengucap dalam hati.
Pemerintah Kota Pontianak akhirnya menemukan solusi. Naga sudah mendapat tempat yang lebih luas agar dapat meliuk. Orang yang protes juga sudah didengar.
Tidak ada yang diabaikan.
Saya memuji Walikota Pontianak, Sutarmidji, karena kearifannya itu.
Saya memuji pengarak naga yang telah berbijak rasa. Tak bisa membawa naga berarak keliling kota, di kawasan Gajahmada pun cukuplah. Ruas jalan itu cukup panjang. Ruas jalan itu cukup ramai. Kawasan yang representatif untuk mempertunjukkan kehadiran naga.
Kalaupun kemudian kawasan ini macet, kalaupun kemudian kawasan ini tertutup sewaktu perarakan dilakukan, masih ada pilihan. Ada jalan keluar ke kawasan Tanjungpura yang lempang. Ada kawasan Jalan Suprapto, atau Jalan Ahmad Yani sebagai pilihan.
Saya juga memuji orang yang menolak arakan naga. Mereka telah berlapang dada. Mereka bukan orang yang pikirannya tertutup yang tidak bisa diajak kompromi. Mereka bukan orang yang tidak berbudaya, yang tidak menghargai budaya orang lain. Mereka terbuka. Mereka mengerti budaya. Sekalipun, kemarin-kemarin, pengertian itu sepertinya menimbulkan kesan, agak terbatas.
Setakat ini, saya menganggap pilihannya ini adalah kompromi yang paling baik, yang bisa diambil saat ini. Pilihan yang saya kira, keputusan begini sudah cukup memuaskan di tengah pro-kontra pelaksanaan perarakan di tengah kota.
Pilihan ini tentu akan menjadi pilihan yang akan lebih baik dan memuaskan jika dalam proses dan pasca negosiasi tidak ada yang merasa kalah dan tidak ada juga yang merasa menang. Dalam konteks ini, bukan siapa kalah dan siapa menang. Bukan soal siapa mundur dan siapa yang maju. Semua orang berusaha mencari kebaikan bersama. Semua orang memikirkan kepentingan bersama. Memikirkan kepentingan orang lain.
Sekarang, di tengah situasi yang kompromistis itu, terpulang bagaimana penyelenggara mengatur agar arak-arakan bisa dilaksanakan sebaik-baiknya, dengan hasil yang sebaik-baiknya, sehingga tercapailah tujuan mereka mengapa perarakan harus dilakukan.
Sekarang, terpulanglah bagaimana penyelenggara dapat berkordinasi dengan pihak pemerintah, dengan pihak keamanan, dan dengan pihak lain yang mungkin perlu dilibatkan. Sehingga pada akhirnya secara moral memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan perarakan yang sukses, dan merasa punya tanggung jawab bersama untuk memelihara situasi tetap aman dan damai.
Saya kira panitia menyadari bahwa ini kegiatan internal. Tetapi, ketika kegiatan internal mengalir ke ruang publik, tentu ada sisi ruang publik yang harus diperhatikan. Ada hal yang seharusnya dikongsi bersama.
Ada kesadaran bahwa ruang publik itu bukan milik sendiri. Ada orang lain yang berbeda. Berbeda minat, berbeda cara pandang, dan berbeda budaya.
Gong xi fat cai.


Baca Selengkapnya...

“Kami Tidak Minta Dilahirkan Berbeda”

Oleh: Yusriadi

“Kami tidak minta dilahirkan berbeda”.
Itulah kata yang dilontarkan seorang mahasiswa dalam diskusi akhir tahun Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), awal pekan lalu di Gedung KNPI Pontianak.
Saya menjadi pembicara dalam diskusi petang itu, bersama Dr. William Chang, Ofm Cap.
Romo William –begitu mahasiswa memanggil beliau dalam forum itu, menyampaikan “Damai dalam perspektif teologis,”. Saya, disodorkan tema: “Tantangan mewujudkan damai dalam masyarakat majemuk”. Seharusnya ada lagi beberapa pembicara dalam diskusi itu. Namun mereka tidak hadir.
Bahkan setelah jam 7.30 malam itu, Romo William undur diri, ada kegiatan lain. Saya tampil solo.
Saya melayani komentar para aktivis itu. Banyak hal dikomentari mereka. Mulai hal-hal di sekitar mereka, sekitar Kalbar, sekitar Indonesia, hingga hal yang jauh tentang kebijakan Amerika nun di sana.
Dari sekian banyak komentar itu, Saya memberikan stressing terhadap statemen mahasiswa tentang perbedaan ini karena statemen ini sering kali kita dengar di Pontianak. Terutama dahulu, sering saya dengar dari mulut teman-teman Madura, ketika membicarakan konflik di Kalbar. Hampir tiap forum ‘rekonsiliasi’, forum ‘damai’, ungkapan itu terlontar.
Benarkah kita tidak minta dilahirkan berbeda? Benarkah kita tidak ingin berbeda dibandingkan orang lain?
Saya menanggapi komentar mahasiswa tersebut.
“Mungkin benar kita tidak minta dilahirkan berbeda. Tetapi, pada praktiknya kita menciptakan perbedaan di antara kita. Kita membuat perbedaan-perbedaan itu. Kita mempertahankan perbedaan.”
Saya mengatakan begitu karena menurut saya, perbedaan itu identitas. Identitas itu cirri. Ciri yang membedakan, dan ciri yang juga bisa digunakan untuk mempersamakan.
Di internal mahasiswa, berdiri organisasi PMKRI. Ada Gerakan Mahasiswa Kristen (GMKI), ada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), ada juga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi ini bentukan mahasiswa. Dan orang yang hadir di dalam forum diskusi itu mempertahankan perbedaan itu. Mereka suka dengan perbedaan itu.
Mengapa tidak bersatu saja di bawah bendera organisasi yang sama? Mengapa tidak melebur saja dan berbagi gerakan dalam satu organisasi?
Dalam soal agama juga begitu. Saya katakan, mereka boleh mencatat bahwa agama juga identitas yang diciptakan. Kita bisa mengingat kapan istilah Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khong Hucu digunakan.
Ada pelajaran sejarah yang membantu kita mengetahui tahun berapa nama itu mulai diperkenalkan. Tahun berapa tokoh-tokoh pembawa agama itu dilahirkan.
Dalam soal etnik juga begitu. Kapan istilah Melayu digunakan, kapan istilah Dayak dipilih, kapan istilah Cina, kapan istilah Tionghoa, istilah Madura, dll, kita dengar.
Lalu, sekarang, tentu saja terasa aneh ketika ada di antara kita yang protes: tidak minta perbedaan itu diciptakan. Padahal pada sisi lain kita mempertahankan perbedaan itu.
“Kalau kita tidak suka dengan perbedaan itu, kita bisa menghapusnya. Kita bisa mendekonstruksi identitas-identitas itu. Tidak usah dipakai lagi,”
Tidak ada urusan kita mempertahankan nama PMKRI, GMKI, PMII, HMI. Tidak ada urusan kita mempertahankan istilah Melayu, Dayak, Cina, Tionghoa, Maduran, Jawa. Tidak ada urusan juga kita mempertahankan identitas Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Khong Hucu.
“Bagaimana?”
Peserta terdiam.
“Kalau dunia ini satu mana indah?!”
Kata mahasiswa yang lain.
Lha, itu dia. Mau indah dengan keragaman, tetapi kemudian keragaman itu menimbulkan masalah. Konflik. Lalu, cup! Tak jadi. Padahal sudah cah palit.
Tetapi, kita menyadari, ini adalah pilihan. Pilihan orang untuk berbeda dibandingkan orang lain. Tentu kita sendiri yang tahu mengapa kita ingin berbeda, mengapa kita ingin orang tertentu terkeluar dari identitas yang kita pilih, dan orang tertentu masuk dalam kelompok identitas yang kita pilih.
Hatta, kita juga harus menyadari bahwa ketika kita memilih berbeda, orang lain juga tentu akan memilih berbeda. Pilihan orang lain tidak selalu sama dengan pilihan yang kita buat.
Kadang pun, orang lain menamakan kita, tidak seperti yang kita kehendaki.
Apakah kita emosional? Apakah kita akan marah? Apakah kita akan kesal?
Bah, naïf sekali –walaupun pasti sama naïfnya dengan orang lain yang mengidentifikasikan orang lain dengan identitas tertentu –padahal dia tahu identifikasi itu tidak disukai.
Kita juga harus merenung apakah identitas yang diberikan orang lain kepada kita ‘mengada-ada?” Karena, sering kali kita yang sebenarnya tidak sadar warna, jenis, dan bentuk kita yang diidentifikasi orang. Sering kali orang tidak sadar, ada emblem yang kita gunakan tanpa justru membuat ciri berbeda di mata orang lain.
Perbedaan itu tidak selalu harus banyak. Satu pun cukup.


Baca Selengkapnya...