Oleh Yusriadi
Pukulan gendang mengiringi tari rancak penari dari sanggar Kijang Berantai. Penari dengan pakaian khas Melayu, mengenakan baju kurung, berkain kebaya bermotif corak insang. Tajak tinggi dikenakan lelaki. Sedangkan perempuan mengenakan sanggul.
Atraksi ini dilanjutkan tarian bercorak pribumi lain. Mereka, memperlihakan simbol Dayak. Mandau dan parang di tangan, ikat kepala tersemat bulu burung ruai. Rentak tari, pekik alunan, memperlihatkan ciri khas yang orang kenal sebagai Dayak.
Atraksi ini dipersembahkan pada bagian akhir acara pembukaan Kongres Kebudayaan. Yang hadir, para pemangku dan pakar adat, peneliti, aktivis sosial, pengambil keputusan, memberikan apresiasi. Tepuk tangan bergemuruh. Apresiasi ditunjukkan dengan simbol yang sama.
Apakah pemahaman yang sama ini akan terjelma sepanjang kongres? Apakah apresiasi positif akan ditunjukkan yang hadir dalam kongres itu saat mereka berdiskusi pada hari-hari berikutnya?
Apakah cara berpikir dalam melihat atraksi budaya dapat ditunjukkan saat mereka melihat keragaman yang muncul di tengah realitas sosial?
Tentu pertanyaan ini muncul ada sebabnya. Masalahnya, seperti yang sempat dikhawatirkan beberapa kalangan, ada keraguan mereka terhadap ‘kesiapan psikologis’ peserta. Kesiapan menerima dalam pengertian pemahaman akan adanya pluralisme memang telah wujud, namun pemahaman akan multikulturalisme belum sampai. Masing-masing masih sadar akan adanya perbedaan, tetapi penerimaan terhadap keragaman itu masih sering jadi masalah. Padahal, pemahaman seperti inilah yang sangat diperlukan. Sangat diperlukan untuk menumbuhkan pengertian.
Pengertian ini akan menjadi puncak penyelenggaraan kongres kebudayaan. Karena, seperti yang diharapkan fasilitator, kongres ini akan menghasilkan rekomendasi. Satu usulan, satu kesepakatan bersama, yang pasti wujud melalui proses pengertian dan pemahaman atas perbedaan budaya.
Seorang peserta kongres sempat mengungkapkan kekhawatirannya. Dia sangat khawatir kongres tidak menghasilkan hasil yang memuaskan karena dia membayangkan ada peserta akan larut dalam kungkungan ‘kesiapan psikologis’.
“Saya titip pesan, jangan ribut,” bisiknya.
Ribut yang dimaksudkannya adalah debat kusir.
Entahlah. Memang, debat kusir tidak baik. Ngotot. Tidak akan menghasilkan jalan keluar. Tidak akan menghasilkan kesepakatan. Padahal, kesepakatan itulah hasil yang diharapkan dari kongres ini. Habis
Kamis, 28 Agustus 2008
Catatan untuk Kongres Kebudayaaan Kalbar (2)
Diposting oleh Yusriadi di 00.47
Label: Budaya Kalbar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar