Oleh: Yusriadi
Pejabat ini ditangkap. Pejabat itu ditangkap. Mantan kepala ini diduga korupsi. Mantan kepala itu, juga korupsi.
Rasanya, hampir tiap hari saya mendengar berita korupsi terekspos. Hampir tiap pekan saya baca ada pejabat yang ditahan.
Saya memang tidak menyimak perkembangan ini dengan seksama. Tidak secara khusus. Tetapi, beberapa kasus diikuti, karena ekspose media.
Nah, kemarin, di luar ekspose media, saya mendengar kabar dari teman, ada sebuah kantor pemerintah, kantor dinas, yang sepi. Penyebabnya, pejabat penting di kantor tersebut sudah ditahan. Setelah itu, kemudian, pejabat yang di bawahnya juga menyusul.
Ini perkembangan yang menarik. Saya jadi terbayang-bayang bagaimana suasana kantor tersebut sekarang? Saya jadi mengandai-andai, andai di kantor yang saya bisa amati tiap hari, pejabatnya juga ditahan karena sering membuat laporan fiktif? Saya membayangkan berapa banyak pekerjaan yang akan terbengkalai, berapa banyak orang yang tidak terlayani, dll. Wuih, pasti kisah kantor yang begini ini akan sangat menarik ditulis.
Tetapi, selain cerita dramatis roda pemerintahan, perkembangan ini mengingatkan saya pada kata “korupsi berjamaah”. Saya sering mendengar kata ini diucapkan orang dahulu saat mengkritik perilaku birokrat. Tetapi, saya tidak pernah melihat contoh sebenarnya. Konsep korupsi berjamaah masih seperti yang dikatakan orang, sebatas cerita yang sulit dibuktikan.
Jadi, ketika mendengar pejabat-pejabat kantor ditahan karena korupsi, nyata, bahwa inilah fakta tentang korupsi berjamaah sebenarnya. Ini bukan isapan jempol lagi.
Kisah kantor yang sepi ini juga mengingatkan saya pada cerita bagaimana seorang teman mengurus sebuah proyek. Saya mendengar dia bersama beberapa teman sibuk mengurus sana-sini. Mereka pergi ke toko sana sini minta kwitansi ini dan itu. Ada beberapa yang fiktif. Mengapa begitu?
“Kalau tidak begini, uangnya tidak cair seperti yang disebutkan dalam jumlah itu”.
“Ndak ke yang begitu itu korupsi?”
Pada waktu yang lain dahulu saya pernah mendengar cerita seorang teman yang mengerjakan berkas untuk proyek, pada masa yang sama dengan pengerjaan proyek tersebut. Mengapa tidak ikut prosedur? Kalau ikut prosedur urusan jadi lebih banyak dan panjang, biaya yang dikeluarkan pun juga akan lebih besar. Yang penting menurutnya, adalah bagaimana membuat semua itu seakan-akan sudah sesuai prosedur.
Katanya, sepanjang tujuannya untuk kebaikan, itu tidak korupsi. Sepanjang tidak untuk diri sendiri, itu tidak korupsi. Kolusi dibolehkan untuk kebaikan.
“Yang tidak boleh, makan uang Negara. Uang Negara jangan untuk mengenyangkan perut seorang”.
Itu petuahnya. Petuah itu juga pernah saya dengar dari teman yang lain hampir 10 tahun lalu saat saya pertama dan terakhir kali masuk dalam panitia pengadaan barang. Maklum, saya telah sangat was-was dibuatnya.
“Karena itu, sekarang, yang paling prinsipil adalah soal niat. Niat itulah yang membedakan antara seorang yang jahat dan tidak jahat. Jika tidak buat begitu, pasti kita tidak bisa apa-apa”.
Oleh sebab itu, ketika kasus korupsi bergulir, dan ketika banyak pejabat ditahan, banyak orang memprediksikan, sebagian dari pejabat yang disebutkan tidak akan sampai masuk ke balik jeruji.
Atau sebaliknya, kalaupun masuk, seseorang tidak akan masuk sendiri, atau mungkin tidak akan mendekam lama. Karena ada banyak orang lain yang terlibat dalam mengurusnya. Ada banyak yang terlibat dalam memakan hasilnya. Jika semua masuk jeruji, diyakini, jeruji tidak akan muat.
Dampak lain, kantor-kantor penyelenggara pemerintahan akan lumpuh. Malah mungkin, selanjutnya orang-orang kantoran itu akan berjamaah untuk tidak bekerja. Jamaah lagi!
Selasa, 09 Maret 2010
Korupsi Berjamaah
Diposting oleh Yusriadi di 07.43
Label: Borneo Tribune, Budaya Kalbar, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar