Oleh: Yusriadi
Kemarin, untuk kesekian kalinya saya duduk di sebuah warung di pinggir jalan di kota Pontianak, sambil sarapan pagi. Kali ini, di meja yang lain –ada dua meja—ada tiga orang lelaki sedang duduk minum. Di depan mereka ada koran. Mereka mendiskusikan soal RUU Pernikahan yang diusulkan pemerintah.
Tema itu memang cukup menarik perhatian. Setidaknya perhatian media. Liputan soal ini cukup banyak. Jadi, tidak heran jika kemudian orang-orang juga terlibat membicarakan hal ini. Termasuk orang yang berada di depan saya pagi itu.
Saya hanya mendengar mereka bicara. Tidak ingin terlibat. Saya tidak kenal mereka. Lagian, sebenarnya saya juga tidak ingin terlibat dalam diskusi soal hukum begini, sebab pengetahuan hukum Islam saya terbatas. Bayangkan, ayat-ayat hanya hafal satu dua saja. Kaedah fiqih juga tidak tahu. Ibadah juga benar-benar ala kadar. Huh… konon-kononnya hendak bicara hukum agama.
Saya tidak tahu dasar pengetahuan agama mereka yang berdiskusi itu. Tetapi, kelihatnya, mereka cukup kritis.
Mereka agaknya pro-kontra juga dengan RUU ini. Kesan saya, ada yang nada-nadanya mendukung, ada yang menolak. Satu orang lagi yang agaknya mungkin juga menolak, mungkin juga menerima. Dia sangat kritis.
“Kita ribut soal nikah siri. A… paling-paling itu akal orang dekat SBY untuk mengalihkan perhatian public dari kasus Century”.
“Mungkin juga RUU itu untuk ngegap saja karena di DPR itu banyak yang nikah siri”.
Kok begitu? A..ha, dalam hati saya mungkin benar begini. Perhatian public dan media perlu diarahkan pada isu selain isu Century. Ini biasanya, konon, jenis kerja intelejen.
“Ya, ndak mungkin SBY dan DPR tidak mau dengar ulama yang menolak RUU itu. Ulama khan jelas menolak pidana nikah siri”.
Wah… saya jadi makin tertarik pada diskusi mereka.
Pikiran orang-orang itu sempat juga terlintas dalam pikiran saya. Tak mungkin SBY berani mengambil sikap kontra dengan ulama. Kalau SBY dan orang di jajaran pemerintahan orang beragama, pasti beliau mau mendengar kata-kata ulama. Apalagi yang mengatakan hal ini sekarang majelis ulama, lembaga formal tempat berhimpunnya ulama di Indonesia.
Saya ingat kata guru dahulu: Orang yang tidak mau mendengar kata-kata ulama tidak akan selamat hidupnya. Apalagi menentang ulama. Pemali. Murka Allah pasti datang.
Kedua orang yang semula agak ribut kemudian senyap. Agaknya mereka juga merenungi hal itu. Saya menjadi tersenyum. Saya kagum, orang di kaki lima ini masih “memiliki agama” dalam hati mereka.
Saya jadi teringat pernyataan Rhoma Irama bahwa mereka yang mengusulkan dan mendukung RUU Nikah Siri sebagai orang Athies. Tidak beragama. Penilaian ini muncul, karena jelas dalam Al-Quran, kitab suci orang yang mengaku beragama Islam, soal nikah itu sudah diatur dengan jelas. Tidak ada keraguan. Tentang syarat syah nikah selama ini tidak diperdebatkan. Lalu, kenapa sekarang muncul orang yang mendebatkannya? Pernyataan Rhoma cukup pedas.
Saya juga jadi teringat membaca komentar seorang penulis yang mengutip penggalan ayat Quran soal nikah ini untuk mengkritik pandangan ulama. Kesannya kritis. Saya mengenal penulis komentar itu. Owalah… ini seperti kata bos kami dahulu: baru bisa menyelam di kolam sudah berlagak dapat menyelam di laut. Baru tahu satu dua dalil, sudah menyalahkan ulama yang hapal banyak dalil.
Saya jadi mikir: Apakah yang seperti ini sudah mewabah di kalangan orang yang mengaku beragama Islam? Rasanya mungkin iya. Sebab, dahulu pun saya pernah menjumpai ada orang yang mengkritik dan menghujat ulama karena mengeluarkan fatwa haram merokok. Ada yang menyebut ulama kurang kerjaan. Ada yang menyebut fatwa ulama itu picik.
Ihh… saya bergidik. Rasanya azab kian dekat. Ya Allah, lindungi kami dari azab-Mu.
Selasa, 09 Maret 2010
Diskusi Nikah Siri
Diposting oleh Yusriadi di 07.41
Label: Borneo Tribune, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar