Oleh Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak
Jalan Lintas Selatan membawa berkah bagi masyarakat pedalaman Kapuas Hulu. Banyak kemudahan yang diperoleh sejak poros penghubung Putussibau – Sintang ini dibangun. Lalu lintas menjadi lancar. Namun, jalan ini juga membawa kabar mengerikan. Satu per satu nyawa melayang di jalan yang mulai ramai itu.
Awal 1980-an – tepatnya saya tidak ingat lagi. Ada orang Jakarta datang ke kampung kami, Riam Panjang. Dia menginap di rumah kami –kebetulan bapak kepala kampung. Beberapa malam.
Bapaknya saya, Zainal Abidin, memberi tahu nama tamu yang datang itu: Ir. Bachtiar Sirait –belasan tahun kemudian saya bertemu dia lagi: dia datang ke Kalbar sebagai staf ahli Menteri Pekerjaan Umum.
Kami menyambut Pak Bachtiar sebagai tamu yang dihormati. Maklum, dia orang kota yang datang ke kampung kami yang terpencil.
Kami menyambut beliau dengan istimewa karena tugasnya: merintis jalan raya. Jalan raya itu, begitu yang dibicarakan masyarakat waktu itu, akan menghubungkan kampung-kampung kami di hulu sungai dengan kota.
“Kita urang ulu bisa ili’ ke kota, lewat jalan itu,”
“Nanti ada sepeda motor datang,”
“Ada terak –truck,”
Kehadiran jalan membawa masyarakat pada impian tentang masa depan yang indah. Pada dunia yang lain dibandingkan dunia sehari-hari mereka. Pada kehidupan orang kota. Pada kemajuan.
Impian itu disandarkan pada Pak Bachtiar yang saat itu sedang merintis jalan impian tersebut.
Selama di kampung kami, Pak Bachtiar pergi pagi pulang sore. Mula-mula dia berjalan ke arah selatan kampung, tepatnya ke arah Menendang. Lalu, beberapa hari kemudian dia bergerak ke arah utara, Nanga Jajang.
Dia berjalan dengan gagah. Dia memakai sepatu karet –sepatu bot. Kesan kami seperti sepatu koboi. Orang kampung waktu itu memakai sepatu kulit –tidak ada alas kaki. Dia membawa peralatan –yang saya tidak tahu namanya.
“Jalan ini tidak lama lagi akan jadi. Setelah dirintis, nanti akan datang alat untuk mengerjakannya,”
Begitu kata Pak Bachtiar. Saya mendengar hal itu saat dia memberitahu bapak. Tidak ada bayangan alat apa yang beliau maksudkan. Juga tidak ada bayangan jalan seperti apa yang akan jadi kemudian.
Pikiran saya terlalu sempit untuk membayangkan jalan raya di antara pokok-pokok tengkawang di hilir kampung –arah Sungai Pengkadan, sungai utama di kampung kami. Alat apa yang bisa merobohkan pokok yang besarnya tiga pelukan orang dewasa, yang tinggi menjulang.
Saya juga tidak mampu membayangkan bukit-bukit kecil yang mengelilingi kampung bisa dilewati sepeda motor dan mobil. Bisakah motor dan mobil melalui akar-akar yang besar, dan sungai-sungai yang lebar? Kalau kuda mungkin tidak ada masalah. Saya sering menonton film koboi. Kuda-kuda tunggangan para koboi bisa lewat di berbagai medan.
***
Beberapa tahun kemudian alat yang disebut Pak Bachtiar datang juga. Suaranya menggelegar. Masyarakat menyambut kedatangan alat-alat itu dengan takut-takut. Tetapi, penasaran. Lalu, semua orang menyempatkan diri menonton pekerja dari jauh. Siapa yang mendekat akan diteriaki oleh orang kampung yang lain.
“Hoi, jangan dekat,”
“Apa mau matikah?”
Alat-alat itu orang kampung diperkenalkan dengan nama doser, ssonuk, kepitin, gleder, bekerja sepanjang siang. Pohon-pohon besar dirobohkan. Batang-batang pohon yang melintang didorong ke pinggir. Bukit-bukit kecil diseruduknya. Lembah-lembag ditutup.
Jalan lempang mulai nampak. Luasnya, seperti padang bola. Masyarakat takjub. Keajaiban.
Setelah itu, secara bertahap mobil-mobil dan motor-motor pekerja mulai masuk. Truk-truk mengangkut tanah untuk mengangkut tanah-tanah dari bukit yang tinggi. Tanah itu kemudian digunakan untuk menimbus bagian yang rendah. Sesekali orang kampung menumpang truk itu. Pengalaman yang mengasyikkan. Saya ingat orang-orang yang sudah naik truk atau naik alat berat bercerita tak putus-putus tentang pengalaman pertama mereka.
Waktu berlalu. Di tahun 1990-an jalan yang kemudian disebut Jalan Lintas Selatan itu mulai diaspal. Jembatan dibangun di atas sungai-sungai yang memotong jalan.
Lalu lintas mulai ramai. Sudah ada bus jurusan Pontianak – Putussibau yang melayani rute itu. Dari Riam Panjang ke Pontianak lebih kurang 14 jam. Bandingkan sebelumnya dari Riam Panjang ke Pontianak perlu waktu empat hari kalau lancar. Rincian perjalannya: dari Riam Panjang ke Jongkong –ibukota kecamatan perlu waktu satu hari dengan perahu tempel (speedboat). Bermalam di Jongkong menunggu motor tambang jurusan Pontianak- Putussibau. Dari Jongkong ke Pontianak lebih kurang tiga hari, langsung. Kadang, bagi yang ingin cepat, singgah di Sintang. Dari Sintang ke Pontianak naik bus. Waktu yang diperlukan kurang lebih 8-10 jam.
Lalu lintas yang sulit sebelum tahun 1990-an menyebabkan orang Riam Panjang –dan orang-orang di kampung lain terbelakang. Pendidikan terbatas. Pengetahuan terbatas. Pengalaman terbatas.
Saya ingat dahulu 80-an awal betapa susahnya orang Riam Panjang kalau mau melanjutkan sekolah menengah. Sekolah menengah pertama bisa dilanjutkan di Jongkong. Tetapi, untuk sekolah menengah atas belum ada hingga di Jongkong didirikan Madrasah Aliyah Swasta. Orang yang ingin melanjutkan sekolah pilihannya ke Pontianak atau Putussibau. Jauh sekali. Orang tua sangat susah mengirimkan biaya sekolah anak. Karena belum tentu ada orang Riam Panjang sebulan sekali ke Pontianak atau Putussibau. Yang beruntung biasanya bila ada keluarga di Pontianak atau Putussibau yang bisa dijadikan tempat menumpang bermalam, dan menyerahkan nasib bila sewaktu-waktu kiriman beras dari kampung belum sampai.
Kesulitan yang tidak mungkin dilupakan adalah ketika di tahun 1980-an terjadi kemarau panjang. Saat itu kami harus berjalan kaki dari Riam Panjang ke Nanga Sengkalu –kampung yang tidak jauh dari Jongkong untuk mengambil beras. Kami berjalan kaki selama 3,5 jam. Beras tidak bisa diangkut dengan sampan melalui sungai yang mengering. Jadi harus dipikul.
Pembangunan jalan darat ini membuat kampung menjadi terbuka. Dan memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat. Tidak ada lagi cerita orang kampung kehabisan beras sekalipun musim kemarau panjang. Tak ada lagi cerita jalan kaki berjam-jam.
Orang kampung mulai sering ke kota. Sebaliknya orang luar juga masuk. Semakin banyak orang Riam Panjang yang sekolah. Pengiriman uang semakin mudah.
Perubahan drastis terjadi dalam waktu yang relatif singkat karena kehadiran Jalan Lintas Selatan itu. Bersambung.
***
“Ada dengar bus tabrakan ndak? Bis Sentosa tabrakan dengan truk di sekitar Silat. Ada orang Riam Panjang ningal,”
Pagi itu, Rabu, dua minggu lalu, Ibrahim, sepupu saya memberitahu. Saya bertemu dia di ruang Malay Corner, Kampus STAIN Pontianak, tempat kami ‘ngepos’. Ibrahim baru kembali dari Nanga Jajang. Dia balik kampung.
“Tau, siapa?”
“Tak sempat tanya. Hanya dengar sepintas,”
Saya penasaran. Siapa orang Riam Panjang yang meninggal dalam tabrakan itu. Saya telepon Adi, adik ipar saya, di kampung. Saya duga pasti Adi tahu siapa yang meninggal itu.
Nomor yang saya hubungi tidak diangkat. Putus. Saya menunggu.
Sesaat kemudian Adi menghubungi saya.
“Ada apa Ba?”
Dia memanggil saya Aba.
“Katanya ada bus tabrakan. Siapa orang Riam Panjang yang ningal?,”
“Auk. Ada. Bis Santosa. Yang ningal Muk Erun. Sentua magang,”
“Heh, Muk Erun?!”
“Innalillahiwainnailaihi rajiunnnn,”
Saya terdiam. Saya kenal Muk Erun. Masih terhitung keluarga. Sepupu emak saya. Orang tua Muk Erun dan Emak, saudara.
Muk Erun jauh lebih muda dari Emak. Umurnya 40-an. Waktu dia kawin saya masih kecil. Tapi saya ingat pernikahan mereka. Saya menonton. Muk Erun menikah dengan Pak Syafrin. Pernikahannya dahulu ramai. Dilaksanakan bersamaan dengan dua pasang pengantin lain. Jadi bayangkan 3 pasang pengantin menikah dalam satu malam.
Setelah menikah, Muk Erun dan Pak Syafrin merintis usaha dagang. Cukup maju.
Dagang ini yang membuat dia lebih sering ke Pontianak. Entah dengan truk sendiri, atau dengan bus. Tapi, saya tidak tahu apakah kemarin dia pergi ke Pontianak dalam urusan bisnis.
Kematian Muk Erun dalam kecelakaan lalu lintas, bukan kematian pertama di jalan raya di Lintas Selatan ini. Banyak.
Pada awal pembangunan, seorang pekerja jalan, Pak Samiran tewas. Dia tewas dalam kecelakaan di tanjakan panjang dekat Nanga Jajang. Sampai hari ini, tanjakan itu dinamakan orang Bukit Semiran. Di tanjakan yang sama, Dudung, pekerja jalan juga tewas. Dudung terjepit oleh kendaraan yang dioperasikannya.
Di tempat yang lain, dekat Nanga Tepuai, ibukota kecamatan Hulu Gurung, seorang anak muda, Anus, namanya, tewas.
Anus anak Pak Bakar. Saya mengenal dia sewaktu saya sekolah di Jongkong. Tidak akrab. Kami tidak sebaya. Anus beberapa tahun lebih muda. Tetapi kami sering main sepakbola. Kadang satu tim, kadang juga jadi lawan.
Sejak saya ke Pontianak, saya tidak pernah bertemu dengan dia. Lalu, tiba-tiba saya mendengar Anus meninggal. Motor yang dikendarainya menabrak jembatan tidak jauh dari Nanga Tepuai itu.
Sesekali kalau kebetulan lewat jembatan besi itu saya ingat Anus. Anak muda yang meninggal di jalan Lintas Selatan itu.
Saya juga ingat As, teman main sewaktu kami di Jongkong. As sangat dekat dengan Sri Buti, adik saya. Kebetulan lanting –rumah rakit keluarga As di tebing sungai persis dekat rumah kami. Kalau air sungai Embau sedang pasang, lanting akan sejajar dengan rumah, dapur kami dan keluarga As jadi sangat dekat. Bisa saling omong dari pintu dapur, kata orang.
As meninggal di tikungan tajam di Riam Panjang beberapa tahun lalu. Motor yang ditumpanginya slip. Dia terlempar. Kepalanya terbanting. Temannya yang membawa motor, luka-luka, tapi selamat.
Tidak jauh dari kampung Riam Panjang, di tempat yang orang kampung sebut Menua’, juga pernah terjadi kecelakaan. Bus dari Putussibau menabrak jembatan. Saya menyaksikan orang berdarah-darah. Ada yang tertancap kaca. Ada yang mukanya lebam. Ada yang patah tulang. Mengerikan sekali. Korban-korban diangkut ke Puskesmas Riam Panjang –yang waktu itu ada di tengah kampung. Mereka diberikan pertolongan pertama oleh petugas kesehatan di sana.
***
Banyak orang terkorban di jalan yang diimpikan itu. Puluhan. Pak Samiran, dan yang lain itu adalah sekadar contoh.
Dan, pasti, korbannya akan terus bertambah. Sikap pengguna jalan, pemilik kendaraan, bersebahat membuat nyawa kadang-kadang seperti tak bernilai.
Jalan yang bagus sekarang ini membuat orang lebih cemas. Kecepatan kendaraan sekarang kendaraan gila-gilaan. 100 kilometer per jam. Tikungan banyak. Tanjakan banyak. Tanda jalan tidak semuanya ada. Kendaraan juga tidak selalu berfungsi baik: remnya yang tidak tajir, ban yang mulai gundul, dan lain-lain.
Saya jadi teringat betapa mengerikan dahulu ketika saya menumpang bus pulang kampung. Bus yang saya tumpangi dipandu oleh hanya satu sopir. Tidak ada sopir cadangan. Padahal jarak tempuh belasan jam. Sopir menjadi seperti robot. Seperti mesin yang tidak bisa capek. Kalau capek, bus berhenti sebentar. Sopir tidur.
Tidak heran beberapa sopir harus menjaga staminanya dengan jenis-jenis minuman tertentu, sebutnya misalnya extrajos dan minuman keras.
Belum lagi isi bus yang kadang melebihi kapasitas. Bus yang seharusnya memuat 28 penumpang, diisi sampai lebih 30-40 penumpang. Tak cukup kursi yang ada, penumpang diselitkan di lorong. Kadang penumpang berdiri, bergelantungan. Sesekali penumpang duduk di kap bis, di atas, karena di dalam sudah penuh.
Memang suka sama suka. Bus suka karena mendapat uang dari penumpang. Penumpang suka karena memperoleh tumpangan.
Pemilik bus suka memakai satu sopir saja, ketimbang sopir cadangan karena tambah sopir pasti tambah pengeluaran mereka.
Mereka, penumpang, sopir dan pemilik bus, kurang memikirkan keselamatan bersama.
Kesadaran tentang keselamatan selalunya muncul setelah ada kecelakaan. Penyesalan selalu muncul belakangan.
Malangnya, pemerintah juga tidak cukup peduli pada situasi itu. Pengawasan kendaraan hampir tidak dilakukan. Sepanjang saya mengikuti perjalanan bus, belum pernah saya lihat petugas angkutan jalan –Dinas Perhubungan, memberikan peringatan kepada bus yang penumpangnya melebihi kapasitas. Belum pernah dengar ada peringatan disampaikan kepada bus yang tidak mempunyai sopir cadangan. Bahkan tidak juga untuk kendaraan yang habis masa uji kirnya.
Sikap pemerintah, sikap pengguna jalan, sikap pemilik kendaraan, adalah kabar buruk. Kabar yang mengerikan. Petanda akan banyak lagi jiwa orang yang terkorban di jalan Lintas Selatan. Sesuatu yang menyajikan ironi.
Rabu, 03 Desember 2008
Jalan Lintas Selatan: JALAN YANG MENDATANGKAN BERKAH, JUGA BENCANA
Diposting oleh Yusriadi di 00.34
Label: Lintas Selatan, Tentang Yusriadi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar