Oleh: Yusriadi
Pendahuluan
Kawasan hulu Sungai Kapuas adalah termasuk kawasan yang terpencil di Kalimantan Barat. Kawasan ini agak sukar dijangkau dan dijelajah –terutama dibandingkan kawasan lain yang lebih dekat dari pusat kota Pontianak. Penjelajahan memakan masa dan amat mencabar. Hubungan antar satu kampung dengan kampung lain amat terbatas. Sehingga membuat mereka seakan-akan terpisah, hidup di dunia sendiri. Seorang pegawai pemerintah yang ditugaskan di Putussibau akan menganggap dirinya sebagai buangan, dan karirnya terhenti.
Keadaan yang sedemikian terok ini telah menyebabkan orang enggan ke Kapuas Hulu. Peneliti yang kebanyakannya bukan orang Kapuas Hulu merasa jerih untuk masuk ke kawasan ini. Dan karena tidak mengherankan kemudian penelitian mengenai Kapuas Hulu agak tertinggal dibandingkan penelitian di kawasan lain (Yusriadi 1999). Alhasil, pengetahuan tentang bahasa Melayu di pedalaman ini tidak cukup banyak diketahui.
Kemajuan pengetahuan mengenai Kapuas Hulu tidak memberangsangkan. Setidaknya jika dibandingkan pembekalan maklumat mengenai bahasa Melayu di sini sudah disampaikan sejak lebih seratus tahun lalu. Nieuwenhuis, seorang dokter Belanda, saat melakukan penjelajahan dari Pontianak melalui Sungai Kapuas hingga ke Samarinda melalui Sungai Mahakan tahun 1894, sudah menyebutkan ‘keistimewaan’ bahasa Melayu di sini. Katanya:
“... Bahasa Melayu di Kapuas Hulu lain sekali dari yang dipakai pada umumnya. Oleh karena saya tinggal bertahun-tahun di pesisir barat Borneo dan bergaul dengan orang Melayu Kapuas pada bulan-bulan sebelumnya, saya dapat mengerti dialeknya sedikit, tetapi masih tetap sulit. (Nieuwenhuis 1994: 13)
Baru pada akhir tahun 1990-an usaha penelitian dilakukan. Yusriadi melakukan kajian tahun 1999. Namun pendedahannya agak terbatas. Pusat Bahasa Nanang Heryono, Rahayu A, Wagiyem S dan Ikhsanudin menerbitkan kajian mengenai kedudukan dan fungsi bahasa Melayu Kapuas Hulu tahun 2000. Namun, nyatanya, kedudukan Kapuas Hulu dalam peta dunia Melayu memang tidak cukup dikenal (Collins, 2007). Tulisan yang sedia ada mengenai dunia Melayu tidak dapat menjangkau pedalaman ini, dan tulisan dari pedalaman ini tidak menjangkau ruang akademik Nusantara.
Tulisan ini berusaha memaparkan gambaran mengenai kepelbagaian bahasa Melayu yang terdapat di hulu Sungai Kapuas. Ciri pembeda yang dikenal pasti oleh masyarakat akan digambarkan. Khususnya ciri pembeda dari aspek tata bunyi (fonologi).
Memandangkan kawasan hulu Kapuas masih sangat awam dalam dunia akademik maka pada makalah ini akan dipaparkan gambaran sepintas lalu tentang kawasan Kapuas Hulu. Selain itu akan dibahas ciri empat varian yang ada dan kedudukan varian ini dalam konteks sosial masyarakat Kapuas Hulu.
Geografi dan Demografi Kapuas Hulu
Kapuas Hulu, adalah kawasan yang merujuk pada tempat di hulu Sungai Kapuas . Nama ini menjadi nama wilayah administrasi kabupaten (daerah) di hulu sungai ini, kabupaten Kapuas Hulu.
Wilayah administrasi yang berada di bawah wilayah Kapuas Hulu membentang dari Nanga Silat di bagian paling hilir yang berbatasan dengan Kabupaten Sintang hingga ke wilayah hulu Bungan, di bagian timur. Arah timur ini berbatasan dengan Kalimantan Timur. Wilayah Kapuas Hulu ke arah selatan, berbatasan dengan Kalimantan Tengah dan ke arah utara berbatasan dengan Lubuk Antu, Sarawak, Malaysia.
Ibu kota Kapuas Hulu adalah Putussibau. Kota ini terdapat di tebing Sungai Kapuas dan persimpangan (muara) Sungai Putus. Kota kecil di Kapuas Hulu adalah Jongkong, Nanga Tepuai, Badau, Semitau, Selimbau, Bunut, Boyan Tanjung, dan beberapa lagi kota yang sangat kecil.
Kapuas Hulu dapat dicapai dengan menggunakan angkutan sungai, darat dan udara. Angkutan sungai adalah angkutan tradisional; satu-satunya pilihan sebelum orang mengenal angkutan darat. Sungai Kapuas yang luas dan cukup dalam memungkin perahu motor besar digunakan. Perjalanan dari Pontianak – wilayah Kapuas Hulu, memerlukan masa 3-5 hari menggunakan motor air –bandung. Motor bandung ini hanya dapat mengarungi Sungai Kapuas. Sedangkan untuk melayani transportasi kampung-kampung yang terdapat di anak-anak sungai seperti Sungai Silat, Batang Tawang, Sungai Embau, Batang Bunut, Embaloh, menggunakan speedboat (perahu tempil).
Angkutan darat digunakan untuk menghubungi kota-kota utama Kapuas Hulu baru berlangsung belakangan ini, sejak Jalan Lintas Selatan yang menghubungkan Putussibau – Sintang dibuka pertengahan tahun 1990. Sedangkan jalur ke utara – Putussibau – Badau baru terbuka sejak tahun 2000. Di jalur-jalur ini sudah pula beroperasi bus.
Angkutan udara ke Putussibau hanya dilayani dengan pesawat kecil berpenumpang 28 orang yang melayani trayek Putussibau – Sintang – Pontianak. Satu pekan ada 4 hari penerbangan, masing-masing satu satu penerbangan berangkat dan tiba.
Penduduk Kapuas Hulu berdasarkan Sensus Penduduk (SP) tahun 2000 berjumlah lebih kurang 180 ribu jiwa. Wilayah padat penduduk ada di sekitar selatan Kapuas. Sebagai contoh di wilayah Embau terdapat 54 buah kampung. Begitu juga dengan kepadatan penduduk yang terdapat di sepanjang Sungai Bunut.
Dari segi agama sebagian besar beragama Islam; yaitu 100 ribu; sedangkan 80 ribu lagi beragama Katolik, Kristen dan sedikit Buddha. Penduduk di wilayah selatan umumnya beragama Islam. Sepanjang Sungai Embau 100 per sen penduduk beragama Islam. Di kawasan Sungai Bunut jumlah pemeluk Islam mencapai hampir 90 per sen. Begitu juga di sepanjang aliran Sungai Kapuas. Di wilayah utara umumnya penduduk beragama Kristen atau Katolik. Misalnya wilayah sepanjang Sungai Empanang 95 per sen menganut Kristen atau Katolik.
Dilihat dari segi etnisitas, penduduk bagian selatan Sungai Kapuas kebanyakan adalah orang Melayu. Keadaan ini senyampang dengan jumlah penduduk berdasarkan agama. Sedangkan penduduk di utara Sungai Kapuas kebanyakan adalah Iban, Kantuk, Taman. Di bagian hulu kebanyakan orang Taman dan . Di bagian barat terdapat orang Suaid, Seberung, Nsilat.
Bahasa Melayu Kapuas Hulu
Bahasa utama di Kapuas Hulu adalah bahasa Melayu. Bahasa ini menjadi linguafranca di kota pusat-pusat administrasi pemerintah dan perdagangan. Bahasa Melayu juga digunakan ruang-ruang semi formal, sedangkan di ruang formal digunakan bahasa Indonesia .
Bahasa Melayu Kapuas Hulu memiliki enam vokal, yaitu:«. Tiga diftong 19 konsonan yakni: ?ÄøN
Dibandingkan bahasa Melayu lain, khususnya bahasa Melayu Standar, bahasa Melayu Kapuas Hulu ini memiliki beberapa ciri fonologis, misalnya:
1. Peninggian vokal belakang madya [o] menjadi vokal belakang tinggi [u]. Contoh:
Ä/ ‘Kotor’
ÄaN/ ‘Orang’
‘Botol’
2. Alveolarisasi bunyi velar yang terdapat setelah vokal depan tinggi. Contoh: bunyi [ ~ [; [N ~ [
‘Baik’
‘Mudik’
‘Tarik’
N ‘Kuning’
N ‘Kancing’
N ‘Kambing’
3. Ciri lain adalah luluhnya bunyi nasal homorganik .
‘Timbul’
‘Mandi’
øN øN ‘Panjang’
Selain itu juga terdapat ciri morfofonologis yang cukup menarik dalam dialek Melayu Ulu Kapuas. Ciri tersebut adalah wujudnya konsonan panjang sebagai bagian dari variasi morfologis. Contoh:
ù ‘Dibunuh’
ùÄ ÄÄ ‘Benar-benar’
ù « ‘Tertawa’
Bahasa Melayu Ulu Kapuas dituturkan oleh penutur masyarakat Melayu sebagai bahasa pertama, dan bahasa Melayu juga dituturkan oleh penutur bukan Melayu sebagai bahasa kedua . Sejauh yang diketahui hari ini, varian Melayu di Kapuas Hulu ada empat. Ke empat varian itu adalah:
Varian Embau
Varian Embau adalah dituturkan di sepanjang Sungai Embau , Sungai Bunut, dan beberapa kampung di tebing sungai Kapuas bagian tengah. Bahkan varian ini juga dituturkan di Badau, sebuah kota kecil di perbatasan Kapuas Hulu - Lubuk Antu, Sarawak (Ibrahim, 2007). Bentuk varian Embau sebagai berikut:
NO Kata Arti
1 Ä Tangan
2 Siku
3 o Depa
4 Kuku
5 Ä Jemari
6 Kiri
7 Kanan
8 Kaki
9 Mata Kaki
10 o Betis
Ciri penting varian Embau adalah wujudnya bunyi [o] pada suku pra-akhir yang dalam varian bahasa Indonesia Standar wujud bunyi [«Contoh:
/? ‘depa’
/Ä/ ‘perut’
/bÄ ‘benar’
Varian Embau adalah salah satu varian yang cukup penting dalam dialek Ulu Kapuas. Penting karena jumlah penutur dijangka paling banyak. Jumlah penduduk Embau lebih dari 20 ribu. Sedangkan jumlah penduduk di Batang Bunut ditaksir sekitar 25 ribu. Jadi total penutur varian ini tidak kurang 50 ribu. Tetapi kedudukan varian ini tidaklah sejajar dengan varian Putussibau – Semitau.
Varian Selimbau
Varian Selimbau dituturkan di wilayah Selimbau dan sekitarnya, yang berbatasan dengan varian Embau. Orang menyebut varian ini sebagai “nyelimaw”, maksud bertutur gaya Selimbau. Data yang dipetik di Piasak, kecamatan Selimbau, sebagai berikut:
NO Kata Arti
1 Ä Tangan
2 Siku
3 E Depa
4 Kuku
5 Ä Jemari
6 Kiri
7 Kanan
8 Kaki
9 Mata Kaki
10 E Betis
Ciri penting varian ini adalah wujudnya bunyi [E] pada posisi pra-akhir yang dalam varian lain wujud sebagai [E]. Contoh:
E ‘Depan, ukuran depa’
E ‘Betis’
/EÄ/ ‘Perut’
Varian ini memang memiliki penutur yang terbatas. Jumlah hanya beberapa ribu orang saja. Namun, meski demikian bahasa ini memiliki kedudukan sosial yang kuat. Setidaknya orang-orang di Selimbau, Piasak dan Nibung masih memperlihat kesetiaan terhadap varian ini .
Varian Putussibau – Semitau
Varian Putussibau – Semitau dituturkan di sekitar Semitau, Suhaid, Nang Silat dan sekitarnya, hingga batas wilayah varian Selimbau. Selain itu, varian ini juga dituturkan di bandar Bunut, hingga Putussibau –pusat pentadbiran Kapuas Hulu. Boleh dikatakan, varian ini adalah varian utama di kawasan Kapuas Hulu. Ciri bunyi varian ini adalah sebagai berikut:
NO Kata Arti
1 Ä Tangan
2 Siku
3 « Depa
4 Kuku
5 Ä Jemari
6 Kiri
7 Kanan
8 Kaki
9 Mata Kaki
10 « Betis
Dibandingkan varian lain di Kapuas Hulu, varian ini memiliki ciri bunyi [«, pada di posisi suku pra-akhir, yang dalam varian lain wujud sebagai bunyi atauE contoh:
« ‘Depa, ukuran depa’
« ‘Betis’
Ä ‘Perut’
Varian ini menjadi varian utama di kawasan Kapuas Hulu sekarang ini. Varian ini mengalami perkembangan yang cukup berarti; baik secara geografis maupun secara sosial. Dilihat dari sisi geografis, varian ini bukan hanya dituturkan di kawasan
Dilihat dari dimensi sosial, varian Putussibau – Semitau memiliki keistimewaan dan citra positif. Maklum dituturkan di pusat pemerintahan dan karena itu kebanyakan penuturnya adalah orang yang terpelajar, dan para pegawai.
Orang-orang ini membawa varian ini ke daerah ke wilayah pertuturan varian lain. Status sosial penutur mempengaruhi citra orang terhadap bahasa ini.
Varian Embau Hulu
Varian Embau Hulu dituturkan di beberapa kampung di sekitar Nanga Tepuai.
Perbedaan varian ini antara lain dapat dikesani dari variasi bunyi pada suku pra-akhir. Data yang dipetik di Nanga Taman, sebuah kampung di bagian hulu Sungai Embau, Kapuas Hulu, memperlihatkan bentuk sebagai berikut:
NO Kata Arti
1 Ä Tangan
2 Siku
3 Depa
4 Kuku
5 Ä Jemari
6 Kiri
7 Kanan
8 Kaki
9 Mata Kaki
10 Betis
Dari data di atas, kata // ‘betis’ dalam Varian Embau Hulu; seperti juga yang terdapat dalam Varian Embau, sedangkan dalam varian lain memperlihatkan bunya berbeda. Varian Selimbau yang memperlihatkan bunyi [E] wujud sebagai /E/; dan Varian Putussibau – Semitau memperlihatkan bunyi [«] wujud sebagai /«. Contoh lain:
Ä ‘Perut’
‘Depa’
Ä ‘Kera’
Ciri yang cukup penting yang dalam Varian Embau Hulu adalah wujudnya bunyi [] pada posisi akhir, yang dalam varian Embau dan varian lain wujud sebagai [a]. Contoh:
‘Depa, ukuran depa’
‘Kiri’
‘Mata’
‘Apa, kata tanya’
Varian Embau Hulu ini kini pemakaiannya terbatas. Kaum terpelajar cenderung menggunakan varian Embau, dan beberapa di antaranya menggunakan varian Putussibau – Semitau. Ancaman kepunahan membayang!.
Varian Lain
Selain 4 varian yang disebutkan di atas, ada dua lagi varian yang dapat disebutkan di sini. Hanya saja, varian ini sudah hampir punah. Tidak banyak lagi digunakan orang. Orang lebih cenderung memperolok-olok penggunaan varian ini. Kampung di mana pertuturan ini digunakan sudah menukar varian mereka dengan varian yang agak standar di kawasan sekitarnya.
Data yang didapat amat terbatas dari penutur varian ini yang sudah memilih menggunakan varian Embau. Sehingga tidak cukup meyakinkan bagi penulis untuk memasukkan varian ini sebagai varian yang sejajar dengan 4 varian yang sudah disebutkan di atas. Dua varian itu adalah Varian Menendang dan Varian Semangut.
Varian Menendang memperlihatkan perubahan bunyi yang berbeda dengan varian lain di sekitarnya.
Bunyi [t] pada posisi akhir dalam varian Melayu lain, pada varian ini menunjukkan bunyi [?]:
/? ‘tobat, tidak mau’
/Ò? ‘perut’
Bunyi [a] pada posisi akhir wujud sebagai []
/ ‘mata’
/ ‘kakak laki-laki’
Bunyi [r] pada posisi tertentu wujud sebagai [Ò]
/øÒ?/ ‘boleh’
Ò? ‘buruk’
Varian Semangut memperlihatkan bunyi sekatan konsonantal yang banyak dijumpai dalam kelompok bahasa Malayik. Misalnya pada kata:
/N ’tumbuh, menuju’
N ’pulang’
Informasi yang diperoleh menyebutkan bentuk pertuturan ini sudah tidak lagi berkembang. Kalangan muda sudah tidak mau menggunakan bentuk ini dalam percakapan mereka. Karena biasanya bentuk seperti ini justru jadi bahan olokan bagi penutur varian lain. Kesannya negatif. Sebagian besar kalangan muda memilih varian Putussibau – Semitau yang dinilai lebih positif.
Penutup
Penelitian ini mendapati setidaknya terdapat empat varian bahasa Melayu di pedalaman Hulu Kapuas, Kalimantan Barat. Empat varian itu adalah Varian Embau yang dituturkan di sepanjang Sungai Embau, Sungai Bunut, dan beberapa kampung di tebing sungai Kapuas bagian tengah. Varian Selimbau dituturkan di wilayah Selimbau dan sekitarnya, yang berbatasan dengan varian Embau. Varian Putussibau – Semitau dituturkan di sekitar Semitau, Suhaid dan sekitarnya, hingga batas wilayah varian Selimbau. Selain itu, varian ini juga dituturkan di bandar Bunut, hingga Putussibau –pusat pentadbiran Kapuas Hulu. Boleh dikatakan, varian ini adalah varian utama di kawasan Kapuas Hulu. Sedangkan Varian Embau Hulu dituturkan di beberapa kampung di sekitar Nanga Tepuai.
Perbedaan varian ini antara lain dapat dikesani dari variasi bunyi pada suku pra-akhir. Misalnya untuk kata /«/ ‘perut’; Varian Embau yang memperlihatkan wujudnya bunyi [o] wujud sebagai /Ä/; Varian Selimbau yang memperlihatkan bunyi [E] wujud sebagai /EÄ/; dan Varian Putussibau – Semitau memperlihatkan bunyi [«] wujud sebagai /«Ä.
Adapun Varian Embau Hulu memang memperlihatkan wujudnya bunyi yang kurang lebih sama dengan Varian Embau untuk bunyi pra-akhir seperti /Ä/ ‘perut’, namun memperlihatkan bunyi berbeda pada posisi akhir. Misalnya untuk setiap bunyi /a/ pada posisi akhir /mata/ ‘mata’ dalam Varian Embau (dan Varian Selimbau serta Putussibau-Semitau) dalam Varian Embau Hulu memperlihatkan bunyi [], yaitu /mat/.
Dari empat varian ini varian Putussibau – Semitau menduduki ruang sosial yang lebih istimewa. Ada kecenderungan varian ini menggeser kedudukan varian lain. Hal ini terjadi karena varian Putussibau – Semitau dituturkan di pusat bandar utama Kapuas Hulu, yaitu bandar Putussibau. Penutur varian ini pula kebanyakannya adalah orang-orang kelas menengah, mereka adalah para pelajar dan pegawai kerajaan.
Selain empat varian yang disebutkan itu, ada beberapa varian yang dikenal namun tidak diperoleh data yang cukup agar dapat dibandingkan dengan varian-varian yang dikenalpasti. Kesulitan mencari penutur merupakan salah satu sebab. Mungkin ada usaha selanjutnya untuk memastikan hal tersebut.
Rujukan
Chong Shin, Yusriadi dan Dedy Ari Asfar. 2007. Kelompok Ibanik di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Pontianak Press
Collins, James T. 2007. Penghayatan Ilmu Linguistik melalui Pemetaan Dialek Melayu se-Alam Melayu. Bangi: Penerbit UKM.
Ibrahim. 2007. Orang Iban di Badau. Dlm. Chong Shin, Yusriadi dan Dedy Ari Asfar. 2007. Kelompok Ibanik di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
Nanang Heryono, Rahayu A, Wagiyem S & Ikhsanudin. 2000. Kedudukan dan fungsi bahasa Melayu Kapuas Hulu. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Nieuwenhuis, A. 1994. Di Pedalaman Borneo, Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda. Diterjemahkan oleh Theresia Slamet dan P.G. Katoppo. Jakarta: Gramedia.
Yusriadi. 1999. Dialek Melayu Ulu Kapuas. Tesis MA Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Yusriadi. 2003. Bahasa Melayu di Kapuas Hulu. Makalah Konferensi Linguistik Tahunan Atmajaya, Jakarta.
Zahry Abdullah. 2006. Komunikasi Iban – Melayu di Kapuas Hulu. Makalah Seminar Ibanik di Kalimantan Barat, Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB), Pontianak.
Rabu, 13 Februari 2008
KEPELBAGAIAN BAHASA MELAYU DI HULU SUNGAI KAPUAS
Diposting oleh Yusriadi di 09.21
Label: Penyelidikan Bahasa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar