Selasa, 30 Desember 2008

Penyelidikan Bahasa dan Masyarakat Islam di Alam Melayu

Oleh: Yusriadi

Pengantar:

Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan dalam Seminar 35 tahun Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Seminar dilaksanakan tanggal 25 Juni 2007 lalu di Sudut Wacana Kampus UKM, Bangi, Kuala Lumpur.


Pendahuluan

Tema ini sangat menarik. Biasanya, dalam pandangan awam –khususnya orang di Kalimantan Barat, penyelidikan bahasa dan perkembangan masyarakat Islam bergerak terpisah. Bahasa, ya, bahasa. Masyarakat Islam, ya, masyarakat Islam.
Penyelidikan bahasa berkaitan dengan kegiatan linguis mengumpulkan data bahasa yang digunakan masyarakat, atau bicara mengenai bentuk yang diterima dan tidak. Hampir-hampir terlepas dari masyarakat Islam.
Bila membicarakan masyarakat Islam berarti membicarakan bagaimana masyarakat mengamalkan ajaran Islam. Membicarakan penelitian Islam, para ilmuan lebih cenderung melihat dari sisi normatifnya.
Sebelum ini ada juga kecenderungan untuk menganggap Islam sebagai bentuk yang asli dari tradisi agama samawi tersebut. Jadi Islam akan berkaitan dengan persoalan-persoalan ibadah dan lain sebagainya. Bila di luar dari kenyataan ini, orang akan menganggap ini bukan Islam, atau ini bukan yang asli Islam.
Sesungguhnya kewujudan hal seperti ini amat ketara, dan merupakan gejala umum di Indonesia. Dalam buku mengenai penelitian agama di Indonesia sudahpun disebutkan bagaimana kalangan agamawan memisahkan antara penelitian sosial dan penelitian agama. Oleh sebab itu penelitian mengenai masyarakat Islam kurang mendapat sentuhan dari sudut ilmu sosial. Tulisan ini, dalam banyak hal menggambarkan upaya yang perlu dilakukan untuk menempatkan konteks sosial keagamaan pada satu tataran praktis.
Kiranya, gagasan penyelenggaraan seminar ini, atau lebih tepat pilihan tema ini juga bergerak dari gagasan ini. Gagasan ini menghendaki bagaimana penyelidikan bahasa menyentuh masyarakat Islam di alam Melayu, atau dan penyelidikan bahasa memberikan sumbangan terhadap pembentukan akademik masyarakat Islam di alam Melayu.
Berdasarkan anggapan ini, dalam makalah singkat ini akan dipaparkan penyelidikan bahasa yang telah dilakukan di Kalimantan Barat, dan bagaimana kaitannya dengan masyarakat Islam di sini.

Penyelidikan Bahasa di Kalimantan Barat

Perkembangan penyelidikan bahasa di Kalimantan Barat dalam tahun-tahun belakangan ini menunjukkan kemajuan yang sangat berarti. Baik dari segi kuantitas data lapangan yang berhasil dikumpulkan maupun dari segi kualitas penelitian. Bandingannya dapat dilihat dari kenyataan bahwa sekian lama bidang ini dilupakan dan digarap secara sporadis. Lihat saja keheranan yang ditunjukkan Collins (1999):
‘Kalimantan Barat sangat penting untuk mengerti sejarah sosial-budaya dari kawasan Asia Tenggara. Pertama, sejumlah ahli (Blust 1992, Adelaar 1994, Collins 1995, Nothofer 1996) telah mengenali bahwa daerah berawa dan delta Kalimantan Barat seharusnya merupakan daerah asal prasejarah dari bahasa Melayu…..
Kedua, pada masa sejarah awal, Kalimantan Barat memainkan peranan yang penting dalam perkembangan regional perdagangan internasional, beberapa temuan arkeologis gendang gangsa dari Dongson, manik-manik batu akik dari India, patung Budha emas Boddhisatvas, semuanya di lembah sungai Sambas Kalimantan Barat menunjukkan adanya bentuk pemerintahan perdagangan sezaman atau lebih awal dari pemerintahan Sriwijaya (Nik Hassan Suhaimi, p.c). …
Ketiga, perlu diperhatikan bahwa banyaknya jumlah kesultanan, kerajaan kecil, daerah kekuasaan Melayu di Kalimantan Barat melampaui jumlah daerah manapun di Nusantara. Demikian pula umur dari unit-unit politik beragam mulai dari zaman purba seperti Sambas sampai yang baru seperti Pontianak’. (Collins 1999: 1)
Sekalipun Kalimantan Barat cukup istimewa dalam pentas akademik sejak dinobatkan sebagai tanah asal usul bahasa Melayu, pengetahuan dunia luar -bahkan juga orang dalam sendiri, mengenai keadaan bahasa Melayu di Kalimantan Barat masih masih kurang. Padahal, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa utama sudah disinggung tiga ratus tahun lalu. Thomas Bowrey menerbitkan peta Nusantara (Bowrey, 1701) yang dilampirkan bersama Kamus Bahasa Inggris dan Bahasa Melayu, menyenaraikan tempat-tempat bahasa Melayu dituturkan, termasuk kawasan pantai Pulau Borneo Bagian Barat (Kalimantan Barat).
Pada tahun 1984 terbit sebuah peta persebaran bahasa (termasuk bahasa Melayu di Kalimantan Barat) yang diusahakan Wurm dan Hattori (1984). Mereka memberikan gambaran secara geografis persebaran bahasa yang diberi satu nama, yakni bahasa Melayu Pantai Barat Borneo (Western Coastal Malay), mengelilingi pantai barat dari utara ke selatan, dan kemudian persebaran itu masuk menyusuri aliran Sungai Kapuas hingga Bunut (Nanga Bunut atau Kecamatan Bunut?), sepanjang Sungai Melawi hingga Serawai (wilayah Sintang). Di aliran Sungai Pawan, dari muara hingga Sandai.
Pada tahun 1990, dalam bibliografi dialek Melayu di Pulau Borneo (Collins 1990) juga dicantumkan dua nama bahasa Melayu, yakni Melayu Pontianak dan Melayu Sambas, serta disebut-sebut bahasa Melayu Ulu (Kapuas). Peta ini ditampilkan berdasarkan data yang diperoleh di berbagai perpustakaan, yang dipublikasikan sebelum tahun 1987.
Dalam surveynya kemudian, Collins menyebutkan tidak kurang dari lima dialek Melayu yang resmi dipakai di Kalimantan Barat (Collins 1999: 7). Di barat laut, Melayu Sambas digunakan sepanjang lembah Sungai Sambas. Di sebelah timur Sambas, sepanjang Sungai Landak, beberapa kampung penutur bahasa Melayu. Di kampung-kampung itu bahasa Melayu Landak digunakan. Di Kota Pontianak dan sekitarnya digunakan dialek Melayu Pontianak, dialek yang sangat dipengaruhi dialek Melayu Riau. Sejauh 80 kilometer ke hulu Sungai Kapuas dari Pontianak, yakni di Sanggau, Sekadau, Sintang, digunakan dialek Melayu Ulu Kapuas. Di selatan Kapuas, sepanjang Sungai Pawan digunakan dialek Melayu Ketapang.
Selain sejumlah tulisan yang disebutkan dalam Bibliografi Bahasa di Pulau Borneo (Collins 1990), ada dua tulisan lain yakni dalam Moh Mar’a (1990), dan kamus kecil Bahasa Melayu Sambas yang diusahakan Mawardi (1997). Di tahun 1999 sebuah tesis tentang bahasa Melayu di Kapuas Hulu dihasilkan (Yusriadi 1999). Selain itu, ada beberapa artikel sumbangan Bernd Nothofer (1993) dan Collins (1995).
Setelah tahun 2000, setelah hipotesis yang menempatkan Kalimantan Bagian Barat sebagai tanah asal usul bahasa Melayu (Malay Homeland Hypotesis) mulai dibicarakan secara meluas, tulisan mengenai bahasa Melayu di Kalimantan Barat menunjukkan pertambahan secara kuantitas dan kualitas. Antara lain da disertasi Jaludin Chuchu yang menyentuh dialek Sambas (tahun 2001), tesis Firman Susilo mengenai bahasa Melayu di Sungai Melawi (2002).
Koleksi data yang dipungut tim peneliti Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) bersama mitranya Pusat Kajian Budaya Melayu (PKBM) Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak juga dapat disebutkan. Dari ratusan titik pengumpulan data bahasa di Sungai Sekadau, Sungai Kedukul, Sungai Laur, Sungai Kualan, puluhan di antaranya adalah varian Melayu. Koleksi data varian Melayu yang diterbitkan dalam monograf The Borneo Homeland Series. Makalah Collins antara lain bahasa dan identitas di Kalbar (Collins 2001), Contesting Malay Straitnees dibentangkan di Leiden (2001) dan kemudian diterbitkan di Singapura (Collins 2003).
Selain itu pada tahun 2003 dan tahun 2004 ada belasan tulisan yang dipublikasi atau diseminarkan tentang bahasa (termasuk bahasa Melayu). Karya Collins misalnya : Penelitian bahasa di Kalimantan Barat (Collins 2003a), Bahasa di Embau (Collins 2003b), bahasa di Sungai Sekadau (Collins 2003c). Begitu juga dalam Yusriadi dan Hermansyah (2003), dan juga dalam Yusriadi (2003) bahasa di Sungai Laur.
Tahun 2004 dua makalah dibentangkan pada konferensi internasional di Jakarta yakni Collins (2004a) dan Yusriadi (2004a). Yusriadi tahun 2004 (Yusriadi 2004b) menerbitkan tulisan tentang profil Melayu Ulu Kapuas, dan sebuah tulisan tentang bahasa dan identitas (Yusriadi 2004c).
Selain itu Pusat Bahasa di Jakarta juga menerbitkan data bahasa yang mereka petik di Kalimantan Barat, yang antara lain mengenai bahasa Melayu yang ada di beberapa tempat penelitian per kabupaten (Pusat Bahasa 2003). Data yang dikeluarkan Kantor Bahasa Pontianak juga memperlihatkan beberapa penelitian bahasa yang sudah dilakukan kantor tersebut.
Seminar 144 tahun penelitian bahasa dan sastra di Kalimantan Barat di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia 31 Januari - 2 Februari 2005, memperlihatkan akumulasi penelitian bahasa yang sudah dilakukan sejak 144 tahun lalu, sejak terbitnya tulisan pertama tahun 1861 oleh William Chalmers.
Tulisan-tulisan dari hasil penelitian ini harus diakui masih berupa kepingan-kepingan yang belum disusun sewajarnya. Penelitian masih terpenggal dan hampir belum tergarap secara sistematis: baik lokasi garapan maupun bidang ilmu.
Tetapi walau demikian, tulisan ini tidak saja menggambarkan penggunaan bahasa -khususnya bahasa Melayu, tetapi dalam konteks persebaran agama, tulisan-tulisan ini memaparkan kantong-kantong pemukiman orang Melayu dan di tempat-tempat di mana bahasa Melayu menjadi bahasa utama (lingua franca).

Sumbangan Penyelidikan Bahasa

Dari gambaran persebaran dan penggunaan bahasa Melayu di Kalimantan Barat orang memperoleh wawasan mengenai persebaran dan dinamika orang Islam juga. Kesimpulan ini muncul karena seperti yang kita ketahui, di Kalimantan Barat, Melayu-Islam identik. Orang yang masuk Islam disebut masuk Melayu, dan pada pandangan sosial orang Melayu adalah orang Islam. Sebaliknya, orang bukan Melayu adalah tidak Islam (Yusriadi-Hermansyah-Dedy Ari Asfar 2005; Soal hubungan kait antara Melayu dan Islam dapat dilihat dalam tulisan Yusriadi (1999), Zainuddin Isman (2002), Yusriadi dan Hermansyah 2003).
Penelitian mengenai bahasa Melayu Sambas, Melayu Pontianak, Melayu Laur, Melayu Sanggau, Melayu Kapuas Hulu, dll dari aspek apapun sudah pasti akan menyentuh sedikit tentang masyarakat Melayu tersebut. Jumlah, persebaran, variasi, bentuk-bentuk bahasa kemungkinan digambarkan melalui peneliti fonologi, morfologi, sintaksis, apatah lagi penelitian sosiolinguistik.
Penelitian dan tulisan yang dilakukan Moh Mar’a (1990) Mawardi (1997), Jaludin Chucu (2001), misalnya memberikan kita gambaran mengenai kelompok masyarakat penutur bahasa Melayu Sambas. Penjelasan mengenai istilah budaya yang ada dalam masyarakat Sambas menyentuh tentang kepercayaan, pandangan mereka terhadap agama dan kepercayaan lama (sinkrestisme). Sedangkan hubung kait bahasa Melayu Sambas dengan bahasa Brunei dalam Jaludin Chucu memberikan bayangan mengenai hubung kait dua masyarakat Melayu ini. Perkaitan ini kelak membantu orang memahami kaitannya antara orang Brunei dan orang Sambas. Jika wawasan kita mengenai bahasa Sambas diperluas lagi, misalnya membandingkannya dengan bahasa Kanayatn orang akan memperoleh gambaran mengenai hubungan antara Islam dan bukan Islam di kawasan ini.
Contoh lain, penelitian Yusriadi tentang bahasa dan identitas di Riam Panjang, selain menyoroti bagaimana bahasa berperanan dalam pembentukan, pemertahanan dan perubahan identitas, tetapi sejarah perubahan identitas mereka menjadi Melayu, kegiatan keberagamaan (Islam) juga dipaparkan. (Yusriadi 2005). Penelitian-penelitian lain sejatinya juga menggambarkan aspek-aspek seperti itu, sehingga akhirnya saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.
Rasanya, bukan cuma sumbangan seperti yang dipaparkan di atas yang bisa diberikan penelitian bahasa terhadap kajian Islam di Kalimantan Barat. Masih banyak sumbangan lain yang dibisa diberikan, mengingat bahasa merupakan bagian dari kehidupan manusia yang hampir tak bisa dipisahkan. Bagaimanapun salah satu ciri kemanusiaan adalah bahasa (Akmajian, dkk 1995).
Sebelumnya ada wacana yang berkembang dalam dialog pra-seminar adat-istiadat Melayu di Kalimantan Barat antara Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak dan Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kalimantan Barat, Juli lalu. Dalam dialog yang membicarakan pentingnya penelitian, seminar dan penerbitan tentang Melayu di Kalbar, sempat terlontar keluhan soal tidak adanya terbitan hasil penelitian mengenai Islam di Kalimantan Barat.
Keluhan muncul karena sejauh ini belum ada buku atau bahan terbitan yang dapat digunakan umum untuk menggambarkan Islam di Kalimantan Barat. Orang sulit mendapatkan informasi tentang sejarah masuknya Islam di daerah ini, perkembangan Islam di ceruk pedalaman, atau tentang dinamika umat Islam di Kalbar. Kalaupun ingin memperoleh informasi seperti itu, seseorang harus membongkar rak-rak buku perpustakaan, arsip-arsip penelitian, dll; yang semua itu memerlukan kerja keras, ekstra waktu, dan kemampuan ilmu. Jangan pernah berharap ada bahan yang bisa diterima mentah-mentah, siap pakai; seperti kita menerima pelajaran tentang sejarah Indonesia.
Tidak mengherankan jika kemudian orang menjadi lebih mudah (atau lebih suka) membangun pengetahuan mengenai Islam di Kalbar berasaskan pengetahuan lisan: yang sifatnya agak-agak! Berasaskan ingatan orang-orang tua yang sudah pasti terbatas; dan dengan kemampuan yang juga terbatas.
Semua orang -akademisi dan tokoh Melayu yang hadir dalam forum itu dapat membenarkan tanggapan ini. Sebab memang keluhan seumpama ini sudah sering terdengar (Lihat dalam Collins 1995, Yusriadi 1999, Hermansyah 2002, Moh Haitami Salim, dkk 2001). Bahkan akademisi mempunyai istilah khusus untuk menggambarkan keprihatinan mereka terhadap kondisi ini. Victor King misalnya menyebut pulau Borneo sebagai the neglected island (King 1993), sedangkan James T. Collins menyebut Insula in cognita (Collins 2003).
Istilah-istilah yang ironis itu muncul karena mereka tidak puas atas informasi yang ada, yang cuma sekelumit. Bagi mereka sangat mengherankan Pulau Kalimantan yang termasuk pulau ketiga terbesar di dunia setelah Greenland dan Papua, pulau yang terletak di laluan strategis perdagangan dunia (di bibir Laut Cina Selatan), diapit pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi, tetapi tetap menjadi misteri dalam kancah ilmu pengetahuan.
Tetapi mungkin juga pandangan ini terlalu dramatis. Mungkin saja seperti disebut seimbas lalu, kajian yang dilakukan terhadap pulau ini dan masyarakatnya sudah bertambah dari waktu ke waktu. Setidaknya, setelah King dan Collins mengingatkan hakikat kelebihan dan kenyataan yang berlaku atas pulau tempat kita hidup sekarang ini. Dunia berubah, dunia akademik juga sudah berubah!
Saya sendiri pernah mendapat kritikan ketika dalam sebuah seminar di Pontianak tahun 2004 lalu. Ketika itu saya mengatakan pengetahuan mengenai Cina di Kalimantan Barat amat sedikit; sebab, penelitian tentang bahasa Cina hanya satu dua dan sangat terbatas. Pengkritik mengatakan, mereka sudah melakukan penelitian tentang Cina beberapa bulan lalu! Tetapi, penelitian belum diterbitkan -mungkin tak akan pernah diterbitkan, dan lebih malang lagi saya tidak bisa mengakesnya.
Berkaitan dengan minimnya informasi mengenai Islam di Kalbar, mungkin bantahan serupa juga akan muncul -bahwa ada sejumlah (banyak?) penelitian yang sudah dilakukan. Sebut saja beberapa penelitian untuk tesis yang dilakukan oleh magister agama STAIN Pontianak: Muh. Gito Saroso tentang perkembangan tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah di kota Pontianak (2003), Hermansyah tentang Islamisasi dan magi (Ilmu) di Kapuas Hulu (2002), atau penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan tokoh Basuni Imran, Chatib Sambasi, dll.
Saya juga mencatat (Yusriadi, dkk 2001) ada beberapa kajian mengenai Islam dan masyarakat muslim di Kalimantan Barat yang sudah dilakukan oleh mahasiswa program S-1 ketika mereka diwajibkan menulis skripsi. Sangat mungkin hasilnya akan lebih banyak jika penelitian yang dilakukan mahasiswa di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Pontianak, atau penelitian yang dilakukan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS), atau perguruan tinggi agama Islam di Ketapang, Singkawang dan Sintang, juga dihitung. Jika asumsi bahwa ada ribuan sarjana yang dihasilkan perguruan tinggi agama Islam di Kalbar, maka berarti ada ribuan pula penelitian mengenai Islam yang sudah dilakukan!
Tetapi, tesis dan skripsi yang dihasilkan civitas akademika itu hampir-hampir tidak diketahui. Penelitian ini tidak pernah dipublikasikan dan dibuka secara luas, dan kemudian tidak pernah (jarang) disebut-sebut sebagai upaya mengingat kembali. Nyatanya, setelah ujian tesis, dan setelah ujian skripsi, semuanya berlalu. Kertas-kertas itu menjadi tumpukan dokumen sakral di rak-rak buku.
Seharusnya, ribuan penelitian itu sudah membentuk gundukan data mengenai Islam dan masyarakat muslim di daerah ini, saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Apalagi ini ada penelitian yang menggarap bidang pendidikan, ekonomi masyarakat, dakwah dan penyebaran Islam.
Masalahnya, keluhan masih saja muncul, orang merasa masih saja kekurangan informasi mengenai Islam dan masyarakat muslim di Kalbar . Bahkan saya berani memastikan, di antara kita, banyak yang hanya pernah mendengar adanya penelitian, tetapi belum melihat wujudnya!

Penutup

Dari paparan di atas, kiranya kita memperoleh gambaran yang cukup, bagaimana penyelidikan bahasa yang dilakukan di Kalimantan Barat selama ini. Penelitian ini memberikan sumbangan terhadap pengetahuan mengenai orang Islam di sini.
Memang perlu konstruksi tersendiri untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan baik, memandangkan penelitian mengenai masyarakat Islam belum banyak dilakukan. Data-data yang ada, yang masih terkeping-keping perlu disatukan, sehingga membentuk mosaik indah wajah Islam di Kalbar.
Oleh sebab itulah senyampang dengan apa yang sudah dilakukan para linguis, para ahli sosial keagamaan juga perlu melakukan sesuatu; melakukan kajian –baik kajian lapangan maupun kajian kepustakaan. Data yang dikumpulkan linguis bisa menjadi pangkalan awal untuk usaha ini. Ibarat kata, inilah pangkalan seorang pelaut sebelum berlayar ke lautan informasi di belantara Kalimantan Barat.
Niscaya data ini juga bermanfaat sebagai penunjuk arah. Memandu peneliti dalam bidang sosial keagamaan untuk melukiskan gambaran sosial masyarakat muslim di pulau besar ini, gambaran masyarakat Islam di tengah pulau yang misteri ini. Gambaran ini kiranya sama pentingnya dibandingkan lukisan yang sudah dibuat mengenai masyarakat Islam di pusat Islam, setidaknya sebagai pembanding.
Takkan pula kita terus menggugat persoalan dikotomi yang sememangnya dianggap sebagai ciri profesionalisme seorang peneliti. Agaknya! **

Bahan Bacaan

Akmajian, dkk. 1995. Bahasa dan Komunikasi. Terj. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Bowrey, T. 1701. A dictionary, English and Malayo, Malayo and English, to which is added some short grammar rules & directions for the better observation of the propriety and elegancy of this language. London: Sam Bridge.
Collins, J. T. 1995. Kalimantan sebagai titik tolak pengkajian bahasa Melayu. Jurnal Dewan Bahasa 39 (10) : 866 - 879.
Collins, J. T.1990. Bibliografi dialek Melayu di Pulau Borneo. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Collins, J.T. 1999. Keragaman Bahasa Melayu di Kalimantan Barat. Makalah Seminar Festival Budaya Nusantara Regio Kalimantan, Pontianak, 23 September.
Collins, J.T. 2003a. Alam Melayu dan masyarakat Embau, dalam Yusriadi dan Hermansyah 2003. Orang Embau, Potret masyarakat pedalaman Kalimantan. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
Collins, J.T. 2003b. Contesting straits-Malayness: The fact of Borneo. Singapura: NUN Press.
Collins, JT. 2003c. Penelitian bahasa di Kalimantan Barat. Makalah pada acara peluncuran buku Orang Embau, Februari 2003.
Firman Susilo. 2001. Pemakaian bahasa Melayu di daerah aliran Sungai Melawi (Kajian Geografi Dialek. Tesis MA, Yogyakarta : Universitas Gajahmada.
Hermansyah. 2002. Magic Ulu Kapuas: Kajian atas Ilmu masyarakat Melayu Embau. Tesis Magister Agama IAIN Walisongo Semarang.
Jaludin Haji Chuchu. 2001. Posisi dialek Melayu Teluk Brunei dalam salasilah baha Melayu Purba. Disertasi Ph.D. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
King, Victor T. 1993. The peoples of Borneo. Oxford : Blackwell.
Mawardi Rivai. 1997. Kamus bahasa Melayu Sambas. Pontianak: Romeo Grafika Press.
Moh. Mar’a. 1990. Pronomina persona dan pronomina penunjuk dalam dialek Melayu Sambas. Jurnal Dewan Bahasa 34 (8): 598-603.
Moh. Haitami, dkk. 2000. Islam di pedalaman Kalimantan Barat (Studi kasus atas keberagamaan masyarakat Embau). Pontianak: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.
Muh. Gito Saroso. 2003. Dakwah Islam di Kalimantan Barat (Studi kasus atas Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah di Kota Pontianak 1977-2002). Tesis Magister Agama IAIN Walisongo Semarang.
Nothofer, B. 1993. Migrasi orang Melayu Purba. Sari 14:33-52
Wurm, S.A. dan S. Hattori. 1983. Language atlas of the Pacific area,
Part II. Canberra: Australian Academy of the Humanities in Collaboration with the Japan Academy.
Yusriadi. 1999. Dialek Melayu Ulu Kapuas. Tesis MA. Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Yusriadi, dkk. 2001. Judul dan abstrak penelitian Islam di Kalbar. Borneo Homeland Datat Paper 21.
Yusriadi. 2003. Bahasa Melayu di Sungai Laur. Naskah.
Yusriadi. 2004. Bahasa di Kapuas Hulu. Makalah pada Konferensi Linguistik Tahunan ke-2 Universitas Katolik Atmaja, Jakarta.
Yusriadi. 2004. Bahasa dan identiti di Riam Panjang, Kalimantan (Indonesia). Disertasi Ph.D Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Yusriadi dan Hermansyah 2003. Orang Embau, Potret masyarakat pedalaman Kalimantan. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
Yusriadi, Hermansyah dan Dedy Ari Asfar. 2005. Etnisitas di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Press.
Zainuddin Isman. 2001. Orang Melayu di Kalimantan Barat: kajian perubahan budaya pada komuniti pesisir dan komuniti pedalaman. Tesis MA, Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.



0 komentar: