Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Metro
Hari itu saya sedang mengajar tentang kalimat dalam bahasa Indonesia. Setelah menerangkan konsep kalimat dalam bahasa Indonesia, saya menampilkan kalimat: Katanya: “Saya ingin pulang,” dan beberapa kalimat lagi, sebagai contoh kalimat langsung.
Tiba-tiba seorang mahasiswa bertanya.
“Pak, mengapa di situ ada katanya?”
Saya sempat mengerutkan kening mendapat pertanyaan itu. Mengapa dia bertanya tentang itu? Saya belum menangkap apa sebenarnya maksud pertanyaan mahasiswa itu.
“Iya, mengapa di situ ada kata ‘katanya’? Padahal itu ‘kan kalimat”.
Wah… saya terpana mendengar pertanyaan itu. Kini saya mengerti pertanyaan itu. Pertanyaan ini yang sungguh sangat kritis. Saya tidak pernah berpikir tentang itu, sekalipun saya memberikan contoh itu.
Saya ingat, selama ini saya menerima mentah saja dalam menggunakan ‘katanya’. Lebih-lebih sebagai jurnalis, sejak belajar menulis berita lebih 20 tahun lalu, ‘katanya’ hari-hari saya pakai untuk menunjukkan adanya ujaran, ucapan. Hingga sekarang, saya malah mengajarkan pemakaian ‘katanya’ kepada calon wartawan yang mengikuti kelas Jurnalistik.
Pertanyaan mahasiswa itu sungguh berbobot. Saya tahu, kalau ikut logika seharusnya bukan ‘katanya’, tetapi, ‘kalimatnya’.
Teks lengkap seharusnya: Kalimatnya: “Saya ingin pulang”.
Tetapi, tidak pernah ada ‘kalimatnya’ untuk merujuk kepada kalimat yang diucapkan seseorang. Selalu saja yang digunakan ‘katanya’, ‘ujarnya’, ‘ungkapnya’, ‘tandasnya’. Sesekali juga ada kata lain yang digunakan ‘dia berwacana’.
Lalu, bagaimana harus menjawab pertanyaan mahasiswa itu? Apakah saya harus mengatakan bahwa ‘katanya’ merupakan konsensus penutur bahasa Indonesia untuk semua jenis kalimat yang diujarkan, sesuatu yang diucapkan, sesuatu yang dikatakan. Katanya menunjukkan rangkaian bunyi yang membentuk kata-kata yang keluar dari mulut seseorang.
Hanya saya ragu pada jawaban ini karena dalam konteks linguistic, kata bukan akhir dari rangkaian ucapan bermakna seorang penutur. Masih ada kalimat, yaitu konstruksi dari kata-kata itu.
Saya katakan kepada mahasiswa penanya, seharusnya ‘kalimatnya’ dipergunakan, dan bukan ‘katanya’. Sebab yang diucapkan adalah kalimat, rangkaian dari kata-kata yang memiliki makna.
“Tetapi, mengapa ya orang tidak pernah memakai ‘kalimatnya’ untuk menutup kutipan ujaran? Saya tidak tahu jawabannya”.
Saya menyerah. Saya lupa apakah saya garuk-garuk kepala atau tidak saat itu.
“Kalau saudara mau pakai ‘kalimatnya’ seharusnya tidak ada masalah”.
Mereka terdiam.
“Bagaimana?”
Saya mendengar bisik-bisik kecil di antara mereka. Saya tahu mereka sulit menyampaikan komentar. Saya tahu mereka sudah lupa pada jawaban pertama saya tadi, soal “saya tidak tahu”.
Saya lantas memberikan kuliah tentang konsensus sebagai salah satu bagian dari proses pembentukan bahasa. Kalau soal ini saya bisa bahas panjang lebar. Maklum, itu ilmu linguistik yang saya pelajari.
Setelah saya menjelaskan tentang konsensus itu, saya kemudian menutup jawaban dengan mengatakan lagi-lagi saya tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan mahasiswa itu. Saya minta tempo untuk memikirkannya. Saya mengatakan begitu untuk menegaskan bahwa saya memang tidak tahu, dan saya masih harus belajar banyak. Saya tidak ingin mengagak-agak jawabannya, apalagi mengagak dengan kemungkinan yang salah. Kasihan mereka, bisa sesat.
Ketika sampai di ruang kerja, saya berusaha mencari jawaban dengan membuka internet untuk melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan.
Saya menemukan kenyataan yang juga masih membuat saya tidak puas. Dalam KBBI kata dan kalimat diberikan pengertian yang kurang lebih sama. Kalimat diberi pengertian: 1 kesatuan ujar yg mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan; Kata diberi pengertian: unsur bahasa yg diucapkan atau dituliskan yg merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yg dapat digunakan dl berbahasa.
Dua pengertian ini membuat saya yakin bahwa pada akhirnya mengapa banyak muncul penggunaan ‘katanya’ dan tidak pernah ada ‘kalimatnya’ karena soal kebiasaan saja. Itu tadi, konsensus, kesepakatan pengguna bahasa.
Ugh.. menemukan jawaban begitu membuat saya lega. Untung saya sudah menjawab dengan mengatakan saya tidak tahu. Untung saya bisa memperlihatkan kepada mereka bahwa saya masih bodoh.
Coba bayangkan jika saya pura-pura tahu? Pasti jawaban saya ngawur. Pasti mereka sesat.
Peristiwa ini juga menjadi pelajaran tambahan bagi saya: jangan pernah malu mengaku tidak tahu – sekalipun kamu mungkin dianggap orang sebagai orang yang tahu.
Jumat, 02 Juli 2010
"Mengapa Katanya?"
Diposting oleh Yusriadi di 09.54
Label: Bahasa Media, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar