Kamis, 18 September 2008

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (3): Rumah-rumah Sederhana di Pintau

Oleh Yusriadi

KAMI meneruskan perjalanan. Walaupun jalan aspalnya sempit, namun, kiri kanannya luas. Rumah penduduk yang berupa rumah panggung, dibangun agak jauh dari badan jalan. Tinggi tongkatnya lebih kurang satu meter.

Rumah-rumah itu umumnya terbuat dari kayu. Beberapa di antaranya terbuat dari bahan semen. Pemilik rumah semen adalah para pedagang, dan kelompok orang berada. Ada rumah yang bercat, banyak juga yang tidak. Atap rumah juga begitu, Ada yang terbuat dari zeng, ada juga yang terbuat dari anyaman daun.
Rupanya jalan beraspal juga tidak panjang. Sepeda motor sudah melewati jalan tanah liat. Mirip jalan tanggul –kalau di pinggiran kota Pontianak. Jalannya bagus. Malah, lebih ‘enak ‘ melalui jalan tanah dibandingkan melalui jalan beraspal kasar sebelumnya. Motor dipacu dengan laju. Kami mengurangi kecepatan kalau lewat jembatan. Ya, ada banyak jembatan kecil yang dilalui. Jembatan itu terbuat dari kayu –seperti gertak.

KAMI memasuki Pintau, salah satu kampung di Pulau Maya. Kami berhenti di dekat lapangan bulu tangkis. Empat orang main. Lapangan itu becek. Lapangan tanah. Bukan semen. Garisnya dibuat dari batang nibung yang dibelah tipis. Sangat sederhana. Empat pemain telanjang kaki. Angin bertiup tak mengganggu mereka. Sudah biasa. Mereka bermain dengan enjoy. Permainan mereka asyik juga ditonton. Sesekali ada lop, smash dan dropshot. Pemain dan penonton bersorak atau berdecak kagum jika pemain gagal mengembalikan pukulan. Sungguh permainan yang menghibur untuk orang di tengah pulau ini.
Saya sempat bilang pada Ismail. “Kita numpang main ya. Kita ajak Bang Rustam,”
Ismail hanya tertawa. Dia tahu saya bercanda.
Ismail memiliki hobby main bulu tangkis. Dia pemain di PB. STAIN. Pukulannya deras. Susah dikembalikan. Di Pontianak, dia ikut program latihan 2 kali seminggu.
Bang Rustam juga hobi pukul bulu ini. Walaupun sudah ada berumur, tetapi kalau sedang main bulu tangkis, dia bisa lupa usia. Lupa capek.
Bang Rustam menyapa beberapa orang di antara mereka. Say hello, kata orang.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.
Kami berhenti di depan masjid di Pintau. Bang Rustam menjadi guide yang memberitahu kami banyak hal. Tentang perkampungan ini, tentang penduduk, dll.
Saya mengambil gambar penduduk, gambar rumah, kapal motor, dll. Tiga objek ini saya kira menjadi bagian penting dari perkembangan pulau ini. Rumah penduduk kebanyakan dibangun dari bahan sederhana. Malah lebih sederhana dibandingkan rumah yang saya lihat pertama kali ketika sampai di dekat dermaga Pulau Maya tadi.
Rumah penduduk dibuat dari atap daun. Sebagian dindingnya juga dari daun. Saya bertanya dalam hati: mengapa rumah penduduk dibuat dari daun? Apakah kayu (papan) sulit diperoleh? Apakah semen dan pasir mahal? Apakah hidup masyarakat susah?
Bukankah ikan masih banyak di sekitar pulau ini? Apakah mereka sulit memasarkannya? Apa masalah sebenarnya? Saya mencoba mengingat, rasa-rasanya kehidupan masyarakat nelayan memang begitu. Perkampungan nelayan biasanya tidak elit. Rumah-rumahnya sederhana. Kadang-kadang saya harus menganggap rumah yang mereka bangun adalah rumah darurat, bukan rumah permanen.
Rumah yang mereka bangun, kesannya, benar-benar hanya untuk tinggal. Bukan untuk menunjukkan status sosial. Mereka membuat rumah sederhana dan murah. Mereka menggunakan bahan yang mudah dicari, diganti dan diperbaiki.
Rumah tidak penting. Yang penting, rumah mereka dekat pantai. Dengan begitu mereka lebih mudah menjaga perahu. Mereka dapat melihat perahu setiap saat.

Lalu, saya jadi ingat nasehat Yapandi Ramli kepada saya sebelumnya: “Jangan kau anggap rumah begitu, hidup orang susah,”
Mungkin Bang Yapandi benar.
Tapi, Saya jadi ragu. Ragu, karena pada sudut yang lain di pulau itu, berdiri rumah walet. Rumah berlantai 3 tinggi menjulang dibandingkan rumah penduduk. Gedung walet begitu gagah dan megah dibangun dari bahan semen. Mungkin tidak berlebihan kalau dikatakan, perbedaan rumah untuk burung ini sangat wah. Bagai bumi dan langit dibandingkan rumah yang ditempati manusia.
Siapa yang membangun gedung walet? Apakah penghuni rumah daun? Samar-sama saya mendengar pemilik gedug walet itu orang luar. Mereka menginvestasikan modal di pulau ini. Jadi, kuncinya pada dana.
Ketika saya sedang mengabadikan rumah walet yang sedang dibangun, seorang nenek dengan cucunya minta difoto. Dia ingin ada kenangan untuk cucunya.
Sikapnya sungguh ramah. Mungkin karena saya jalan dengan Bang Rustam, orang yang dihormati orang di Pulau Maya. Orang memanggilnya Pak Haji.
Karena biasanya orang di kampung takut bila bertemu dengan orang asing. Saya berkesan dengan penerimaan ini karena saya pernah menemukan kejadian yang sebaliknya di wilayah pedalaman Ketapang. Di sebuah kampung di Ketapang saya pernah melihat orang tutup pintu dan jendela ketika kami sampai di kampung tersebut. Padahal, saat sebelumnya mereka duduk-duduk santai di depan rumah.
Tapi mungkin juga keadaan penduduk di Pulau Maya tidak begitu. Mereka bisa menyambut kedatangan orang asing dengan terbuka. Mereka biasa menerima orang luar masuk. Bagaimanapun seperti yang saya ketahui kemudian, banyak juga penghuni pulau yang datang dari luar. Cukup banyak penduduk di sana yang datang dari Sambas.
Malahan sejarah asal usul mereka ada yang datangnya dari luar Kalbar. Misalnya ada yang datang dari tanah Banjar (Kalimantan Selatan), Sulawesi, Sumatera, Malaysia dan Brunei. Pulau ini memang pernah menjadi persinggahan para pelaut. Bersambung



0 komentar: