Oleh Yusriadi
Sudah sering saya pergi ke Ketapang. Penelitian bahasa dan masyarakat membawa langkah kaki saya ke kampung-kampung di bagian timur dan utara Ketapang. Banyak yang dikunjungi dan banyak yang dilintasi. Beberapa kali. Saya hampir mengenal Ketapang dengan baik. Saya pernah membuat beberapa tulisan tentang Ketapang.
Sukadana termasuk daerah yang saya lintasi. Saya belum pernah singgah di sini. Saya melintasi Sukadana sewaktu melakukan penelitian di hulu Sungai Laur tahun 2002. Dari Ketapang ke Laur waktu itu melalui Telok Melano, tembus ke Gerai. Dari Gerai naik motor ke Aur Kuning.
Bagi saya waktu itu Sukadana hanyalah sebuah kampung kecil. Sepi. Saya membaca plang sebuah sekolah dan di plang itu ada tulisan Sukadana. Saya tidak melihat keistimewaan Sukadana.
Sukadana yang saya lintasi waktu itu jauh sekali dibandingkan Sukadana yang saya bayangkan. Saya memiliki bayangan yang sangat besar tentang Sukadana. Berdasarkan catatan sejarah yang saya baca, Sukadana adalah salah satu tempat bersejarah di Kalimantan Barat. Tempat ini disebutkan sebagai daerah kekuasaan Majapahit.
Ada sumber yang menyebutkan bahwa di Sukadana pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Tangjungpura -- ini juga yang mendorong Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Endjat Djaenuderadjat mengajak rombongan mahasiswa melalui Arung Sejarah Bahari (AJARI) II mengunjungi Sukadana tahun 2007 lalu.
Tempat ini juga menjadi tempat yang sangat penting di bagian pantai selatan pada abad ke – 17 – 18 M. Dalam sejarah Kalbar ada cerita kepahlawanan Opu Daeng Manambon dan saudara-saudaranya. Salah satu tempat dalam setting kepahlawanan wira Bugis itu adalah Sukadana.
Sukadana juga pernah menjadi tempat penting bagi Belanda. Belanda menjadikan Sukadana sebagai salah satu pusat pemerintahan di Pantai Barat Borneo. Ada beberapa tulisan Belanda tentang tempat ini.
Melihat catatan-catatan itu, saya membayangkan Sukadana adalah sebuah tempat istimewa. Sebuah wilayah yang sudah tua, tempat berdirinya sebuah kerajaan besar. Sebuah pusat pemerintah pastilah sebuah tempat yang maju dan berkembang.
Tetapi, alamak! Sukadana hanyalah sebuah kampung kecil memanjang –setidaknya itulah yang saya lihat dari jalan waktu itu. Saya tidak percaya, Saya menghibur diri sendiri: Mungkin saya hanyalah orang buta yang mendeskripsikan gajah, padahal gajah yang dideskripsikan cuma ekornya.
Tetapi, saya tidak sempat menindaklanjuti keheranan itu. Saya tidak berusaha mencari jawabannya. Saya tidak menjadikan Sukadana sebagai pusat perhatian. Saya tidak mempelajari lebih jauh sumber-sumber itu. Keheranan itu lewat begitu saja. Seharusnya saya merasa rugi melewatkan sesuatu yang berharga itu.
Syukurlah! Saya mendapat kesempatan kembali melintasi Sukadana, bulan lalu. Jadi, kira-kira sudah 6 tahun. Ketika itu saya ikut rombongan panitia Keaksaraaan Fungsional (KF) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak. Kami singgah di Sukadana dalam perjalanan menuju Pulau Maya. Lumayan lama. Ada beberapa jam. Dan beruntungnya, dalam rombongan itu ada H. Rustam Abong, M.Pd. Bang Rustam, kelahiran Pulau Maya. Dia pernah sekolah di Sukadana. Dia mengenal kota kecil ini.
Kami sempat singgah di masjid besar yang dibangun Oesman Sapta (OSO) di pinggir lintasan Sukadana – Telok Melano. Masjidnya tinggi menjulang dan besar. Setelah itu kami bergerak melintasi pasar menuju tempat penjualan tiket di pinggir sungai.
***
“Inilah pusat kotanya. Mane lage’?!,”
Bang Yapandi setengah tertawa menjawab dan melihat reaksi saya soal Sukadana. Bang Yapandi, tepatnya H. Yapandi Ramli, M.Pd adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STAIN Pontianak, Ketua Panitia KF STAIN Pontianak. Dialah yang kami sebut bos dalam perjalanan ke Pulau Maya kali ini. Yapandi sudah beberapa kali singgah dan melalui Sukadana.
Jawaban Bang Yapandi membuat Saya heran. Sukadana yang saya lihat hari ini juga belum memperlihatkan kemajuan berarti. Sudah enam tahun. Mengapa kemajuannya begitu lambat. Saya bandingkan kota Nanga Pinoh, Melawi yang meskipun di pedalaman tetapi memperlihat kemajuan yang pesat.
Saya berani jamin akan banyak orang sependapat dengan saya: Inikah sebuah ibukota kabupaten? Saya menduga dalam hati: Kalau bukan karena kehebatan seorang OSO mungkin KKU belum jadi sebuah kabupaten. Dan mungkin Sukadana tidak akan menjadi sebuah ibukota kabupaten. Dan saya merasa sangat wajar jika orang-orang di Sukadana sangat menghormati OSO –dan memujanya sebagai pahlawan. Orang Sukadana tidak cukup berterima kasih lewat mulut pada OSO. Mereka harus menunjukkan dengan hati dan sikap. Karena pasti, perhatian dan sumbangan OSO untuk masa depan Sukadana –dan itu berarti untuk anak cucu orang di Sukadana, sangat besar dan tak ternilai. Sukadana yang besar dan maju beberapa tahun mendatang adalah buah dari perjuangan putra Sukadana ini.
Saya bahkan harus mengatakan: Sukadana harusnya menjadi Kota OSO. Milik OSO. Kalau ada kerajaan di Sukadana yang didirikan hari ini, OSO-lah rajanya. Saya ingat kata Nazril Hijar, teman saya di Teluk Batang, sebuah kota kecil tidak jauh dari Sukadana, waktu kami berdiskusi soal KKU pagi tadi. “Citra OSO sangat bagus,” katanya. Pagi tadi Nazril menceritakan perhatian OSO terhadap pemekaran, panjang lebar. Dia tunjukkan foto-foto selama perjuangan pemekaran dilakukan. Semuanya diatur oleh OSO.
Yang saya lihat ada beberapa blok ruko memanjang kiri kanan dari simpang jalan utama menuju ke tempat penjualan tiket di pinggir sungai kecil –yang sedang surut. Minibus jurusan Teluk Batang – Sukadana terparkir di depan bangunan –yang saya tahu kemudian bahwa di situlah terminalnya, kalau mau disebut terminal. Di Pontianak tempat berhenti seperti ini disebut terminal bayangan.
Pada ruko-ruko itu dijual barang kelontong, pakaian, minuman, makanan, dan perabot rumah tangga. Di beberapa bagian bangunan terdapat simbol rokok Betha. Seakan-akan bangunan ini tempat usaha rokoh tersebut.
Saya sempat berjalan kaki melintas ruko itu untuk mencari tempat menjual pulsa. Saat melintas saya bisa melihat ruko dari jarak dekat.
“Ah, sangat sederhana,” bisik saya.
Sederhana karena saya membandingkannya dengan apa yang saya biasa dilihat di Pontianak. Bersambung.
Kamis, 19 Juni 2008
Perjalanan ke KKU (1) Sukadana, Kota Tua yang Benar-benar Tua
Diposting oleh Yusriadi di 04.31
Label: Perjalanan, Sukadana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
Jika anda tahu lebih banyak tentang sukadana. Dan andai juga anda mengetahui tentang kenapa sukadana tidak pernah maju dan berkembang pesat, itu lantaran dikarenakan sukadana dulunye perah di kutuk oleh mendiang raja palembang 7 turunan tidak akan maju dan berkembang. Sebab itulah, kenapa sukadana sepertinya jalan di tempat..
Ya, thanks atas komentarnya. Aku baru' dengar am.. kisah tu'.
Arap2lah saudara kisahkan siapa nama Raja Palembang yang mengutuk itu. Dan mengapa pula Sukadana dikutuk. Pasti ini akan jadi informasi yang menarik.
bang yus yg terhormat, kini cerita kutukan raja palembang itu sudah tidak berlaku lagi,pembangunan sudah di mulai dari berbagai sektor, tinggal dari sudut mana kita memandang kemajuan, apakah bangunan secara fisik atau tarap hidup masyarakat sukadana. bila dilihat dari bangunan dari mulai perumahan penduduk sudah mengalami peningkatan yang sangat luar biasa, apalagi dari segi bangunan pemerintahan hanya saja yang namanya pembangunan tidak seperti makan cabe memerlukan proses yang panjang. jika dilihat dari tarap hidup masyarakat alhamdulillah dengan pemekaran kabupaten baru masyarakat sukadana berhasil meningkatkan tarap hidupnya dari penjual ikan sampai makelar tanah pun ikut sejahtra, jadi jika ada orang yang bilang sukadana jalan di tempat berarti orang itu belum ke sukadana dan tidak mengenal sukadana secara utuh, if you don"t believe what i say you can come to sukadana and compare the last time and now in sukadana or around sukadana, we will wait your coming.
Sukadana skarang udah berkembang pesat.. Udah bnyak ruko dan bangunan toko toko, kolam, hotel, gor, dan byak lagi fasilitas lain,, jadi, sukedane skrg ni udh brkmbg pesat, cbang bank kalbar jak udah terbilang mewah lah,, ap gk hotel yg dbgun pak oso.. Pokokny sukdane skrg ini udah brkmbg lah...
Posting Komentar