Kamis, 18 September 2008

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (4): Belajar Bahasa dengan Bunyi "Ghin"

Oleh Yusriadi

SETELAH bertamu ke rumah pejabat kampung, Bang Rustam mengantar saya ke rumah keluarganya, Syahmin namanya, umurnya 44 tahun. Setelah bicara sebentar dengan Syahmin, Bang Rustam pergi lagi. Dia –bersama Yapandi dan Ismail, akan mengadakan pertemuan dengan rombongan belajar KF di Pintau.


Syahmin membantu saya mengisi daftar kata dengan bahasa Melayu yang digunakan sehari-hari masyarakat di Pulau Maya.
Kami mulai. Syahmin informan yang bagus. Dia sangat teliti. Beberapa kali mengingatkan saya soal ciri khas bunyi di Pintau. Misalnya, dia mengingatkan soal perbedaan bunyi [r]. Misalnya bunyi [r] pada akhir kata. Saat kami sampai pada kata berlari, dia bilang: “Kalau itu, bekeja. Pakai [a] ja’ cukup”, katanya.
Bunyi [r] Pintau tidak sama dengan [r] dalam bahasa Melayu pada umumnya. Katanya, bunyi [r] pada awal kata seperti bunyi [arin] atau [ghin, dalam bahasa Arab. Misalnya pada kata [rusuk].
Mula-mula beberapa penduduk kampong mendengar wawancara kami. Kadang mereka membantu menyebutkan kata-kata yang saya minta. Ada beberapa kata yang mereka anggap lucu. Kadang kala mereka tertawa. Kadang mereka lupa. Mereka berusaha mengingatnya. Kadang kala saya yang merasa kualahan mencatat variasi kata yang mereka berikan. Tapi begitulah. Pengumpulan daftar kata 460-an lebih, selalu seperti itu. Di mana-mana tempat.
Dia melayani saya sampai maghrib. Kami berhenti sebentar. Salat. Setelah itu kami lanjutkan.
Sebenarnya saya kasihan melihat dia yang nampak gelisah ingin mengakhiri. Dia capek. Maklum tadi, barusan dia dari ladang. Pasti dia belum makan. Belum istirahat. Tetapi, tidak bisa. Saya belum selesai. Dan tidak ada kesempatan lagi. Malam ini juga kami akan melanjutkan perjalanan ke kampung Parit Sukabaru. Saya tidak tahu di mana tempatnya. “Di sana...” Syahmin menunjuk ke arah barat.
Kalau kami sudah sampai di sana, mungkin tidak kembali lagi ke sini.
Hampir menjelang Isya, baru wawancara selesai.

SAYA menuju rumah saudara Bang Rustam. Di sana rombongan menunggu. Kami makan malam, dan kemudian mandi.
Kami melanjutkan perjalanan ke Parit Suka Baru. Yapandi sudah janji dengan orang di sana akan ada pertemuan dengan warga. Kami mengejar jadwal itu.
“Mereka kumpul setelah Isya’,” katanya. Beberapa kali saya dengar dia meyakinkan hal itu.
Kami berjalan di malam gelap. Hujan rintik-rintik. Kemudian semakin lebat. Belum ada hambatan berarti ketika kami masih di sekitar Pintau. Maklum jalannya masih jalan semen.
Tetapi ketika kami sampai di jalan tanah liat yang beberapa jam sebelumnya kami lalui dengan mudah, kami mulai kepayahan. Jalan kini menjadi licin.
Bang Rustam memacu motor di depan, membawa Yapandi. Cukup laju. Ismail yang memboncengi saya, berusaha menyusul dari belakang. Beberapa kali kami tertinggal, dan terpaksa membunyikan klakson minta tunggu.
Dua kali kami hampir jatuh. Saya rasa Ismail agak cemas membawa motor di medan seperti ini. Pasti dia tidak biasa.
Bukan lagi payah. Kini keadaan benar-benar berat.
Kasihan. Saya menawarkan diri membawa motor. Walaupun saya tidak pandai benar, tetapi, saya ada pengalaman sedikit di medan yang berlumpur. Keadaan jalan yang kami lalui seperti jalan gang kami di Pontianak empat tahun lalu. Saya juga pernah bertemu dengan jalan seperti ini di Punggur, waktu pergi ke kebun langsat.
Yang membedakan situasi sekarang adalah kami berjalan di jalan yang becek, dalam keadaan hujan lebat, di malam hari, dengan membawa tas.
Saya berusaha mengejar Bang Rustam. Ada beberapa kali kami terpeleset. Jas hujan, dan tas yang kami bawa membuat gerakan menjaga kesimbangan terbatas.
Saya sama sekali tidak bisa mengerem laju motor. Beberapa kali saya melakukan hal itu. Beberapa kali pula motor berputar 100 derajat. Beberapa kali motor hampir terjungkal ke parit di kiri jalan. Untung Ismail bisa cepat turun menarik motor mundur.
Kalau sudah begini Ismail yang paling cemas. Saya mendengar dia mengucapkan “subhanallah, walhamdulillah, walailahillallah, wallahu akbar”. Berulang-ulang.
Bacaan yang kerap itu membuat saya juga cemas. Tetapi saya sempat tertawa pada situasi ini.
Jalan terasa semakin berat. Di kiri kanan gelap. Tidak ada lampu jalan. Tidak ada kelap kelip cahaya dari rumah penduduk. Kami seperti berada di tempat yang jauh dari kehidupan.
Bang Rustam tetap di depan. Tetap laju. Mungkin karena dia biasa dengan situasi ini. Mungkin juga dia agak mudah karena Yapandi yang diboncengnya, badannya relative tidak berat. Bandingkan saya membonceng Ismail yang besar panjang. Beratnya mungkin 70 atau 80 kilo.
Saya tidak tahu ke mana kami. Tidak ada bayangan. Kiri kanan gelap. Tidak ada penerangan.
Kami membelok ke kiri. Jalannya relative bagus. Tetapi sebentar. Kami kembali melalui jalan becek lagi. Bahkan sangat parah. Tiba di sebuah tempat sebelum jembatan, saya berhenti agak lama. Memilih jalan. Di sebelah kiri jalannya agak lumayan, tetapi ada beberapa gundukan. Di kiri itu ada parit besar. Di bagian kanan dan tengah jalan, Lumpur membentuk kolam. Saya melihat Bang Rustam terperangkap di kiri. Saya memilih di kanan. Walaupun beberapa kali Ismail harus turun mendorong motor, kami selamat sampai ke jembatan. Bang Rustam dan Yapandi agak susah payah sebelum akhirnya sampai ke ujung jembatan.
Medan di sinilah yang paling susah. Saya jadi teringat jalan di Punggur tahun 2003 dahulu. Jalan tanah tersiram hujan menyisakan lumpur yang licin. Panjang sekali. Beberapa kali motor harus didorong. Beberapa kali terpeleset. Jadi begitulah keadaan jalan ini.
Setelah melalui jembatan, kami tiba di jalan semen. Saya menarik nafas lega. Dada terasa lapang.
Selanjutnya hanya sesekali saja ada bagian jalan yang licin. Tetapi tidak mengganggu. Kami juga melihat ada tanda-tanda kehidupan. Sesekali ada cahaya lampu dari rumah penduduk. Hujan juga sudah agak reda.
Kami sampai di jalan beraspal. Melewati simpang tiga. Melalui perkampungan yang agak padat. Lalu, Bang Rustam berhenti di sebuah rumah. Toko di atas parit.
Pemilik rumah menyambut kami. Kami menumpang singgah. Bang Rustam bercakap-cakap dengan lelaki pemilik rumah dalam bahasa Melayu, setempat.
Dari percakapan itu, saya tahu, inilah tujuan akhir kami, malam ini. Bersambung.

0 komentar: