Selasa, 03 April 2012

Menimang Perahu Demokrat Kalbar

Perahu Demokrat Kalbar menjadi tumpangan politik yang sedang menjadi pusat perhatian. Sejumlah tokoh mendaftarkan diri menumpang perahu ini. Mereka akan dinilai DPP Demokrat: siapa yang layak dialah yang menjadi penumpangnya kelak.
Seperti diberitakan, tokoh yang mendaftar menggunakan perahu ini ada belasan orang. Dari jumlah itu, terdapat nama Cornelis, Armyn Ali Anyang, Tambul Husin. Tiga nama ini selama ini menjadi perbincangan karena kans mereka melaju lebih besar.

Walaupun posisi tidak sama, namun, sebenarnya, dilihat dari sisi peta kekuatan dukungan, Cornelis sudah bisa dipastikan maju. Perahu PDIP Kalbar cukup besar untuk tumpangan politik. Sementara Tambul Husin kononnya sudah memiliki gandengan perahu politik, sekalipun gandengan itu adalah perahu-perahu kecil. Perahu yang benarnya agak rentang oleh ombak dan gelombang.
Sedangkan Armyn, sejauh ini masih belum dipastikan tumpangannya. Partai yang disebut-sebut akan memberikan tumpangan padanya masih belum menyatakan secara pasti dan terbuka. Peluang Armyn menumpang perahu sedang besar ini sangat terbuka, meskipun kemungkinan tidak jadi juga ada. Oleh sebab itu, dilihat dari sudut ini, tumpangan Demokrat menjadi sangat penting bagi Armyn.
Tetapi, tentu dunia politik dipenuhi intrik dan maneuver. Perubahan sikap dalam politik biasa terjadi sebelum keputusan diambil. Bahkan, sering orang mengingatkan perubahan politik bisa berlaku dari menit ke menit. Bukan lagi dari bulan ke bulan atau dari pekan ke pekan.
Dunia politik juga mengandalkan perhitungan cermat dan detail. Termasuk perhitungan fulus. Orang sering mengaitkan politik dengan biaya politik. Orang sering mengatakan politik mempertimbangan keuntungan, dan keuntungan yang paling dominan ditimbang adalah keuntungan financial.
Perahu politik ada mesin politiknya. Dan mesin politik itu digerakkan dengan ‘minyak’ yang harus dibeli dengan uang. Minyak itu kadang kala hitungan miliaran rupiah.
Oleh sebab itu, sering kali harus dimaklumi bahwa perkara tumpangan menuju kursi kekuasaan dan idaman, bukan soal apakah perahu politik itu sudah bermuatan atau masih kosong. Bukan juga soal kasihan atau tidak karena calon penumpang itu belum ada tumpangan. Bukan juga soal kualitas orang yang akan diberikan tumpangan dan kapasitas kemenangan yang akan diraih kelak.
Kita perlu mengingatkan semua ini agar ekspektasi kita tidak terlalu muluk kepada Demokrat, dan juga kepada partai politik lain. Mudah-mudahan kelak tidak ada rasa kecewa yang mendalam jika keputusan berbeda dari harapan.
Namun, senyampang dengan itu, kita juga perlu mengingatkan para politisi yang ada di partai untuk mempertimbangankan harapan dan ekspektasi masyarakat yang menginginkan perahu politik ditumpangkan untuk calon yang memang memiliki kapasitas kepemimpinan, lebih besar ketimbang mereka memberikan tumpangan untuk calon penumpang yang mampu membeli minyak untuk mesin politik lebih banyak. Semoga.

Baca Selengkapnya...

Catatan untuk Koalisi PPP, PAN, PBR, PKS dan Hanura di Pilgub 2012

PPP, PAN, PBR, PKS dan Hanura sudah mendeklarasikan diri akan berkoalisi di Pilgub Kalbar 2012. Mereka akan mengusung calon yang sama dalam pesta demokrasi tersebut.
Deklarasi ini memastikan rumors yang beredar selama ini bahwa partai-partai menengah ini akan mengusung satu calon dalam Pilgub mendatang. Partai menengah ini tidak akan berkoalisi dengan partai besar yang sudah pasti akan mengusung calon sendiri.


Siapa calon itu? Semuanya masih dalam proses penyaringan. Partai-partai ini sedang membuka pendaftaran calon. Calon yang mendaftar ini kelak akan diseleksi dan kemudian maju menggunakan perahu koalisi.
Meskipun belum ada nama calon yang akan menumpang perahu ini, namun, petinggi partai sudah membuat criteria calon. Ada criteria tertentu yang harus dipenuhi.
Melihat criteria yang ditetapkan kita berharap agar bisa terpenuhi. Kita juga menginginkan partai-partai bisa mengurung orang terbaik, sehingga pada akhirnya masyarakat juga bisa memilih orang terbaik. Masyarakat tidak akan bisa memilih calon terbaik jika orang yang diusung partai bukan orang yang terbaik. Sebab, apa yang dipilih masyarakat sesungguhnya adalah apa yang sudah dipilih atau disaring oleh partai. Masyarakat hampir tidak punya pilihan jika partai sudah membuat pilihan.
Kita ingin dalam pemilihan gubernur kali ini partai-partai mempertimbangkan kepentingan masyarakat pemilih dan kepentingan Kalbar ke depan. Masyarakat pemilih dan Kalbar ke depan memerlukan figure yang terbaik yang memiliki kapasitas kepemimpinan, memiliki track record yang baik. Figur yang dipilih adalah figure yang beriman, bermoral, professional, aspiratif, popular dan seterusnya, sesuai dengan criteria yang disebutkan elit parpol itu.
Hal seperti ini penting diingatkan karena sering kali dalam seleksi calon, soal-soal seperti itu dilupakan partai. Malah sassus yang terdengar sampai ke ruang public, calon yang ditumpangkan bukan dipilih berdasarkan pertimbangan criteria ideal, tetapi sebaliknya dipilih berdasarkan pada kemampuan financial untuk membayar perahu. Calon yang boleh menumpang hanya calon yang memiliki uang yang banyak atau memiliki modal yang besar. Lantas, calon yang ideal karena kalah modal, akhirnya tidak bisa maju dalam pemilihan.
Semoga Pilgub menghasilkan pemimpin terbaik yang dapat membawa Kalbar lebih maju di masa yang akan datang. Semoga parpol tetap mau mendengar suara rakyat.


Baca Selengkapnya...

Melihat Hubungan Pemerintah dan Rakyat

Demo penolakan terhadap kenaikan harga BBM yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini menunjukkan hal yang penting soal hubungan antara pemerintah dan rakyat. Pemerintah mengatakan kenaikan harus dilakukan agar APBN tidak jebol, sedangkan rakyat menolak kenaikan itu karena menganggap bahwa masih ada pilihan lain selain kenaikan itu.

Kini, kedua sikap itu bertemu di ruang public. Sikap mana yang kelak akan menjadi putusan akhir saat pengesahan APBN Perubahan di Senayan, masih ditunggu perkembangannya.
Jika pemerintah benar, mengapa rakyat tidak memahami kebenaran itu? Kenapa pemerintah tidak bisa meyakinkan rakyat mengenai kebenaran itu? Sejauh mana pemerintah berusaha meyakinkan rakyat mengenai kebijakan itu?
Jika rakyat yang benar, mengapa suara itu tidak bisa menyadarkan pemerintah sehingga akhirnya mereka dapat menampung suara rakyat? Mengapa suara rakyat hanya didengar sesekali saja terutama saat pemilihan umum?
Sebaliknya, jika pemerintah salah perhitungan seperti ditunjukkan sejumlah pengamat perminyakan dan politisi, mengapa pemerintah tidak mau mundur dari kebijakan itu? Mengapa pemerintah bersikukuh dengan kebijakan itu?
Atau, jika rakyat salah, mengapa mereka tidak mau berlapang dada menerima keputusan pahit soal kenaikan harga minyak dan harga barang? Mengapa mereka masih ngotot seakan-akan mereka mengerti soal keuangan Negara?
Sesungguhnya banyak lagi persoalan yang menarik dilihat dalam konteks ini. Kita merasakan bahwa apa yang terjadi sekarang penuh teka teki; sesuatu yang sulit dipahami.
Kita berharap apapun keputusan akhir, semoga keputusan itu menjadi pilihan yang terbaik untuk bangsa ini; baik untuk pemerintah dan baik untuk rakyat. Kita juga berharap apapun keputusan akhir, diterima dengan lapang karena mungkin begitulah pilihan yang dapat diambil pemerintah saat ini.
Keributan tidak pernah akan menyelesaikan masalah. Justru sebaliknya keributan mungkin akan menimbulkan masalah baru. Padahal, kita ingin setiap persoalan diselesaikan agar tidak banyak beban yang harus ditanggung oleh bangsa ini.
Semoga.

Baca Selengkapnya...

Masih Banyak Pekerjaan untuk Mewujudkan Damai di Kalbar

Masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan untuk mewujudkan perdamaian di Kalbar. Berbagai pihak yang mencintai kedamaian dan para pengambil keputusan masih harus memikirkan langkah-langkah mewujudkan perdamaian yang kekal.
Itulah kesan kita ketika menyaksikan ketegangan yang terjadi di Kalbar medio Maret. Peristiwa yang berawal dari sebuah spanduk bertuliskan “Bubarkan FPI di Kalbar” yang hendak diturunkan massa telah melebar menjadi konflik bernuansa etnik dan agama.

Peristiwa yang mulanya terjadi di Jalan Penjara, kemudian meluas di beberapa titik kota dan akhirnya menyeruak ke seantero Kalbar. Kabar yang berkembang bertambah seram dan warga yang mendengarnya menjadi seram dan geram.
Bentrok nyaris membesar dan mengkhawatirkan. Bayangan tentang kerusuhan masa lalu kembali muncul.
Walaupun kemudian konflik tidak meluas, walaupun massa bisa menahan diri dari tindakan yang anarkis, namun, cermin kejadian ini menunjukkan bahwa sentiment etnik dan agama sangat mudah disulut.
Kemarahan terhadap kelompok lain tiba-tiba membesar. Tiba-tiba orang menganggap orang lain yang selama ini hidup berdampingan dengan mereka, menjadi musuh. Tiba-tiba orang ingin membunuh orang lain.
Peristiwa ini menunjukkan betapa mudahnya orang menyatakan perang sekalipun sering kali mereka meniupkan perdamaian dan persaudaraan. Peristiwa ini menunjukkan orang di Kalbar masih mudah kalap dan kehilangan ikatan persaudaraan yang luas.
Apakah solusi yang dapat dilakukan? Menurut kita, pertama, masyarakat Kalbar harus dicerdaskan. Masyarakat Kalbar harus dibuka wawasan tentang provokasi dan bahayanya. Masyarakat harus diajarkan untuk cek dan cek setiap informasi. Tidak mudah percaya pada orang-orang yang menyebarkan apapun informasi.
Soal sekarang adalah bagaimana membuat masyarakat cerdas? Masyarakat bisa dicerdaskan dengan mendorong pendidikan mereka. Masyarakat harus didorong untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin, lebih tinggi dibandingkan keadaan sekarang yang hanya setara tamatan SD.
Bagaimanapun, jika pendidikan masyarakat sudah tinggi, maka mereka tidak akan mudah diasak-asak oleh provokator. Mereka tidak akan mudah diumpan dengan sebungkus rokok, sebungkus nasi kotak atau selembar uang lima puluh ribu.
Kita harapkan semoga semua pihak dapat memainkan peran dalam upaya pencerdasan itu. Semoga Kalbar damai bisa terwujud.


Baca Selengkapnya...

Masih Banyak Pekerjaan untuk Mewujudkan Damai di Kalbar

Masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan untuk mewujudkan perdamaian di Kalbar. Berbagai pihak yang mencintai kedamaian dan para pengambil keputusan masih harus memikirkan langkah-langkah mewujudkan perdamaian yang kekal.
Itulah kesan kita ketika menyaksikan ketegangan yang terjadi di Kalbar medio Maret. Peristiwa yang berawal dari sebuah spanduk bertuliskan “Bubarkan FPI di Kalbar” yang hendak diturunkan massa telah melebar menjadi konflik bernuansa etnik dan agama.

Peristiwa yang mulanya terjadi di Jalan Penjara, kemudian meluas di beberapa titik kota dan akhirnya menyeruak ke seantero Kalbar. Kabar yang berkembang bertambah seram dan warga yang mendengarnya menjadi seram dan geram.
Bentrok nyaris membesar dan mengkhawatirkan. Bayangan tentang kerusuhan masa lalu kembali muncul.
Walaupun kemudian konflik tidak meluas, walaupun massa bisa menahan diri dari tindakan yang anarkis, namun, cermin kejadian ini menunjukkan bahwa sentiment etnik dan agama sangat mudah disulut.
Kemarahan terhadap kelompok lain tiba-tiba membesar. Tiba-tiba orang menganggap orang lain yang selama ini hidup berdampingan dengan mereka, menjadi musuh. Tiba-tiba orang ingin membunuh orang lain.
Peristiwa ini menunjukkan betapa mudahnya orang menyatakan perang sekalipun sering kali mereka meniupkan perdamaian dan persaudaraan. Peristiwa ini menunjukkan orang di Kalbar masih mudah kalap dan kehilangan ikatan persaudaraan yang luas.
Apakah solusi yang dapat dilakukan? Menurut kita, pertama, masyarakat Kalbar harus dicerdaskan. Masyarakat Kalbar harus dibuka wawasan tentang provokasi dan bahayanya. Masyarakat harus diajarkan untuk cek dan cek setiap informasi. Tidak mudah percaya pada orang-orang yang menyebarkan apapun informasi.
Soal sekarang adalah bagaimana membuat masyarakat cerdas? Masyarakat bisa dicerdaskan dengan mendorong pendidikan mereka. Masyarakat harus didorong untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin, lebih tinggi dibandingkan keadaan sekarang yang hanya setara tamatan SD.
Bagaimanapun, jika pendidikan masyarakat sudah tinggi, maka mereka tidak akan mudah diasak-asak oleh provokator. Mereka tidak akan mudah diumpan dengan sebungkus rokok, sebungkus nasi kotak atau selembar uang lima puluh ribu.
Kita harapkan semoga semua pihak dapat memainkan peran dalam upaya pencerdasan itu. Semoga Kalbar damai bisa terwujud.


Baca Selengkapnya...

Gaharu dan Pengembangan Potensi Lokal Kalbar

Seminar internasional tentang budidaya gaharu yang akan dilaksanakan di Singkawang, Sabtu 3 Maret 2012 mendatang seharusnya mendapat perhatian pemerintah kita, terutama instansi terkait di level provinsi dan kabupaten.
Pemerintah kabupaten yang selama ini menjadi sumber produksi gaharu alam – seperti Sintang, Kapuas Hulu, harus tergerak hati untuk berpartisipasi dalam seminar ini, sehingga pada akhirnya diperoleh wawasan baru dengan tukar pengalaman dan menimba ilmu bagaimana membudidayakan gaharu dilakukan.

Dilihat dari para pembicara yang akan hadir -- seperti Dr Ir Tarsoen Warsono,M.Sc Dirjen Kalpataru, Witsawa Sripetkla dari Thailand, Zamakhsyrary Mustapa dari Kuala Lumpur, dan Manshur, SH,MA Ketua Umum Asgarin alias Asosiasi Gaharu Indonesia serta Maruly Manalu sebagai petani lokal yang sukses bertanam gaharu – kiranya tambahan wawasan dan pengalaman pasti bisa diperoleh. Bahkan lebih dari itu, mungkin setelah forum ini daerah-daerah bisa memperoleh pendampingan jika ingin melakukan budidaya tanaman itu.
Kita memang menaruh harapan besar terhadap setiap upaya mendongkrak ekonomi rakyat dengan basis potensi lokal. Upaya seperti ini akan berdampak sangat positif.
Gaharu selama ini tumbuh di banyak tempat di wilayah Kalimantan Barat. Gaharu tumbuh di hutan secara liar. Selama ini satu persatu pohon gaharu dibabat, dicincang batangnya untuk mencari gaharunya.
Masyarakat menjadi gaharu sebagai sumber pendapatan disamping usaha lain. Mereka mengambil sesuatu yang diberikan tuhan di sekitar kampung dan hutan mereka.
Di balik gairah mencari gaharu di beberapa wilayah di Kalbar, masyarakat terbuai. Mereka menebang tetapi lupa menanam. Gaharu yang tumbuh alami mungkin tidak dapat lagi diharapkan banyak di masa-masa yang akan datang. Kenyataan ini membuat masyarakat pada kehilangan sumber pendapatan.
Padahal, seperti dikatakan Dr. Elias Tana Moning, berdasarkan pengalaman di beberapa tempat gaharu juga bisa ditanam. Lahan yang cukup dan cocok memungkinkan gaharu tumbuh dengan baik dan kemudian menjanjikan tambahan pendapatan yang berkelanjutan, dan menjadi sumber pendapatan lain di samping karet.
Kita yakin di kemudian hari jika usaha budi daya ini ditekuni sejak hari ini maka di masa yang akan datang kita akan menikmati hasilnya.

Baca Selengkapnya...

Meningkatkan Kompetensi Guru

Pelaksanaan Ujian Kompetensi Awal (UKA) bagi guru di Indonesia dilaksanakan Sabtu (25/2) kemarin. Pelaksanaan test kompetensi ini dilakukan dalam rangka penerapan Undang-undang nomor 14 tahun 2005 sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan profesi guru menuju ‘’Guru Profesional”’.


Hasil tes memang belum diumumkan karena jawaban-jawaban guru masih akan diperiksa dan dinilai. Namun, melihat bahwa tes yang dilakukan sekarang hanya dilaksanakan tertulis, maka kita pesimis melihat hasilnya. Tes tertulis hanya merepresentasikan pengetahuan guru tentang apa yang ditanyakan pada mereka. Hasil tes tertulis mengandalkan apa yang dapat diingat dalam waktu yang singkat –sepanjang alokasi waktu yang disediakan.
Test tertulis seperti ini tidak akan dapat menggambarkan keterampilan dan sikap guru. Sikap dan keterampilan tergambar pada perbuatan. Pada perilaku sehari-hari. Dan, semua itu memerlukan instrumen penilaian tersendiri dan waktu yang cukup panjang.
Padahal, bicara tentang profesional guru kita bicara juga tentang hubungan guru dengan siswa, kemampuannya memanage kelas, juga hubungannya dengan orang tua siswa. Guru profesional adalah guru yang memiliki semangat mengajar dan memiliki dedikasi untuk tugas-tugasnya sebagai pendidik.
Oleh karena itulah seharusnya evaluasi ini berdasarkan pada keterampilan dan sikap. Sekali lagi bukan pengetahuan.
Mungkin karena itulah sesungguhnya seiring dengan pelaksanaan UKA ini, pemerintah akan memadankan hasil UKA ini dengan program lain untuk guru, yaitu pendidikan dan latihan. Pendidikan dan latihan akan menjadi alternatif yang mungkin dapat diambil dalam konteks ini.
Namun perlu juga dicatat bahwa pelaksanaan pendidikan dan latihan selama ini juga sering kali diragukan hasilnya untuk meningkatkan kapasitas guru. Pelatihan lebih banyak hanya melepaskan kewajiban proyek dibandingkan benar-benar meningkatkan kapasitas guru. Mungkin saatnya dievaluasi sistem, metode dan pemateri pelatihan.
Kita berharap pada akhirnya semua yang diniatkan pemerintah, semua yang diharapkan publik, yaitu lahirnya guru profesional, benar-benar bisa terwujud. Semoga anak-anak bangsa yang akan depan hanya dididik oleh guru yang benar-benar pendidikan.

Baca Selengkapnya...

Menyoal Keterlibatan Tiga Petugas LP dalam Sindikasi Narkoba

Tiga oknum LP: Dwinanto, Ridwansyah dan Ivan sudah dikirim ke BNN Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut. Tiga orang itu diduga terlibat dalam jaringan sindikasi narkoba Mr. Lau, warga negera Malaysia di LP Kelas II Pontianak.
Seperti diberitakan keterlibatan mereka diketahui setelah BNN melakukan inspeksi ke LP dan menemukan adanya peredaran narkoba di sini. Lantas, kasus dikembangkan dan kemudian terkuaklah dugaan keterlibatan tiga petugas LP.

Kita menyampaikan apresiasi atas kerja BNN membongkar kasus ini. Kiranya petugas yang sudah menunjuk usaha yang maksimal berhasil menjalankan tugas ini harus diberikan penghargaan. Jangan sampai kemudian, pekerjaan mereka justru lebih dihargai oleh orang yang tak seharusnya memberikan penghargaan.
Kita memberikan apresiasi karena untuk membongkar jaringan seperti ini bukan mudah. Pasti jaringan seperti ini terproteksi. Tidak mungkin mereka para pelaku berani melakukan pelanggaran kalau mereka tidak merasa akan ada yang melindungi mereka. Sekarang, tentu sangat menarik mengetahui siapa orang yang menurut mereka sangat diandalkan untuk membela mereka? Siapa orang yang berusaha membebaskan dan atau meringankan hukuman mereka? Siapa orang yang selama ini mereka taburkan uang untuk menjaga kepentingan jaringan ini?
Usaha yang sudah dilakukan oleh BNN ini harus dilanjutkan. BNN harus berusaha membongkar jaringan lain misalnya soal maraknya peredaran narkoba di tempat tertentu.
Selain itu setelah kasus ini dilimpahkan, Kejaksaan dan Pengadilan harus memberikan hukuman yang terberat untuk pelaku. Terhadap Mr. Lau yang tidak jera-jeranya melakukan pelanggaran dan tega-teganya merusak masa depan orang di Kalbar, juga terhadap istri dan tiga pegawai LP.
Pegawai LP harus dihukum berat juga. Selain soal narkoba dan mereka sudah pasti tahu bahaya narkoba itu, sebagai petugas mereka telah mengabaikan amanah yang diberikan kepada mereka. Mereka seharusnya membantu warga hunian agar kembali menjadi masyarakat baik, bukan sebaliknya membantu warga hunian untuk tetap melakukan pelanggaran hukum.
Kita juga menganggap bahwa orang-orang yang seharusnya memberikan pengawasan kerja terhadap tiga pegawai ini juga harus dievaluasi. Mungkin atasannya tidak tahu dalam jaringan ini, tetapi, seharusnya mereka ambil tahu. Jika mereka tidak mau mengambil tahu, maka seharusnya jabatan yang disandang mereka diambil saja.
Kementerian Hukum harus menganggap keterlibatan oknum ini merupakan persoalan serius lembaga. Prilaku mereka mencoreng nama lembaga. Aneh sekali orang di lembaga yang seharusnya melakukan pembinaan terhadap warga binaan, ternyata bersikap seperti itu.
Termasuk juga orang-orang yang selama ini menjadi kurir atau diperalat untuk meloloskan barang-barang haram di pintu pemeriksaan. Paling tidak, apa yang terjadi sekarang harusnya menjadi bahan pembelajaran agar persoalan sama tidak terulang di kemudian hari. Pada intinya, orang-orang yang bertanggung jawab harus dimintai pertanggungjawabannya.
Semoga upaya kita membersihkan lingkungan dari narkoba bisa berjalan dengan baik. Semoga lingkungan kita bisa bersih narkoba seperti yang kita harapkan.

Baca Selengkapnya...

Morkes dan Mesin Politik Golkar

Niat Partai Golkar mengusung kadernya sendiri dalam Pemilihan Gubernur Kalbar mendatang sudah kita dengar sejak lama. Namun selama ini persoalan itu kita dengar samar-samar. Meskipun pernyataan itu disampaikan orang-orang penting di Golkar provinsi, tetapi publik masih menganggap semua itu hanya retorika politik saja. Sebuah maneuver yang digemakan untuk menjajal pasar dan meningkatkan nilai tawar.
Publik selama ini meragukan keseriusan Golkar karena kenyataan di lapangan persiapan itu tidak nampak. Morkes yang disebut-sebut akan maju tidak terlihat menyiapkan diri – setidaknya tidak seperti orang yang benar-benar ingin menjadi gubernur. Setidaknya kenyataan ini agak berbeda dibandingkan dengan calon yang selama ini disebut-sebut ingin maju seperti Cornelis, Tambul Husin dan Armyn Alianyang. Publikasi ketiga calon ini dan persiapan mereka di lapangan cukup mencolok.

Lebih dari itu beberapa kali wawancara Borneo Tribune terhadap politisi partai Golkar seperti enggan bersuara dan penuh teka-teki. Kesan menyimpan rahasia dan loyal pada atasan tidak dapat menutup keraguan publik bahwa sebenarnya memang Golkar tidak siap mengusung kadernya sendiri yang lebih menjual. Survey-survey Golkar kononnya sudah dilakukan namun hasilnya juga tidak diketahui. Siapa-siapa tokoh yang disurvey, kapan pelaksana survey dan siapa yang melakukannya tidak diketahui umum.
Karena itulah pernyataan Morkes bahwa Golkar akan mengusung kadernya sendiri dan kesiapan Morkes maju dalam Pilgub mendatang menepikan keraguan yang selama ini muncul. Mungkin, setelah pernyataan dibuat pekan lalu, Golkar akan mulai bergerak seperti yang disebutkan “Golkar akan menghidupkan mesin politiknya”. Agaknya, Golkar menganut prinsip, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Kita berharap bahwa keinginan Morkes maju dan terpilih menjadi kenyataan. Ya, kita hanya bisa melihat dan berharap semoga partisipasi Golkar dalam Pilgub mendatang memberikan dampak yang baik terhadap pendidikan politik rakyat dan juga baik untuk Kalbar; mudah-mudahan juga akan baik bagi Morkes dan Golkar itu sendiri.
Harapan itu perlu kita sampaikan karena kita tidak berharap partisipasi Golkar dalam kacah politik menambah hingar bingar bahang politik dan justru akhirnya membuat gerah. Jangan sampai kehadiran kandidat yang banyak akan membuat mereka saling ‘serang’ untuk melumpuhkan lawan politik.
Kita tidak berharap majunya kandidat dalam Pilgub Kalbar 2012 ini akan menjadi kontra produktif bagi masa depan daerah ini. Cukup sudah perebutan kekuasaan, pertikaian, pelampiasan energy negative kita saksikan. Jika masing-masing kononnya ingin maju agar Kalbar maju, agar masyarakat Kalbar sejahtera dan lebih baik, maka sebaiknya mereka menampilkan cara-cara berpolitik yang santun dan elegan.
Di sisi yang lain kita juga tidak ingin majunya Morkes dan Golkar malah menjadi blunder bagi Morkes dan Golkar itu sendiri. Morkes dan Golkar adalah asset bagi Kalbar. Bagaimanapun kekalahan selalu lebih menyakitkan jika tidak diimbangi dengan kesadaran kemungkinan kalah. Kekalahan akan lebih menyakitkan ketika obsesi memuncak dan mimpi tersangkut di pucuk pohon.

Baca Selengkapnya...

Menyoal Kebijakan Pemerintah Menjelang Kenaikan BBM

Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM per 1 April 2012 nampaknya hampir pasti. Setidaknya dalam sejumlah kesempatan para petinggi negeri ini sudah menyampaikan rencana itu.
Seperti yang disampaikan sejumlah pemerintah dan juga pengamat ekonomi, kenaikan harga BBM bersubsidi tidak bisa ditawar lagi. Suatu keharusan. Pemerintah mengambil sikap itu dengan pertimbangan agar APBN tidak jeblok menanggung subsidi menyusul kenaikan minyak dunia. Jika harga minyak bersubsidi tidak dinaikkan maka Negara akan menanggung subsidi yang besar. Subsidi besar akan sangat tidak sehat untuk Negara ini.

Namun yang menjadi soal adalah mengapa pemerintah mengurakan kenaikan itu jauh-jauh hari? Mengapa orang tertentu di pemerintahan seperti menggunakan kabar kenaikan itu sebagai pengalihan isu dari berbagai isu sentral saat ini?
Tentu saja pertanyaan ini penting diberikan mengingat dua hal. Pertama, sejak kabar ini diumumkan ekonomi bawah sudah bergejolak. Sejak kabar ini disampaikan ke publik harga sejumlah barang sudah naik. Kenaikan terjadi pada barang-barang kebutuhan pokok masyarakat, sekalipun dampak riil dari kebijakan itu sebenarnya belum terjadi.
Kenyataannya sekarang ini spekulan bermain di tengah isu itu. Mereka mendapat alasan untuk menahan barang tertentu dan kemudian melepaskannya dengan menaikkan harga jual. Mereka mendapat untung dari kabar yang disampaikan pemerintah itu.
Malangnya, apa yang spekulan lakukan seperti dibenarkan oleh pemerintah. Pemerintah tidak berkutik di tengah situasi ini. Pemerintah tidak berdaya mengatasi aksi spekulan menaikkan barang. Sudah jelas sikap ini merupakan sesuatu yang agak aneh. Apakah sikap peduli pemerintah terhadap aksi para spekulan ini menunjukkan orang di pemerintahan sebenarnya kurang memperhatikan rakyat, terutama rakyat yang berpenghasilan rendah?
Menurut pendapat kita, seharusnya pemerintah bergerak, karena membiarkan situasi pasar bergerak sendiri akan menyebabkan masalah ekonomi. Setidaknya, pasti inflasi akan tinggi. Pertumbuhan ekonomi akan terganggu.
Kedua, sebenarnya berharap pemerintah belajar dari kenaikan BBM beberapa waktu lalu yang hanya menimbulkan riak kecil di tengah masyarakat. Ketika itu, kenaikan tidak diurakan dan pemerintah juga memilih mengambil kebijakan menaikkannya secara bertahap. Kenaikan waktu itu tidak menimbulkan keterkejutan. Karena itu kenaikan tidak menyebabkan masyarakat kelimpungan.
Apakah kali ini pengambil kebijakan mengambil sikap seperti itu karena mereka menganggap rakyat juga tidak marah karena mereka diam saja? Apakah mereka memilih tidak bersikap karena mereka tahu rakyat juga tidak mengambil sikap yang serius pada mereka? Mari kita jawab dengan renungan.

Baca Selengkapnya...

Meningkatkan Mutu Dosen Indonesia

Oleh: Yusriadi
Saat peserta Jakarta Lawyer Club TVONE sedang mendebatkan soal premanisme di Indonesia, Prof. JE Sahetapy membuat saya terperangah. Profesor yang sangat terkenal dalam dunia hukum pidana ini menyempatkan diri memberi komentar tentang kebijakan Dirjen Pendidikan Tinggi soal jurnal ilmiah bagi mahasiswa. Akademisi ini berpendapat kebijakan ini harus diikuti dengan peningkatan mutu dosen. Karena menurutnya, mutu dosen sekarang ini kurang.

“Bahasa Inggris saja tidak bisa”.
Katanya, kalau dosen sudah bermutu, mahasiswanya tentu akan bermutu juga.
Mendengar komentar itu, saya jadi berpikir, benarkah mutu dosen sekarang ini kurang? Benarkah mengukur mutu dosen itu dari sisi keterampilan berbahasa Inggris? Benarkah dosen bermutu akan melahirkan mahasiswa bermutu?
Mungkin penilaian profesor ini benar. Mungkin memang benar bahwa dosen sekarang ini kurang bermutu. Mungkin juga benar mengukur mutu dosen itu dari keterampilan berbahasa Inggris. Mungkin juga benar bahwa dosen bermutu akan melahirkan mahasiswa bermutu.
Tetapi kalau mengikuti cara berpikir profesor ini, tentu akan ada diskusi panjang soal mutu dosen dan bahasa Inggris. Rasanya, jika dibandingkan dahulu, rasio dosen yang bisa berbahasa Inggris pastilah lebih banyak sekarang ini. Secara kasat mata kita bisa melihat ada pertambahan jumlah yang signifikan orang-orang di sekitar kita yang bisa berbahasa Inggris dibandingkan dahulu, 10 tahun atau 20 tahun lalu. Jadi, kalau mengukur mutu dosen dari bahasa Inggris, maka seharusnya mutu dosen sekarang bukannya kurang, tetapi meningkat.
Belum lagi bicara mutu mahasiswa sekarang. Rasanya, mahasiswa sekarang tak kurang mutunya. Prestasi mahasiswa mencuat di sana- sini. Tidak saja diakui nasional tetapi juga internasional. Saya mengukur mahasiswa di sekitar saya saja: sekarang ini mereka lebih rajin membaca dan menulis. Karya tulisan mereka malah kadang lebih mantap dibandingkan dosen mereka. Banyak mahasiswa yang saya kenal sudah punya buku sendiri. Bandingkan mahasiswa periode saya dahulu. Tidak ada orang di sekitar saya yang mencapai taraf itu!
Tetapi mengingat karya yang saya jadikan ukuran, saya teringat keheranan salah seorang profesor yang mengajari saya Linguistik Komparatif. Dia mengatakan koleganya bernama Profesor Robert Blust salah seorang ahli linguistik komparatif bahasa di Nusantara ini memiliki sedikit terbitan. Padahal temuan-temuannya sering dikutip oleh profesor lain. Kapasitas Robert Blust juga diakui, kedalaman ilmunya disegani. Karena itu jangan mengukur Robert Blust ini dari karya tulisnya.
Lalu? Agaknya saya harus sampai pada kesadaran bahwa penilaian kualitas orang mesti dilakukan dengan hati-hati dan cermat. Menjudge seseorang tidak berkualitas mungkin lebih baik ditahan-tahan dahulu.
Kisah yang pernah diceritakan seorang khatib pada suatu kesempatan mungkin bisa menjadi pembelajaran. Diceritakan seorang nabiyullah yang diminta mencari makhluk yang lebih buruk dibandingkan dirinya. Lalu sang nabi berjalan di pasar. Dia melihat seorang pengemis. Semula dia berpikir pengemis itu lebih buruk dibandingkan dirinya. Ada beberapa perbandingan. Dia ingin membawa pengemis itu. Namun, sebelum niatnya terlaksana dia sempat menepis pikiran itu. Dalam beberapa hal pengemis itu masih lebih baik dibandingkan dirinya.
Dia berjalan lagi. Di perjalanan dia melihat seekor anjing kurap yang mengais-ngais sampah mencari makan. Dia ingin menangkap anjing itu. Dia berpikir, tentu anjing kurap lebih buruk dibandingkan dirinya. Tetapi, sebelum dia sempat menangkap anjing itu sisi lain pikirannya membantah. Tidak, anjing itu lebih baik dibandingkan dirinya.
Pada akhirnya, dia kembali pulang dengan hampa, dan melaporkan bahwa menurutnya tidak ada makhluk lain yang lebih jelek dibandingkan dirinya.
Apa yang terjadi? Justru orang yang memberi perintah memuji sang nabi.
“Untung kamu tidak menemukannya. Kalau kamu mengatakan orang lain lebih buruk dibandingkan kamu, itulah tandanya ada kesombongan di hatimu. Hampir saja kamu termasuk dalam kelompok orang-orang yang sombong”.
Bagaimana kita?

Baca Selengkapnya...

Mendorong Perubahan

Oleh: Yusriadi
Saya sangat terkesan pada diskusi kecil yang kami laksanakan bersama Pak Maladi Noor dan Ibrahim, beberapa bulan lalu. Kedua orang itu adalah dosen yang memiliki pengalaman melakukan bimbingan terhadap mahasiswa. Khususnya Pak Maladi, dia juga memiliki pengalaman dalam soal perencanaan karena pernah berkecimpung di birokrasi. Dia pernah menjadi pejabat Humas di Pemkot Pontianak beberapa tahun lalu. Selain itu, Pak Maladi juga pernah belajar program master di Australia.

Hari itu saya, Pak Maladi Noor dan Ibrahim membicarakan banyak hal berkaitan dengan apa yang harus dilakukan dosen untuk peningkatan kapasitas mahasiswa. Kami membicarakan perubahan metode mengajar dan saling tukar pengalaman bagaimana cara membuat mahasiswa bisa belajar maksimal.
“Kita harus selalu belajar dan menggali pengalaman orang lain dalam hal meningkatkan kualitas pembelajaran. Kasihan mahasiswa datang dan belajar tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa,” kata Pak Maladi bersemangat.
Tapi, meskipun menyetujui perlunya perubahan atau pembaruan dalam mengajar, namun Pak Maladi menekankan bahwa perubahan juga tidak bisa dilakukan serta merta dan drastic. Perubahan yang drastic akan membuat terkejut. Selain itu, perubahan juga tidak perlu buru-buru dilakukan sebelum mengkaji benar-benar apa yang akan diubah.
Nasehat ini mengingatkan sebuah prinsip Khonghucu yang selalu saya kenang. Jangan pernah merobohkan sebuah tembok sebelum kamu tahu untuk apa dahulu tembok itu dibangun. Bisa jadi tembok itu sebenarnya sangat penting untuk melindungi kamu dari ancaman srigala, dll.
Prinsip ini menjadi pegangan dalam menggagas sebuah perubahan, agar tidak menyesal dan tidak salah. Prinsip ini juga akan membuat kita tidak terburu-buru menyalahkan orang lain saat mereka mengambil sebuah keputusan.
Mengabaikan prinsip ini sering kali membuat orang bolak-balik dalam lingkup perubahan yang di situ-situ saja. Trial and error. Bak kata, hari ini mereka merobohkan tembok, lalu beberapa tahun kemudian mereka terpaksa harus membangun tembok itu kembali. Jika yang seperti ini terjadi, jelas perubahan yang digagas hanya menciptakan suasana berbeda dan menumbuhkan dinamika, tetapi tidak memberikan nilai tambah. Justru sebaliknya, keputusan seperti ini rugi dari sisi waktu karena perubahan tidak membuat kemajuan. Bukankah ada prinsip, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Jika hari ini sama dengan hari kemarin, maka kita rugi. Dan, jika hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka kita celaka.
Rasanya, kalau diingat-ingat, kita sekarang ini lebih sering memilih menjadi orang yang rugi dan mungkin sesekali dengan sadar memilih menjadi orang yang celaka.
Lihat saja bagaimana hebatnya kita atau orang di sekitar kita mengeritik sebuah kebijakan dan kemudian mengubah kebijakan itu. Padahal, kita belum benar-benar memahami mengapa dahulu kebijakan itu dibuat. Kita menjadi orang yang sangat getol mengeritik. Pikiran kita dipenuhi dengan keinginan mengeritik, mengeritik dan mengeritik. Kita senang melihat orang terjatuh karena kritik. Kita senang melihat orang terhempas setelah dikritik. Alhasil, kehidupan kita hanya dipenuhi oleh ‘hawa’ itu dan akhirnya kita menjadi sukar untuk bergerak maju.

Baca Selengkapnya...

Ketapang Terasa Berbeda

Oleh: Yusriadi
Selalu ada yang berbeda. Itulah kehidupan. Kehidupan butuh perubahan. Tidak berubah berarti tidak hidup.
Saya menyadari sepenuhnya prinsip itu. Namun, kenyataan yang saya lihat di Ketapang Sabtu lalu, berbeda dibandingkan hari ini. Malah, jauh berbeda. Ketapang hari ini memperlihatkan perubahan yang ketara dibandingkan perubahan yang saya saksikan tahun lalu.


Ya, tahun lalu, saya datang ke Ketapang untuk menghadiri acara Kongres Budaya Kalbar. Acara itu diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. Saya sempat melihat-lihat keadaan kota dan menyaksikan sesuatu yang hampir tidak ketara perbedaan dibandingkan apa yang saya lihat di tahun-tahun 1990-an.
Apa yang sekarang ketara? Ketapang di waktu malam sangat hidup. Setidaknya malam itu, saat berkeliling kota bersama Muzani (teman yang kini menjadi guru di MAN Ketapang), saya melihat di sejumlah ruas jalan di Ketapang ada café-café yang menyajikan aneka makanan dan minuman. Cafe-cafe juga menyajikan hiburan lain. Ada band, ada layar lebar, dll.
Malah, pasar rakyat di kawasan lapangan Sepakat, menjadi pasar malam yang luar biasa ramainya. Meja dan kursi bersusun padat. Jumlahnya, tak dapat saya menghitung. Rasanya, seantero wilayah di Kalbar, kawasan pasar itulah yang paling ramai.
Kemajuan seperti ini menunjukkan gairah ekonomi dan kehidupan masyarakat. Cafe banyak menunjukkan banyak orang yang datang berkunjung. Banyak juga uang yang masuk untuk empunya.
Saya semakin yakin pada pertumbuhan ekonomi di tengah masyarakat Ketapang ketika saya menyaksikan ada hotel berkelas. Aston. Dan ada banyak penerbangan komersil. Ketapang - Pontianak ada dua maskapai penerbangan dalam waktu sehari dua kali. Selain itu ada penerbangan Ketapang Pangkalan Bun dan Ketapang – Semarang. Kabarnya juga akan ada Ketapang – Nanga Pinoh (Sintang?). Dan ada penerbangan Ketapang – Manis Mata.
”Ini satu-satu penerbangan lokal antar kota kabupaten ke kecamatan,” kata teman saya.
Pesawatnya cukup besar. Saya naik salah satu pesawat itu.
Di Ketapang juga sudah banyak bank dan ATM.
Ada juga perguruan tinggi di sini. Selain Alhaud yang saya kebetulan saya kunjungi, di Ketapang juga ada Politeknik dan Akademik Kebidanan.
Pertumbuhan ini membuat saya pangling. Semoga pertumbuhan ini terus berlangsung dan akhirnya Ketapang menjadi salah satu kota besar dan rakyatnya maju.

Baca Selengkapnya...

Filosofi Tanam Durian

Oleh: Yusriadi
Seorang dosen mengingatkan saya pada “filosofi menanam durian” saat kami berbincang tentang pencapaian dan prestasi dalam hidup.
Katanya, kita hidup mesti selalu ingat dengan filosofi orang tua dahulu ketika menaman durian. Orang tua dahulu ketika menanam durian di bekas ladangnya sering kali tidak berpikir apakah kelak dia akan makan durian yang dia tanam atau tidak.
“Dia tanam saja ketika melihat ada lahan kosong, melihat ada bibit atau biji”.
Lalu, bibit durian yang dia tanam tumbuh. Dia pelihara.

Tetapi sering kali, orang tua yang menanam itu tidak bisa memakannya. Karena dia sudah semakin tua saat durian berbuah, karena dia kolestrol tinggi, mungkin juga karena dia sudah meninggal. Orang tua tidak terlalu memikirkan diri sendiri soal menanam itu.
Jika dia memikirkan diri sendiri mungkin dia tidak akan mau menanamnya, karena besar kemungkinan dia tidak bisa menikmati apa yang dia tanam. Yang menikmati adalah anak cucunya. Bahkan mungkin, orang lain yang tidak dikenalnya.
“Begitulah filosofinya. Dalam kehidupan kita, sebisa mungkin kita berpikir seperti orang tua itu, menanam untuk anak cucu, tanpa memikirkan diri sendiri”.
Sembari sang dosen menceritakan perjalanan hidupnya untuk menguatkan konsep filosofi menanam durian, saya teringat nasehat yang diberikan bapak saya.
Dahulu, waktu saya masih muda, bapak saya juga pernah menasehatkan hal yang kurang lebih sama. Bapak selalu mengingatkan bekerja dengan ikhlas. Bekerjalah sebisa mungkin, tidak memikirkan imbalan yang diperoleh dari pekerjaan itu. Jangan pikirkan akan mendapatkan apa. Jangan pikirkan akan diberi apa.
“Insya Allah, jika kerja bagus maka kamu akan dapat hasilnya. Jika tidak sekarang nanti. Kerja jangan bereken”.
Nanti, maksudnya adalah besok, lusa, minggu depan, bulan depan, mungkin tahun depan. Mungkin juga nanti setelah meninggal. Kata bapak, urusan imbalan itu tidak usah dipikirkan karena itu urusan Tuhan. Tuhan Maha Tahu.
Orang tidak akan bahagia hidupnya jika dia memikirkan imbalan saat bekerja. Karena dengan begitu dia tidak dapat menikmati pekerjaannya. Bahkan mungkin pekerjaan yang dilakukan karena imbalan akan mendatangkan beban. Beban itu membuat orang tidak dapat menikmati pekerjaan. Orang yang tidak dapat menikmati pekerjaan dia akan menderita. Tidak bisa bahagia.
Teringatlah saya pada nasehat Mario Teguh yang saya tonton pada acara Golden Ways di Metro TV beberapa waktu lalu. Katanya, pekerjaan harus dinikmati. Ikhlaslah saat bekerja. Jika ikhlas, kita akan bahagia. Dia juga mengingatkan kebahagiaan itu ada dalam proses, bukan pada tujuan.






Baca Selengkapnya...

Meningkatkan Mutu Dosen Indonesia

Oleh: Yusriadi
Saat peserta Jakarta Lawyer Club TVONE sedang mendebatkan soal premanisme di Indonesia, Prof. JE Sahetapy membuat saya terperangah. Profesor yang sangat terkenal dalam dunia hukum pidana ini menyempatkan diri memberi komentar tentang kebijakan Dirjen Pendidikan Tinggi soal jurnal ilmiah bagi mahasiswa. Akademisi ini berpendapat kebijakan ini harus diikuti dengan peningkatan mutu dosen. Karena menurutnya, mutu dosen sekarang ini kurang.
“Bahasa Inggris saja tidak bisa”.

Katanya, kalau dosen sudah bermutu, mahasiswanya tentu akan bermutu juga.
Mendengar komentar itu, saya jadi berpikir, benarkah mutu dosen sekarang ini kurang? Benarkah mengukur mutu dosen itu dari sisi keterampilan berbahasa Inggris? Benarkah dosen bermutu akan melahirkan mahasiswa bermutu?
Mungkin penilaian profesor ini benar. Mungkin memang benar bahwa dosen sekarang ini kurang bermutu. Mungkin juga benar mengukur mutu dosen itu dari keterampilan berbahasa Inggris. Mungkin juga benar bahwa dosen bermutu akan melahirkan mahasiswa bermutu.
Tetapi kalau mengikuti cara berpikir profesor ini, tentu akan ada diskusi panjang soal mutu dosen dan bahasa Inggris. Rasanya, jika dibandingkan dahulu, rasio dosen yang bisa berbahasa Inggris pastilah lebih banyak sekarang ini. Secara kasat mata kita bisa melihat ada pertambahan jumlah yang signifikan orang-orang di sekitar kita yang bisa berbahasa Inggris dibandingkan dahulu, 10 tahun atau 20 tahun lalu. Jadi, kalau mengukur mutu dosen dari bahasa Inggris, maka seharusnya mutu dosen sekarang bukannya kurang, tetapi meningkat.
Belum lagi bicara mutu mahasiswa sekarang. Rasanya, mahasiswa sekarang tak kurang mutunya. Prestasi mahasiswa mencuat di sana- sini. Tidak saja diakui nasional tetapi juga internasional. Saya mengukur mahasiswa di sekitar saya saja: sekarang ini mereka lebih rajin membaca dan menulis. Karya tulisan mereka malah kadang lebih mantap dibandingkan dosen mereka. Banyak mahasiswa yang saya kenal sudah punya buku sendiri. Bandingkan mahasiswa periode saya dahulu. Tidak ada orang di sekitar saya yang mencapai taraf itu!
Tetapi mengingat karya yang saya jadikan ukuran, saya teringat keheranan salah seorang profesor yang mengajari saya Linguistik Komparatif. Dia mengatakan koleganya bernama Profesor Robert Blust salah seorang ahli linguistik komparatif bahasa di Nusantara ini memiliki sedikit terbitan. Padahal temuan-temuannya sering dikutip oleh profesor lain. Kapasitas Robert Blust juga diakui, kedalaman ilmunya disegani. Karena itu jangan mengukur Robert Blust ini dari karya tulisnya.
Lalu? Agaknya saya harus sampai pada kesadaran bahwa penilaian kualitas orang mesti dilakukan dengan hati-hati dan cermat. Menjudge seseorang tidak berkualitas mungkin lebih baik ditahan-tahan dahulu.
Kisah yang pernah diceritakan seorang khatib pada suatu kesempatan mungkin bisa menjadi pembelajaran. Diceritakan seorang nabiyullah yang diminta mencari makhluk yang lebih buruk dibandingkan dirinya. Lalu sang nabi berjalan di pasar. Dia melihat seorang pengemis. Semula dia berpikir pengemis itu lebih buruk dibandingkan dirinya. Ada beberapa perbandingan. Dia ingin membawa pengemis itu. Namun, sebelum niatnya terlaksana dia sempat menepis pikiran itu. Dalam beberapa hal pengemis itu masih lebih baik dibandingkan dirinya.
Dia berjalan lagi. Di perjalanan dia melihat seekor anjing kurap yang mengais-ngais sampah mencari makan. Dia ingin menangkap anjing itu. Dia berpikir, tentu anjing kurap lebih buruk dibandingkan dirinya. Tetapi, sebelum dia sempat menangkap anjing itu sisi lain pikirannya membantah. Tidak, anjing itu lebih baik dibandingkan dirinya.
Pada akhirnya, dia kembali pulang dengan hampa, dan melaporkan bahwa menurutnya tidak ada makhluk lain yang lebih jelek dibandingkan dirinya.
Apa yang terjadi? Justru orang yang memberi perintah memuji sang nabi.
“Untung kamu tidak menemukannya. Kalau kamu mengatakan orang lain lebih buruk dibandingkan kamu, itulah tandanya ada kesombongan di hatimu. Hampir saja kamu termasuk dalam kelompok orang-orang yang sombong”.
Bagaimana kita?

Baca Selengkapnya...

Mengapa Menolak Sawit?

Oleh: Yusriadi

Saya bertemu dengan seorang teman lama kemarin. Dia menceritakan, saat ini dia sedang mengumpulkan berita koran tentang sawit. Dia ingin mendalami soal itu.
”Di kampung kami sekarang sedang rame soal sawit. Saya mau tahu”.
Panjang cerita, ternyata teman ini termasuk kelompok muda yang menolak sawit. Sawit menurutnya tidak bagus. Merusak alam dan menyengsarakan rakyat.
”Kalau sudah ditanami sawit tanah jadi mati. Tak ada tanaman yang tumbuh”.

”Wah”. Saya berguman dalam hati.
Sudah lama saya mendengar orang menolak sawit. Ada yang menolak sawit karena mereka menilai sawit merusak lingkungan. Sawit memerlukan banyak air sehingga air di sekitar akan kering. Sawit membunuh tanah, sehingga tanah di sekitar tanaman sawit akan ’mati’ dan tak ada tanaman yang mau tumbuh.
Ada yang menolak sawit karena perusahaan sawit mengambil tanah rakyat. Perusahaan sawit membuat rakyat lokal menjadi buruh kasar, sedangkan sektor kerja kantoran perusahaan ditangani tenaga kerja luar.
Ada yang menolak sawit karena truk-truk sawit yang lalu lalang merusak jalan. Truk bermuatan tandan buah sawit telah membuat lubang-lubang jalan.
Ada lagi yang menolak sawit karena perusahaan sawit membeli sawit warga dengan harga murah. Masyarakat merasa percuma dan kemudian marah.
Pokoknya, ada bermacam-macam alasan yang pernah saya dengar berkaitan dengan sikap anti sawit. Karena itu saya ingin mendengar kelanjutan cerita teman soal sawit.
Di tengah cerita panjang itu, tiba-tiba terlintas dalam bayangan saya pohon sawit di sepanjang paralel tol di Pontianak. Antara jembatan Kapuas I dan Tol Landak terdapat pohon sawit, di kiri dan kanan jalan.
”Tapi mengapa di bawah pohon sawit di kiri kanan paralel tol bisa banyak yang tumbuh? Macam.”
Dahulu, beberapa tahun lalu, yang tumbuh di bawah pohon sawit di kota itu hanya jenis rumput liar. Lalu, hari demi hari yang tak teramati, tiba-tiba di sana tumbuh gubuk-gubuk kecil yang menjadi kios tempat orang usaha. Ada yang usaha bengkel. Ada usaha minuman. Di beberapa pohon sawit yang lain tumbuh bunga, bambu dan bahkan pisang.
”Bisa gak masih tumbuh”.
Teman saya tercenung mendengar saya membantah argumentasi dia dengan memaparkan contoh itu.
”Eh, iya ke?” Dia mulai ragu.
”He.eh, benar. Kalau tak percaya tengok ke sana. Lewat lampu merah ke Tanjung Raya, sudah nampak pohon sawitnya”.
Contoh apa yang terjadi di bawah pohon sawit di paralel tol memang contoh yang paling lengkap untuk mencerminkan apa yang bisa tumbuh di bawah pohon sawit. Contoh ini merupakan antitesis terhadap tesis yang mengatakan sawit tidak baik dan menyengsarakan.
Mungkin saya tidak sependapat dengan pandangan itu karena saya terlalu terpengaruh oleh pandangan beberapa orang teman yang mengatakan bahwa usaha sawit menguntungkan. Orang yang memiliki kebun kelapa sawit hidupnya lebih enak: pemeliharaannya tidak terlalu rumit. Jika sudah masanya, panen juga sesekali. Karena itu teman pegawai negeri di kampung-kampung yang dekat perkebunan sawit pasti memiliki investasi di kebun ini untuk masa depan, untuk pergi haji, untuk tambahan pendapatan agar anak bisa sekolah setinggi-tingginya, untuk lain-lain.
Malah mereka mengajak saya. ”Jika mau enak di hari tua, kamu investasi sawit saja. Biar saya urus”.
Hm.... benar gak ya?

Baca Selengkapnya...

Trauma Kerusuhan di Kalbar

Oleh: Yusriadi
Kamis (15/3/2012) kemarin, ketegangan dirasakan orang Kalbar. Gerakan dan aksi massa jalan di kota Pontianak telah menimbulkan kekhawatir dan rasa cemas. Ditambah lagi dengan isu yang bermacam-macam, yang menyeramkan, yang muncul setelah aksi itu dilakukan.
Sebagian besar itu berkembang melalui pesan singkat (SMS), sebagian lagi melalui jejak di dinding facebook dan twitter.

Teman saya bilang informasi itu telah membuat dia seram. Informasi itu juga telah membuat keluarga mereka di mana-mana menjadi takut. Trauma kerusuhan dahulu lantas membayang kembali. Kerusuhan, kebakaran, kematian, menjadi bayang-bayang yang mengkhawatirkan.
Orang yang normal rasanya pasti tidak ingin rusuh. Tidak ingin ribut. Tak ingin juga berkelahi. Semua orang ingin damai. Hidup bisa normal dan berjalan lancar.
Sudah tentu apa yang terjadi di Pontianak dalam sehari dua itu tidak diinginkan orang. Orang tak ingin melihat massa bergerak dengan senjata. Orang tak ingin melihat massa marah. Orang tak ingin melihat ada darah tumpah. Pokoknya, jangan ada kemarahan dan jangan membuat siapapun marah.
Semoga ketegangan cepat mereda. Agar rasa aman datang seperti sedia kala.
Karena itu kita memberikan apresiasi terhadap pihak keamanan yang memfasilitasi pertemuan tokoh dari berbagai elemen agar duduk bersama dan bicara bersama membicarakan bagaimana memelihara situasi kondusif. Pihak keamanan mengeluarkan imbauan. Melalui media cetak dan elektronik. Melalui pengumuman langsung dan “face to face”.
Tetapi, selain itu, seperti yang banyak disuarakan, akar persoalan juga harus ditangani. Jadi bukan saja memadamkan api yang sudah menyala, aparat keamanan harus mengamankan sumber yang mendatangkan api, sehingga dengan demikian api itu tidak akan menyebabkan kebakaran lagi di lain waktu. Pihak keamanan sudah diberitahu sumbernya.
Semoga saja usaha ini berhasil. Berhasil dengan baik dan riak-riak yang muncul bisa tenang kembali. Titik-titik kemarahan bisa mereda. Senyampang dengan itu, mudah-mudahan ada langkah yang nyata yang bisa diambil agar permusuhan yang sempat terumbar bisa ditangani, kekecewaan yang sempat diungkapkan bisa diobati. Mari damai dan hidup berdampingan dengan tenang. Mari rawat situasi Kalbar yang kita cintai ini.

Baca Selengkapnya...

Minggu, 19 Februari 2012

Pabrik Arak dan Support Bupati Setiman

Oleh: Yusriadi

Saya mengandai. Melihat sebuah bangunan megah di luar kota Sanggau beberapa tahun yang akan datang. Orang masuk dan keluar dari bangunan itu. Orang masuk dan keluar untuk mendukung produksi arak. Lalu, ada mobil pengangkut peti-peti bersegel dengan tulisan: ‘Arak Made In Sanggau’.

Saya seperti melihat di toko-toko, di warung, arak buatan lokal ini dipajang di rak-rak secara terbuka. Harga jualnya lebih murah karena produksi lokal. Kualitas lebih terjamin karena jaminan mutu dipantau tim bentukan bupati.
Karena mudah diperoleh, karena harga terjangkau, karena mutu sudah dijamin bupati, warga terpincut minuman itu. Orang lokal mencicipi.
“Oi, nyaman arak tu’. Wangiiiii”. Begitu enak, cicip lagi.
“Arak apa tu’?”
Karena menyebut nama arak ‘made ini Sanggau’ susah, orang lantas memilih sebutan yang mudah. Merk arak dinisbahkan dengan nama tokoh pensupportnya: Bupati. Lalu, diam-diam nanti muncullah istilah “Arak Bupati’ selain ‘Arak Sanggau’. Brand lokal jadi suguhan utama tamu yang datang. Suguhan yang mendatangkan kebanggaan. Arak Bupati menjadi identitas baru dalam konteks budaya Sanggau.
Tamu jauh juga tertarik. Setiap datang ke Sanggau, mereka pulang dengan buah tangan: “Arak Made In Sanggau”. Mereka akan ingat Sanggau dengan araknya. Seperti ingat Pontianak karena lidah buaya, ingat Sambas karena jeruk. Ingat KKU karena salak. Ingat Kapuas Hulu karena kerupuk basahnya. Bangga ugak bah.
Di pinggir jalan duduklah sekelompok anak muda. Mereka nongkrong sambil minum ‘arak bupati’. Yang mabuk tergeletak di lantai di samping muntahan. Yang setengah mabuk meracau-racau. Ada juga yang pening-pening. Ada yang mata menaning. Nenek lewat dikira pemudi ting ting.
Ada juga sesekali orang yang memborong arak berpeti-peti, disuguhkan kepada orang yang bisa dibujuk hatinya untuk merangsak ke tempat yang dipinta. Orang setengah mabuk diminta berorasi atau menggoyang-goyangkan pagar bangunan sehingga onar lingkungan dibuatnya. Demo akan terasa lebih asyik jika peserta diumpan sebotol arak, dibandingkan dibekalkan sekampil arak yang dibeli secara sembunyi-sembunyi seperti yang dilakukan dahulu ini.
Itulah bayangan yang muncul di benak saya di balik wacana bupati Setiman mensupport pembangunan pabrik arak di Sanggau. Bayangan yang sarat sesungguhnya dengan kekhawatiran pada masa depan Sanggau dan pada masa depan generasi penerus di sana.
Tapi, ahh… pasti kekhawatiran itu berlebihan. Sebab, mungkin nanti orang Sanggau tidak suka minum arak dan kalau pun suka mereka tidak akan berlebihan. Tak ada jualan sembarangan dan tak ada pemabuk teler di pinggir jalan. Mungkin juga bupati pun tidak akan mengizinkan orang minum arak, karena sadar bahwa arak itu lebih banyak merusak badan. Mungkin juga pabrik arak itu akan tutup karena jumlah pembeli tidak sebanyak yang dibayangkan, sementara biaya sosial –untuk fee, sopoi dan lain-lain lebih besar.
Melihat Pak Bupati bersemangat soal pabrik ini, saya menjadi ragu: mungkinkah sebenarnya saya yang tidak bisa memahami cara berpikir bupati Setiman. Melihat dia begitu antusias dengan gagasan ini, pasti ada sesuatu yang penting di sana.
Saya berpikir, tidak mungkin seorang bupati membuat kebijakan yang dikira-kira akan menjerumuskan warganya. Tidak mungkin seorang pemimpin merintis sesuatu yang dikira-kira akan mencelakakan masa depan orang yang mendukungnya.
Sebagai pemimpin pasti dia akan selalu berpikir yang terbaik untuk daerah dan untuk warganya. Apalagi seorang pemimpin itu seperti seorang Pak Haji Setiman. Ngolu aku.

Baca Selengkapnya...

Bahasa Khatib

Oleh: Yusriadi
Jumat itu, saya salat di sebuah masjid di Pontianak Selatan. Sang khatib, sosok pemuda, menyampaikan ceramah soal akhlak. Katanya, akhlak sekarang kurang diperhatikan. Mana lagi media sekarang ini merusak akhlak. Film-film yang diputarkan media menjadi tontonan yang tidak mendidik. Lalu dia paparkan hasil penelitian tentang film anak-anak yang lebih banyak merusak daripada memberikan kebaikan.

Suara khatib mengaum. Dia mengungkapkan keprihatinan, dan sekaligus mungkin meluahkan kemarahan. Dia berkhotbah panjang lebar.
Saya lihat beberapa antara jamaah tertunduk. Tafakur. Beberapa lagi tertunduk, mengantuk. Mereka memejamkan mata. Entahlah telinga.
Di tengah suara lantang sang khatib, terdengar suara obrolan. Suara bersaing dengan suara khatib.
Beberapa kepala menoleh ke arah sumber suara itu. Saya juga turut memutar kepala ke samping belakang. Seorang anak muda itu. Celana hitam, baju kream, tanpa kopiah. Rambutnya pendek. Melihat penampilannya, saya kira dia karyawan sebuah hotel atau mungkin rumah makan.
Dia seperti tidak peduli meskipun biasanya pandangan orang mewakili teguran. Mungkin anak muda itu hidup di ruang sosial yang tidak menggunakan bahasa tubuh seperti itu.
Anak muda itu juga seperti tidak peduli ketika seorang lelaki paroh baya beruban di dekatnya menegur. Malah, dari pandangan matanya, saya melihat dia melawan, tidak terima ditegur. Rasanya, jika anak muda itu di masjid kampung saya di hulu sana, pasti dia sudah kena tampar. Kata orang kampung, perlu diberikan pelajaran, karena dia sepertinya kurang ajar.
Namun demikian untuk sementara anak muda itu tidak bersuara lagi. (Setelah itu beberapa menit kemudian dia ribut lagi). Sedangkan sang bapak kembali fokus mendengar khutbah sang khatib.
Saya terasa ‘mengelegak’ melihat peristiwa itu. Mungkin anak muda itu representasi jiwa saya saat mendengar khutbah itu. Ya, saya sering mendengar orang mengeritik media. Terakhir saya mendengar hal itu saat menjadi nara sumber dalam sebuah pelatihan.
Waktu itu saya katakan, kalau Anda menganggap media itu merusak, mengapa tidak Anda kuasai media itu? Anda bisa ajak umat membeli media itu. Iuran. Jika umat Islam ada puluhan juta, seorang iuran Rp5 ribu, maka uang itu sudah cukup untuk membeli media. Jika tidak, dirikan media baru sebagai tandingan dari media yang dikritik. Lawan.
Kalau tidak, Anda ajak teman-teman untuk masuk ke media dan mewarnai media sekular itu menjadi media agamis. Anda harus mengganti orang-orang di media, jika Anda anggap orang di media tidak baik dan Anda baik. Anda harus melakukan itu.
Terakhir, jika Anda tidak mampu juga, sementara Anda merasa dirinya betul, ajak semua orang baikot media yang tidak senonoh itu. Media tanpa penonton dan tanpa pembaca, akan mati.
Tetapi, berkali-kali saya katakan begitu, bekasnya juga tidak ada. Ngomong saja. Mereka seperti kata orang tua, “cakap macam lidah tak betulang”. Orang tidak peduli.
Ironi. Rasanya ironi itu saya lihat pada khatib saat dia mengatakan, orang sekarang lebih sudah melihat pelawak dibandingkan melihat ustadz ceramah. Orang lebih enak tidur dibandingkan diceramahi, seperti siang itu, orang lebih enak bicara sendiri dibandingkan mendengar khatib bicara. Owala.

Baca Selengkapnya...

Layanan Kelas Sosial

Oleh: Yusriadi

Jika pelanggan ada dua orang, seorang kaya dan seorang lagi pelanggan biasa, siapakah yang kamu layani lebih dahulu?
Kalau pertanyaan ini diajukan ke saya, saya akan mengatakan bahwa pelanggan yang saya layani lebih dahulu adalah siapa yang datang lebih dahulu. Siapa yang datang kemudian akan dilayani kemudian. Tidak perduli kaya atau miskin.
Tetapi kalau ditanya kepada seorang pekerja SPBU di Kuala Ambawang, saya duga mungkin jawabannya adalah yang kaya lebih dahulu. Saya menduga begitu berdasarkan pengalaman mengisi bensin di SPBU Pas ini minggu lalu.

Hari itu pukul 18.53 saya mengisi bensin di SPBU ini. Saya masuk dalam antrian sepeda motor. Di depan saya ada empat motor. Satu per satu motor dilayani. Pada saat hampir tiba giliran saya, sebuah mobil jenis kijang generasi baru datang. Seorang petugas, seorang perempuan berbaju merah putih menyambut kedatangan mobil itu dan mengatur posisinya sejajar dengan pom di depan saya.
Pemilik mobil turun dan membuka tutup tangkinya. Perempuan yang mengatur posisi mobil kemudian meminta kepada rekannya agar mengisi mobil itu lebih dahulu.
Tentu saja saya bingkas. Saya sudah antri tetapi dipotong. Masalahnya, saya juga buru-buru.
“Ini memang jalur mobil”.
Saya membalas. “Mana tulisannya?”
Setahu saya tidak ada tulisan “khusus mobil” di jalur yang saya lalui. Lagi, kalau memang di situ khusus mobil mengapa motor-motor di depan saya dibiarkan antri?
Tetapi perempuan itu tidak menghiraukan protes saya, dan dia tetap meminta temannya untuk mengisi bensin ke mobil lebih dahulu. Geram. Tentu saja. Saya mendekat perempuan itu ingin melihat nama di bajunya.
Tapi saya tidak berhasil. Perempuan itu lebih cepat memalingkan badannya. Dia kemudian seperti melarikan diri masuk ke mini market di SPBU membiarkan rekannya menyelesaikan pengisian mobil.
Peristiwa ini mengingatkan saya pada perilaku banyak orang di negeri ini yang masih menganggap harta adalah kehormatan. Jadi, perempuan yang bertugas di SPBU itu termasuk satu di antaranya.
Sesungguhnya gejala seperti itu juga kadang kala dialami di beberapa toko di kota ini. Sering kali penampilan orang menjadi barometer untuk memberikan pelayanan.
Saya kira sikap ini kadang kala membuat mereka sendiri tertipu. Berapa banyak orang sudah tertipu oleh seseorang yang penampilan keren perlente. Ketika kepercayaan diletakkan pada sisi materi maka orang akan sesekali mengalami kehilangan materi.
Di sisi yang lain, sikap ini menimbulkan rasa diskriminasi, rasa tidak dihargai seperti sebagaimana seharusnya.

Baca Selengkapnya...

Penelitian Ulama di Kalbar

Oleh: Yusriadi

Kemarin, saya menerima kedatangan dua orang peneliti dari Litbang Departemen Agama yang ada di Semarang. Mereka datang ingin mendapatkan informasi tentang karya ulama Kalbar dan tentang pemikiran mereka.
Mereka menjumpai saya karena sebelumnya mendapat cerita bahwa mungkin saya memiliki banyak informasi tentang ulama.

Sesungguhnya saya sempat tertegun mendengar pertanyaan mereka soal ulama Kalbar. Siapa yang layak disebut ulama di daerah ini? Siapa ulama Kalbar kontemporer? Apa karya mereka? Apakah mereka respon terhadap persoalan ummat? Mereka juga bertanya, siapakah ulama Kalbar di tahun 1970an? Siapakah ulama Kalbar pada masa awal kemerdekaan?
Siapa yang harus saya sebutkan namanya? Siapa tokoh Islam albar yang kharismatik –yang sangat dihargai dan suaranya didengar oleh ummat? Apakah pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalbar? Nahdlatul Ulama (NU) Kalbar? Apakah dosen STAIN Pontianak? Siapa ulama Kalbar masa lalu yang bisa saya sebutkan?
Lalu, soal karya, apakah karya tulis para ulama itu? Berapa orang ulama itu yang suka menulis? Berapa orang dari mereka yang memiliki buku? Berapa orang dari mereka yang menuangkan pemikiran dalam bentuk tertulis? Kalau mereka suka menulis, di mana sekarang tulisan itu? Siapa yang menyimpannya? Bagaimana mendapatkannya?
Saya juga bingung menjawab pertanyaan soal respon ulama terhadap persoalan aktual Kalbar. Apakah mereka memberikan komentar dan fatwa tertentu terhadap persoalan aktual masyarakat? Di mana saya membuktikan respon mereka memang seperti yang saya sebutkan?
Saya lebih banyak menjawab tidak tahu. Namun, kasihan mereka. Mereka sudah datang jauh-jauh dari Semarang ke tempat saya tidak mendapatkan apa-apa. Mereka sudah berharap mendapatkan data-data namun data yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Lebih dari itu, saya tergugah oleh pertanyaan mereka. Pertanyaan mereka membangkitkan memori saya bahwa ada banyak pekerjaan penelitian yang harus dilakukan. Saya, teman-teman di Kalbar yang peduli soal dokumentasi data harus berusaha lebih keras lagi untuk mengcover semua hal itu.
Selain itu, tentu saja menurut saya mereka yang disebut para ulama dituntut untuk lebih banyak berkarya sehingga pada akhirnya ada warisan pemikiran untuk ummat di kemudian hari. Sehingga pada akhirnya tak susah-susah saya tunjukkan karya mereka pada orang yang ingin mengetahuinya.
Karena itulah, saat peneliti berpamit pulang mengucapkan terima kasih karena saya telah memberikan informasi, saya juga mengucapkan terima kasih karena pertanyaan-pertanyaan mereka telah memberikan inspirasi untuk pekerjaan besar ke depan.

Baca Selengkapnya...

Membaca Kerusuhan di Tayan 1997

Oleh: Yusriadi
Saya sedang membaca tugas mahasiswa satu persatu. Dari 40 lebih tugas itu, ada sebuah tugas yang sangat menarik perhatian saya. Pertama, tugas itu dijilid lebih tebal dibandingkan tugas yang lain. Jilid yang lebih tebal itu membuat tugas ini mencolok perhatian.


Kedua, setelah saya baca isinya, hal yang ditulis mahasiswa dalam tugas ini adalah cerita pengalaman pribadi saat dia terjebak dalam kerusuhan 1997. Tentu saja peristiwa itu adalah peristiwa besar dan penting dalam perjalanan Kalbar.
Saya mulai membaca. Ceritanya, mahasiswa itu ingin pulang ke kampung istrinya di daerah Tayan, Sanggau, merayakan lebaran bersama keluarga. Dia menceritakan bagaimana duka perjalanan hingga sampai di kampung. Perjalanan ditempuh melalui motor air dengan susah payah: penumpang bersesakan.
Dia menggambarkan bagaimana ketegangan demi ketegangan melanda dia dan orang-orang di sekitarnya. Ketegangan selalu muncul ketika mereka mendengar cerita dari mulut ke mulut mengenai perkembangan kejadian.
Ketegangan muncul ketika melihat orang-orang yang bersenjata parang, tombak dan senapang lantak, melakukan razia. Ketegangan juga muncul ketika mereka menemukan mayat-mayat bergelimpangan dengan keadaan yang mengenaskan.
“Ketika kembali ke rumah, kami makan. Istri memasak ayam. Pada saat melihat ayam, saya menjadi teringat jenazah-jenazah yang ditemukan di hutan di seberang sungai. Saya mual. Selera makan langsung hilang”.
Begitu dia menggambarkan bagaimana dampak batin peristiwa itu. Dia menggambarkan kejutan mental (shock) yang dialami setelah dia bersama sejumlah warga menguburkan mayat-mayat itu.
Dampak psikologis lain digambarkannya dalam penutup.
“Saya sebenarnya tidak ingin menulis cerita mengenai kejadian ini…. Namun, cerita ini harus ditulis agar orang-orang sadar untuk tidak menciptakan kerusuhan lagi. Ketegangan yang muncul sepanjang masa kerusuhan telah membuat orang hidup dalam kecemasan dan ketakutan.”
Dampak seperti ini memang sangat mudah dipahami. Siapa yang tidak terpengaruh oleh peristiwa seperti itu? Tidak ada. Pasti ada pengaruhnya. Siapa orang yang tidak cemas ketika memikirkan setiap saat mereka mungkin menjadi korban salah sasaran. Siapa yang dapat menghapus bayangan tragis di depan mata dalam sekejap?
Cerita panjang yang ditulis mahasiswa membius saya dalam kenangan buruk itu. Meskipun saat kerusuhan 1997 saya sedang tidak ada Kalbar namun saya seperti melihat gambar kerusuhan diputar kembali. Saya menjadi ikut tegang dan juga cemas. Saya bisa membayangkan jika terperangkap situasi seperti yang digambarkan penulis.
Memang, saya yang mendorong mahasiswa untuk menulis. Saya meminta mereka menulis peristiwa yang paling mengesankan dalam hidup mereka. Menulis peristiwa yang dijalani sendiri akan lebih mudah karena bahannya tidak perlu dicari-cari lagi. Semuanya sudah ada di dalam memori dan langsung menuangkannya. Bandingkan jika mereka harus menulis berdasarkan bahan lain. Jangan-jangan pilihannya mereka memungut dari internet begitu saja, atau mengupah orang lain membuatnya.
***
Lalu, soal kerusuhan, saya kerap kali minta orang di sekitar saya menuliskannya. Saya meminta mereka yang terlibat dalam peristiwa, mereka yang menjadi saksi sejarah, mendokumentasikannya. Sekarang! Sebelum ingatan mereka terhapus satu persatu.
“Profesor A dan B sudah menulis tentang kerusuhan 1997 dan 1999. Mereka mengatakan begini dan begini. Namun, mereka bukan orang yang mengalami langsung. Mereka hanya mendapatkan gambaran dari cerita orang lain. Jika Anda terlibat langsung, maka tulislah. Berikan gambaran secara detail. Tulisan Anda akan menjadi dokumentasi sejarah di tahun-tahun yang akan datang. Mungkin dari tulisan Anda orang akan mendapatkan gambaran sisi lain peristiwa itu dibandingkan dengan yang sudah ditulis. Dan ingat, kerusuhan 1997 dan 1999 adalah peristiwa besar dalam sejarah Kalbar”.
Begitu saya mendorong orang di sekitar saya untuk menulis. Saya selalu beranggapan menulis peristiwa seperti kerusuhan 1997 dan 1999 adalah hal penting untuk memotret peristiwa besar itu di kemudian hari. Tulisan itu akan menjadi pembelajaran bagi generasi mendatang dan pasti akan penting bagi peneliti hubungan antar etnik.
Saya pernah mendengar sebagian orang beranggapan bahwa menulis hal itu bisa membuka luka lama. Dan, karena itu mereka dilanda ketakutan dan kekhawatiran.
Tetapi bercermin dari tulisan Pastor Josef Herman Van Hulten dalam buku “Hidupku Diantara Orang Dayak” saya rasa tidak. Pastor Herman dalam buku itu salah satu bagiannya menceritakan bagaimana dia ketika terperangkap di jalan dalam aliran massa yang sedang bergerak saat melintasi di sekitar Sungai Pinyuh. Pastor itu menceritakan bagaimana massa berteriak, menggambarkan bagaimana rumah terbakar dan juga kematian. Namun, rasanya walaupun tulisan itu sudah lama diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, namun tidak membuat orang yang membacanya marah. Semua orang sudah menyadari bahwa peristiwa itu sudah terjadi dan masing-masing sudah melupakannya. Masing-masing sudah berpikir bahwa peristiwa itu adalah masa lalu yang telah terjadi dan jangan diulangi lagi.
Malah yang banyak saya dengar kemudian, orang yang meneliti sejarah Cina di Kalbar tidak akan melewatkan buku ini untuk memahami posisi Cina di Kalbar di masa lalu. Apatah lagi peneliti yang melakukan studi tentang relasi Cina-Dayak. Mereka memahami peristiwa itu sebagai bagian dari dinamika hubungan –ada pasang surutnya.
Jadi kiranya untuk kepentingan akademik, dokumentasi seperti ini justru dirasakan sangat penting dilakukan. Jika Anda tidak melakukan itu, pasti orang lain yang melakukannya.

Baca Selengkapnya...

Senin, 30 Januari 2012

Pendidikan Karakter (2)

Oleh: Yusriadi

Hari itu, beberapa bulan lalu, guru-guru yang sedang menjadi mahasiswa menjalani ujian. Sebagian terlihat khusuk, membaca soal dan berpikir, menulis dan merenung.
Namun, sebagian lagi nampak gelisah.
Berusaha mengamati satu per satu. Saya menikmati pemandangan itu. Berusaha menekan perasaan.
Beberapa orang saya curigai membuka buku. Alamak, nyontek!

Saya mendekat. Benar. Di balik kertas kerja mereka, terlihat modul mata kuliah yang diujikan, dibuka. Sepintas lalu tidak terlihat, tetapi karena saya mengamatinya, saya dapat melihat modul yang berada di bawah kertas-kertas ujian itu terbuka.
Saya mengambil modul itu sambil mendengus.
Satu, dua, tiga.... Masyaallah. Enam orang.
”Uh... bapak”.
”Bapak duduk saja, napa sih”.
Ada suara protes. Mereka protes karena saya terlalu ketat melakukan pengawasan. Namun, saya tak peduli. Saya tidak bisa membiarkan mereka ujian sambil mencontek. Saya tak bisa membiarkan mereka mengumbar budaya nyontak.
Mereka guru. Mereka orang yang digugu dan ditiru.
Mereka orang yang sudah berumur. Orang yang selama ini sudah makan asam dan garam kehidupan lebih banyak dibandingkan saya. Jalan hidup mereka juga sudah sangat panjang, terutama dalam soal bagaimana mereka hidup dengan baik. Bahkan, saya yakin mereka lebih fasih menyampaikan soal kejujuran terutama kepada anak-anak.
Karena itulah saya tidak menceramahi mereka soal nyontak. Saya tidak mengambil tindakan yang biasa kepada mereka.
Ya, jika mereka bukan orang yang sudah tua, pasti mereka saya usir dari kelas. Pasti. Di ruang ujian yang biasa, menyontek adalah persoalan serius. Sebelum ujian, ancaman diskualifikasi sudah disampaikan.
”Berbicara dengan teman akan mendapat teguran. Teguran ke-3 dikeluarkan dari ruang ini”.
Begitulah. Keras. Kejam.
Tetapi, saya tidak punya pilihan. Bagaimana mana mengukur kemampuan sebenarnya jika hasil yang diperoleh melalui nyontek?
Bagaimana mendorong mereka belajar jika saat ujian mereka dengan bebas bisa memindahkan isi buku?
Rasanya, sukar bagi saya mendorong konsep belajar giat jika hal seperti ini tidak ditekankan.
Rasanya, tak tahu saya di mana meletakkan penghargaan bagi orang yang rajin belajar jika situasi seperti ini tidak dicegah.
Rasanya, sulit bagi saya di mana meletakkan kebanggaan atas prestasi, jika budaya nyontek dibiarkan.
Dan, saya tak bisa membayangkan bagaimana nanti mereka bisa menjauhkan murid-murid mereka dari budaya menyontek jika mereka sendiri sudah hidup dalam budaya menyontek.
Saya lebih tidak bisa membayangkan apa jadinya pendidikan Indonesia jika lebih banyak orang yang menjadi guru yang keranjingan dengan kebiasaan nyontek. (*)

Baca Selengkapnya...

Pendidikan Karakter (1)

Oleh: Yusriadi

Jumat (23/12) kemarin, secara kebetulan saya bertemu dan mengobrol dengan seorang lelaki paroh baya. Dia orang Pontianak yang sekarang tinggal di sebuah perkampungan nelayan di Sambas. Kami bertemu di sekolah saat pembagian raport. Saya dan dia sama-sama mendampingi ponakan mengambil raport.
Kami bisa ngobrol karena kami duduk berdekatan. Dia sangat terbuka dan ramah. Dia mengatakan tentang anak-anaknya. Anak-anaknya berprestasi.

”Istri saya yang banyak mendidik anak. Istri saya keras. Anak-anak dipaksanya belajar. Kalau jamnya belajar dia harus belajar. Pintu dikunci. Nanti kalau sudah belajar baru kemudian anak boleh bermain. Hasilnya, anak-anak saya dapat rangking”.
Istri diandalkan karena lelaki paroh baya itu lebih banyak berada di laut. Pekerjaannya sebagai nelayan membuatnya tidak bisa mendampingi anak-anaknya di rumah.
Karena itu, nampaknya dia sangat bangga pada istrinya yang bisa mendidik anak. Istrilah yang diandalkan untuk mendidik anak.
Saya kira, beruntunglah dia. Beruntunglah istrinya.
Tetapi kemudian saya harus katakan bahwa anaknya juga beruntung memiliki ayah seperti itu.
Ya, saya bisa mengatakan begitu ketika dia menceritakan bahwa dia sudah tiga puluh tahun hidup sebagai pelaut. Dan, sebagai orang laut dia sudah pergi ke mana-mana. Sudah banyak negara yang dikunjunginya. Itu sisi senangnya.
Dari sisi lain, dia juga mengalami beberapa kejadian yang juga tidak bisa dilupakan. Sudah tiga kali dia tenggelam di laut.
”Waktu di Selat Makasar, saya terombang-ambing di laut selama 5 hari, di atas galon. Saya diselamatkan oleh nelayan”.
Dia menyambung cerita soal dampak kehidupan sebagai pelaut yang ke sana ke mari itu. Pelaut dan nelayan sering terkena penyakit. Menurutnya, penyakit pelaut ada tiga. Penyakit pertama, perempuan; penyakit kedua, minum; penyakit ketiga, judi. Pelaut kena penyakit ini.
Seraya dia menjelaskan penyakit itu satu persatu, saya jadi teringat suatu ketika saya memang pernah mendengar cerita-cerita mirip begini. Penyakit perempuan menyergap nelayan dan pelaut ketika mereka berlabuh di dermaga. Penyakit judi dan minuman keras menyerang mereka saat berada di tengah laut. Karena hal ini, makanya, kononnya, wanita-wanita yang beroperasi sebagai pelacur di kota-kota pelabuhan, lebih banyak terkena penyakit kelamin, dan HIV-AIDS.
”Saya hanya kena satu penyakit. Minum. Perempuan dan judi saya tidak ikut”.
Sekarang, katanya, dia sudah berusaha berhenti. Tidak lagi minum minuman keras. Dia berhenti dengan susah. Maklum, kawan-kawan masih terus mengajak. Kawan-kawan juga menyindir.
”Saya dikata mulai alim oleh kawan-kawannya”.
Yang membuat saya tertarik, dia menyebutkan kalau dia bisa berhenti minum karena dia malu sama anak-anak. Dia berhenti bukan karena khawatir terkena penyakit atau berhenti karena mulai insyaf bahwa agama telah melarangnya.
”Saya malu dengan anak-anak. Mereka sudah besar. Malu kalau sampai ditegur anak-anak”.
Pengakuan bahwa dia malu pada anak menunjukkan bahwa keberhasilan anak meraih prestasi berkat didikan sang istri, berkelindan dengan pengembangan nilai-nilai hidup dalam keluarga ini. Dan, bapak paroh baya itu memperlihatkan bagaimana dia menghormati nilai-nilai itu.

Baca Selengkapnya...

Membangun Masa Depan

Oleh: Yusriadi

“Mengapa orang bisa dan saya tak bisa?”
“Mengapa orang mampu dan saya tidak mampu?”
“Mengapa orang maju dan saya tidak maju?”
Saya sering mendengar pertanyaan itu. Teramat sering.
Saya juga teramat sering mendengar orang memberikan penjelasan.
“Dia maju karena dari sananya memang begitu”.
“Dia mampu karena dari keluarga mampu”.
“Dia banyak koneksinya”.
“Dia ‘pandaiiii’”. Pandai yang bermakna khusus dan sangat dalam.
Dahulu, saya menerima saja penjelasan itu. Penjelasan itu dianggap benar. Orang maju karena dia dari keluarga maju. Orang mampu karena dia dari keluarga atau dari kalangan suku yang mampu.
Tetapi, sekarang ini rasanya saya tidak percaya jawaban itu. Soal kemampuan bukan soal keluarga, bukan soal suku, bukan soal suratan takdir.
Beberapa bulan ini saya mendapatkan jawabannya. Jawabannya ada pada diri sendiri. Seseorang akan maju jika dia mau maju. Seseorang akan mampu kalau dia mau mampu. Syarat mentalitas itu ditambah lagi dengan seperangkat syarat: Dia menganut prinsip dasar kehidupan.
“Orang maju karena dia menganut prinsip dasar kehidupan”.
Ada 9 prinsip itu. Pertama: Orang akan maju jika dia menunjukkan sikap beretika. Orang yang menganut etika akan membuat orang lain senang dan nyaman. Dia akan disukai lingkungannya.
Kedua, kejujuran dan integritas. Ketiga, bertanggung jawab. Keempat, patuh pada hukum. Kelima, hormat pada hak orang lain. Keenam, cinta pada pekerjaan. Ketujuh, menabung atau ada investasi. Kedelapan, mau bekerja keras. Kesembilan, tepat waktu.
Saya meyakini bahwa jika prinsip dasar kehidupan dapat dilaksanakan dengan baik pasti hasilnya akan menjadi sangat baik. Sangat ideal. Sangat nyaman. Situasi ini akan membuat semua orang bisa fokus pada cita dan harapan.
Lantas, terpulanglah pada diri sendiri apakah ingin menggapai semua itu.



Baca Selengkapnya...

Pendidikan Karakter (3)

Oleh: Yusriadi

Hari itu, saat membuka acara Gempita Ekonomi Kreatif yang diselenggarakan Harian Borneo Tribune – Tribune Institute-HIPMI Kalbar di Kampus Untan Pontianak, Pembantu Rektor I Untan, Dr. Abu Bakar Alwi menyebutkan contoh kebersamaan orang Jepang. 12 orang ambil master, ke mana-mana sama. Akhirnya, pola pendidikan ini membuat semangat kolektif Jepang menonjol.
“Kenyataan ini sangat berbeda dibandingkan kita. Orang kita, ramai, hakikatnya sendiri,” katanya.

Dr. Abu Bakar Alwi ingin ada perubahan budaya. Ada perubahan di kalangan mahasiswa.
Apa yang disampaikan Dr. Abu Bakar Alwi merupakan kritik dan juga otokritik terhadap penyelenggara pendidikan di perguruan tinggi. Kalau kenyataan yang disampaikan Abu Bakar benar, dan itu tentu benar, maka metode pendidikan kita harus dievaluasi. Apakah metode pendidikan di semua level telah mengarahkan peserta didik ke arah kesadaran kolektif. Atau, sebaliknya, bagaimana mengarahkan peserta didik ke arah hidup individualistik ke arah yang mengedepankan kolektivitas.
Saya memberi catatan pada Dr. Abu Bakar Alwi. Beliau sudah memiliki kesadaran menuju kolektivisme. Kesadaran ini pasti bisa menjadi bekal untuk melakukan perbaikan ke depan. Apatah lagi beliau memiliki kekuasaan untuk mengubah. Sebagai Pembantu Rektor I, beliau memiliki kewenangan untuk membina dosen, sehingga pada akhirnya, dosen-dosen itu kelak bisa mendukung program yang beliau susun.
Tentu saja tidak begitu mudah. Sering kali dosen dengan dalih otonomi dosen, memiliki ego yang kuat. Mungkin ada bantahan.
Tetapi saya percaya, kedudukan Abu Bakar Alwi sebagai Pembantu Rektor I Untan akan membuat yang tidak mudah itu menjadi mudah. Adakah dosen sebagai bagian tugas fungsional seorang pegawai negeri nekad membandel pada atasannya?
Lagi, tak mungkin dosen-dosen akan ’degil’ amat menolak sesuatu yang baik. Bukankah dosen adalah agen perubahan? Bukankah mereka insan pembelajar?
Jika dosen bukan agen perubahan, tak mau berubah dan bukan seorang insan pembelajar, maka lebih baik dia menjadi batu saja. Terlalu bahaya dosen yang seperti itu. Mereka berbahaya karena mereka akan mempengaruhi mahasiswa-mahasiswa yang datang hendak belajar di perguruan tinggi.
Ingat kata pepatah: guru kencing berdiri, anak-anak kencing berlari.



Baca Selengkapnya...

Prof. Shamsul AB, Dr. Taufiq dan Kutipan Khonghucu

Oleh: Yusriadi
“Mulai saja menulis, terbitkan buku. Jangan pikirkan mutu sekarang ini. Mutu itu urusan nanti”.
Saya mengutip pendapat Prof. Dr. Shamsul Amri Baharuddin ketika “bersembang-sembang” dengan Dr. Taufiq Tanasaldy, siang itu. Dr. Taufiq datang ke Club Menulis dan melihat beberapa buku yang kami buat. Dia orang Mempawah yang kini mengajar di sebuah universitas di Australia.
Walaupun saya menunjukkan buku dengan semangat, tetapi merasa agak sungkan juga. Mutu. Buku yang kami buat bukan buku bermutu. Kepada orang-orang yang datang ke Club Menulis saya selalu tekankan hal itu.
“Kami berusaha mendokumentasi apa yang dapat kami dokumentasi hari ini”.

.
“Kami sedang belajar menulis dan menerbitkan buku”.
“Mungkin buku yang bermutu dari kami baru dapat kami persembahkan 5, 10 atau 20 tahun yang akan datang”.
Oleh karena itu, sebelum soal mutu ini singgah dalam pikiran beliau, saya mengaku lebih dahulu bahwa buku yang kami buat belum memenuhi harapan.
Apa reaksi Dr. Taufiq?
“Maaf, saya mengutip Khonghucu. Kamu tahu Khonghucu?”
Saya mengangguk. Tentu. Saya pernah belajar perbandingan agama. Khonghucu adalah nama yang dikaitkan dengan agama Khonghucu. Banyak kata bijak yang dirujuk kepada tokoh itu. Saya mengangguk karena saya kira lebih mudah bagi beliau mengutip kata bijak dari ajaran yang dipercaya, seperti saya pasti lebih mudah mengutip hal-hal penting dari Alquran atau nabi Muhammad.
“Khonghucu mengatakan, satu li dimulai dari satu langkah”.
Persis. Sesungguhnya saya pernah mendengar ungkapan itu dari bapak FX Asali, salah satu tokoh Tionghoa Kalbar yang saya kagumi.
Menyenangkan menemukan kutipan yang pas. Sebuah pernyataan yang berbeda dengan maksud sama. Pernyataan yang universal.
Saya segera mencatat komentar dia karena saya rasa pasti sangat berguna suatu ketika nanti. Tetapi, Dr. Taufiq , buru-buru mengingatkan.
“Ini ungkapan yang populer, semua orang tahu. Saya harus tanya-tanya lagi bagaimana bentuk yang pas dengan ungkapan Khonghucu dalam bahasa asal”.
Walaupun demikian, saya tetap mencatat ungkapan itu, dan menulisnya agar saya tetap ingat di kemudian hari. Semua itu akan menambah wawasan saya tentang prinsip hidup dan tentang apa yang dapat saya lakukan. Pembenaran. Pemantapan. Sesuatu yang meyakinkan saya agar terus menerus berusaha: menulis dan menerbitkan buku, sembari mendorong orang-orang yang ada di sekitar saya untuk melakukan hal yang sama.
Semoga semua itu bisa menjadi amal kelak. Seperti yang sering dikutip dari teman saya, H. Nur Iskandar. “Inilah salah satu bentuk amal kita”.

Baca Selengkapnya...

Guru Boleh Protes?

Oleh: Yusriadi
Hari itu saya berdiskusi dengan sejumlah orang. Bolehkah guru melakukan demo karena tidak dibayar tunjangannya? Sejumlah orang mengatakan boleh. Guru boleh demo menuntut haknya.
Lalu, saya bertanya pada mereka. Kalau guru demo, bagaimana anak-anak di sekolah belajar? Atau, kalau kemudian tuntutan yang diajukan guru tidak dipenuhi, bagaimana? Apakah guru akan mogok mengajar? Kalau guru mogok mengajar bagaimana dengan murid-murid mereka?


Apakah yang ada dalam pikiran guru jika anak-anak tidak bisa belajar karena mereka tidak mengajar? Apakah guru akan prihatin? Apakah mereka memiliki tanggung jawab moral terhadap pendidikan siswa?
Pertanyaan lanjutan ini tidak bisa dijawab spontan oleh peserta diskusi. Mengapa? Karena saya kira mereka menemukan hakikat bahwa sebenarnya guru tidak boleh demo karena menuntut tunjangan. Guru tidak boleh mogok mengajar karena tunjangan tersendat.
Jika guru demo karena tunjangan, jika guru mengancam mogok mengajar karena tunjangan (gaji) atau malah mogok benaran, maka sebenarnya mereka bukan lagi guru. Mereka bukan lagi seorang pendidik.
Guru yang demo dan guru yang mogok karena tunjangan, karena uang, sebenarnya mereka adalah buruh. Mereka adalah pekerja. Orang yang melakukan sesuatu agar mendapat imbalan materi. Orang yang bekerja karena mengharapkan materi.
Guru sebenarnya tidak begitu. Guru adalah pekerjaan untuk pengabdian. Panggilan batin. Seseorang yang menjadi guru seharusnya bukan orang yang mengejar materi.
Orang yang mengejar materi menjadi guru sebaiknya tidak menjadi guru. Malah, saya sempat bercanda, jika saya kepala dinas, atau orang yang menentukan nasib guru, maka guru seperti itu akan saya pensiunkan. Saya akan katakan pada mereka, lebih baik berhenti menjadi guru dan berdagang. Lebih baik bekerja di sektor perkebunan atau tambang. Uangnya pasti banyak!
Tidak boleh nasib anak-anak diserahkan kepada guru yang bermental materialistis. Anak-anak hanya boleh diserahkan kepada orang yang bermental guru.
Seorang peserta diskusi membantah.
“Tapi, guru ‘kan perlu materi agar bisa hidup”.
Benar. Guru adalah manusia yang juga perlu materi untuk kehidupan. Tetapi saya percaya bahwa guru yang mendidik dengan benar, guru yang menjalankan amanatnya sebagai pendidik, tidak pernah akan kesulitan soal makanan.
Orang tua murid pasti akan menilai. Orang tua murid pasti akan prihatin dan menyampaikan terima kasih. Orang tua murid yang tidak bisa menghargai pengabdian guru adalah orang tua murid yang ‘kebangetan’.
Saya kira pemerintah juga akan begitu. Pemerintah pasti akan berterima kasih pada orang yang telah mengabdikan diri untuk pendidikan anak bangsa. Pemerintah pasti merasa berkewajiban untuk membalas pengabdian yang sudah diberikan guru. Bagaimana menurut anda?

Baca Selengkapnya...

Bahasa Politik

Oleh: Yusriadi
Hari itu seorang kolega datang ke ruang saya dan menyampaikan gagasan besar. Ingin membuat buku.
Gagasan itu sempat membuat saya antusias. Ya, buku selalu penting dalam hidup saya belakangan ini. Sedikit-sedikit buku. Sedikit-sedikit buku. Buku adalah obsesi. Saya ingin menerbitkan buku sebanyak-banyaknya. Soal mutu, nanti dulu. Mutu bisa digarap sambil jalan. Alah bisa karena biasa.

Saya ingin begitu karena ingin menjadikan buku sebagai monumen bagi kehidupan. Setidaknya, jika saya meninggal dunia kelak, saya sudah meninggalkan tulisan dan mematri nama saya dalam beberapa buku. Mudah-mudahan, buku-buku yang saya buat ada gunanya bagi banyak orang.
Setidaknya dengan usaha dokumentasi sekarang ini, kelak jejak-jejak yang penting tentang kehidupan hari ini bisa diketahui generasi mendatang.
“Buku ini, dibuat untuk mendukung bapak….”
Dia menyebut nama seseorang. Nama itu saya kenal lewat koran. Kabarnya dia akan terjun ke dunia politik dan akan bertarung dalam pemilihan umum mendatang.
Byurrr. Semangat saya langsung meredup. Bak api diguyur air.
“Ahhhh… kalau yang begitu saya tidak mau ikut”.
“Bukan begitu … “ Bla… bla… kolega menjelaskan duduk persoalannya. Membujuk.
Saya menolak serta merta. Tak pakai basa-basi. Saya memilih tidak terjun ke dunia politik seperti itu. Politik bagi saya menyisakan bayangan yang tidak cerah. Apalagi kalau sudah bicara soal perebutan posisi dan kekuasaan.
Bagi saya kekuasaan bukan untuk diperebutkan. Kekuasaan itu amanah yang diberikan kepada seseorang yang memang layak menyandangnya.
Karena itu jika saya punya suara, saya akan memilih dan akan mendukung orang yang benar-benar layak didukung. Dukungan yang diberikan kepada orang yang biasa-biasa apalagi orang yang ambisius akan memberikan dampak yang tidak baik bagi masa depan. Saya tidak mau dipimpin oleh orang yang tidak layak memimpin. Sama seperti ajaran fiqh dalam agama saya: saya tidak boleh berimam kepada orang yang tidak memenuhi syarat sebagai imam. Apa syaratnya? Bacaannya paling baik, wara’ dan lebih tua umurnya. Dalam konteks kita, pemimpin yang didukung adalah pemimpin yang lisan, tindakan dan cara berpikirnya baik.
Mencari pemimpin seperti itu tidak susah. Kita bisa melihat track recordnya sehari-hari. Kita bisa menggali informasi tentang dia.
Karena itulah, saya tidak sepemikiran dengan kolega tadi yang ingin membuat buku untuk mempromosikan sosok tertentu dengan maksud agar terbentuk opini publik. Saya tidak ingin membuat sosok menjadi nampak baik sementara saya belum mengenal dia sebelumnya.
Sampai di sini saya jadi ingat beberapa teman saya merana karena uangnya mengalir bak air ledeng saat Pemilu. Penyauk datang berbondong-bondong mengaloikan dia, namun tidak benar-benar mendukungnya. Uang habis, suara tiada.
Saya tak sampai hati membuat (calon) politisi menerima nasib seperti itu. Kesihan.

Baca Selengkapnya...

Selasa, 03 Januari 2012

Drs. H. Abang Zahry Abdullah Al-Ambawi


Baca Selengkapnya...

Mengenang Tok Olah (Alm. Drs. H. Zahry Abdullah)

Oleh: Yusriadi

1 Januari 2011. Saya membuka blog saya: yusriadiebong.blogspot.com. Ada pesan di inbox dari seseorang yang bernama Razy H Zahry. Saya tidak mengenal nama itu. Tapi, kalau nama H Zahry saya kenal. Malah, rasanya, sangat kenal.
Rupanya, orang yang meninggalkan jejak di inbox itu memang anak H. Zahry yang saya kenal itu. Saya bisa menduga demikian setelah membaca pesan itu.
“Razy H Zahry: Atas nama keluarga besar kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih buat bang yus, yang telah membesarkan nama Alamarhum ayahnda kami, mohon maaf kalau ada salah bang”.

Pesan itu membangkitkan memori saya tentang almarhum H. Abang Zahry Abdullah Al-Ambawi, yang meninggal pada 14 September 2010 lalu. Beliau telah saya anggap orang tua dan datok saya sendiri. Saya dan beberapa teman lain membiasakan memanggil beliau “Tok Olah”.
Saya banyak bergaul dengan beliau. Kami sering seminar bersama. Diskusi bersama. Beliau kadang kala saya jadikan narasumber untuk berita saya di Harian Borneo Tribune. Di luar itu, kami juga kerap bertemu untuk sekadar menjaga komunikasi.
Kami semakin akrab, karena beliau berasal dari Jongkong, dan saya berasal dari Riam Panjang. Riam Panjang terletak di pedalaman Jongkong. Beliau juga kenal dengan almarhum bapak saya, Zainal Abidin alias Ebong.
“Pala Kampung Ebong, ayah kula’ tu’, main bal”. (Kepala Kampung Ebong, ayah kamu itu, pemain bola). Begitu kata Tok Olah dulu.
Tok Olah memiliki karir yang luar biasa. Pernah menjadi guru, menjadi pegawai Departemen Agama – sempat menjadi Kepala Kantor Departemen Agama di Sanggau dan Pontianak, pernah menjadi anggota DPRD di Kapuas Hulu.
Beliau adalah salah satu orang Ulu yang sukses di rantau orang. Saya mengenalnya begitu, pada mulanya.
Karena asal daerah yang sama, kami berkomunikasi dalam bahasa Ulu. Selalu. Kalau sudah bergurau, dan beliau orangnya humoris - ramah, kosa kata yang arkaik dalam bahasa Ulu keluar. Kami bisa mentertawakan banyak hal jika sudah begini.
Keramahan dan sikap beliau membuat saya sangat nyaman mengenal beliau. Ya, itu tadi, serasa orang tua sendiri. Beliau jadi panutan.
Saya mengagumi beliau karena beliau memiliki pengetahuan sejarah yang luar biasa. Sejarah Kapuas Hulu, Sintang-Melawi, Sanggau, beliau kuasai. Tanya saja tentang apapun, pasti beliau ada jawabannya. Tanya salasilah orang, beliau ahlinya. Beliau adalah enseklopedia sejarah ulu. Ingatan beliau sangat kuat.
Mengapa bisa begitu, di kemudian hari saya tahu: Tok Olah adalah sosok pembelajar. Setiap peristiwa penting dicatatnya. Dia punya buku agenda sejarah. Kejadian apapun ditulisnya. Beliau juga memiliki koleksi naskah dan tulisan-tulisan sejarah.
Selain itu, beliau saya kenal sebagai kolektor barang-barang unik dan memiliki tanaman obat yang banyak.
Karena itulah, saya sering menulis beliau sebagai sumber inspirasi. Ini juga yang membuat saya terus mengingat beliau. Terima kasih datok. Semoga datok tenang dan bahagia di sana.

Baca Selengkapnya...