Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune
Malam itu, beberapa waktu lalu, saya melintas di Jalan Karet, Pontianak Barat. Waktu itu pas tengah malam. Biasanya, kalau saya melewati jalan ini tengah malam--pukul 12 ke atas, jalan ini sepi. Hanya sesekali saja saya berlimpasan dengan pengandara lain.
Kala tengah malam, jalan ini sudah mati. Seingat saya, jika pulang jejak dini hari begini, paling-paling ada tiga tempat yang menyisakan kehidupan di jalan ini.
Pertama, di mulut jalan, di persimpangan Jalan Kom Yos Sudarso. Di sini ada warung gerobak. Di warung ini ada jual mie instant, susu termasuk energen dan sejenisnya, gula, rokok dan korek api, obat nyamuk dan permen. Di sini juga ada jual bensin dan layanan tambal ban. Saya tidak tahu persis sampai jam berapa warung ini tutup. Karena sepanjang lewat kalau malam hari warung ini masih buka. Cuma kadang-kadang, kalau saya singgah beli mie instant, saya harus membangunkan penjual yang ketiduran. Kadang-kadang juga di depan warung ini dijadikan tempat nongkrong sejumlah orang.
Selain itu, di bagian tengah Jalan Karet, di dekat komplek Didies juga terdapat warungkecil menjual bensin dan tambal ban. Warung buka juga sampai sangat larut. Jadi walaupun pemiliknya tidur, bensin tetap diletakkan di atas rak. Orang yang perlu bensin, bisa membangunkan penjaganya yang tidur di warung kecil itu.
Setelah melewati kebun kelapa yang gelap, ada komplek perumahan di sekitar simpang Jalan Karet – Tabrani Ahmad, di sana ada penjaga malam. Penjaga itu seorang lelaki tua, sering saya lihat duduk di kursi di depan pos jaga. Kadang-kadang dia terlihat membakar-bakar sampah.
Nah, malam itu beda. Saat saya melintas tidak jauh dari persimpangan Kom Yos Sudarso, saya melihat ada sekatan di Jalan Karet.
“Heh, apa ya?!”
Saya terkejut. Ada orang jongkok di jalan. Tiga orang. Di bagian pinggir jalan ada sepeda motor dihidupkan lampunya. Lampu dari motor itulah yang menjadi penerangan orang yang jongkok. Mungkin kalau tidak ada lampu itu, orang yang jongkok di jalan tidak akan nampak.
Apa yang mereka buat? Ternyata mereka sedang menggali jalan. Mereka menggali aspal yang mulus dari sebelah kiri ke kanan. Ukurannya lima centi meter. Lubang kecil ini digunakan untuk memasukkan paralon kecil. Paralon itu dari rumah mereka ke parit Sungai Serok--parit besar di pinggir Jalan Karet. Gunanya, untuk menyedot air parit agar masuk rumah, agar mereka dapat mandi dengan mudah tanpa harus pikul-pikul air.
Walaupun saya mengerti mengapa mereka melakukan itu, namun, saya merasa geram juga.
“Uh, enak saja orang itu. Jalan sudah bagus, mereka buat rusak”.
Ya, mereka menggali jalan yang sudah mulus.
Memang setelah digali mereka tutup kembali, namun, karena mereka menutupnya dengan batu kecil, upaya mereka ini tidak membuat jalan jadi mulus kembali. Ya, setelah mereka gali jalan menjadi rusak. Jelek.
Namun, meski begitu, herannya pemerintah tidak risau pada soal ini. Pemerintah tidak menegur warga yang merusak jalan yang sudah mulus. Nampaknya, pemerintah membiarkan begitu saja. Nampaknya setali tiga uang. Padahal, mereka bisa melakukannya. Pemerintah bisa menegur warga yang merusak jalan. Bahkan, bila perlu meminta pertanggngjawabannya. Tapi…
Saya jadi mengeluh: Itulah pemerintah kita. Pemerintah kita memang kurang dapat dan kurang mau melihara.
Selasa, 30 Maret 2010
Menggali Jalan
Diposting oleh Yusriadi di 07.56
Label: Pontianak, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar