Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune
Saya dapat membayangkan betapa peningnya jadi calon legislatif (caleg) sekarang ini. Jadi dewan belum pasti, uang keluar macam air mengalir. Ada yang keluar ratusan ribu rupiah, jutaan rupiah, ratusan juta, bahkan, kononnya, ada yang sudah keluar uang miliaran rupiah.
Ada yang menguras tabungan. Ada yang meminjam kredit di koperasi. Ada yang menjual kaplingan. Ada yang gadai-gadai. Bahkan, ada yang jual harga diri, buang malu pinjam sana-sini.
Lalu, ada yang kini termenung. Berhitung. Duduk di warung, membuat kalkulasi. Kongko-kongko dengan teman sesama caleg, atau dengan teman yang kononnya tim pendukung. Dari hari ke hari, itu selarat yang dikerjakan. Perkembangan politik dibahas detiil, tapi, turun lapangan sebatas kursi meja warung kopi. Jangan hitung berapa banyak batang rokok sudah hangus dibakar. Juga tak usah hitung berapa banyak kopi sudah diminum.
Sistem perolehan suara terbanyak sekarang ini benar-benar telah menyebabkan orang jadi hampir gila-gilaan.. Orang berusaha. Berjuang. Habis-habisan. Berharap. Bermimpi. Tunggang langgang.
Saya mendengar banyak khawatir –sambil bergurau, ada caleg yang kelak jadi orang gila, tak beres hidupnya setelah Pemilu 2009 usai.
Tak siap rasanya saya mendengar ada teman caleg yang sebelumnya hidup dengan harapan yang besar dan semangat menggebu-gebu, tiba-tiba menjadi orang tak tentu rudu.
“Ati-ati jak, kenak gila-gilakan orang, nanti jadi gila,”
“Siap-siap jadi penghuni rumah sakit Sungai Bangkong,”
Beberapa caleg yang saya kenal, pernah juga diingatkan:
Jangan terlalu banyak berharap dalam kondisi sekarang. Pemilu sekarang, anggap saja tahap pembelajaran bagi pemula yang ketiban runtuh diajak-ajak jadi caleg. Besok-besok, pemilu berikutnya, baru pasang target.
Mengapa? Karena saya pikir mereka harus bisa mengukur diri. Mereka tidak popular. Mereka kurang dikenal orang. Mereka tidak punya jasa kepada calon pemilih. Mereka tidak punya uang untuk memikat hati.
Bahkan ada yang saya kenal tidak memiliki kemampuan apapun. Tak punya nilai jual. Jujur saja, jangankan orang lain yang tidak kenal, saya yang kenal saja pasti tidak akan memilih dia jadi caleg. Bagi saya, memilih adalah menitipkan masa depan. Tentu masa depan kita harus dititipkan kepada orang yang layak mengemban amanah itu.
Memang ada macam-macam pertimbangan dalam memilih sekian banyak orang yang bisa diberi amanah. Misalnya ada yang karena pertimbangan keluarga. Dan setahu saya di sini, di Kalbar ini, orang banyak memilih karena pertimbangan emosional.
Ada yang memilih karena caleg itu orang satu kampong atau satu daerah, kawasan, atau satu suku.
Tentu juga ada banyak yang memilih karena pertimbangan jasa. Jadi konsep patron dan klien juga penting, Calon membantu sesuatu dan pemilih memberi suara. Sama-sama memberi.
Untuk sampai pada tingkat ini tentu tidak bisa main tembak.
Saya sawan melihat orang mau jadi caleg dan kemudian tabur uang untuk sosialisasi. Tak bakalan mempan di tengah masyarakat yang kian pandai.
Semuanya harus pakai proses. Saya kadang mengajarkan teman, kalau mau jadi caleg, lima tahun sebelumnya harus masuk lewat masjid, lewat majelis taklim, masuk lewat organisasi pemuda, wanita, atau kelompok tani, koperasi, dll.
Dalam proses situ, tentu orang akan menilai. Bila baik, sudah tentu orang akan mendukung. Orang bisa melihat kepemimpinan, sikap dan tingkah laku, dan lain sebagainya.
Karena itulah, kadang saya heran: nekadnya orang-orang jadi caleg. Masa’ karena dengar teman bilang dukung, langsung dia gee r. Padahal dukungan itu hanya basa basi. Ngambul kata orang Pontianak. Lidah tak bertulang.
Tapi itulah resiko orang yang maunya instan. Resiko orang yang mau jadi tapi tidak mau mempersiapkan diri.
Jumat, 27 Februari 2009
Caleg Instan, Kayak Mie
Diposting oleh Yusriadi di 23.41
Label: Politik Kalbar, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Ya Pak, sekarang memang banyak calon legislatif dadakan yang mencoba peruntungan di dunia politik. Salah satu cara kampanye yang saya temukan dalam pemilu 2009 ini adalah penggunaan internet sebagai media kampanye. Terutama melalui social networking website, contohnya facebook. Di facebook, sekarang sudah merajalela para calon-calon politisi, baik tingkat nasional maupun lokal yang ingin meminta dukungan. Baik itu berupa grup atau pribadi. Intinya, para calon-calon legislatif itu mencoba cara baru untuk menggaet massa sebanyak-banyaknya.
Ya, kita berdoa semoga mereka sukses. Kesian juga khan mereka udah mimpi indah, udah keluar uang, tapi, gagal.
Betul ga siiii...
Posting Komentar