Oleh Yusriadi
Sejumlah anak sekolah berbaju putih dengan rok dan celana merah manggis melintas di Gang Karet Indah, Jalan Karet, Pontianak, di suatu pagi beberapa hari lalu. Mereka berjalan kaki dari arah Gang Sanubari, Parit Tengah. Dari jauh suara mereka sudah terdengar; ramai dan meriah. Mereka sambil bergurau, agaknya. Tapi, saya tidak dapat menebak apa yang mereka bicarakan. Maklum, mereka menggunakan bahasa Madura; bahasa yang tidak saya mengerti.
Bahasa mereka memang menarik perhatian saya: terutama pola campur antara bahasa Madura dan bahasa Melayu Pontianak. Sering-sering saya mencoba menyimak percakapan mereka. Banyak hal menarik untuk ditulis.
Tetapi, hari itu, bukan bahasa mereka yang menarik perhatian saya. Saya tertarik melihat mereka melintas di depan saya karena semua mereka menjinjing sepatu. Ya, sepatu yang seharusnya mereka pakai, tidak mereka pakai. Mereka nyeker, pakai kaki ayam.
Mengapa begitu? Ini karena lintasan mereka yaitu Gang Karet Indah, tidak seindah namanya. Gangnya tidak indah, tetapi justru berlumpur. Maklum musim hujan. Di gang itu masih ada bagian berlumpur sepanjang 100 meter, dari panjang gang ini lebih kurang 500 meter. Di bagian gang ke arah Jalan Karet sepanjang 300 meter sudah bersemen. Lebarnya lebih kurang 1,5 meter. Saya tahu, bagian ini bisa bersemen begini karena pernah ada bantuan pemerintah kota beberapa tahun lalu. Karena bantuan semen terbatas, bagian yang bisa ditangani hanya separoh itu.
Bagian ujung ke arah Gang Sanubari 2, yang 100 meter itu juga sudah bersemen. Ukurannya kira-kira setengah meter saja. Bagian ini, selain swadaya beberapa keluarga di ujung bagian ini, ada juga bantuan dermawan.
Dahulu, pilihan lintasan utama anak-anak dari Gang Sanubari ke sekolah ibtidaiyah di Jalan Karet, sebenarnya Gang Karet Makmur, bersebelahan dengan Gang Karet Indah. Keadaan Gang Karet Makmur ini kurang lebih sama. Bagian tengah masih belum beraspal dan becek. Ada bagian yang beceknya cukup dalam hingga betis. Sudah pernah beberapa kali ditimbus dengan tanah, tetapi, tidak berhasil. Bagian jalan ini kerap terendam. Jika bukan terendam karena pasang air laut, bagian ini terendam karena air hujan. Aliran airnya tidak lancar. Jalan tanah terendam. Karena sering dilewati, lama-lama becek lagi.
Sekarang, dibandingkan Karet Makmur, Gang Karet Indah ‘agak’ lebih mendingan. Tetapi, walaupun mendingan, anak-anak sekolah tetap harus buka sepatu kala melintasi bagian tengah gang tersebut, agar sepatu tidak basah.
Saya tentu saja sangat terkesan ketika melihat anak-anak menjinjing sepatu. Apa yang terjadi pada anak-anak itu mengingatkan saya pada pengalaman sendiri saat kelas 1 madrasah ibtidaiyah di Riam Panjang, Kapuas Hulu, tahun 1979.
Waktu itu kami masih tinggal di Sebugau, tempatnya di tengah kebun karet, yang lebih dekat ke ladang. Waktu itu bapak belum punya rumah di kampung. Kalau bapak ke kampung, pada hari Jumat, bapak menumpang singgah berganti pakaian salat di rumah keluarga.
Jarak Sebugau – sekolah kira-kira 3 kilometer. Jalannya jalan setapak. Pada musim hujan becek. (Oh, kadang saya sengaja tidak pakai di tengah hutan, agar sepatunya tetap bagus). Ketika kelas satu saya beruntung karena dibelikan sepatu kain; saya lupa mereknya. Nah, sepatu itu saya bawa tiap hari. Kadang saya jinjing dengan ranting, kadang kala saya masukkan dalam “sodung” (jenis ambinan kecil dari rotan). Saya, (dan teman sekolah) ketika itu tidak punya tas. Tempat terbaik untuk menyimpan buku adalah kantong plastik. Tetapi, itupun susah diperoleh. Ada teman yang harus rebutan dengan emaknya, karena emak juga mau pakai kantong plastic sebagai ganti tasnya kalau pergi ke kampung.
Saya hanya memakai sepatu bila sudah sampai di lanting (rakit tempat orang mandi) dekat sekolah. Tepatnya, memakai sepatu setelah kaki bersih dari lumpur.
Sudah lama saya tidak mengingat masa-masa menjinjing sepatu. Sebab, selalunya, saya melihat anak-anak sekarang pakai dan buka sepatu di rumah. Tidak ada lagi istilah jinjing-jinjing karena jalan becek.
Karena itu, ketika kemarin saya menyaksikan anak-anak itu menjinjing sepatu ke sekolah, saya jadi teringat semua itu.
Saya kira ini pemandangan langka. Langka karena pasti jarang-jarang kita melihat hal seperti itu. Terlebih lagi pemandangan itu saya lihat di kota; di pusat pembangunan. Lebih dari sekadar langka, pemandangan ini menyentuh perasaan. Ternyata masih ada banyak orang yang belum dapat bersama kita menikmati kemajuan pembangunan kota Pontianak. Entahlah, siapa yang mau peduli pada pengalaman mereka?!
Selasa, 09 Maret 2010
Gang Becek di Kota Pontianak
Diposting oleh Yusriadi di 07.40
Label: Pendidikan, Pontianak, Suara Enggang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar