Masyarakat di Nanga Kantuk — Kantuk, Iban, maupun Melayu, memperlihatkan kemampuan mereka berkomunikasi menggunakan banyak bahasa. Pilihannya tergantung konteks latar belakang penutur, isi pembicaraan dan situasi yang dihadapi.
Dalam perjalanan pulang kami melalui kampung Iban Kayu Baung dan Batu Ampar. Saya ingin singgah sebenarnya, dan Nuar pun agaknya dengan senang hati menepikan perahunya. Saya ingin melihat bentuk rumah, bentuk kampung, suasananya dan bertanya mengenai penggunaan bahasa, dan lain-lain.
Namun, karena kesuntukan masa, keinginan itu dipedam. Perahu hanya berhenti sebentar di tepian – tempat mandi, agar saya dapat mencatat kordinat kampung. Mungkin suatu saat saya bisa bertemu orang Iban dari kampung itu di Pontianak dan mencatat bahasa mereka, jadi tinggal cocokkan dengan kordinat itu.
Sampai di Pakan kami berhenti.
“Singah dulu’,” kata Nuar.
Saya hanya menganggukkan kepala. “Na’ apa, asal na lama’. Saya janji dengan Andi,”
Sampan ditambat di tangga tepian.
Kampung Iban ini agak berbeda dengan kampung Iban di kiri kanan jalan Putussibau – Badau. Tidak ada rumah panjang. Saya kira, keadaannya sama seperti kampung Melayu di pedalaman; rumah kayu di atas tiang –sekalipun letaknya di dataran yang agak tinggi. Rumah berhadap-hadapan di kiri kanan jalan kampung. Dan jarak antara satu dengan yang lain, padat. Menumpuk.
Saya sempat melihat ruang tamu sebuah rumah dan isi rumah juga seperti rumah di kampung Melayu; ada kursi, meja, dan barang elektronik.
Namun satu yang beda dibandingkan kampung Melayu, yaitu di sini ada banyak babi yang berkeliaran.
Kami duduk di teras. Ada neneknya Budin dan pamannya. Mereka bicara dalam bahasa Iban –sekalipun Nuar dan pamannya Budin itu orang Kanayatn. Sesekali saja diselingi dengan bahasa Melayu. Mereka agaknya adalah orang-orang polyglot –yaitu orang-orang yang dapat menuturkan banyak bahasa sama baik kemampuannya.
Bagi saya sebenarnya akan jadi lebih menarik seandainya dapat disimak pilihan-pilihan bahasa yang mereka gunakan. Dalam wacana apa mereka berbahasa Iban, dan dalam wacana apa pula mereka berbahasa Melayu? Dengan begitu kedudukan masing-masing bahasa dapat diketahui dan gambarannya menjadi jelas.
Macam-macam topik yang dibicarakan: meloncat-loncat tentang perjalanan saya, tentang kegiatan Nuar, tentang gawai, juga tentang harga karet dan minyak, atau tentang anak sekolah, dll. Mereka juga cerita tentang pasukan Libas (Lintas Batas) pada malam kemarin berhasil menangkap empat kepiting di Kantuk Asam, dekat perbatasan. Empat alat berat itu akan dibawa ke Badau, namun terkendala di jalan sebab kehabisan minyak. Katanya, ada beberapa anggota tentara itu yang datang ke kampung Pakan mencari solar untuk alat berat itu. Tetapi tak ada.
Obrolan masih berlanjut. Rupanya Budin meminta seseorang membeli tuak. Itung-itung sebagai buah tangan perjalanan dari Selupai.
Kami pamit ketika tuak yang ditunggu datang. Sekadar basa basi Nuar bertanya apakah tuak itu manis atau tidak. Sambil berjalan, Nuar membuka tutup ken, dan mencelupkan telunjuknya. “Nyaman,” katanya.
Dia sempat menawarkan pada saya, apakah mau mencoba. Saya geleng kepala, seraya mengatakan tidak. Justru yang menarik perhatian saya adalah bagaimana Nuar tampak terbiasa dengan benda itu. Saya jadi teringat pengalaman ketika mengadakan penelitian di Cupang Gading, sebuah kampung Melayu di hulu sungai Menterap, anak sungai Sekadau. Saya bersama beberapa orang Melayu Cupang Gading mengunjungi kampung Jopo, kampung orang Dayak. Saat itu musim Paskah.
Kami naik ke rumah orang Jopo dan di sana disajikan tuak, aneka kue dan daging babi. Teman saya tidak begitu berani meminum tuak yang disajikan. Mereka hanya mencoba sedikit itu dengan sikap ragu-ragu.
Sikap Nuar memperlihatkan bagaimana pergaulan antar masyarakat Melayu-Dayak begitu rapat sehingga agaknya batas-batas ‘halal-haram’ dari sisi agama tidak cukup penting.
Perjalanan dilanjutkan. Beda dibandingkan waktu pagi, di sore hari jumlah orang yang kami temui di sungai lebih banyak. Orang-orang itu sedang mencari ikan; ada yang menggunakan pancing, ada pula yang memasang pukat. Seperti sebelumnya, Nuar dengan ramah menyapa mereka.
Sampai di Nanga Kantuk menjelang malam. Saya sempat rehat sebentar, sebelum akhirnya Andi muncul. Kami melanjutkan pekerjaan mentranskrip data rekaman yang saya peroleh dari Pak Masing, orang Kantuk Telutuk. Budin sempat muncul sekejap. Percakapan kami dalam bahasa Melayu. Saya kira pilihan itu karena ada saya. Lalu, saya bertanya sendiri, kalau Andi dan Budin bertemu: apakah mereka akan bercakap Iban atau Kantuk?
Setelah Budin pulang, kami kembali bekerja. Kadang kala selang seling saya bertanya soal perjalanan Andi ke Malaysia, atau soal kegiatan kampung. Hingga larut malam.
***
Pagi, sekitar pukul 06.00 WIB saya bertolak ke Badau menggunakan ojek Jaka. Sebenarnya ada niat mau naik helak –begitu masyarakat menyebut mobil asal Malaysia yang menjadi kendaraan tumpangan Nanga Kantuk – Badau. Selain karena biar dapat pengalaman baru juga biayanya lebih murah (Rp 35 ribu).
Namun, saya jadi ragu karena tidak jelas kapan kendaraan itu berangkat dan menunggu di mana. Kadang-kadang ada, kadang tidak. Orang-orang bilang, helak mau jalan kalau penumpangnya ada lima orang, kalau kurang tidak mau, sebab bisa rugi.
Lagian, biasanya helak Nanga Kantuk – Badau sudah bertolak pada pukul 05.00 WIB, saat mulai terang tanah. Bagi saya berangkat jam segitu rasanya akan terasa buru-buru. Bagaimanapun kalau berangkat pukul 05.00 berarti saya harus sudah bangun pukul 04.00 WIB.
Karena ketidakjelasan itu, akhirnya saya pilih naik ojek Jaka –lebih jelas, pasti, lebih tenang dan tidak buru-buru. Mungkin dengan sedikit risiko; biaya agak sedikit mahal.
Kami berangkat jam 06.00 WIB karena kalau berangkat lebih cepat ada harapan bisa mengejar bis pagi dari Badau – Putussibau yang berangkat pukul 08.00 WIB. Sebenarnya dengan Jaka sudah memberitahukan bahwa kalau pakai motor cuma satu jam saja. Namun, kalau berangkat pukul 06.00 WIB bisa sampai di Badau pukul 07.00 WIB dan waktu satu jam bisa digunakan untuk urus tiket, makan atau lihat-lihat suasana di Badau.
Meski perkiraan masih banyak waktu, namun, Jaka tetap memacu motor dengan kencang. Saya hanya bisa menikmati saja ketika motor menabrak batu sekepelan tangan yang berserakan di jalan, atau ketika kendaraan terperosok ke lubang. Sekadar berjaga-jaga saya berpegang pada besi yang terletak di bagian belakang jok motor.
Beda dibandingkan perjalanan dari Badau-Nanga Kantuk pada malam hari ketika saya datang, dalam perjalanan pulang ini saya dapat melihat keadaan sepanjang perjalanan dengan jelas. Ya, jalan Nanga Kantuk – Badau rupanya lebih parah dari yang dilihat malam itu. Jalan keriting, lubang di sana sini, batu-batu sekepalan tangan berhamburan. Aneh lagi, jalan-jalan ini seperti terpenggal. Ada bagian yang beraspal, jalan tanah, jalan pekerasan. Jalan-jalan ini akan semakin parah karena tidak tampak adanya tanda-tanda perbaikan. Beberapa jembatan juga dalam keadaan mengkhawatirkan. Maklum letaknya jauh dari pandangan mata, sehingga harap dimengerti jika keadaan terbiarkan begitu.
Jaka tidak tahu mengapa jalan seperti ini. Mungkin juga dia tidak mau mengatakan cerita-cerita mengenai keadaan ini. Dia hanya berharap agar keadaan jalan segera diperhatikan pemerintah, sehingga dengan begitu dia jadi lebih enak. “Kalau lewat jalan begini, kita juga sakit. Tangan pegal-pegal,” akunya.
Saya membayangkan, keadaan jalan semakin rusak karena kerap dilewati alat-alat berat. Misalnya pagi itu, terlihat ada beberapa rekahan baru di aspal, bekas ‘kaki kepiting’ yang dibawa Libas dari Kantuk Asam. Ya, mana pula aspal yang tipis bisa menahan beban berat seperti itu. Sedangkan harapan akan adanya perbaikan mungkin terlalu lama. Maklum, Nanga Kantuk tidak terletak di bagian tengah yang memungkinan jadi tempat laluan orang dari mana-mana. Nanga Kantuk terletak di bagian ujung jalan. Jalan dari Badau setakat ini mentok di Nanga Kantuk.
Lagian, Nanga Kantuk bukan tempat yang ramai. Penduduknya sedikit, dan kampung-kampungnya terpencar yang jarak antara satu dengan yang lain cukup jauh. Prospeknya tidak cukup cerah.
Banyak orang mengatakan keadaan ekonomi Nanga Kantuk sekarang ini makin parah. Sejak era kayu berakhir, keadaan ekonomi merosot dan kedatangan orang luar terbatas. Sekarang, satu-satunya harapan ada pada karet yang harganya mulai beranjak naik. Namun, mereka juga tidak terlalu yakin karet dapat membangkitkan ekonomi masyarakat seperti kayu sebelumnya.
Disebut-sebut ada potensi batu bara di sini, dan pernah ada tim yang melakukan survey. Namun, kemungkinannya sangat kecil. Karena kabarnya, belum apa-apa calon investor sudah muncul hambatan teknis yang membuat mereka harus mengeluarkan biaya ekstra.
Nanga Kantuk juga tidak menjadi perhatian utama pemerintah. Boleh dikata, dibandingkan Badau, Nanga Kantuk berada di pinggiran. Kiranya, kalau pun nanti Badau menjadi kawasan yang ramai dan geliat ekonominya rancak, Nanga Kantuk hanya bisa menjadi penyanggah saja.
Sekitar pukul 07.15 WIB kami sampai di Badau. Saya diturunkan di terminal, dan Jaka langsung berpatah balik, kembali ke Nanga Kantuk. Dia mengaku masih harus membawa dagangannya –ikan asin, keliling kampung sekitar Nanga Kantuk. Dia masih harus memburu rupiah dan ringgit di kampung-kampung itu, berhadapan dengan alam yang keras. Menghadapi berbagai tantangan alam.
Berinteraksi dengan orang Kantuk dan Iban, dan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa mereka tanpa menganggap adanya sekat dan hambatan. Kepiawaian yang seharusnya dimiliki semua orang dan ditampilkan ke permukaan. Habis.
Minggu, 24 Februari 2008
Catatan Perjalanan 4: Masyarakat dan Bahasa Kantuk di Kalbar
Diposting oleh Yusriadi di 04.04
Label: Orang Kantuk, Perjalanan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar