Oleh: Yusriadi
Dan memang ketika tampil dalam acara resmi di masjid, Sujiwo menyampaikan sekali lagi janji-janji yang sebelumnya disampaikannya kepada ibu kepala desa. Namun demikian dia dengan cerdas untuk melapis janjinya – bahwa untuk mewujudkannya harus ada dukungan.
“Tapi saya bukan kampanye,” ingatnya. Senyum. Saya kira senyum khas orang politik.
“Saya mohon doa karena akan maju dalam pemilihan bupati Kubu Raya nanti,” tambahnya.
Ada beberapa suara berguman menyahut Sujiwo dari dalam masjid. Sedangkan di teras masjid saya lihat beberapa warga sibuk sendiri. Anak-anak yang berada di teras sejak awal tadi bicara sendiri. Hanya sesekali mereka diam. Mereka diam ketika mendengar orang tua tertawa – maklum ada bebepa kali joke segar dikeluarkan.
Agus yang tampil kemudian lebih terbuka soal dukungan.
“Saya yang bukan orang Jawa mendukung Bapak Sujiwo. Kalau orang Jawa tidak mendukung sesama orang Jawa, itu kebangetan,” katanya menyentuh sentimen etnik.
Saya salut dengan keberanian Agus membangkitkan isu ini, di masjid. Memang kalau mau menang harus begitu. Harus lebih cepat. Harus menyentuh perasaan. Memang, isu etnisitas kerap kali lebih menyentuh dibandingkan isu lain. Bahkan kadang calon kepala daerah tidak perlu menyampaikan visi misinya secara jelas. Toh, rakyat Kalbar yang rata-rata pendidikannya tamat SD tidak mengerti amat soal visi misi itu. Mereka jauh lebih mudah mengerti bahwa yang maju adalah orang sendiri dan perlu didukung. Rakyat kecil sudah merasa cukup kalau disentuh dengan isu ini. Dan, pada pendapat saya, Agus sedang melakukan itu di Sungai Karawang.
Tentu saja merasa jengah. Kiranya, cara Agus ini bukan mencerdaskan masyarakat. Bukannya memberikan rakyat pilihan yang terbaik. Karena yang saya tahu kemudian, tanpa menonjolkan isu etnisitas, orang-orang di Sungai Karawang sangat mengenal Sujiwo dan sebagian besar akan memilihnya. “Dia sudah beberapa kali datang ke sini. Kami mengenal dia,” kata seorang warga.
Namun, kalau isu Jawa terus disentuh, sangat mungkin orang-orang bukan Jawa akan enggan memilihnya. Pada akhirnya, kalau situasinya tidak tepat, apa yang dilakukan Agus dengan kampanye berbau ras- akan menjadi bumerang bagi Sujiwo.
Cukup panjang Agus dan Sujiwo bicara. Sampai-sampai waktu yang semula agihkan untuk ceramah agama terpotong. Uztad yang dibawa Sujiwo dari Pontianak yang juga mengajak masyarakat memilih Sujiwo terpaksa membatasinya ceramahnya. Seorang lagi penceramah yang dijawalkan batal tampil karena waktunya sudah terlalu sore. Bahkan shalat Ashar molor dari jadwalnya.
Politik memang dapat mengalahkan banyak hal. Termasuk peringatan Islam soal shalat tepat waktu, kata saya dalam hati.
***
Setelah shalat Ashar yang molor itu, saya beredar dari masjid. Saya kembali ke rumah kepala desa. Rupanya beliau sudah ada di rumah. Ada ibu-ibu yang sedang bertamu.
Saya menyela percakapan mereka. Saya bertanya soal Rukun Tetangga (RT) di lingkungan desa Sungai Karawang dan kemudian beliau memberikan informasi mengenai RT-RT yang saya cari.
Setelah informasi cukup saya pamit. “Biar lebih cepat selesai pekerjaan,” kata saya memberikan alasan.
Ibu Kades menawarkan kendaraan –sepeda motor. Namun saya menolak. Saya kikuk kalau menggunakan motor di tempat baru. Saya takut. Takut tak tahu jalan. Takut motornya mogok, takut kalau-kalau terjadi kecelakaan, dll. Saya pikir, tidak hati-hati bisa timbul masalah baru. Lagian, jalan kaki juga lebih enak. Dan saya terbiasa melakukan hal itu.
Saya berjalan ke arah hilir kampung, melewati jalan yang sebelumnya saya lewati saat pertama datang. Ada beberapa orang di pinggir jalan. Saya menyapa mereka. Mereka ramah. Ya, mungkin selain karena orang kampung memang baik-baik, saya baru ingat, tadi waktu di masjid, Ibu Kades juga menyebut nama saya. Dan dia minta agar warganya memberikan bantu.
Di ujung kampung saya bertemu dengan salah seorang anak muda yang sedang duduk di atas motor di tengah jembatan besar. Saya masih mengenal wajahnya. Dia adalah anak muda yang duduk di dekat saya sewaktu di masjid tadi. Dan, rupanya dia juga masih ingat dengan wajah saya. Dia tersenyum. Saya bertanya padanya di mana rumah ketua RT yang saya cari.
“Mas masuk lewat jalan ini. Ada rumah pertama di sebelah kanan, itulah dia,” katanya.
Saya mengangguk. Mengucapkan terima kasih dan kemudian mengikuti petunjuknya.
Saya sampai di rumah yang dituju.
Saya mengucapkan salam dan seorang lelaki keluar. Masih muda.
Saya menyebutkan nama orang yang saya cari dan dialah orangnya.
Dia mempersilakan saya masuk.
Saya kemudian memberitahukan tugas saya dan apa yang saya cari. Dia melayani saya dengan sangat memuaskan. “Sebelumnya juga pernah ada yang datang. Kayak begini,” katanya.
Wawancara berjalan sangat lancar. Tetapi karena banyak pertanyaan yang diajukan, prosesnya berlangsung hingga maghrib. Penerangannya hanya pelita. Tidak ada listrik. “Sudah diajukan, tetapi sampai sekarang .. beginilah,” katanya. Lirih.
“Malang sungguh. Tempat yang sebenarnya hanya sepelempar batu dari Pontianak kok begini,” kata saya dalam hati.
Setelah wawancara selesai, saya pamit menuju calon responden berikutnya. Dia berbaik hati menawarkan jasanya mengantar saya. “Saya antar. Tempatnya agak jauh di ujung,” katanya.
Saya tidak punya lampu. Dia pun juga tidak punya lampu. Penerangan kami hanyalah lampun HP saya yang tidak seberapa dan korek api. Untung jalannya agak lempang, meskipun berlumpur. Ada satu kali teman saya kakinya terperosok ke dalam lumpur.
Yang kami khawatirkan, parit di kanan jalan ada buaya. “Biasa buaya melintang di jalan. Orang sering lihat,” katanya.
Tentu saja saya bergidik.
“Belum lama ini ada orang sini yang kena tangkap buaya. Parah. Sampai dibawa ke Pontianak,” tambahnya.
Dia mengingatkan saya agar hati-hati dengan parit di depan rumah kepala desa. Karena di parit itulah buaya yang menangkap korban itu biasa nampak.
“Mengapa tidak ditangkap? Mengapa tidak dibunuh?,” tanya saya.
Menurutnya, orang kampung percaya bahwa buaya itu bukan sembarang buaya. Buaya bukan sekadar binatang melata. Karena itu sekalipun buaya memangsa manusia namun manusia tidak berani membalasnya.
Kami sampai di rumah yang dituju. Namun, orang yang dicari tidak ada. “Sedang nonton TV,” kata anaknya.
Teman saya memberitahukan di mana tempat orang yang kami cari menonton. “Orang di sini belum semua punya TV, jadi menontonnya ramai-ramai,” katanya menambahkan..
Karena jarak nontonnya juga cukup jauh, akhirnya kami membuat janji: besok saya akan datang lagi. Saya juga tidak mau mengganggu kenikmatan orang menonton TV.
Kami kembali. Teman saya mengajak saya naik ke rumahnya lagi. Istrinya –yang kemudian saya tahu berasal dari Sambas, sudah menyiapkan makan malam. Kami makan nasi baru, hasil panen keluarga ini.
Saya menjadi lebih akrab dengan keluarga ini. Dia menceritakan perjalanan hidupnya sebelum ini. Dia pernah bekerja di Batu Ampar di perusahaan kayu. Di sinilah dia bertemu dengan istrinya sekarang. Sejak kawin pasangan ini menetap di Sungai Karawang, meninggalkan pekerjaan di sawmill Batu Ampar. Mereka kini memiliki dua orang anak.
Beberapa saat kemudian saya pamit. Teman saya menemani hingga rumah tempat orang menonton TV.
***
Saya sampai di rumah bu Kades sekitar pukul 20.20 wib. Ada banyak orang. Ada yang duduk di teras, ada yang berada di dalam rumah. Mereka menonton TV. Rupanya, ada bagian dari dinding rumah bu Kades yang ‘dicopot’ khususnya agar orang bisa nonton TV dari luar. Siang tadi saya lihat dinding itu masih terpasang.
“Kalau nonton di dalam rumah semua, kadang tidak cukup. Kalau dibuka orang masih bisa nonton dari teras,” kata Bu Kades.
Saya jadi teringat keadaan di kampung di Riam Panjang, Kapuas Hulu, saya tahun 1980-an awal. Beginilah keadaannya. Kalau malam hari orang berkumpul di rumah pemilik TV. Nonton. Waktu itu orang yang memiliki TV sangat terbatas. Hanya ada satu dua orang saja. Hanya orang-orang kaya yang bisa membeli TV, dengan parabola dan mesin TS –merek mesin sejenis diesel untuk menghidupkan listrik.
Nonton bersama walaupun repot – karena tidak bisa leluasa baring dan tidak leluasa memilih tontonan yang sesuai dengan keinginan pribadi –pastinya sesuai selera pemilik TV, tetapi banyak asyiknya. Bagi saya sangat mengesankan. Saya masih mengingat masa-masa itu. Sekarang keadaan itu tidak ada lagi di Riam Panjang. Listrik PLN sudah masuk. Sudah banyak orang yang punya TV.
Tapi, malam itu setelah bercakap-cakap dengan bu kades dan suaminya, saya langsung memilih tidur. Saya ingin istirahat. Saya telah melalui hari yang sangat melelahkan sejak dari Batu Ampar. Dan, besok saya masih harus melakukan banyak hal. Bersambung.
Minggu, 22 Juni 2008
Perjalanan ke Sungai Karawang, Batu Ampar (4)
Diposting oleh Yusriadi di 01.40
Label: Batu Ampar, Perjalanan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar