Senin, 08 September 2008

Perjalanan ke Pulau Maya, Sukadana (1): Ngape Orang Tinggal di Tempat Macam Ni?

Oleh: Yusriadi
Borneo Tribune


Mungkin kau bertanya, ngape ada orang di tempat macam ni? Di Pulau Maya’ ni?

Bang Rustam, anak Pulau Maya yang kini menjadi Kepala Pusat Sumber Belajar (PSB) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak beberapa kali melontarkan bertanyaan kepada saya ketika kami naik motor air dari Sukadana menuju pulau itu, Maret lalu.


Kala itu, saya mengikuti rombongan Panitia Keaksaraan Fungsional (KF) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak. Dalam rombongan itu, selain H Rustam, M.Pd, ada Yapandi Ramli, M.Pd, dan Ismail Ruslan, M.Si.
Saya bukan panitia KF. Saya numpang saja, karena ingin mencari data bahasa di pulau terkenal itu.
Pulau Maya, (penduduk setempat menyebutnya Pulau Maya’ – dengan ‘hamzah’ di akhir, adalah salah satu pulau yang cukup popular dalam pemberitaan surat kabar. Ada beberapa kali nama pulau ini masuk koran: entah karena nelayan asing terdampar, karena ada kunjungan pejabat, karena potensi ikan, dll.

BANG Rustam, begitu kami memanggilnya, bertanya sambil tersenyum.
Saya tahu dia ‘acah-acah’ saja. Dia tidak benar-benar ingin dengar jawaban dari saya. Dia hanya ingin bercakap-cakap saja. Mengisi wacana.
Saya tidak menjawabnya. Saya memang belum berpikir sejauh ini. Saya hanya baru berpikir dan mengandai-andai, bagaimana bentuk bahasa di Pulau Maya. Saya membayangkan bahasa yang digunakan masyarakat di pulau ini pasti berbeda dibandingkan dengan bahasa Melayu yang digunakan di tempat lain. Paling tidak seharusnya bahasa penduduk pulau ini agar berbeda.
Saya berandai begitu karena biasanya ruang social (termasuk ruang politik) dan ruang geografi, menciptakan perbedaan bahasa. Pulau Maya yang saya dengar adalah sebuah tempat terpencil dan terisolir. Penduduk yang hidup di pulau ini tertutup dari arus ‘globalisasi’. Orang luar tidak seberapa sering masuk ke sana dan penduduk Pulau Maya juga tidak sering keluar, karena transportasi dan keperluan yang terbatas. Interaksi yang terbatas ini lambat laun menciptakan bentuk bahasa yang berbeda.
Jadi, pertanyaan Bang Rustam mengingatkan saya pada hal lain. Ya, saya jadi berpikir sama. “Mengapa orang mau tinggal di Pulau Maya?”

KAMI pesan tiket motor ke Pulau Maya di pasar tepian Sungai Sukadana. Di tempat penjualan tiket beberapa orang calon penumpang untuk tujuan sama.
“Motor air berangkat siang,” kata penjual tiket.
Saya mendengar penjelasan penjual tiket kepada Bang Rustam.
“Nanti, penumpang akan naik di sini. Naik perahu. Sampai ke muara,” katanya.
Dia menambahkan, “Motor air menunggu di sana. Tidak bisa masuk. Muara dangkal”.
Saya membayangkan perjalanan yang jauh dan memakan waktu.
Dan benar, ketika kami naik perahu menuju muara dua jam kemudian saya merasakan sensasi sendiri.
Perahu yang saya kira berkapasitas 3 ton dijejali penumpang dan barang –termasuk sejumlah sepeda motor. Perahu sarat. Tidak sampai lima jari lagi. Perahu juga bocor. Air terus masuk.
Sesekali karena penumpang bergerak, perahu oleng. Awak perahu minta agar penumpang yang berada di bagian samping kiri bergerak ke kanan, agar keseimbangan terjaga. Saya melihat ada beberapa penumpang yang cemas. Saya juga agak cemas.
Saya tidak takut tenggelam. Saya bisa berenang. Saya menggunakan celana berbahan parasut –tipis, dan sandal, jadi lebih mudah bergerak. Tetapi, kalau tenggelam tetap saja saya repot. Tas akan basah. Bahan-bahan survey saya akan basah dan mungkin akan musnah. Beberapa peneliti yang saya kenal pernah mengalami nasib buruk seperti itu.
Saya agak terhibur melihat penumpang yang saya kira orang asal Pulau Maya yang nampaknya tenang-tenang saja dengan situasi ini. Saya mencoba bersikap setenang mereka. Mudah-mudahan selamat.
Baru keluar sampai ke muara, perahu yang kami tumpangi kandas. Lumpur pasir membuat perahu susah bergerak. Awak perahu meloncat. Beberapa penumpang turun, ikut mendorong perahu.
Perahu bergerak lambat. Untuk mencapai perahu yang jaraknya lebih kurang 1 kilometer, diperlukan waktu lebih satu jam.
Kami sampai di perahu motor yang melabuh sauhnya di dekat tanjung karang di muara Sukadana. Perahu motor itu berbobot belasan ton.
Satu per satu penumpang pindah dari perahu ke motor. Ada yang memilih langsung masuk ke dalam motor, ada yang duduk di bagian belakang, ada juga penumpang yang memilih naik ke atas kap.
Sementara itu, awak perahu memunggah sepeda motor ke atas kap. Sepeda motor ditarik dengan bantuan tali. Orang yang berada di bawah mengangkatnya. Kerja yang berat. Ada enam motor. Waktu yang diperlukan tak kurang 30 menit untuk mengatur semuanya.
Selesai. Saya melihat perahu berbalik menuju dermaga Sukadana.
“Masih ada penumpang menunggu di sana,” kata penumpang yang berada
Alamak! Saya menghitung, berarti kami masih harus menunggu satu setengah jam lagi sebelum berangkat menuju Pulau Maya. Jadi, 3 jam. Kami masih berada di Muara Sukadana. Kami masih melihat pantai lumpur yang luas. Kami masih melihat kerangka bangunan –yang kata orang-orang penginapan milik ikon Sukadana, Osman Sapta, dari kejauhan.
Saya jadi teringat pertanyaan Bang Rustam. Tapi kali ini saya bertanya sendiri.
“Mengapa dahulu Sukadana bisa menjadi pusat pemerintahan? Mengapa sekarang orang memilih Sukadana sebagai ibukota Kabupaten Kayong Utara?”
Saya belum melihat kelebihan kota tua ini. Muaranya dangkal. Kapal bermuatan pasti tidak masuk. Dahulu, jalan darat juga tidak ada. Untuk lokasi pertanian juga terbatas. Di belakang kota Sukadana adalah bukit. Saya jadi penasaran, bagaimana orang dahulu menyuplai kebutuhan makan mereka?
Saya kira kelebihan Sukadana yang saya lihat adalah tempat ini cocok untuk pertahanan. Pantai yang dangkal pasti akan menyulitkan pasukan musuh masuk tanpa ketahuan. Bukit yang menjulang, akan menjadi tempat strategis untuk mengintai.
Lalu sekarang, Sukadana dipilih menjadi ibukota kabupaten, melanjutkan kebesaran dahulu. Potensi apa yang akan diandalkan ibu kota kabupaten ini. Sarana apa yang akan mendukung?
Sukadana bukan di jalur Trans-Kalimantan. Sukadana mungkin sulit memiliki pelabuhan laut sendiri. Jangankan kapal besar, perahu dua ton saja sulit masuk. Rasanya terlalu berat kalau harus menunggu air pasang baru perahu dan kapal bisa masuk.
Sukadana juga mungkin sulit membangun pelabuhan udara sendiri. Bukit yang membentengi daratan Sukadana pasti akan menjadi pertimbangan sendiri, menurut dugaan saya.
Saya berguman, sungguh beruntung Sukadana bisa dipilih sebagai pusat pemerintahan, yang itu berarti akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Bersambung.



0 komentar: