Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune
Rabu (4/11) sekitar pukul sebelas siang. Saya melewati Jalan Kom Yos Sudarso Pontianak. Lewat sedikit dari Gang Lamtoro, saya melihat sebuah pick up warna putih terperosok di bekas lubang galian kabel fiber optic. Sebelah bannya terbenam. Tidak bisa keluar. Bodi kendaraan jadi ada miring. Untung muatannya – karung-karung dan kardus, tidak tumpah ke jalan.
Kejadian ini memang tidak menarik perhatian orang. Tidak ada orang yang mengerumuni mobil yang lagi apes itu. Orang tidak tertarik untuk melihat kejadian itu, seperti orang tertarik kalau melihat ada kejadian tabrakan, perkelahian, dll.
Orang tidak tertarik karena mungkin pick up yang terperosok itu tidak mengganggu lalu lintas. Maklum, kejadiannya di pinggir jalan.
Lagi, mungkin juga karena kendaraannya agak kecil sehingga tidak nampak-nampak amat.
Saya tertarik dengan kejadian ini. Sesaat saya berhenti. Melihat-lihat dari atas motor.
Saya prihatin pada nasib sopir (mungkin ada keneknya juga). Kesihan sungguh.
Jika saya bawa mobil dan mobil terperosok di lubang itu, mungkin saya akan marah. Kesal. Mungkin saya akan pikir-pikir untuk meminta pertanggungjawaban dari kontraktor yang menangani proyek ini.
Menurut saya, jelas, bahwa kejadian ini, karena lubang yang digali pekerja yang memasang kabel optic itu. Pekerja, dan kontraktorlah yang menggali lubang yang membuat ban mobil pick up itu terperangkap. Mereka telah memasukkan kabel dan kemudian menimbun bekas galian itu. Timbunan ini nampak rata dengan tanah di sekitarnya. Dan, rupanya tanah itu belum padat sehingga ban mobil jadi amblas.
Dalam peristiwa kemarin, mungkin orang berpikir, sopir yang salah, tidak hati-hati sehingga kenadaraannya masuk lobang.
Tetapi menurut saya, justru kontraktorlah yang harus bertanggung jawab karena bekas galian itu tidak dikembalikan seperti sedia kala. Harusnya, mereka memadatkan kembali bekas galian. Jika tidak, mereka harus memberikan tanda bekas galian, sehingga orang lebih hati-hati.
Saya lantas teringat kebiasaan-kebiasaan selama ini. Orang proyek memang seakan-akan bebas melakukan sesuatu. Semau mereka. Mereka boleh membongkar-bongkar jalan yang sudah bagus. Mereka bebas melakukan pekerjaan dan ‘mengganggu’ kenyamanan pelintas.
Jarang saya lihat ada plang proyek: “Maaf Kenyamanan Anda Terganggu. Ada pekerjaan proyek”. Yang biasa kita lihat: “Hati-hati Ada Kegiatan Proyek”. Tanpa ada kata maafnya.
Malahan, setelah proyek selesai, bekas-bekas pekerjaan kadang kala ditinggalkan begitu saja. Apakah kemudian pelintas tidak nyaman melalui bekas proyek itu, nampaknya tidak dipikirkan. Apakah kemudian ada orang yang celaka karena bekas proyek itu, sepertinya juga tidak dipikirkan.
Ini hampir sama dengan orang yang menumpukkan pasir di pinggir jalan. Tumpukan pasir yang “merata-rata” mengganggu pelintas. Ban motor jadi slip. Saya kenal beberapa orang yang jatuh ketika melewati tumpukan pasir yang luber ke jalan. Mereka celaka. Mereka dirawat di rumah sakit. Malah ada yang mati!
Mereka tanggung sendiri musibah itu. Orang yang punya pasir, orang yang menumpukkan pasir di jalan, tidak diminta pertanggungjawaban. Justru sering orang bilang: “Salah sendiri, bawa motor ndak liat-liat”. Padahal jelas, mereka menumpukkan pasir di jalan umum, jalan yang dilewati orang. Jalan yang seharusnya tak terhalang.
Tapi, mau apalagi. Kasihan sungguh. Itulah logika sebagian masyarakat kita. Logika yang menurut saya mencerminkan kelemahan perintah melindungi warganya. Inilah cerminan bahwa hukum kita lemah dan seakan-akan tidak ada. Sering kali orang boleh bebas melakukan apa saja.
Sabtu, 07 November 2009
Lubang di Kota Pontianak
Diposting oleh Yusriadi di 07.23
Label: Pontianak, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar