Selasa, 19 April 2011

Bagian 8 -- Pintu Metal Detector




Oleh: Yusriadi

Pukul 18.20. Lantai 9 di depan pintu Grand Ball Room mulai ramai. Ada kawan-kawan dari Borneo Tribune, ada juga petugas dari Polda (termasuk dari Brimob).
Kawan-kawan dengan pakaian batik warna coklat –khas Borneo Tribune, sibuk di belakang meja penerima tamu. Ada yang mempersiapkan buku tamu, ada yang mempersiapkan buku JMCB untuk tamu, dan ada yang … entah, kayaknya cekak-cekikik, ngobrol-ngobrol saja.
Sedangkan petugas kepolisian (dari Brimob dan dari Mapolda Kalbar) berjaga di pintu masuk kegiatan. Maklum, di pintu masuk itu dipasang pintu keselamatan atau pintu “Metal Detector” untuk mendeteksi barang bawaan undangan.
Pemasangan pintu ini dilakukan polisi usai acara gladi bersih. Ini merupakan inisiatif pihak kepolisian. Pertimbangannya karena ada orang penting kepolisian dari Jakarta yang hadir. Mantan pimpinan mereka.
Pemasangan pintu pendeteksi besi ini di pintu masuk tempat kegiatan anugerah Muri dan bedah buku JMCB menjadi gerbang penting dalam membentuk kesan orang terhadap acara ini. Kesan yang penting adalah bahwa acara ini serius. Orang yang masuk discreening oleh sinar x. Tidak sembarangan.
Memang setahu saya tidak banyak kegiatan yang dilengkapi alat deteksi begini. Dalam beberapa kali kegiatan yang saya ikuti --dahulu, pintu ini hanya dipasang jika ada presiden atau atau wakil presiden yang datang. Sedangkan kegiatan menteri hanya kadang-kadang saja ada digunakan pintu ini.
Kekecualiannya, pintu ini selalu ada di pintu masuk menuju ruang tunggu penumpang di lapangan terbang Supadio, Pontianak.
Saya memang tidak heran karena ketika siang setelah gladi bersih melihat langsung petugas dari Brimob Kalbar memasang pintu ini. Bahkan ikut memberikan saran ketika pintu ini dipasang.
Lagian, saya memahami prosedur pengamanan ini. Maklum, panitia di Pontianak juga ingin pelaksanaan acara tidak jauh beda dibandingkan acara di Jakarta. Di Hotel Grand Sahid pada saat acara launching buku JMCB, pintu deteksi di pasang di pintu masuk hotel sebelum tangga menuju ruang Grand Ball Room, tempat kegiatan berlangsung.
Selain itu, saya menangkap ada kesan ‘wah’ di mata undangan untuk kegiatan kali ini. Ini bukan kegiatan biasa.
Selain itu, kehadiran pintu deteksi ini menimbulkan kesan lucu. Beberapa orang undangan yang baru keluar lift dengan cekak-cekik, begitu berhadapan dengan pintu deteksi, cekak-cekikiknya langsung padam. Kaget. Pasti mereka agak terkejut karena tidak menyangka ada screening begitu. Mana pernah ada acara bedah buku di Pontianak dilengkapi pintu deteksi.
Beberapa teman bahkan nampak panik. Mereka panik karena harus memindahkan telepon di atas nampan sebelum melewati pintu ini. Ada yang harus membuka jaket, melepaskan tas. Dll.
Lantas beberapa orang sempat ketinggalan barang mereka di pintu deteksi. Sebelum kemudian kembali lagi dengan tersipu-sipu.
“Eh, lupa”.
Saya juga melihat polisi yang berjaga-jaga di pintu itu tersenyum melihat orang-orang yang tersipu-sipu itu.
Pintu ini membuat lalu lalang orang keluar masuk ruangan menjadi terbatas. Sungkan karena setiap kali keluar masuk mereka harus ‘diperiksa’. Saya kira suasananya pasti agak berbeda dibandingkan jika tidak ada pintu ini. (*).

Foto///Acara Anugrah Muri untuk Buku JMCB, menyisakan kenangan. Karena itu, beberapa orang mengabadikan momen itu dengan foto-foto. Termasuk Wartawan Borneo Tribune, Abdul Khoir yang mengajak anggota Brimob berpose di luar ruang acara. Foto Istimewa/Borneo Tribune.


Baca Selengkapnya...

Sabtu, 02 April 2011

Ingat Pasar Sentral, Ingat Gadong, Brunei



Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune



Ingat Pasar Sentral Pontianak, saya ingat kawasan Gadong, Brunei Darussalam. Itulah hal yang melintas dalam pikiran saya ketika melewati Pasar Sentral kemarin, dan kemarinnya lagi.
Saya ingat itu ketika saya lihat di persimpangan arah Pasar Sentral – Gusti Sulung Lelanang ada bekas bambu membentuk kerangka ‘sesuatu’. Kerangka itu sebelum ini pernah digunakan ‘pengelola’ dengan dipasangkan ‘hiasan’ untuk menyambut hari besar beberapa waktu lalu. Waktu itu saya melihat hiasan itu dengan kekaguman yang luar biasa. Kagum karena ‘pengelola’ itu begitu kreatif, dan kagum karena waktu itu pemerintah kota mengizinkan kreativitas itu ditunjukkan di depan publik. Waktu itu saya melihat ada keindahan yang berbeda ditunjukkan pengelola di persimpangan ini.
Kemarin, ketika melintas di sana, ketika melihat hanya kerangka saja, saya sempat membayangkan hal buruk: kerangka ini akan lapuk dan tidak ada apapun lagi di pertigaan itu kelak kecuali semen yang membatu dan tidak menarik. Kalau itu benar-benar terjadi, sungguh disayangkan. Rugi!
Saya memberikan apresiasi pada kreativitas pengelola itu karena saya termimpi-mimpi kala melihat hal yang hampir sama di Gadong, Brunei Darussalam. Waktu itu, kebetulan ada seminar di Negara Sultan Bolkiah ini, dan malam itu Dr. Yabit Alas membawa kami keliling kota Brunei. Ketika melintas di Gadong, kami berhenti. Dr. Yabit menunjukkan sebuah kawasan yang berwarna warni, dan di sana ada patung yang waktu itu dipakaikan baju sanghai. Lampion digantungkan di sana sini.
Selain kami, ada banyak orang yang singgah di sana malam itu. Pengunjung juga. Mereka sama seperti kami, berfoto-foto dengan latar belakang lampu dan patung itu.
Kata Dr. Yabit, lokasi itu dikelola oleh sebuah showroom mobil. Pakaian patung itu selalu disesuaikan dengan momentum. Kalau Natal, patung itu menjadi Sinterklas. Kalau musim Idul Fitri, patung itu mengenakan baju muslim. Begitu juga jika Imlek.
“Ini kemudian menjadi salah satu objek wisata di sini,” katanya waktu itu.
Saya sempat menghayalkan di Pontianak, ada juga ruang itu. Pemerintah mengajak swasta tertentu untuk mengelola sebuah lokasi dan lokasi itu dijaga mereka, plus dengan kreativitas pengelola lantas dikemas sedemikian rupa sehingga membuat kota menjadi indah.
Tempatnya, entah itu di kawasan pasar atau di pinggiran kota yang lahannya masih agak luas.
Pada akhirnya, setelah Sutarmidji menjadi walikota Pontianak, saya melihat mimpi itu mulai wujud. Setidaknya, ketika saya melihat ada swasta yang diserahkan mengelola tugu di bundaran Kota Baru Pontianak. Sejauh ini swasta mengelola dengan baik. Air mancurnya terjaga. Lampu terpelihara. Kebersihan dan keindahan juga menyinari mata saat memandangnya – walaupun ada juga yang memandang keindahan ini dengan kacamata minus.
Nah, sekarang, apakah cikal bakal kerangka bambu di simpang Pasar Dahlia – Jalan Gusti Sulung Lelanang akan diurus seperti Bundaran Kota Baru? Saya berharap begitu. Jika pun simpang Dahlia terlalu sempit, mungkin pemerintah bisa melepaskan Bundaran Pos kepada pihak swasta sehingga pada akhirnya keindahan lokasi itu menyerlah juga. Bukan saja kota akan bertambah tempat wisata, tetapi juga pemerintah akan berkurang bebannya. Saya kira, lumayan juga dana dikeluarkan pemerintah untuk urusan taman itu per tahunnya, sekalipun kenyataannya taman itu hanya diurus apa adanya dan tidak mengundang daya tarik pun. (22/1/2011) *

Baca Selengkapnya...

Asuk

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


“Suk, Asuk… Minum dulu’-lah”.
Saya mendengar adik saya memanggil tukang yang sedang bekerja membesarkan bagian dapur rumah mereka, agar berhenti bekerja: minum dulu. Minuman, kopi, sudah disediakan dari tadi. Tapi, lelaki berumur 50 tahun itu belum menyentuhnya. Dia asyik menggali tanah untuk pondasi rumah.
Sebenarnya saya sudah memperhatikan lelaki tua itu bekerja sejak awal. Dia, bercelana pendek, dengan baju diikatkan di kepala. Mungkin maksudnya menutup kepala dari panas. Kepalanya ditutup, sedangkan badannya yang kekar itu tidak. Kulitnya yang agak putih memerah terbakar panas. Berlendir dibanjiri keringat.

“Iya…”
Dia hanya menjawab singkat, sambil terus bekerja.
Saya jadi sangat tertarik pada lelaki tua itu. Saya jadi bernostalgia. Dahulu, sewaktu di Jongkong, Kapuas Hulu, dua puluh tahun lalu, saya mengenal seorang lelaki tua yang oleh orang-orang di Jongkong dipanggil dengan “Asuk Anyi”. Dia, orang Tionghoa. Setiap hari, terutama sore, dia berjalan kaki di atas gertak, seraya mengenakan ‘tangui’ topi dari daun.
Biasanya dia menggunakan baju kaos putih, tipis, singlet. Celananya panjang seperti piyama. Warnanya khas: abu-abu.
Jika orang baru melihat, apa yang dilakukan Asuk Anyi ini aneh. Tetapi, orang Jongkong – khususnya Jongkong Kanan dan Jongkong Pasar, apa yang dilakukan Asuk ini tidak aneh lagi. Biasa. Hanya jalan-jalan di sore hari. Mungkin orang baru merasa aneh bila melihat Asuk tidak mengenakan tangui.
Saya tahu sekarang, dia jalan sore sebagai pengganti olahraga. Biar sehat. Dan Asuk Anyi memang nampak sehat. Sekalipun sudah tua waktu itu, tetapi, dia masih berjalan dengan tegap. Sekarang saya baru merasa heran: bagaimana Asuk bisa tahu bahwa olahraga sore itu sehat, padahal dia orang di Jongkong. Orang di Jongkong waktu itu belum mengenal jalan-jalan sore untuk kesehatan. Hanya orang kota yang kenal itu. Lebih hebat lagi, bagaimana Asuk Anyi bisa begitu disiplin melakukannya.
Setelah tidak lagi di Jongkong, saya tidak pernah mendengar tentang beliau lagi – karena tidak ada tema yang dibicarakan berkaitan dengan beliau. Bahkan, saya dan mungkin orang-orang di Jongkong lainnya tidak pernah mengingatnya.
Setelah dari Jongkong saya juga tidak pernah mendengar lagi ada panggilan “Asuk”. Ketika di Pontianak, saya bertemu dengan cukup banyak orang Tionghoa, saya memanggilnya Bapak, Toke, Keh, atau Akong. Tidak “Asuk”. Saya juga tidak pernah mendengar orang Tionghoa memanggil “Asuk” kepada orang tua. Ya, mungkin sebenarnya panggilan itu ada, tetapi karena situasinya berbeda dibandingkan Jongkong, maka panggilan “Asuk” tidak ketara terdengar.
Nah, hinggalah kemarin, saya mendengar adik saya menggunakan kata itu “Asuk” kepada lelaki yang bekerja di rumah mereka. Lalu, saya pun memanggil lelaki tua itu dengan “Asuk” juga.
Kami ngobrol banyak tentang kepercayaan orang Tionghoa dalam membangun rumah. Asyik sekali. Banyak hal yang saya baru dengar. Banyak pantang larang yang menarik ditulis di kemudian hari.
Selama ngobrol saya terus menerus memanggilnya “Asuk” tanpa mendalami makna sosialnya. Suatu saat saya akan mendalaminya. Tetapi, walau panggilan “Asuk” saya gunakan hanya sekadar ikut-ikutan, namun, panggilan ini membentangkan kembali lembaran kehidupan saya ketika di Jongkong, 20 tahun lalu. Jauh sudah rupanya! (29/1/2011)

Baca Selengkapnya...

Pilih Api atau Manusia?

Oleh: Yusriadi

Ulla Asri, fotografer Borneo Tribune memperlihatkan foto-foto kebakaran di Kapuas Besar kepada saya, Jumat (4/2) kemarin. Foto itu hasil bidikannya ketika api mengamuk pusat perbelanjaan itu Kamis (3/2).
Kemampuan Ulla memotret jelas sangat bagus. Karena itu, tidak heran, hasil bidikannya selalu menarik dilihat. Ada foto tentang pemadam dari berbagai yayasan sedang bekerja sama memasang kran. Ada foto petugas pemadam sedang menyemprotkan api. Ada foto api yang membara. Ada foto-foto sisa kebakaran. Ada foto warga yang mencoba mengambil barangnya di antara puing-puing.

Tapi dari sekian banyak foto itu, foto petugas menyemprot air melalui celah pintu besi (folding gate) yang tertutup, sungguh sangat mengesankan. Bukan soal bagaimana petugas berusaha memadamkan sisa-sisa api yang masih menyala. Juga bukan soal keberanian petugas tersebut.
Yang mengesankan saya adalah soal pintu yang dikunci. Menurut informasi Ulla dari petugas pemadam kebakaran, pintu dikunci telah membuat petugas agak susah melakukan penyemprotan ke dalam. Dan karena itulah api yang menyala Kamis itu, belum sepenuhnya padam hingga Jumat pagi. Api masih menyala di dalam bangunan di lantai bawah.
Pintu ruko dikunci pemilik ketika melarikan diri, karena mereka ingin menghindari penjarahan. Kemungkinan penjarahan sangat besar terjadi pada saat kebakaran. Sering sekali terjadi, di saat orang sibuk memadamkan api, di samping beberapa orang sibuk menyelamatkan harta benda, ada orang yang memanfaatkan kesempatan. Mencuri. Mereka ikut mengangkut harta milik korban kebakaran, seperti orang menolong, namun, sebenarnya mereka mengangkut harta orang dan tak mengembalikannya.
Inilah watak tercela orang-orang kita: suka aji mumpung. Melihat ada kesempatan, mengetahui orang lain lengah mereka bergerilya. Mereka tidak sedikitpun berempati terhadap penderitaan orang yang sedang mengalami musibah. Seboleh-boleh mereka menambah penderitaan itu. Mereka tidak peduli pada orang yang kehilangan rumah, kehilangan harta benda, malah, mereka menambahnya. Mereka tidak memiliki perasaan.
Jadi untuk menghindari kemungkinan inilah, pemilik mengunci pintu ruko mereka. Agaknya, pemilik berpikir daripada barang mereka menjadi sasaran pencurian, dari pada barang mereka diangkut orang, lebih baik barang dimakan api. Daripada mengenyangkan perut orang lebih baik memberi makan api.
Walaupun amat prihatin pada musibah yang menimpa mereka para korban itu, namun sikap mereka juga membuat prihatin. Prinsip dan cara berpikir seperti ini rasanya agak kurang sesuai dalam konteks hidup berdampingan, bersama.
Ah, andai ada orang yang bisa berprinsip: ambillah dari apa yang saya miliki pada saat-saat terakhir. Daripada dimakan api lebih baik dimakan manusia. Dimakan api pasti musnah, dimakan manusia tentu akan menjadi darah daging. Dimakan api akan jadi sia-sia, dimakan manusia akan menjadi ‘modal sosial’ dan ‘modal masa depan’.
Tetapi sebaliknya lagi saya segera menyadari, bahwa saya hanya pandai prihatin pada penderitaan orang. Saya hanya pandai meluahkan rasa mual kepada orang yang otaknya dipenuhi nafsu menjarah.
Pada akhirnya, saya hanya bisa menikmati gambar yang disajikan, melihat dari konteks sebagai seorang jurnalis. (5/2/2011) (*)



Baca Selengkapnya...

Inspirasi dari Borneo

Oleh: Farninda Aditya

Sabtu (22/01/11), di club menulis. Pertemuan kali ini, pembahasanya sama dengan minggu sebelumnya. Menulis resensi buku. Salah satu cara mudah untuk meresensi ialah membaca pengantar penulis. Karena, kita akan mendapat informasi, mengenai tujuan penulisan, kelebihan, jenis tulisan atau kekuranganya. Tapi perlu diingat. Hal ini bukan berarti kita mengambil isi pengantar sebagai tulisan dalam resensi.
Setiap orang membaca pengantar buku yang telah dipilihnya. Saya membaca buku, Inspirasi dari Borneo. Buku terbitan STAIN Press, yang berisi tulisan dari rubrik Suara Enggang di harian Borneo Tribune karya Yusriadi.
Benar, saya mendapatkan tujuan dari penerbitan buku, melalui kata pengantar itu. Buku ini memang kisah nyata, yang dialami oleh penulis. Kisah-kisah yang berasal lingkungan sekitar. Namun, kisah ini menyajikan gagasan-gagasan yang memberi inspirasi. Si penulis juga mendapat inspirasi menulis dari kisah yang dialaminya. Penulis bilang, gagasan yang ia dapati tak perlu disimpan sendiri, baik untuk dibagikan. Ingin yang lainnya ikut terispirasi.
“Ada banyak gagasan yang ingin disampaikan. Ada banyak pembelajaran yang dipesankan. Dan, ada banyak impian yang diidam-idamkan. Makanya, gagasan, pembelajaran dan impian tak boleh disimpan sendiri. Harus dibagikan dan dikongsi kepada orang lain,” begitu kata pengantar penulis.
Buku itu, terbagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah Inspirasi dari Kampung. Inspirasi dari kampung, terbagi lagi dalam beberapa kisah. Seingat saya ada inspirasi yang berasal dari Sanggau Permai dan belajar dari orang Teluk Bakung.
Bagian kedua, Inspirasi dari Kota. Kisah yang berasal dari kota. Ada, Kampanye Menulis di SDN 20 Pontianak. Salah satu SD yang terkenal dengan kebersihanya di Kota Pontianak. Sekolah ini mendapat penghargaan dari bapak presiden SBY, karena berhasil menjaga kebersihan di lingkungan sekolahnya.
Bagian ketiga, ialah Inspirasi dari Masyarakat. Ya, memang banyak kisah-kisah menarik dari masyarakat kita. Terutama perpektif mereka. Misalnya; Kisah batu dalam celana. Salah satu cara, yang dipercayai masyarakat Pontianak sebagai penahan atau menunda si pengguna batu dalam celana untuk buang air.
Bagian ke empat, Inspirasi dari Kata. Katanya, bagian dari inspirasi ini ingin menunjukan bahwa ada kata dan rangkaian kata yang digunakan orang memiliki implikasi. Misalnya saja Kondom. Secara umum, dijual di apotik atau toko obat. Tapi, kondom yang dikisahkan. Kondom yang dijual di conter HP. Sederhana saja kisah-kisah yang dipaparkan oleh, penulis. Tapi, kisah sederhana itu berhasil mengundang inspirasi. Saya berani, berkata ini. Karena saya sudah mendapatkan inspirasi dari tulisan tersebut. Si penulis, berhasil. Berhasil menyentak inspirasi saya untuk keluar.
Inspirasi ini sebenarnya sama saja seperti jenis tulisan yang telah dibuat oleh penulis. Saya terinspirasi untuk membuat tulisan yang kisahnya sederhana. Tapi, memberi makna. Jika saya berhasil membuat tulisan seperti itu, saya juga ingin membukukannya. Wow, inspirasi saya keren juga ya?. Pontianak, 22.01.11. SKKP.

Baca Selengkapnya...

Jual Kue Keranjang

Oleh Yusriadi
Borneo Tribune

“Apa dagang macam tu? Macam main-main. Kasih-kasih gitu ja”.
“Kalau dagang yang benar. Barang tu dibungkus. Bersih nampaknya”.
“Kalau kau jual begitu sapa yang mau beli”.
“Omelan” panjang Mak Nyah menyita perhatian saya, saat saya belanja sesuatu di toko pakai dia di kawasan Pontianak Timur.

Hari itu, tepat sore itu, menjelang hari Imlek, saya singgah ke toko Mak Nyah itu, mencari sesuatu. Saya sebut Mak Nyah karena begitulah panggilan orang yang belanja di toko dia. Saya ikut-ikutan orang lain. Dan saya tahu, dia juga akur dengan panggilan itu. Setidaknya dia menyahut sapaan orang pada dirinya.
Saya mendengar Mak Nyah nyerocos panjang. Saya penasaran. Siapa yang diomelinya. Semula saya duga dia marah pada pegawainya. Seorang bos menegur pegawai itu biasa saya dengar. Agar pekerjaan jadi baik. Maklum kadang kala pegawai kurang tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang baik dilakukan.
Rupanya Mak Nyah ngomel pada seorang pemuda yang menjual kue keranjang. Sebelumnya, saya memang sempat melihat pemuda itu datang dengan dua kue keranjang. Satu di tangan kanan dan satu di tangan kiri. Saya hanya mengira ada tawar menawar kue itu karena keduanya berkomunikasi dalam bahasa Cina – saya kira Khek. Saya tidak menyimak benar karena pada saat yang sama saya sedang mencari sesuatu.
Nah, rupanya, perilah pemuda itu menawarkan Mak Nyah kue keranjang dengan cara menyodorkan begitu saja yang bikin hal. Menurut Mak Nyah cara menawarkan seperti itu tidak baik dilakukan; kesannya tidak nyaman dilihat. Orang pun jadi enggan membeli.
Lantas dia memberi tahu bagaimana cara menawarkan barang yang baik.
“Kamu bungkus dahulu, bawa pakai keranjang, baru tawarkan”.
“Iya… iya…”
Pemuda itu tidak membantah. Dia hanya terangguk-angguk. Ter-iya-iya.
Saya dan beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu juga ikut terangguk-angguk. Saya kira semua orang maklum. Maklum bahwa apa yang disampaikan Mak Nyah itu benar, dan sangat benar.
Sering kali cara menjual lebih penting daripada apa yang dijual. Sering kali cara menjual mampu mendongkrak angka penjualan.
Tapi, walaupun saya memahami apa yang disampaikan Mak Nyah kepada penjual muda itu, namun, hingga saya membuat tulisan ini, masih ada tersisa pertanyaan: Mengapa Mak Nyah menyampaikan peringatan (mengajarkan) kepada penjual muda itu dalam bahasa Melayu? Mengapa tidak dalam bahasa Cina (Khek?) – padahal sebelumnya saat pertama datang menawarkan kue keranjang itu keduanya berkomunikasi dalam bahasa Cina.
Apakah lebih mudah bagi Mak Nyah menyampaikan peringatan itu dalam bahasa Melayu – karena dia sering mengajarkan cara berjualan kepada anak buahnya yang saya lihat orang bukan penutur Cina? Apakah dia sengaja menyampaikan dalam bahasa Melayu agar anak buah dia dan orang-orang bukan Tionghoa di situ mengerti? Entahlah. (19/2/2011) (*)



Baca Selengkapnya...

Takut Beli Pertamax Plus

Yusriadi
Borneo Tribune

Kisah bensin langka beberapa waktu lalu menyisakan cerita lucu, sekaligus juga menyedihkan. Teman saya bercerita, di saat susah-susahnya mendapatkan bensin di hari itu, pamannya membeli satu jeriken kecil ukuran 5 liter “Pertamax” yang dijual di pinggir jalan di Pontianak. Dia perlu membeli banyak, sekadar simpan-simpan jika memang minyak habis nanti.

Saat membeli, paman nampaknya senang betul. Senang karena dia memperoleh stok minyak untuk beberapa hari ke depan. 5 liter itu cukup untuk beberapa hari. Jadi, jika dalam beberapa hari bensin betul-betul hilang dari pasaran, atau bensin dijual gila-gilaan di pasar, dia masih dapat berlega rasa.
Ketika sampai di rumah, paman menunjukkan kegembiraannya. “Sambil datang dengan senyum lebar, paman bilang, ‘ni, dapat minyak dah’.
Pada mulanya orang di rumah ikut senang. Tetapi, kemudian mereka jadi terpana ketika melihat ada ada bercak warna pink di jeriken dan menempel juga di tangan paman. Setelah dilihat dengan seksama, tawa mereka pecah. Mereka mentertawakan paman dan mentertawakan kegembiraan paman.
Rupanya, paman telah membeli minyak bensin yang diberi pewarna. Bukan benar-benar Pertamax.
Paman telah membeli bensin yang harganya Rp4500, dan pewarna yang harganya Rp10.500. Jadi hitung-hitung untuk bensin paman keluar uang Rp… Sedangkan untuk pewarna paman membayar Rp52.500.
Nah, sejak mendengar cerita itu saya jadi takut-takut. Khawatir kena juga. Oleh sebab itulah meskipun kemarin bensin ‘susah’ lagi, saya berusaha untuk tidak membeli Pertamax di pinggir jalan.
Selain soal harga yang tidak patut, juga mengkhawatirkan bagaimana pengaruh campuran bensin terhadap mesin. Mesti ada pengaruh, sekalipun mungkin pengaruh itu tidak sama dengan pengaruh kalau bensin dicampur minyak tanah, atau dicampur air seperti yang pernah dilakukan orang yang mencari untung dengan cara yang tidak benar.
Di balik itu, geram rasanya melihat orang berprilaku seperti itu. Jika punya kekuasaan, rasanya pengin menyeret orang yang melakukan itu ke kantor polisi biar dia jera, dan orang lain juga tidak mau ikut-ikutan seperti itu. (26/2/2011) (*)

Baca Selengkapnya...

SMS Suami Istri

Yusriadi
Borneo Tribune

Saya terkesan pada cerita teman yang sedang membongkar rumah dan mengemas bekas bongkaran itu.
Teman saya bercerita bahwa dia mempunyai teman sepasang suami istri yang menawarkan diri membantu memanggul kayu bekas bongkaran rumah. Mereka datang dengan sangat bersahabat dan ramah menawarkan jasanya.

“Abang sudah kami anggap saudara. Masak tengok saudara kecapean pikul beban, kami diam saja. Kami harus bantu,” kata teman mengisahkan kata-kata suami istri itu.
Teman saya bilang ada sebelum suami istri itu datang memang ada banyak orang yang datang menemui saya. Mulai orang biasa hingga orang luar biasa.
« Saya bisa membantu. Tapi, kalau bantu mikul, ya…. Ada upahnya ». Lalu orang itu menyebutkan tarif jasa pikul dia.
Ada juga orang yang katanya selama ini dianggap teman, bukannya membantu, mereka malah membuat beban jadi berat. Mengapa berat, karena teman ini malah banyak omong dan banyak tanya.
“Eh, pikul apa tu?” – padahal dia melihat sendiri apa yang dipikul orang.
“Lho, kok bawa’nya hanya satu batang. Kapan selesainya ?”
“Lho, cara mikulnya kok begitu. Bukan begitu cara pikulnya.”
Ada juga orang yang ditemukannya, bukannya membantu tetapi mereka malah membicarakan apa yang dibongkar rumah dan apa yang dipikul. Walaupun teman bilang tidak mau mendengar, namun, apa yang mereka sampaikan membuat dia risau.
“Ini, jangankan membantu, justru malah bikin tambah berat kerjaan”.
Lalu kata teman tadi, sambil sama-sama memikul bekas bongkaran itu, suami istri itu memberikannya nasehat:
“Ndak usah dipikirkan apa yang orang omongkan. Biarkan saja, nanti juga akan berlalu. Paling sekali dua saja mereka membicarakan tentang apa yang kamu pikul, bagaimana kamu memikul, dll. Setelah itu mereka akan senyap. Sebab mereka punya pekerjaan lain”.
Sang istri juga mengingatkan. “Sabarlah. Cobalah memahami sikap sebagian orang kita yang suka sms. Suka melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang”.
Apa yang diingatkan suami istri itu katanya meresap dalam jiwanya.
Mendengar cerita teman ini, saya teringat, pernah mendengar cerita tenang seorang anak, bapak dan keledainya. Ketika bapak naik keledai dan anak menuntunnya, orang menyalahkan bapak yang tidak kasihan pada sang anak. Ketika anak yang naik keledai dan bapak menuntunnya, orang menyalahkan anak yang tidak kasihan pada bapaknya. Ketika bapak dan anak itu sama-sama naik keledai, orang mengatakan keduanya tidak bertimbang rasa pada keledai yang keberatan membawa beban. Lalu, ketika bapak dan anak itu memilih tidak naik keledai itu, tetapi menuntunnya, orang mengatakan bapak dan anak itu bodoh karena tidak memanfaatkan keledai untuk tunggangan. Jadi, tidak ada yang benar akhirnya. Semua salah. Yang benar adalah, selalu ada orang yang mulutnya ceriwis dan celupar. Selalu ada orang yang lebih suka mengurus urusan orang lain dan menyusahkan orang lain. Tengok saja di sekitar kita. (13/3/2011) (*)

Baca Selengkapnya...

Sejarah Kampung di Pontianak

Oleh: Yusriadi
Borneo Tribune

Pertemuan dengan sejumlah tokoh dan ilmuan di Kalimantan Barat di Pontianak Rabu (6/3) kemarin mengesankan sekali. Saat orang-orang membicarakan tentang sejarah dan dinamika orang Melayu di Kalimantan Barat, seorang tokoh menceritakan bahwa dia pernah menerima kedatangan rombongan mahasiswa dari luar yang bertanya tentang sejarah Kota Pontianak.
Mahasiswa luar itu katanya bukannya bertanya tentang sejarah Pontianak yang pernah orang ditulis, tetapi, mereka bertanya tentang sejarah Pontianak dimulai dari sejarah kampung-kampung yang ada di Pontianak.


Sejarah kampung di Pontianak sama pentingnya dengan sejarah Kota Pontianak. Sebab, Kota Pontianak sesungguhnya terdiri dari kampung-kampung.
“Saya tidak tahu tentang sejarah kampung,” ceritanya.
Cerita tokoh itu membuat saya merenung. Benar. Sejarah Pontianak sudah ditulis. Sudah ada buku yang memuat gambaran sejarah secara umum. Misalnya ada buku yang ditulis oleh peneliti dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Pontianak. Buku itu sudah diterbitkan Romeo Grafika beberapa tahun lalu. Dalam buku itu ada gambaran tentang tahun berdirinya kota Pontianak. Sejarah tentang tokoh-tokoh yang mendirikan kota ini, juga tentang kegiatan ekonomi.
Saya juga pernah membaca buku syair yang menggambarkan dinamika penduduk kota ini pada awal abad ke-20.
Namun, seperti juga yang ditanyakan mahasiswa luar itu kepada tokoh, saya juga merasa masih ada yang kurang.
Saya sangat sependapat dengan pernyataan, bahwa: Pontianak itu sebenarnya terdiri dari kampung-kampung. Sejarah Pontianak, seharusnya sejarah kampung-kampung yang ada di Pontianak.
Lalu, bagaimana dengan sejarah kampung-kampung itu? Belum ada. Belum ada buku yang memuat informasi tentang kapan kampung itu dibuka, siapa yang mendirikan kampung itu, dan bagaimana prosesnya.
Cerita ini mengingatkan saya bahwa penelitian dan informasi mikro sangat penting, dan itu sering dilupakan orang.
Lantas, saya jadi teringat beberapa bulan lalu ketika orang Dayak Kalbar ribut setelah mendengar laporan penelitian Dr. Thamrin Amal Tamagola. Thamrin dituntut karena dia menyebutkan ‘orang Dayak’.
Pada waktu itu saya mencatat ada beberapa komentar yang menanyakan Thamrin. “Dayak yang mana?”
Ya, pertanyaan itu sesungguhnya amat wajar karena Dayak adalah umum. Misalnya, orang yang mengerti akan bingung jika mendengar ada orang yang bilang, “Orang Dayak di Kalimantan tinggal di daratan dan hidup di rumah panjang”.
Orang yang mengerti pasti akan tahu bahwa pernyataan itu umum. Mengapa umum, karena sebenarnya hanya orang Dayak tertentu saja yang masih tinggal di tempat yang disebut daratan. Hanya orang Dayak tertentu yang hidup di rumah panjang. Ya ‘kan? (19/3/2011)(*)

Baca Selengkapnya...

Memberi Merk Kubu Raya

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Hari itu, akhir Februari saya pergi mengunjungi kampung Parit Lambau, Kubu Raya. Kunjungan dilakukan karena saya diajak teman. Bukan karena saya ada rencana ke sana.
Perjalanan cukup jauh juga. Melewati Pontianak Utara, hingga tembus ke persimpangan 28 Oktober. Kami menyusuri jalan sempit, sebagiannya tidak beraspal atau tidak juga bersemen. Jalan tanah kuning.
Perjalanan sukar dan jauh begini selalu saya sukai. Bukan suka karena jalannya yang payah, tetapi suka karena saya selalu berpikir, di balik perjalanan susah itu selalu ada temuan yang menarik.


Dan, benar juga. Ketika sampai di kampung ini saya menemukan banyak hal yang menarik. Banyak hal yang membuat saya kagum dan mendapatkan insprirasi.
Saya sangat terpesona ketika mengunjungi ‘pabrik’ dodol lidah buaya Albarokah. Usaha dodol lidah buaya dirintis seorang pemuda yang tidak suka publikasi. Kawan pernah mengangkat profilnya, tetapi dia tidak mau dipotret. Ya, nama dia tidak begitu penting. Yang penting adalah idenya.
Dia merintis usaha ini sejak beberapa tahun lalu. Semula usahanya berpusat di Kota Pontianak. Tetapi kemudian, dia pindah ke Parit Lambau.
Meskipun di tempat terpencil ini, usahanya maju dan populer. Produknya sudah dipasarkan di kota Pontianak, Jawa dan bahkan Malaysia. Tempat produksinya sudah dikunjungi banyak orang, baik orang seperti saya, maupun orang yang datang untuk belajar. Pengusaha muda ini juga sudah diminta mengajarkan cara produksi dodol lidah buaya di mana-mana. Terakhir dia diundang di Nusa Tenggara untuk mengajarkan orang di sana membuat dodol lidah buaya.
Saya sempat bertemu dengan dia dan kami ngobrol sedikit. Dia mengatakan mendapat keterampilan itu dahulu dari pelatihan. Kemudian dia bekerja pada orang. Lalu, panjang cerita dia membuka usaha sendiri.
Pekerjanya adalah keluarga. Beberapa orang adik dan iparnya membantu. Ada yang mengurus pembelian bahan, membersihkan, mengaduk adonan, dan kemudian memasarkannya. Dari usahanya ini, adik-adiknya bisa kuliah. Seorang adik pengusaha itu sudah sarjana; dan saya sempat menemui sarjana itu saat dia sedang mengaduk tepung di dalam kuali. Seorang lagi adiknya sedang melaksanakan praktik lapangan (PPL) sebagai program kuliah di salah satu perguruan tinggi. Adik yang sedang PPL ini sempat menunjukkan pada saya program pengembangan usaha lidah buaya yang dirintis abangnya itu. Diantara pengembangan usaha sekarang ini adalah kerupuk lidah buaya.
Ketika saya bertanya kepada pengusaha itu, mengapa mereka memilih usaha di kampung di tengah hutan ini, saya mendapat jawaban yang membuat saya melongo takjub. Jawabannya sangat futuristik. Mereka memilih membuka usaha ini karena bahan pendukung produksi mudah diperoleh di sini. Kayu untuk bahan bakar tersedia banyak di hutan. Mereka juga mempertimbangkan tenaga kerja tersedia di sini.
Lebih dari itu, pengusaha mempertimbangkan untuk menciptakan merk produksi. Produk asal Kubu Raya.
Mereka juga pikirkan ke depan. Bahwa suatu saat nanti, bahan produksi yang dibeli di Pontianak, bisa mereka sediakan sendiri. Sang pengusaha sudah mempersiapkan lahan untuk menanam lidah buaya tidak jauh dari tempat mereka.
Saya sangat mengagumi apa yang mereka lakukan dan juga cara mereka berpikir. Oo, andai saja banyak orang bisa melakukan itu dan berpikir seperti itu, pasti kita semua akan makmur. (27/3/2011) (*)

Baca Selengkapnya...

Dilema PKL di Kota Bersinar

Yusriadi, Borneo Metro

Hari itu, Pak Moi, sebut saja begitu, duduk berurai air mata. Lucu juga membuat nelangsa. Lucu karena biasanya, Pak Moi bersuara lantang dan gagah. Jauh dari kesan air mata. Nelangsa karena siapa pun yang berhati halus dan berperasaan pasti tersentuh hatinya melihat orang menangis.

Pak Moi hari itu berusaha melawan anggota Satuan Polisi Pamong Praja, Kota Pontianak. Tapi tak bisa melawan. Dia berusaha bertahan, tapi tak mampu sebab jumlah anggota Sat Pol PP banyak. Sekuat apapun, tak mungkin satu orang menghadapi puluhan orang.



Pak Moi menangis karena tempat jualannya, gerobak, yang biasa diparkir di pinggir jalan sekitar kawasan Tanjungpura ditertibkan petugas.
Dia mencoba melawan karena dia menganggap adalah haknya berusaha. Berjualan rokok, indomie, minuman, adalah pekerjaan baik, ketimbang menjadi pemalak. Ini ada usaha. Bahkan, dia juga berucap, usaha yang dia lakukan memberikan sumbangan terhadap pembangunan ekonomi Kota Pontianak.
Pak Moi juga mencoba melawan karena kerja jualan ini merupakan satu-satunya penyara kehidupan rumah tangganya. Usaha itu begitu mudah dilakukannya setiap hari. Setidaknya dibandingkan sebelumnya, dia dengan susah payah melamar pekerjaan.
Pak Moi pernah kerja menjadi tukang pikul. Dia mengangkut barang orang di kawasan Pasar Tengah. Dia juga pernah bekerja sebagai pengaduk semen, bersama kawan-kawannya, untuk bangunan perumahan. Kerja-kerja ini jauh lebih sakit. Badannya tidak kuat. Tenaganya mulai lemah.
Dia tak dapat menikmati kerja enak sebagai pegawai kantoran. Ijazah SMA tidak dapat dipergunakan. Tidak laku. Atau, setidaknya dia tidak tahu bagaimana cara membuat ijazahnya laku jual.
Lantas, suatu ketika dia berusaha membuat gerobak. Dia jualan kecil-kecilan di pinggir jalan.

***

Mengapa Pak Moi ditertibkan? Karena dia tidak tertib. Pak Moi berjualan di pinggir jalan. Di tempat yang tidak seharusnya. Di tempat yang dilarang. Pemerintah Kota sudah mengeluarkan peraturan: tidak boleh berjualan di atas jalan. Tidak boleh berjualan di atas trotoar. Tak boleh juga berjualan di atas parit.
Namun, pedagang terus menerus bertahan, dan pedagang baru muncul. Mereka bertahan karena berjualan di pinggir jalan merupakan pilihan mudah di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Berjualan di pinggir jalan juga memerlukan modal yang tidak besar. Setidaknya dibandingkan mereka harus memiliki tempat atau menyewa ruko, berusaha di pinggir jalan hanya perlu sedikit modal. Karena sedikit modal inilah maka banyak orang yang bisa merintis bisnis dimulai dari pinggir jalan. Modalnya hanya kemauan.
Tidak perlu juga keterampilan yang pelik-pelik. Tidak perlu juga syarat pendidikan.

***

Pemerintah sebenarnya kasihan. Saya pernah berbicara dengan seorang pejabat di pemerintahan kota Pontianak, beberapa waktu lalu. Katanya, dia tidak bisa bertindak terlalu keras kepada para pedagang kaki lima, karena kegiatan PKL itu merupakan sekolah alam bagi mereka.
Mereka yang menjadi PKL itu hakekatnya mereka yang baru belajar berusaha. Dengan modal sedikit mereka berlajar mengelolanya, mengatur keuangannya. Sekaligus belajar bagaimana menjual dan melayani orang.
“Mereka tidak akan selamanya jadi PKL. Kalau usaha maju pasti mereka ingin cari tempat usaha yang bagus. Takkan selamanya mereka mau hidup di pinggir jalan itu,” katanya.
Tetapi, para PKL juga tidak bisa dibiarkan di pinggir jalan karena tidak selamanya mereka tertib dan bersih. Justru seperti sering dikeluhkan, Kehadiran mereka merusak pemandangan. Mereka membuat kota jadi semerawut. Mereka membuat jalan semakin sempit.
Lalu, kehadiran mereka yang tidak teratur itu dikeluhkan. Komplen muncul dari pengguna jalan. Ketidakpuasan muncul dari orang yang menyukai keindahan dan ketertiban.
Pemerintah membuatkan larang atau pembatasan. Tempat-tempat tertentu boleh, tempat-tempat tertentu dilarang.
Ada beberapa kebijakan pernah dilakukan pemerintah. Pemerintah membuat pasar baru untuk menampung mereka. Ada Pasar Flamboyan untuk menampung PKL di Jalan Tanjungpura. Ada Pasar Pujasera untuk menampung PKL di sekitar Jalan Agus Salim. Ada kios Pattimura untuk pedagang di sekitar Jalan Nusa Indah-Pattimura. Ada Pasar Cempaka untuk pedagang di Jalan Tanjungpura.
Apakah usaha ini berhasil membersihkan PKL? Entahlah. Yang pasti, Sat Pol PP masih disibukkan pada pekerjaan rutin: “Menertibkan PKL”. Petugas masih harus bertindak keras membongkar lapak PKL. Kadang kala, ada perlawanan PKL yang harus mereka hadapi.
Hingga belakangan ini pemerintah membuat kebijakan baru: PKL bongkar sendiri bangunan mereka. Ada uang ganti upah bongkar. Kebijakan ini sangat mulus ketika diterapkan di Jalan Tanjungpura, kawasan Nusa Indah. Kebijakan serupa juga diterapkan saat penertiban PKL di depan Kampus Untan, Jalan Imam Bonjol, Pontianak.
Selain solusi itu, PKL juga memiliki solusi tersendiri dalam menghadapi tindakan Sat Pol PP. Entah siapa yang mengajarkan dan memulai, di kalangan PKL ada bisik-bisik, jika mau aman dari penertiban, sebaiknya minta perlindungan dari Sat Pol PP. Karena itulah kemudian, ada sejumlah PKL yang tergabung dalam kelompok PKL binaan Sat Pol PP. Walaupun kedengaran aneh, karena seharusnya pembinaan kegiatan ekonomi kecil begini sudah ada dinas yang mengurusnya, namun, binaan ini sangat baik bagi PKL. Sebab, kononnya, PKL binaan Sat Pol PP tidak akan terkena gusuran. Jika pun lokasi dagangnya digusur, PKL bisa lebih awal menyelamatkan barang dagangan mereka. Jadi, aman!
Selain Sat Pol PP, PKL yang ingin aman juga bisa mencari perlindungan dari penguasa wilayah usaha. Penguasa itu tergantung wilayahnya. Ada yang di bawah kekuasaan Pak RT. Ada yang di bawah kekuasaan organisasi tertentu, tokoh politik, dan ada juga yang berada di bawah kekuasaan orang keamanan. Jika ada penertiban, penguasa inilah yang melindungi mereka menghadapi Sat Pol PP.
Tetapi, tidak semua orang mendapatkan perlindungan seperti yang diharapkan. Meskipun sesekali Sat Pol PP mengalah karena banyak massa yang melindungi para PKL yang akan ditertibkan, namun, PKL tidak bisa mendapat perlindungan terus menerus dari pelindung mereka. Biaya yang mereka keluarkan relative besar dan itu menyedot modal kerja mereka.
Pada akhirnya, PKL kembali harus menghadapi hukum sendiri. Mereka tidak dapat terus menerus berdiri di bawah pelindung mereka karena PKL itu memang salah. Mereka tidak bisa terus menerus melawan dengan dalih tidak ada perhatian pemerintah, mereka juga tidak bisa terus bertahan dengan dalih belum ada pemberitahuan sebelum penertiban.
Lantas, akhirnya mereka hanya bisa main kucing-kucingan. Contoh permainan kucing-kucingan PKL dan Sat Pol PP terjadi beberapa waktu lalu. Kala itu, Sat Pol PP melakukan penertiban di sepanjang jalan arah parit Sungai Jawi. Kala penertiban, atau tepatnya, kala pasukan penertiban Sat Pol PP tiba di lokasi, tidak ada satu pun pedagang yang buka. Gerobak-berobak yang biasanya ada di pinggir jalan, mereka tarik ke atas jembatan.
Alhasil, saat itu Sat Pol PP tidak bisa menyita gerobak atau lapak PKL.
Lantas, dua jam kemudian, setelah bayangan Sat Pol PP lenyap, satu per satu pedagang kecil ini mulai menarik gerobaknya dari atas jembatan ke bahu jalan. Mereka mula buka usaha seperti biasa.
Mungkin Sat Pol PP tersenyum melihat ulah PKL yang mengakali mereka. Mungkin juga PKL tersenyum karena berhasil mengakali Sat Pol PP. Duh, senangnya melihat mereka bisa saling tersenyum. (3/4/2011)


Baca Selengkapnya...

Pra Sejarah Kalbar

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune



Ketika saya mendapat tugas menulis pra-sejarah Kalbar untuk rencana buku Sejarah Kalbar, saya teringat pada bangunan candi yang tidak bernama di sekitar Negeri Baru, Ketapang. Saya mengunjungi lokasi candi ini beberapa bulan lalu sempena Kongres Kebudayaan Kalbar II di Ketapang.
Awalnya, AA Mering, teman di Borneo Tribune yang mempromosikan candi ini. Dia membuat keingintahuan saya menggelegak ketika memperlihatkan foto candi yang diambilnya, sehari sebelumnya. “Ini lokasi candi, Bang. Kami ke sana kemarin,” katanya sambil memperlihatkan foto di kameranya.
Satu demi satu foto diperlihatkannya. Susunan bata dari tanah liat terlihat jelas, meskipun tidak tinggi, dan meskipun sebagiannya masih terpendam di dalam tanah. “Ahli arkeologi dari Kalsel yakin ini candi karena mereka menemukan ada sumur ini”.
Mering menunjukkan gambar sumur kecil. Bah, Mering berhasil memprovokasi saya. Keinginan saya untuk mengunjungi lokasi itu membuncah. “Saya harus pergi. Rugi jika tidak ke sana!”
Seorang teman orang Ketapang bersedia mendampingi saya mengunjungi lokasi candi itu. Kami sempat putar-putar mencari lokasi itu dan bertanya kepada beberapa orang di mana lokasi itu. Sebab rupanya, orang Ketapang itu belum pernah pergi ke lokasi. Dia mengaku hanya mendengar-dengar saja ada temuan candi. Dan, agaknya selama ini dia tidak tertarik pergi ke tempat yang menurut saya luar biasa itu.
Tidak ada juga penunjuk arah dipasang untuk memberitahu orang di mana lokasi candi ditemukan. Pada akhirnya sampai juga kami di lokasi. Saya melihat lokasi bekas galian dengan takjub. Saya sempat bergumam dalam hati: Inilah candi itu. Inilah tapak penting bagi masa lalu Ketapang.
Lantas saya seperti terlena melihat masa lalu. Saya membayangkan ada bangunan candi megah di sekitar gubuk-gubug beratap daun. Ada menara yang menjulang. Ada dinding bata yang kokoh. Ada warga yang beribadah. Ada kehidupan yang damai. Film Rara Jongrang dengan latar belakang candi Mendut seketika berputar di depan saya. Hayalan itu buyar ketika teman saya mengajak saya bicara. “Masuk ndak?”
Dia mengajak masuk ke dalam lokasi penggalian. Kami menyeruak di antar pagar pembatas. Seorang warga yang tinggal di dekat lokasi menjadi pemandu. Dia ikut dalam tim evakuasi yang terdiri dari professor arkeologi, menggali tanah menemukan reruntuhan. “Dahulu batu-batu seperti ini banyak. Waktu orang bangun masjid di sana, batu ini diangkut, untuk nimbus. Waktu orang buat jalan, batu-batu ini juga dipakai. Diangkut,” kata warga itu.
Wow, sayang sekali. Andai saja batu-batu itu tidak diangkut. Andai saja batu-batu itu disusun…. Mungkin gambaran tentang candi bisa diperoleh dengan lebih jelas. Mungkin, batu-batu itu bisa disusun kembali menjadi bangunan, apapun bentuknya. Tapi, ini sudah kadung. Kini batu-batu bata itu sudah terbungkus semen, sudah tertimbus tanah. Hanya kenangan. Saya melihat persamaan antara candi dengan apa yang saya hadapi sekarang. Tapaknya ada, tapi bentuk utuhnya tidak ada. Hanya gambaran, bayangan. Bentuk utuh perlu disusun kembali. Perlu upaya menggalinya. (2/4/2011) (*)

Baca Selengkapnya...