Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Metro
Saya merasa sangat tertarik menyaksikan reaksi Zulfidar, dkk serta reaksi Fron Pembela Islam (FPI) dan KNPI Singkawang, terhadap makalah Hasan Karman. Saya ingin terus mengikuti perkembangan dan ending aksi ini.
Karena itu saya berusaha membaca media utama di daerah ini. Entah itu Borneo Tribune, Pontianak Post, Equator maupun Tribune Pontianak. Saya memerlukan bacaan itu karena saya tahu ideology masing-masing dan apa yang terjadi di ruang redaksi media ini berbeda. Saya kira tugas dari redaktur untuk wartawan juga akan membuat bahan tulisan yang disajikan kepada public akan berbeda. Dan senyatanya memang begitu.
Dari semua berita itu, saya kira yang paling penting bagi saya adalah ketika membaca teks lengkap makalah HK yang dimuat di Borneo Tribune beberapa hari lalu. Ya, membaca teks lengkap itu sangat perlu untuk memahami duduk persoalan.
Bagi saya –dan beberapa teman lain, pertanyaan penting dari kasus ini sebenarnya adalah kayak apa sih makalah HK itu? Bagian mana yang dipersoalkan? Sejauhmana persoalannya –sampai-sampai kok dia harus mundur?
Kalau kita tidak mencari fakta itu, kita mungkin akan terjebak opini. Mana lagi begitu banyak komentar muncul terhadap makalah itu.
Dan, ketika saya bandingkan dengan isi makalah dengan opini yang berkembang, saya justru ragu: apakah komentator itu ada membaca makalah HK atau tidak?
Lalu pada akhirnya, saya sendiri berpendapat bahwa persoalan makalah HK bukan semata soal makalah. Reaksi karena makalah tidak akan sehebat itu.
Tentu ada sebab lain. Dan rentetan kasusnya jelas. Misalnya, bagaimana FPI muncul dan mengaitkan makalah itu dengan patung naga. Kita memang tahu bahwa selama ini patung naga memang dipersoalkan dan reaksi yang diberikan sejak mula rencana pembangunan, sampai sekarang – sampai patung ini menjadi ikon baru kota singkawang, tidak pernah berhenti. Tetapi, protes mereka tidak membuahkan hasil. HK tidak meluluskan permohonan mereka.
Setelah membaca makalah, saya juga menganggap HK sempat berlebihan memberikan reaksi atas reaksi Zulfidar, dkk. Berlebihan? Saya sempat membaca komentar HK pada mulanya menolak minta maaf. HK tidak merasa bersalah.
Benarkah makalah itu tidak ada masalah?
Pertama, saya kira masalah di makalah itu adalah: HK tidak mengutip sumbernya. Yuan Bingling yang disebut-sebut tidak ada. Begitu juga dengan Graham Irwin. Komentar soal catatan kaki yang diberikan beberapa orang juga tidak nampak. Tak ada tanda makalah itu memiliki catatan kaki. Dalam referensi, yang disebutkan hanya beberapa karya mulai dari Harun Aminurrasyid hingga Elias Suryani Soren.
Justru itu, masalah makalah HK menjadi sangat serius jika dilihat dari sudut metodologi penulisan akademik; HK tidak memenuhi itu. Titik lemah makalah itu sebenarnya seharusnya disadari HK sejak awal.
Kedua, saya menilai Ketua MABM Kalbar Chairil Effendi benar ketika mengkritik penggunaan sumber colonial untuk tulisan ini tanpa dipadukan dengan sumber bukan kolonial. Ini berkaitan dengan isu kapasitas sumber rujukan. Sebagai ilmuan, kita menyadari tidak semua sumber layak dirujuk. Ilmuan harus memilah dan memilih. Kadang kala justru sumber-sumber tertentu ditampilkan untuk dikritisi.
Hanya masalahnya, apakah ada tulisan tentang sejarah Sambas yang dibuat oleh ekspert dalam soal ini? Siapa ekspert itu? Siapa pakar sejarah Melayu di Kalbar?
Pada konteks ini, sebenarnya ini juga harus direnungkan orang Melayu. Orang Melayu Kalbar belum menulis sejarahnya sendiri. Mereka belum menulis sejarah berdasarkan perspektif dalaman sebagai antitesa terhadap pendapat orang kolonial.
Saya tidak hendak menafikan ada beberapa tulisan sejarah yang dibuat oleh peminat sejarah yang berasal dari orang Melayu di Kalbar, tetapi, metode tata tulis, metode analisis, masih sangat lemah. Konstruksi keilmuan masih harus ditingkatkan lagi.
Saya pernah menyampaikan hal ini dalam sebuah forum akademisi dan di sana juga ada orang dari Balai Pelestarian Sejarah Pontianak, bahwa yang paling menyedihkan bagi kita semua di Kalbar, kita tidak punya pakar sejarah. Kalbar tidak punya professor sejarah. Kalbar tidak punya doctor dalam bidang sejarah. Tidak ada di lembaga penelitian, tidak ada juga di Untan.
Nah, ketika masalah penggunaan sumber local diangkat oleh Pak Chairil, saya kira masalahnya seharusnya juga menjadi perhatian bagi orang Melayu – khususnya para akademisi, bukan HK saja. Orang Melayu harus mendoktorkan anak Melayu untuk mengisi kekosongan itu.
Jadi, pada intinya, munculnya kontroversi makalah HK lebih baik juga diimbangi dengan menjadikannya sebagai bahan renungan bagi kita semua, bagi orang Melayu, dan juga bagi HK. Dari berbagai sudut. Lalu setelah renungan itu kita memperbaiki kelemahan itu bersama-sama. Lihat sisi positifnya.
Jumat, 02 Juli 2010
Makalah Hasan Karman
Diposting oleh Yusriadi di 09.55
Label: Orang Tionghoa, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar