Jumat, 13 Maret 2009

Belajar dari Mereka yang Luar Biasa

Oleh Yusriadi

Tiba-tiba terlintas dalam benak saya, keinginan membawa peserta Pelatihan Penulisan Kisah Perjalanan Malay Corner (MC) ke lapangan.
Ide ini muncul, karena kalau turun bersama begini peserta bisa langsung praktik. Dengan turun bersama, kami bisa langsung berdiskusi, dll di lapangan. Dengan turun bersama-sama saya bisa menilai apakah tulisan mereka kelak ‘ok’ atau tidak.
Bagi teman yang lain, turun lapangan ini akan menambah jam terbang melakukan penelitian lapangan. Jam terbang ini penting untuk membangun kepercayaan diri sebagai seorang peneliti, selain menambah pengalaman berinteraksi dengan masyarakat yang diteliti.



Saya selalu percaya, interaksi serupa ini akan berbeda kualitas dan dampaknya dibandingkan dengan interaksi biasa.
Saya kemukakan ide ini kepada Ibrahim, Direktur MC. Ibrahim menyambut baik rencana ini.
Soalnya kemudian adalah bagaimana mengatur kunjungan ini? Bagaimana teknisnya? Bagaimana biayanya, dll.
Akhirnya saya putuskan bernegosiasi dengan kepala P3M STAIN Pontianak, Yapandi Ramli. Kepada Bang Yapandi, saya kemukakan kami berniat melakukan kunjungan lapangan dan kunjungan itu dilakukan ke desa binaan STAIN Pontianak. Kami akan membuat tulisan tentang desa yang kami kunjungi. Kami akan terbitkan buku!
Ujung-ujung, tapi ... kami minta difasilitasi.
Soal transportasi: kami berangkat pakai motor sendiri: Lebih murah dan tidak merepotkan P3M.
Dan, Alhamdulillah Bang Yapandi setuju. Bahkan beliau menyambut dengan antusias rencana. P3M akan rapat membicarakan rencana itu.

***

Dalam perkembangan selanjutnya, rupanya diskusi di internal P3M menghendaki desa yang dikunjungi adalah desa Durian, bukan desa di Punggur. Saya menghendaki Punggur bukan tanpa sebab. Kepada Ibrahim saya kemukakan bahwa saya memilih Punggur karena itu kampung Bugis. Pertama, tulisan tentang Bugis perantauan agak terbatas. Terutama tentang Bugis Kalbar. Tentang Madura Kalbar sudah cukup banyak. Kedua, untuk kepentingan MC, meneliti Bugis lebih relevan karena dalam banyak hal Bugis kerapkali diserap dalam kelompok Melayu. Fenomena Bugis di Kalbar secara umum juga sangat menarik karena identitas yang ditunjukkan kelompok ini cukup variatif. Dan ini menambah referensi di MC.
Mengapa P3M lebih memilih Durian?
“Itu desa eks pengungsi GOR,”
“Kehidupan pengungsi meningkat. Dahulu rumah kayu bulat, sekarang semen. Bagus-bagus dan besar,”
Wow. Menarik.
Pasti menarik melihat bagaimana masyarakat di sini bangkit dari penderitaan yang mereka alami. Saya bisa membayangkan betapa tidak enaknya terusir dari tempat tinggal. Betapi tidak nyamannya lari dari rumah sendiri. Betapa menderitanya di bawah bayang-bayang pembunuhan.
Hidup di pengungsian juga tidak enak. Saya pernah membuat liputan tentang pengungsian ini. Mereka hidup di barak-barak. Mereka tidak punya privasi. Tidak punya apa-apa. Mereka tergantung pada bantuan. Bantuan pakaian, bantuan makanan dan bantuan perhatian. Hanya orang yang hatinya yang gelap saja yang tidak dapat menyelami penderitaan seumpama ini.
Lalu, mereka direlokalisasi. Dipindahkan ke tempat yang ditentukan pemerintah: itupun juga dengan tekanan. Ada suara-suara tidak indah. Ada orang yang keberatan menerima kehadiran mereka, karena suku mereka.
Mereka harus mencari tempat di mana mereka bisa diterima dengan ikhlas. Mereka harus mencari tempat yang sesuai.
Di lokasi ini, mereka memulai dari nol. Kalau bukan dari minus. Mereka harus berjuang sekuat tenaga, agar bisa bangkit lagi. Mereka harus menghadapi alam, bahkan menghadapi psikologi diri sendiri sebagai orang yang terusir dari kampung halaman.
Saya membawa rombongan pergi ke lokasi dengan semangat antusiasme.

***

Berhasil. Ada dua hasil yang nyata yang saya – kami, dapatkan dari kunjungan lapangan itu.
Pertama, seperti yang diceritakan, kami benar-benar menyaksikan sesuatu yang luar biasa.
Kami menyaksikan kehidupan masyarakat di sini bangkit. Kami menyaksikan perjuangan mereka. Mereka telah melewati ujian –ujian yang jelas sangat berat. Dan mereka sanggup. Mereka berhasil.
Mereka menunjukkan kemandirian mereka. Mereka memilih tanah tempat tinggal sendiri. Membeli lahan terbatas dengan dana pindah yang disediakan pemerintah. Lalu lahan itu mereka garap. Mereka olah. Mereka tanam.
Sayur tumbuh subur. Ada ubi, sawi, cabe, kubis, kacang, dll. Padi terus berbuah –walaupun tahun ini karena faktor cuaca jadi agak kurang. Lahan menjadi sangat produktif.
Mereka juga memelihara sapi dan ayam.
Pada saat tertentu, mereka bekerja ke luar kampung. Yang wanita menjadi pembantu rumah tangga. Yang lelaki kuat menjadi buruh bangunan, jalan, dll. Tidak saja di Pontianak, mereka juga merantau hingga ke Jakarta, Malaysia, bahkan Arab Saudi.
Pendapatan dari luar mereka bawa pulang. Mereka bangun rumah. Mereka beli tanah. Mereka tingkatkan taraf kehidupan dalam waktu hanya empat lima tahun. Waktu yang singkat.
Kedua, saya juga menyaksikan semangat kawan-kawan peserta pelatihan dalam mencungkil data. Waktu bagi mereka berharga untuk ditukar dengan informasi yang dibutuhkan. Lelah, hampir tidak jadi halangan bagi mereka untuk melaksanakan ’panggilan hati’ sebagai peneliti dan penulis kelak.
Saya merasa beruntung berada di antara mereka yang memiliki semangat tinggi. Saya seperti melihat kelahiran generasi penulis di Kalbar ini.
Saya seperti sudah melihat karya-karya mereka di lapangan, karya yang akan membuka cakrawala orang lain dalam memahami kehidupan sosial masyarakat –khususnya masyarakat di Kalbar.
Karya ini juga membuat mereka-mereka sebagai orang Kalbar yang namanya akan abadi di tengah perubahan zaman. Tunggu saja!


0 komentar: