Kamis, 18 September 2008

Perjalanan ke Pulau Maya, KKU (5): Pintu Klip Bikin Merana

Oleh Yusriadi

Tak lama kemudian seorang anak muda muncul. Yansah. Dia tutor KF di sini. Sehari-hari dia mengajar di madrasah ibtidayah di sini.
Dia menyilakan kami ke rumahnya.


Kami mengikutinya dari belakang. Menyeberangi jembatan yang melintang di atas parit. Panjang jembatan lebih kurang 10 meter. Sampai ke rumah. Rumahnya kayu, beratap seng. Ruang tamu cukup luas. Ada sofa sederhana. Ada kursi plastik.
Beberapa gambar dan foto terpajang di dinding. Di sana sini nampak masih ada bekas-bekas hiasan, hiasan perkawinan.
Kami berganti pakaian. Untung pakaian di dalam tas tidak basah.
Setelah itu, mereka menyediakan minuman dan kue. Ada jenis kek.
“Ada kegiatan semalam,” katanya.
Semalam ada kegiatan hadrah di rumah ini. Hadrah merupakan bagian dari acara selamatan kandungan istri Yansah.
Orang tua Yansah, Pak Kaed, sempat menunjukkan permainan hadrah. Ismail, yang memang di Pontianak termasuk pemain jepin, nyambung dengan cerita hadrah itu. Mereka bicara tentang jenis pukulan, perkembangan permainan hadrah, dll. Saya melihat semangat dua orang itu terhadap kesenian rakyat yang hampir punah.
Agak larut kami tidur.

SUBUH. Kami salat di masjid Jami’ Baburrahman di persimpangan tiga di tengah kampung yang kami lewati sebelumnya.
Waktu kami datang di masjid sudah ada orang.
Memasuki waktu azan, Bang Rustam menjadi muazin. Suaranya merdu sekali. Saya sudah agak lama kenal dengan Bang Rustam, tetapi, saya tidak tahu dia bias azan semerdu itu. Asli! Suara serak-serak memanggil membawa saya pada masa lalu, saat di Jongkong, Kapuas Hulu dahulu. Azan subuh di suasana yang sepi dan dingin selalu menimbulkan kesan tersendiri.
Jumlah jamaah dapat dihitung dengan telunjuk. Sedikit. Tetapi saya tidak heran, selalunya memang begitu. Jangankan di Pulau Maya ini, di Pontianak, jamaah Subuh juga tidak banyak.
Saya terkesan pada masjid itu ketika melihat sebuah pedang di mimbar. Pedang itu bersarung. Panjangnya lebih satu meter. Ada ukiran pada ganggangnya.
Pedang itu digunakan sebagai bagian dari tatacara dalam salat Jumat. Jika di beberapa tempat, orang yang akan naik mimbar diserahkan tongkat, di sini, orang yang akan naik mimbar diserahkan pedang. Pedang siapa ini? Rupanya pedang itu adalah salah satu pedang milik generasi awal di Pulau Maya ini.

Kami kembali ke rumah. Saya memilih duduk di teras, melihat kehidupan pagi di Parit Suka Baru. Ada beberapa perahu dan perahu motor yang melintas di parit. Petani pergi ke ladang.
Ladang penduduk terdapat di ujung kampung.
Sebagian penduduk di sini adalah petani. Selain itu ada yang menjadi pekebun kelapa. Beberapa lagi nelayan.
Kebun kelapa yang terdapat di belakang rumah penduduk di kampung ini tidak tumbuh dengan bagus. Hasilnya tidak maksimal. Kerap terkena air asin.
Air asin bebas masuk wilayah pemukiman dan perkebunan karena di parit ini sekarang tidak ada pintu klip. Pintu klip sudah rusak diterjang kayu.
Dahulu, ketika kayu sedang ‘jaya-jayanya’ parit ini dijadikan sebagai ‘jalan kayu’. Orang membawa kayu dari hutan di ujung kampung. Kadang-kadang kayu yang dihanyutkan di sungai itu menabrak jembatan, tangga tempat mandi. Termasuk menabrak pintu air. Akhirnya pintu air jebol dan tidak bisa berfungsi sampai sekarang. Lalu, masuklah air asin.
Sebagian dari tanaman penduduk yang sempat tumbuh subur ketika pintu klip masih berfungsi, mati. Tumbuhan tak mampu hidup ketika kena air asin. Pisang-pisang yang sempat tumbuh subur perlahan-lahan mati. Kelapa yang sempat berbuah lebat, mulai rontok, berbuahnya melekat bak kata orang, satu dua. Begitu juga dengan kopi.
Penduduk jadi ikut merana. Sumber kehidupan menjadi terbatas.
Sampai sekarang permohonan perbaikan pintu klip kepada pemerintah belum dipenuhi. Penduduk disalahkan. ‘Orang pemerintah’ bilang, seharusnya orang yang merusak pintu klip itu bertanggung jawab. Seharusnya dia membayar ganti rugi untuk perbaikan. Bersambung


0 komentar: