Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Metro
Dahulu, pada saat kelas-kelas awal semester, sering kali saya menghadapi mahasiswa yang mengeluh karena banyak tugas kuliah diberikan untuk mereka. Mereka merasa sangat terbebani jika banyak tugas harus dikerjakan.
Mengapa?
“Mengarang itu susah. Susah mau memulainya”.
“Susah menyusun kata-kata”.
Karena susah itu, mereka menjadi sangat terbebani. Bahan harus dicari. Kata-kata mesti disusun. Bukan mudah menyusun kata-kata – apatah lagi jika kata-kata yang harus disusun sangat banyak. Sedangkan jika tidak dikerjakan, salah-salah mimpi, mereka bisa dikeluarkan dari kelas.
Oleh sebab itu ada di antara mereka yang memilih membuat tugas copy paste, ada yang memilih ‘ngerental’ tugas. Rental tugas maksudnya, meminta teman lain membuat tugas mereka. Mereka cukup membayar saja sekian ribu rupiah. Setelah itu terima bersih.
Sistem tugas palsu ini mereka pilih karena mereka pikir dosen kali ini sama dengan sebagian dosen mereka sebelumnya. Sebelumnya, ada dosen yang memberi tugas namun mereka tidak benar-benar memeriksa tugas mahasiswa. Tugas dikumpulkan, kemudian ditumpukkan di rak begitu begitu saja. Jadi, soal apakah tugas mahasiswa itu dibuat dengan serius, original atau tidak, tidak jadi soal. Apakah tugas itu dibuat dengan susah payah atau dengan mudah, juga tidak masalah.
Sebagian mahasiswa sudah cukup dimanjakan dengan system ini. Mereka sudah terlanjur merasa nyaman karena tidak perlu terlalu bersusah payah mengerjakan tugas. Toh, bagi mereka bukan belajar menambah ilmu yang penting. Yang penting adalah nilai. Nilai yang akan mengantarkan mereka memperoleh gelar sarjana kelak.
Mengubah kebiasaan ini tidak mudah. Sudah coba diingatkan, namun selalu saja ditemukan ada mahasiswa yang coba-coba melakukan kebiasaan buruk itu.
Nah, saya merasa bersyukur sejak empat semester ini, bisa menerapkan system penugasan membuat karangan tentang diri, keluarga, orang yang dicintai, dll, serta pembuatan buku harian untuk dalam mata kuliah Bahasa Indonesia.
System ini, bukan saja membuat saya bisa meminta mahasiswa benar-benar menulis dan menerapkan keterampilan berbahasa standar, tetapi juga bisa memaksa mereka membuat tulisan yang orisinil. Ya, orisinil karena dengan begitu mereka hanya bisa menyerahkan tugas yang dibuatkan sendiri. Tidak ada lagi tugas yang dibuatkan teman lain. Tidak ada lagi system rental buat tugas.
Mahasiswa juga tidak lagi merasa sulit membuat tugas. Sebab, apa yang mereka tulis itu bahannya sudah ada dalam benak mereka. Tinggal menuangkan saja. Mereka juga merasa mudah karena dengan begitu mereka terhindari dari kesukaran mencari-cari bahan untuk tulisan.
Saya senang dengan cara ini karena nyatanya mahasiswa bisa menikmati dunia kepenulisan. Sebagian besar mulai dapat menikmati. Mereka merasakan ada kesenangan dan kepuasan tersendiri yang bisa dicapai. Malah, ada beberapa yang sudah membuat buku otobiografi berdasarkan bahan-bahan itu. Buku yang sederhana!
Yang paling menyenangkan saya adalah ketika saya mendengar mahasiswa membandingkan apa yang mereka dapatkan di sekolah menengah dahulu. Saat di sekolah menengah dahulu sebagian dari mereka mengatakan sangat jarang diajarkan menulis oleh guru.
Saya pernah mendengar seorang mahasiswa mengaku, ketika sekolah dahulu, khususnya di akhir-akhir tahun, mereka lebih banyak diajak membahas soal. Bukan mengarang.
Bagi saya bukan soal bandingan itu yang penting. Yang penting adalah di balik kemampuan mereka membandingkan itu berarti mereka sudah memiliki kesadaran – kesadaran tentang pentingnya keterampilan berbahasa Indonesia bagi mereka.
Jika mereka benar-benar sudah merasa penting menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi mereka, sasaran pembelajaran bahasa Indonesia sudah tercapai. Dan, ini juga pasti akan membuat pembelajaran bahasa Indonesia tidak akan menimbulkan isu sukar dan mudah lagi. Tidak akan banyak problem lagi.
Jumat, 02 Juli 2010
Belajar Bahasa Indonesia
Diposting oleh Yusriadi di 09.51
Label: Borneo Tribune, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar