Oleh Yusriadi
Borneo Tribune, Jumat, 9 Januari 2009
"Setogal dulu' bah,"
Pak Askari pamit. Sebentar.
Gayanya santun.
Dia bergegas meninggalkan saya dan Tanto Yakobus, Wakil Pimpinan Redaksi Harian Borneo Tribune, Pontianak. Menyusul rekannya, Mayor Hendri, Kepala Seksi Pembinaan Potensi Kedirgantaraan, dan Letnan Rozikin, perwira bagian Penerangan dan Perpustakaan, Pangkalan Angkatan Udara Supadio Pontianak.
Mereka menjemput Komandan Pangkalan Udara TNI AU (Lanud) Supadio, Kolonel Penerbang (Pnb) Yadi Indrayadi, di halaman depan kantor Borneo Tribune.
Kami melihat dia melangkah keluar, sampai dia hilang di balik pintu.
"Tak sangka ya,"
Saya memberi tahu Tanto.
Saya merasa takjub.
Seorang tentara dengan pangkat tinggi masih bisa bersikap santun seperti itu. Bayangan saya, mestinya tidak begitu. Apalagi di kalangan militer. Di kalangan militer pangkat sangat penting. Orang cenderung dihormati karena pangkatnya.
Saya tidak punya pangkat. Tanto ada -Wakil Pimpinan di Borneo Tribune. Tetapi, saya rasa, Pak Askari pamit terutamanya kepada saya. Sebab dia menggunakan bahasa ulu.
Dan, tentu saya juga takjub karena dia menggunakan "bahasa ulu". Memang, kami sudah berkenalan beberapa menit sebelumnya. Mayor Hendri yang mengenalkannya. Dalam perkenalan itu, Pak Askari disebutkan berasal dari Kapuas Hulu, satu daerah dengan saya. Bedanya, dia dari Kedamin, sedangkan saya dari Riam Panjang. Jarak Kedamin - Riam Panjang 100 kilometer.
***
Saya berusaha mengenalnya.
Namanya Askari. Tertulis dengan huruf balok, ukuran kecil terpampang di dada kanan. Dari jarak beberapa meter nama itu sudah bisa terlihat. Tulisan dengan warna putih di atas dasar hitam.
Di dada kiri terdapat beberapa tanda penghargaan dan jabatan.
Dia mengenakan baju biru langit, dengan topi Angkatan Udara warna biru dengan lis kuning.
Di pundaknya terdapat tanda melati. Ini juga penanda pangkat. Pangkat tinggi kata orang. Mayor Penerbang.
Perawakannya besar tinggi. Kulitnya agak hitam. Alisnya tebal. Jam tangan di lengan kanan.
Langkahnya tegap.
"Ini, kadis personil," begitu memperkenalkan dia kepada awak redaksi Harian Borneo Tribune. Senin (5/1).
Perkenalan formal. Karena sebelumnya, sudah ada perkenalan tidak formal. Kami sudah berkenalan saat mereka datang ke Borneo Tribune lebih kurang 20 menit sebelumnya.
Askari sendiri mengaku dia bertugas di Kalbar sejak tahun 2006. Sebelumnya, dia pernah bertugas di banyak tempat.
"Hampir seluruh pantai barat sudah,"
Pantai barat yang dimaksud adalah pangkalan-pangkalan Angkatan Udara di wilayah-wilayah pantai barat di Indonesia.
Meskipun pengalamannya banyak dan jabatannya tinggi, namun, dia nampak low profile.
Saya merasa dia tidak seram.
Ya, dia seperti juga komandannya Yadi Indrayadi yang Malah rasanya sangat familier. Pertemuan kami diwarnai gelak tawa. Tetapi, sesekali juga serius.
Saya saya tidak sempat bertanya bagaimana dia bisa masuk jadi tentara Angkatan Udara -angkatan yang agak jarang dimasuki oleh orang-orang di pedalaman Kalbar.
Saya juga menyesal tidak sempat menggali bagaimana dia meniti karirnya. Pasti tidak mudah menyeruak dominasi.
Saya hanya sempat bertanya sedikit tentang pendidikan.
Mayor Askari lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak. Setelah menyelesaikan pendidikan di Sospol Untan, dia sempat istirahat satu tahun.
"Bantu orang tua berladang,"
Dia dengan bangga mengisahkan bagaimana orangtuanya menyiapkan pendidikan anaknya.
"Orang tua memelihara 7 ekor sapi. Setiap anak tamat SMA, jual satu,"
Hasil penjualan digunakan untuk biaya anak melanjut sekolah.
"Managemen dia menyekolahkan anaknya, sangat luar biasa,"
Saya rasa, Pak Askari mewarisi itu.
Rabu, 18 Maret 2009
Askari, Mayor Penerbang dari Kedamin
Diposting oleh Yusriadi di 04.25
Label: Borneo Tribune, Tentang Yusriadi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar