Oleh Yusriadi
Kami kembali ke rumah. Pak Kaed menawarkan makanan yang tersaji di atas meja tamu. Pecal. Ya, pecal. Teman yang lain sudah makan. Saya mengambilnya.
“Ada pecal? Buat sendiri?” tanya saya.
“Tidak. Beli,”
Heh. Saya terkejut.
Ada orang jual pecal?
“Di depan itu, ada orang jual,” katanya.
Dia menunjuk arah jalan, kiri rumah.
Saya mengangguk.
Ini menarik. Ini hal baru. Sepanjang saya menjelajah kampung-kampung pedalaman, tak pernah saya bertemu ada warung makanan ringan dibuka di pagi hari. Di pedalaman, warung-warung biasanya buka siang. Hanya di tempat perlintasan, tempat orang berlalu lintas, warung menjual makanan ringan. Di tempat terpencil biasanya toko hanya menjual kue-kue jenis biscuit, wafer, dan sejenisnya. Mie rebus, allahu’alam.
Ini, pecal!
Saya kira ini pasti berkaitan dengan banyak hal. Berkaitan dengan pekerjaan mereka, berkaitan dengan jadwal berangkat kerja, berkaitan dengan kebiasaan menyiapkan makanan pagi di rumah-rumah.
Sayang saya tidak sempat mendalami hal itu.
Saya juga tidak sempat mendalami, mengapa pecal yang tersaji. Mengapa bukan bubur? Mengapa masyarakat berselera dengan jenis makanan itu? Yang kemudian lebih mengejutkan, ternyata ada tiga tempat orang jualan pecal. Tiga tempat jualan pecal untuk kampung sekecil itu, tentu sesuatu yang istimewa.
Banyak lagi pertanyaan.
SATU per satu undangan datang ke rumah Yansah. Saya sempat ngobrol dengan salah seorang warga, Bujang Rahman. Beliau adalah salah satu tokoh masyarakat setempat.
Kami bicara soal sejarah kampung, cerita rakyat, ekonomi masyarakat. Tentang sejarah kampung, beliau memiliki catatannya. “Saya ada simpan di rumah,” katanya.
Saya penasaran. Apakah sejarah kampung di Pulau Maya sudah ditulis? Kalau memang sudah ditulis, tentu penulisan sejarah seperti ini adalah kemajuan yang luar biasa. Penulisan sejarah seperti ini bukan saja membuktikan tingginya tingkat keberaksaraan masyarakat, tetapi pasti menunjukkan tingkat peradaban.
Hebat!
Banyak informasi yang saya dapat dari beliau.
Saya kira beliau akan mengikuti pertemuan. Rupanya tidak.
Ketika beliau pulang, saya mengikutinya. Saya ingin melihat rumah dan sekaligus tulisan sejarah kampung.
Rumah beliau rupanya tidak jauh. Di seberang masjid. Di depan rumah terdapat warung makanan dan minuman ringan. Di sini ada jual pecal, mie, dan kue-kue.
Saya meniti jembatan di atas parit yang tidak jauh dari warung itu. Saya menyeberangi parit dengan kikuk. Kikuk karena jembatannya agak kecil. Sempat terlintas, kalau-kalau jatuh.
Rumah beliau terbuat dari kayu. Bagian depan halamannya luas. Tapi hanya rumput.
“Tidak ada yang bisa ditanam. Mati kena air asin,” katanya.
Di bagian samping dan belakang terdapat kebun kelapa. Namun, saya lihat kelapa-kelapa itu tidak subur. Buahnya satu dua saja. Dia menyebut luas kebun kelapa yang ditanamnya. Ah, andai kelapa-kelapa itu tumbuh dengan subur, berbuat lebat, pasti pemiliknya bisa ongkang-ongkang kaki.
Pak Bujang sudah berusaha membuat tanggul kecil. Dia menggali parit di batas kebun, lalu tanah-tanah itu dijadikan sebagai gundukan. Namun, tidak berhasil. Gundukan terlalu kecil. Air tetap masuk.
Ada juga sapi di dalam kandang di belakang rumah. Sapi-sapi ini harus dicari makannya. Mencari rumput menjadi salah satu pekerjaan rutin. “Dahulu waktu ada klip, cari rumput lebih mudah. Sekarang agak susah. Carinya mau jauh-jauh,” katanya.
Saya terkesima dengan situasi di sini. Saya kira, tuan rumah ini adalah orang yang rajin.
Ruang tamu luas, namun nampak lempang. Di dinding terpajang gambar poster dan foto-foto. Foto presiden Soekarno, Soeharto, Megawati, dan Gusdur. “Saya belum dapat koleksi foto Pak Habibi,” katanya.
Ada juga foto seorang anak muda seragam putih, berkopiah.
“Itu anak saya. Dia paskibra,” ungkapnya.
Dia menceritakan prestasi anak lelakinya. Saya melihat kebanggaan seorang bapak memiliki anak yang berprestasi.
Saya melihat ‘semangat’ yang luar biasa pada orang tua ini. Saya melihat foto-foto yang dipajang lebih dari sekadar hiasan, tetapi juga menjadi inspirasi dan motivasi bagi dia, dan juga bagi anak-anaknya.
Kami melanjutkan percakapan.
Beliau menunjukkan beberapa album. Kebanyakan foto perkawinan. Busana dan dandanan pengantin agak sedikit unik. Perempuan mengenakan kebaya, dan sanggul. Banyak tusuk konde di atas kepala.
Bedak dan lipstik nampak tebal.
Saya membayangkan pasti saat pernikahan suasananya ramai. Pasti momen seperti ini menjadi hiburan tersendiri orang kampung di tempat terpencil begini.
Pak Bujang juga menunjukkan rajah yang dipercayai mendatangkan kekuatan bagi pemakainya. Rajah itu diperolehnya ketika kerusuhan akhir 90-an. Ah, rupanya hawa kerusuhan di pantai utara sampai juga ke sini. Rupanya, penduduk pulau ini juga bersiap-siap diri saat kerusuhan itu. Bersambung
Kamis, 18 September 2008
Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (7): Ada Pecal?
Diposting oleh Yusriadi di 00.43
Label: Perjalanan, Pulau Maya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar