Oleh: Yusriadi
“Singkawang ribut. Massa Melayu memprotes pendirian patung naga di tengah kota. Massa minta patung itu dirobohkan”.
Itulah informasi yang saya terima Jumat lalu. Informasi ini membuat saya bingkas. Saya tertarik dengan kabar ini. Saya ingin mengetahui lebih jauh perkembangan kejadiannya. Namun sayang, perkembangan tidak banyak diperoleh. Saya hanya mendapatkan nama kelompok organisasi yang menggalang protes itu: Front Pembela Islam (FPI).
Saat itu saya tidak mendapat siapa nama tokoh-tokoh gerakan. Saya tidak mendapat informasi mengenai jumlah orang yang terlibat aksi ini. Saya juga tidak mendapat informasi bagaimana gerakan ini dilakukan.
Saya juga tidak mendapat informasi mengenai siapa orang yang menggagas pembangunan patung ini. Siapa yang mengerjakannya. Saya hanya menduga, mungkin Dinas Pariwisata atau mungkin juga Walikota.
Karena itu hari Sabtu saya langsung memburu koran. Saya mencari berita di Equator, karena media ini menjadikan kasus Singkawang sebagai HL. Saya mencari berita serupa di Pontianak Post dan di Tribun Pontianak.
Hari berikutnya, saya juga mencari koran untuk mendapatkan perkembangan selanjutnya. Namun, tidak ada perkembangan berarti setelah itu.
***
Bagi saya kasus ini sangat menarik karena berkaitan dengan persoalan etnik –bidang yang selama ini saya geluti.
Kasus Naga Singkawang berkaitan dengan identitas masyarakat Cina (Tionghoa). Naga adalah salah satu simbol; selain barongsai.
Dalam kasus ini, orang Cina (agaknya begitu) ingin naga dibangun di tengah kota untuk menambah daya tarik pariwisata.
Saya mengaitkan hal ini dengan pengetahuan umum bahwa Singkawang memang dikenal sebagai kota Cina. Nama lain Singkawang katanya adalah “Sin Kiu Jong”. Saya sangat sering mendengar orang menyebut Singkawang sebagai “Kota Amoy”. Itu yang saya dengar sejak lama. Mendengar nama ini saya (dan mestilah semua orang) membayangkan gadis-gadis Cina dijumpai di mana-mana.
Belakangan saya juga mendengar orang menyebut Singkawang sebagai kota seribu kelenteng. Sebutan ini untuk menunjukkan bahwa di kota ini sudah terbangun 1000 buah kelenteng. Jumlah sebanyak itu, membuat kelenteng nampak di mana-mana. Mulai dari pintu masuk ke kota Singkawang hingga di pusat kota.
Jadi, kehadiran Naga di tengah kota menambah kuat identitas untuk kota Singkawang sebagai kota Cina.
***
Tetapi tentu saja masalah di Singkawang tidak bisa dilihat dari konteks itu. Masalah di Singkawang mestilah berkaitan dengan situasi sosial politik lokal dan regional. Di Singkawang, ada pertarungan politik antar kelompok. Dalam suksesi lebih setahun yang lalu, Hasan Karman, walikota sekarang berhadapan (mungkin juga berkaitan) dengan etnis. Hasan Karman adalah Cina. Sedangkan lawan tarungnya, beberapa di antaranya menggunakan simbol Melayu. Sehingga secara ringkas orang melihat pertarung dalam Pilwako Singkawang adalah pertarungan antara Melayu dan Cina. Masyarakat pemilih diramalkan banyak juga yang mempertimbangkan isu ini.
Meskipun tidak secara gamblang disebutkan ada pertarungan isu ini dalam Pilwako, namun aromanya terasa sekali.
Melihat situasi kala itu saya sempat meramalkan Pilwako Singkawang akan ribut. Kelompok tertentu dari kelompok Melayu akan melakukan sesuatu untuk orang Cina. Saya mengkhawatirkan hal itu. Kemungkinan ributnya cukup besar. Saya terobsesi dengan teori Ogborn. Kira-kira, keributan di Singkawang bisa terjadi karena orang Melayu merasa lebih kuat. Singkawang ‘terkepung’ oleh kampung-kampung Melayu. Kelompok Melayu tertentu mungkin merasa bisa menggerakkan simpati orang-orang kampung ini untuk kepentingan mereka.
Kemudian, syukurlah, keributan itu tidak terjadi. Kemenangan Hasan Karman diterima dengan ‘lapang dada’. Orang Melayu masih bisa menerima walau dengan berat hati, karena masih ada Edy R Yakoub, yang “urrang kitte jua’”.
Penerimaan belum sepenuhnya. Masih ada perasaan ‘kosong’ pada kelompok tertentu. Masih ada orang yang berusaha mencari revans atas apa yang dianggap mereka sebagai ‘kekalahan’. Ada yang terus melakukan hitung-hitungan terhadap orang Cina. Bak kata, seperti di Pontianak, ada orang yang menunggu waktu untuk membuat perhitungan.
***
Tentu banyak orang yang tidak setuju dengan hal itu. Banyak orang yang menyadari kalah menang dalam dunia politik adalah sesuatu yang biasa. Orang sendiri memimpin belum tentu lebih baik dari orang lain. Orang lain memimpin belum tentu buruk.
Tetapi, kelompok tertentu ini tentu tidak boleh diabaikan. Mereka harus mendapat perhatian dan ditangani searif mungkin.
Pilihan mengabaikan mereka sama saja membiarkan titik api hidup di atas sekam. Lama-lama akan membesar.
Sudah banyak contoh keributan besar muncul dari persoalan kecil. Keributan besar terjadi karena adanya akumulasi dari berbagai persoalan.
Dan, saya melihat persoalan antara Cina dan Melayu sangat banyak. Kedua komunitas ini sangat mudah dipisahkan dan dibedakan. Ada isu agama yang bisa menjadi bensin dalam hubungan ini. Ada isu ekonomi: soal lapangan kerja, soal kaya-miskin, yang tidak kalah kuatnya. Ada isu politik yang juga sangat mudah menyulut konflik.
Isu-isu seumpama ini memang tidak penting bagi orang yang memahami perbedaan, tetapi, berapa banyak orang yang memahami dan mau memahami itu?
Saya meramalkan jika penanganan Naga Singkawang tidak dilakukan sebaik mungkin, naga itu kelak akan menjadi naga api. Naga yang akan menyemburkan api dari mulutnya dan membakar bangunan-bangunan di kota Singkawang. Api dari mulut naga ini juga yang akan membunuh orang-orang yang tidak berdosa.
Saya selalu ingat dan sangat takut jika hipotesis konflik etnik di Kalbar terbukti kelak. Sebab saya meramalkan jika konflik ini terjadi, pasti Cina akan menjadi sasarannya. (Lihat Yusriadi. 2008. Tionghoa Kalbar di Titik Panas)
Kamis, 18 Desember 2008
Menunggu Patung Naga Singkawang Menjadi Patung Naga Api
Diposting oleh Yusriadi di 04.00
Label: Etnik, Orang Tionghoa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
berita bola
forum bola
forum jual beli gratis
kisah inspirasi
Taruhan bola
Judi bola
Taruhan bola Online
Judi bola Online
Posting Komentar