DANGKAL ===
Pelabuhan Sukadana sangat dangkal. Jangkan motor besar, perahu kecil juga sulit melintas. Penumpang harus turun mendorong perahu yang kandas. Foto Yusriadi
Oleh: Yusriadi
Apa yang saya lihat di Sukadana mengingatkan saya pada Sambas. Saya melihat ada sisi persamaan –sekalipun saya belum tentu benar.
Sebelum pemekaran Sambas adalah kota tua yang sepi. Saya mengunjungi ibukota Sambas tahun 1997 sebelum kerusuhan –bersama seorang ilmuan dari Universiti Kebangsaan Malaysia –Dr. Hanapi Dollah (sekarang sudah profesor). Waktu itu saya melakukan pengumpulan data ke Daup, kampung di Sungai Tempapan, kecamatan Teluk Keramat –sekarang di bawah kecamatan Galing.
Saya sempat menginap di Sambas. Waktu itu keadaannya sangat sederhana. Kota Sambas hanya memanjang dari ujung jembatan di seberang keraton. Rukonya hanya baru beberapa petak. Saya sempat menyusuri lorong dan melihat aktivitas yang tidak ramai. Padahal, Sambas adalah sebuah kota besar dalam sejarah pantai Borneo Barat. Ironi, Sambas dicatat dengan tinta emas dalam sejarah Kalbar, ternyata hanya tempat di ujung pantai utara Kalbar. Wilayah yang jarang dikunjungi. Wilayah yang hampir tidak memiliki daya tarik, kecuali kraton yang menyisakan sejarah itu.
Saya dan Dr Hanapi singgah di Sambas karena ingin melihat keraton yang tersohor saat itu. Waktu itu, keraton juga belum dikemas dengan baik. Masih seperti rumah biasa: hanya ada dua ruangan yang dianggap ruang bersejarah dengan pajangan benda-benda peninggalan sultan. Selebihnya, tidak ada yang menarik diceritakan. Wempy, waktu itu seorang muda yang masih sederhana: menerima kedatangan kami dengan celana pendek sambil memperbaiki kemeja pendek warna putih. Belum nampak sebagai seorang sultan yang pamornya mulai menanjak pasca kerusuhan. Keadaan ini membuat pembicaraan menjadi tidak formal. [Dan saya merasa beruntung bisa bertemu beliau sebelum beliau menjadi sultan yang dihormati dan dimuliakan; karena pasti tampilan sang pangeran sudah jauh berubah].
Di kemudian hari saya mendapat cerita Sambas memang tidak maju. Pembangunan relatif jalan di tempat. Kurang diperhatikan. Pembangunan lebih terfokus di Singkawang. Singkawang menjadi jauh lebih maju dibandingkan Sambas.
Bahkan ada yang menduga Sambas sengaja dimundurkan. “Ada alasan politik. Itu juga yang menyebabkan sewaktu penetapan ibukota kabupaten Sambas, pusatnya bukan di Sambas, tetapi di Singkawang,” cerita seorang informan.
Waktu itu saya hanya mengangguk. Mungkin benar. Saya juga tidak tahu kebenaran itu.
Tetapi, ketika kemudian saya menjejakkan kaki di Sambas tahun 2004 atau 6 tahun kemudian, saya melihat Sambas mulai berbenah. Kemajuan Sambas cukup nyata. Ketika tahun 2007 sekali lagi saya ke Sambas, saya melihat kemajuan yang mencengangkan. Menurut pendapat saya, Sambas maju pesat. Dalam beberapa tahun terakhir ini. Dan wajar kalau kemudian masyarakat Sambas masih memilih Burhanuddin Rasyid sebagai bupati. Burhanuddin tidak menyia-nyiakan amanat sebagai orang yang diberikan amanah memajukan Sambas.
Selain Sambas, kemajuan yang dicapai Ngabang pasca pemekaran juga bisa menjadi cermin Sukadana. Ngabang sebelum pemekaran hanyalah kota kecil yang memiliki beberapa ruko saja. Kalau bis-bis Sintang tidak berhenti di terminal Ngabang (dahulu) mungkin nasib kota bersejarah ini juga akan tetap menjadi ‘kampung tua yang sederhana’.
Tetapi setelah pemekaran, setelah Ngabang menjadi ibokota kabupaten Landak, kota kecil ini perlahan menjadi kota besar. Pembangunan bertambah pesat. Dan kemajuan Ngabang hari ini sangat bisa diandalkan.
Lalu, akankah Sukadana bisa mengikuti jejak Sambas dan Ngabang sebagai daerah lama yang baru maju setelah pemekaran?
***
Sekarang kemajuan Sukadana diserahkan pada kendali Hildy Hamid. Hildy dan pasangannya Mohammad Said Tihi sudah terpilih sebagai bupati KKU mengalahkan pasangan Dahlan-Djumadi, serta pasangan Citra Duarni-Adi Murdiani. Hildy diharapkan akan membawa kemajuan Sukadana untuk lima tahun mendatang –sebentar lagi dilantik.
Saya tidak menyimak Pilkada KKU –dan saya tidak bisa membandingkan apa kelebihan Hildy dibandingkan calon yang lain. Pengetahuan saya tentang program yang ditawarkan Hildy untuk kemajuan daerah sedikit: saya hanya tahu soal janji pendidikan gratis.
Meskipun OSO berada di belakang Hildy –mungkin ini yang menurut banyak orang membuat Hildy menang telak, namun, Hildy juga harus dapat memegang amanah. Paling tidak untuk menunjukkan, meskipun dia masih akan terus berada di bawah bayang-bayang OSO, Hildy mampu melakukan sesuatu. Hildy harus berusaha menunjukkan bahwa dia bukan pilihan yang salah. OSO tidak salah memilihnya dan masyarakat juga tidak salah mempercayakan masa depan mereka.
Saya mendengar beberapa warga KKU menyebutkan bahwa pekerjaan Hildy tidak mudah. Sukadana sebagai pusat kota hampir tidak memiliki potensi sumber daya alam yang dapat serta merta mendongkrak pendapatan daerah. Sukadana yang meskipun menjadi pusat pemerintah, tidak serta merta akan menjadi pusat ekonomi KKU. Karet, sawit, ikan, atau mungkin kemudian walet, sejauh ini belum akan menjadi primadona orang Sukadana.
“Sukadana bukan pusat ekonomi. Sukadana pusat pertahanan,” kata saya.
Bang Rustam mengangguk. Ismail Ruslan, M.Si Ketua Prodi Ekonomi Islam Jurusan Syariah STAIN Pontianak yang ikut dalam rombongan kami juga tidak berkomentar ketika mendengar kesimpulan saya –semoga saya salah.
Saya menunjuk bukit-bukit yang mengelilingi kota Sukadana. Bukit yang tinggi dan pantai yang landai dangkal pasti akan sangat baik untuk pertahanan. Musuh akan sulit menyerang tiba-tiba ke Sukadana. Sulit menyerang Sukadana tanpa diketahui. Saya mendengar kemudian bahwa orang Dayak yang berada di beberapa kampung di atas Sukadana mirip-mirip orang Jawa. Ada yang menduga orang Dayak itu adalah keturunan dari prajurit Majapahit yang tidak kembali lagi ke Jawa.
“Memang kapal agak besar tidak bisa masuk ke Sukadana,” Bang Rustam menyampuk.
Padahal kapal besar perlu untuk mengangkut hasil alam Sukadana keluar dan sebaliknya membawa barang-barang makanan masuk ke Sukadana. Menurut dugaan saya tanpa kapal besar –tanpa pengangkutan yang memadai, tidak mungkin ekonomi masyarakat tumbuh membesar.
Sangat sukar membayangkan di Sukadana akan berdiri pelabuhan laut, sekalipun agak dekat laut, karena pantai-pantainya yang dangkal. Ketika air laut surut, jangankan kapal, motor air kecil juga tidak bisa merapat ke pelabuhan Sukadana. Hari itu, dari pelabuhan pasar Sukadana, kami terpaksa diangkut dengan sampan kecil menuju motor air yang menunggu ‘di tengah laut’. “Laut pinggir” di Sukadana terlalu dangkal. Sampan kecil yang kami tumpangi kerap kandas. Beberapa penumpang harus turun membantu mendorong perahu. Saya pikir, terlalu riskan aktivitas ekonomi Sukadana kelak harus bergantung pada pasang surut air laut.
Terminal Sukadana –seperti yang saya lihat sebelumnya terlalu kecil. Belum perlu besar. Sebab mobilitas keluar dan masuk ke Sukadana belum begitu ramai. Memang di akhir pekan orang yang bekerja di Sukadana ‘berlibur’ di Ketapang atau Pontianak, tetapi jumlah mereka –para pegawai itu, belum cukup ramai. Sukadana bukan kota yang berada di lintasan utama. Akan berbeda kalau Sukadana berada di pinggiran lintasan trans-Kalimantan. Kalau di lintasan trans, Sukadana pasti akan menjadi kota yang maju dan pertumbuhannya akan sangat cepat.
Pelabuhan udara juga tidak mungkin dibangun di Sukadana, karena kontur tanah yang berbukit-bukit. Bukit yang mengelilingi Sukadana pasti tidak akan sesuai untuk keperluan itu. Lagian, meskipun jangka waktunya sangat panjang pasti pembangunan pelabuhan udara tidak menjanjikan.
Fasilitas yang terbatas ini pasti memerlukan kerja keras Hildy dan teamnya. Banyak yang berharap kesabaran yang selama ini diperlihatkan Hildy akan menjadi modal menghadapi situasi dan kondisi Sukadana yang masih sangat sederhana ini.
Kesabaran itu juga diperlukan karena beberapa orang menyebutkan ada masalah kerja di daerah baru ini. Sejumlah pegawai tidak cukup betah berada di tempat –pada akhir pekan dan masa liburan para pegawai memilih ke Pontianak atau Ketapang. Sewajarnya, karena tempat ini masih sepi. Orang juga tidak menyekolahkan anak di sini karena sekolah di sini belum memadai. Sukadana lama tidak dikenal sebagai pusat pendidikan. Entah-entah jika kemudian Hildy berhasil melalui janji pendidikan gratisnya, yang menyebabkan KKU dan Sukadana menjadi pusat pendidikan di pantai selatan bagian barat ini.
Tunggu saja. Habis.
Jumat, 20 Juni 2008
Perjalanan ke KKU (2): Sukadana Menunggu Sentuhan Pemekaran
Diposting oleh Yusriadi di 02.53
Label: Perjalanan, Sukadana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar