Oleh: Yusriadi
“Sebaiknya masyarakat kita diajarkan untuk tidak makan nasi lagi”.
Itu saran yang disampaikan seorang teman -- seorang akademisi, beberapa waktu lalu. Ketika itu kami sedang santap siang di Hotel Gajahmada, Pontianak, usai workshop.
Saya cukup terkejut juga mendengar gagasan itu. Hampir saya menganggap saran itu setengah merayau. Sebab, bayangkan saja orang enak-enakan makan nasi, tiba-tiba disuruh makan roti, sagu, atau kentang, ubi jagung, dan sejenisnya.
Saya masih ingat betul ungkapan orang tentang hidup dan makan nasi ini.
“Kalau masih mau makan nasi, jangan na’ macam-macam”.
“Apa kau tak mau makan nasi lagi?”
“Kau kira nasi sudah tak enak ke?”
Kata-kata itu sering saya dengar kalau seseorang setengah bercanda mengancam orang lain.
Secara awam, masyarakat kita menganggap nasi dianggap sebagai bagian dari kehidupan. Malah hakikatnya, bagi sebagian orang, hidup adalah nasi!
Karena itu, gagasan yang disampaikan teman tadi jelas tidak mencerminkan realitas budaya masyarakat. Malah sebaliknya, gagasan ini meloncat beberapa jauh ke keluar. Saya sebut beberapa jauh karena komunitas lain sudah banyak yang tidak tergantung pada nasi. Mereka ada makanan lain sebagai alternative.
Saya jadi tertarik menyusuri logika teman tadi, dengan pertanyaan logika di balik.
“Mengapa orang tidak baik lagi makan nasi?”
“Nasi terlalu mahal. Coba hitung biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan sebiji’ nasi ni.”
Dia mencongkel tumpukan nasi di dalam piringnya, lantas berdalil: Katanya, untuk menanam padi perlu lahan yang sangat luas. Menanam padi tidak cukup tanah satu kapling. Perlu satu hektare. Proses menanam dan memelihara juga agak repot. Mulai membuka lahan hingga mengolah bulir padi menjadi beras.
Meskipun penjelasannya sepintas lalu, namun, saya dapat mengikuti alur pikirnya. Iya, saya ingat kalau sudah musim beladang, orang mulai menebas, menebang, membakar, menugal, merumput, menjaga buah padi, panen, memisahkan bulir dan tangkai, hingga menjemur dan menumbuk (menggiling) padi. Tak bisa dihitung biaya operasionalnya. Dan saya kira belum pernah diperhitungkan secara terperinci.
Lagian, masyarakat petani biasanya tidak menghitungnya. Umumnya mereka melaksanakan ritualitas berladang, mengerjakannya tanpa memikirkan semua itu. Mereka sudah menganggap semua itu bagian dari rutinitas yang harus dijalani.
Ada juga sesekali saya dengar orang bilang: “Padi tahun ini meleset. Nyalah. Kalau diitung, buang tulang”.
Tetapi, perhitungan yang teman saya buat, bahwa ongkos kerja produksi padi, besar, sangat masuk akal. Setidaknya, katanya, ongkos itu lebih besar dibandingkan dengan kalau orang menanam kentang. Lahan tidak perlu luas benar, pemeliharaan juga tidak terlalu rumit. Oleh sebab itu, saya kira gagasannya memang baik dipikirkan.
Saya bisa membayangkan jika kemudian kita semua beralih makanan pokok: dari padi ke kentang. Atau mungkin makan sagu, gandum, atau ubi. O walah, pasti seru. Bayangkan, selama ini banyak dari kita yang hanya makan nasi. Kita sering mengatakan belum makan kalau belum ketemu nasi. Hatta, kue mue, makan bubur saja kadang dianggap belum makan. Dalam terminology kita: makan adalah makan nasi. Makan yang lain tidak dianggap makan nasi.
Orang baru berkurang-kurang makan nasi kalau sudah kena diabet atau lagi diet. Pada saat seperti ini mereka tidak lagi tergantung pada makanan pokok itu; tapi sudah bisa beralih kepada makanan lain yang lebih aman. Bisa juga toh?
Selasa, 30 Maret 2010
Mengapa Makan Nasi?
Diposting oleh Yusriadi di 07.54
Label: Budaya Kalbar, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar