Oleh: Yusriadi
Sudah lama aku ingin mengunjungi Sekolah Dasar Negeri (SDN) Riam Panjang, Kecamatan Pengkadan, Kapuas Hulu. Aku ingin mencari data tentang partisipasi pendidikan orang Riam Panjang. Data ini akan membantu aku menjelaskan bagaimana tingkat partisipasi pendidikan orang di pedalaman, di kampung kelahiranku.
SD Riam Panjang itu sekolah dasarku. Dahulu, hampir 30 tahun lalu aku belajar di sini. Aku duduk di kursi kayu di sekolah ini selama 5 tahun, setelah aku pindah dari Madrasah Ibtidayah Riam Panjang yang ditutup begitu SD ini berdiri tahun 1978/1979.
Aku di sini menuntut ilmu dari guru-guruku – yang beberapa di antaranya sudah berpulang ke rahmatullah, ada juga yang tidak aku ketahui ke mana mereka. Sedangkan mereka yang sempat kutemui, kini sudah nampak agak tua. Melihat mereka sekarang, aku merasa aneh. Dahulu, saat aku kecil dan saat itu mereka muda, sebagian mereka menurutku galaknya minta ampun. Beberapa guru pernah memukul aku dan teman-teman dengan ranting kayu sebesar rotan kecil – ranting yang kami ambil dari semak belukar, karena kami tidak bisa mengerjakan soal Matematika. Kami juga pernah dipukul dengan penggaris kayu, hingga penggaris itu patah, karena kami ribut saat tidak ada guru. Kami juga pernah dipukul dengan buku hingga buku berderai karena berkelahi. Kami pernah dijitak hingga benjol ketika ada teman yang senyum-senyum saat upacara. Wiuh, mereka ketika itu sungguh menakutkan. Orang tua hampir tidak pernah membela kami karena hukuman fisik itu.
“Salah kalian, mengapa nakal. Makanya belajar benar-benar. Guru tidak akan menghukum kalian jika kalian baik-baik“.
Karena orang tua kami menghormati guru, kami juga sangat menghormati mereka. Tak sedikit pun terlintas pikiran kami mencela mereka sekalipun kalau dipikir-pikir sekarang, betapa mereka menyakiti fisik kami. Apapun, guru dalam pandangan kami adalah orang yang layak digugu dan ditiru. Sampai sekarang. Guru-guru kami tetaplah guru.
Mereka juga memandang kami benar-benar murid yang mereka bimbing. Mereka melaksanakan tugas karena panggilan jiwa mereka sebagai pendidik.
Aku selalu terharu ketika bertemu mereka, terharu ketika mendengar mereka membanggakan kami sebagai muridnya yang kini berhasil. Cara mereka bernostalgia tentang kami dahulu saat belajar membuat kami juga merasa menjadi murid yang beruntug karena memiliki guru yang sayang pada kami.
***
Aku memasuki gerbang sekolah. Di sebelah kiri pintu masuk ada plang sekolah dan plang visi sekolah. Visi yang akan selalu mengingatkan guru-guru di sekolah ini pada tugas mereka sebagai pendidik.
Bangunan sekolah memanjang. Pada bagian paling ujung sebelah kanan ada kantor. Bangunan sekarang adalah bangunan baru. Bangunan lama tempat aku dan kawan-kawan dahulu belajar, dibangun tahun 1978, sudah dirobohkan. Bangunan lama, kayunya sudah lapuk.
Aku merasa sekolah ini lebih kecil dibandingkan dahulu. Kelas-kelasnya rasanya begitu kecil. Mungkin perbedaan itu muncul karena sekarang aku sudah besar. Tinggiku mungkin sudah dua kali lipat dibandingkan dahulu saat aku belajar di sini.
Aku sempat melongok ke dalam kelas melalui pintu yang terbuka. Di dalam sana ada sejumlah anak sedang belajar. Siswa tidak banyak. Kelas tidak terlalu ramai.
Sekolah ini tetap sederhana. Fasilitas yang baru rasanya cuma perpustakaan sekolah yang terdapat di sebelah kanan pintu masuk. Aku tidak sempat bertanya tentang buku. Aku juga tidak sempat mengunjunginya. Pintu perpustakaan itu tertutup.
Beruntunglah anak-anak sekarang memiliki tempat membaca. Mudah-mudahan perpustakaan ini juga menyediakan buku pelajaran, sehingga setiap siswa dapat menggunakan bahan itu. Setidaknya mereka lebih beruntung dibandingkan pengalaman kami dahulu: satu buku dikongsi orang sekelas. Seorang anak ditugaskan mendikte, kadang-kadang juga buku pelajaran itu disalin di papan tulis, dan kemudian siswa yang lain menyalinnya. Dahulu, aku juga mendapat giliran menulis di papan tulis atau mendiktekan pelajaran kepada teman-teman. Aku ingat inilah pekerjaan yang menyenangkan.
Padahal, kalau kupikir-pikir sekarang justru tugas ini menambah beban. Beban, karena di rumah nanti aku harus mencatat bahan-bahan itu dalam buku tulisku. Kawan yang lain karena sudah mencatat, bisa lebih santai.
Tetapi, mau apa lagi. Waktu itu buku-buku memang terbatas. Waktu itu tidak ada siswa yang mempunyai buku cetak. Tidak ada juga tempat foto copy.
Di balik keadaan begini, kami terlatih menulis. Sambil menulis kami bisa sambil belajar. Sekolah satu-satunya tempat belajar. Di rumah kami jarang belajar, jika tidak ada PR. Malam, kami lebih banyak diisi dengan nonton TV di tempat tetangga. – Dahulu di kampung yang luas itu hanya ada 2 TV. Bayangkan betapa ramainya. Mungkin cerita TV tidak seberapa. Tetapi, menonton ramai-ramai itu bentuk hiburan.
Kami tidak suka belajar di rumah (dan diam di rumah) karena waktu itu di rumah tidak ada lampu. Penerangan kalau malam hari hanyalah pelita. Listrik kampung tidak selalu bisa menyala. Kadang kala jika stok solar habis, atau operator listrik tidak ada, kami harus rela bergelap gulita.
Sungguh pun sekarang Riam Panjang sudah ada listrik namun amat jarang listrik menyala pada siang hari. Karena itu di ruang guru tidak ada peralatan elektronik. Tidak ada kipas angin dan AC, tidak ada komputer, tidak ada kulkas. Aku jadi membandingkan sekolah di kampung dengan sekolah di kota. Jauh sekali.
Kepala sekolah sekarang Mustafa, S.Pd memberitahukan, sebenarnya di sekolah ini sudah ada komputer. Namun karena tidak ada jaringan listrik, komputer itu tidak bisa digunakan. Karena listrik hanya ada di waktu malam dan jaringan hanya ada di rumah, akhirnya, disepakati komputer dibawa ke rumah.
Tetapi, malangnya, komputer juga tidak bisa digunakan. Komputer pernah coba dinyalakan, namun tidak bisa juga. Listrik di rumah penduduk hanya berkekuatan 450 KWH. Tidak cukup. Stut listrik jatuh.
Walau begitu, kabarnya tidak lama lagi sekolah akan mendapat laptop dan in focus. Di Pontianak‚ benda ini digunakan untuk membantu proses belajar mengajar. Guru membuat bahan presentasi dalam program window powerpoint, lalu, dia menyampaikannya dengan bantuan in focus yang ‚ditembakkan’ ke layar.
Aku sempat berpikir bagaimana guru di sini bisa menggunakan laptop dan in focus dalam mengajar, jika listrik tidak ada seperti sekarang. Pasti in focus akan jadi barang pajangan, seperti juga laptop sekarang ini.
Niat baik, tetapi tak mungkin terlaksana. Impian yang masih jauh dari kenyataan.
Keterbatasan ini membawa implikasi serius pada guru. Guru-guru sekolah ini, beberapa di antaranya guruku dan kawan kelasku SD, kesulitan mencapai kredit poin seperti yang disyaratkan untuk karir mereka.
Saat ini, baru 3 guru yang lulus sertifikasi. Lebih banyak yang belum. Aku mengasihani mereka yang belum: bagaimana mereka mengumpulkan angka untuk kepentingan itu. Bandingkan di Pontianak, kenaikan pangkat rasanya tidak suka dicapai. Fasilitas pendukung untuk mencapai angka kredit mudah diperoleh.
Aku sempat bertemu guru agamaku dahulu. Pak Yunus. Beliau, termasuk orang yang menghadapi kendala dalam mengejar sertifikasi. Hambatan yang terbesar: pendidikan. Beliau belum S-1. Kesempatan kuliah ada, tetapi tidak mudah. Kalau mau kuliah mereka harus biaya sendiri, ke Putussibau atau Pontianak. Jarak Putussibau 100 Km dan jarak ke Pontianak sekitar 700 Km. Kalau mau kuliah mereka harus meninggalkan kampung dan meninggalkan tugas. Belum dihitung berapa besar biaya yang diperlukan. Mengandalkan gaji sendiri sudah pasti benar-benar sulit.
Entahlah, aku tidak tahu, apakah mereka dapat memperoleh izin belajar jika mereka ingin melanjutkan pendidikan.
Jika begini terus keadaannya, bagaimana mereka mempersiapkan diri menghadapi tahun 2014, tahun yang katanya setiap guru harus sudah sertifikasi.
Nasib!
Tetapi aku tidak berlama-lama memikirkan nasib mereka. Aku berharap pemerintah, khususnya instansi terkait, menemukan jalan keluar bagi guru-guru di pedalaman. Kupikir, kepada instansi itulah urusan mereka diserahkan.
Saat itu, aku lebih terfokus pada buku induk siswa SD. Aku mencatat nama-nama siswa sekolah, lalu membuat tabulasi perangkatan. Aku beruntung, sekolah ini dikelola dengan baik sejak awal. Administrasinya cukup kemas, meskipun sederhana. Data murid sejak tahun 1978 hingga 2008 tersedia.
Aku benar-benar bernostalgia ketika membaca nama teman-teman lama, ketika melihat foto-foto mereka. Teman-teman sekarang sudah ke mana-mana. Bekerja dalam berbagai bidang dan profesi.
Aku juga mendapati kenyataan, ada banyak teman yang sudah menghadap Tuhan. Mereka tak mungkin dijumpai. Hanya tingga nama di buku induk. Semoga Tuhan memberikan mereka tempat yang layak.
Sabtu, 10 Oktober 2009
Sekolah dan Guruku di Riam Panjang
Diposting oleh Yusriadi di 04.59
Label: Kapuas Hulu, Pendidikan, Riam Panjang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar