Sabtu, 23 Februari 2008

Tionghoa Kalbar di Titik Panas

[Tulisan ini sedang diperbaiki, jangan dikutip].

Oleh: Yusriadi

Situasi hubungan antara komunitas Tionghoa (Cina) – Melayu di Kalbar di hari-hari terakhir ini membuat saya cemas. Sepertinya, retak hubungan antara Cina dan Melayu di Kalbar hampir belah. Saya tidak siap melihat api membumbung, darah tumpah, wajah-wajah sadis … Sungguh cemas. [Tulisan ini dibuat agar pemerintah mengambil sikap mencairkan hubungan dan para pengamat yang tidak mengetahui latar belakang masalah tidak berkomentar negatif].

“Usir Cina dari Kalbar! “

Teriakan itu terdengar di antara kerumunan massa yang melaksanakan aksi di kantor DPRD Kalimantan Barat pada 20 Februari 2008. Massa itu, Barisan Melayu Bersatu (BMB) sedang melakukan aksi untuk orang Cina.

Tuntutan-tuntutan yang disampaikan semuanya untuk orang Cina: mendukung SK Walikota No 127, mendesak penggunaan bahasa Indonesia dan penurun tulisan asing, dll. Mereka membawa poster yang antara lain bertuliskan “Anti Cina”. (Lihat foto dalam blog Andreas Harsono)

SK 127 berkaitan dengan pengaturan atraksi naga dan barongsai di kota Pontiaanak. Dalam aturan itu disebutkan atraksi dipusatkan di Stadion Sultan Syarif Abdurrahman Pontianak. Atraksi di jalan kota tidak dibolehkan karena khawatir menimbulkan ketegangan.
SK itu dirumuskan berdasarkan hasil pertemuan sejumlah tokoh; baik dari kalangan Tionghoa, maupun dari kalangan Melayu. Para tokohlah yang memberikan masukan kepada Walikota perihal pengaturan tersebut.

Para tokoh pun memberikan masukan juga bukan tanpa alasan. Salah satu pertimbangan mereka –dan pertimbangan itu digunakan dalam konsidern SK Walikota itu, adalah peristiwa Gang 17 Pontianak. Disebut Gang 17 karena kejadiannya di Gang 17, Jalan Tanjungpura Pontianak, Kalbar. Peristiwa itu terjadi 6 Desember 2007. Kejadiannya, persoalan internal antar individu yang satu berasal dari etnik Cina dan yang satu dari Melayu (Keturunan Arab) kemudian merembet ke soal etnik. Keluarga dan teman-teman, dan orang yang berasal dari kelompok Melayu menunjukkan solidaritas. Mereka “membalas” dengan merusak sejumlah rumah dan mobil orang Tionghoa di Gang 17 dan sekitarnya.

Setidaknya tiga malam berturut-turut jantung kota Pontianak, ibukota Provinsi Kalbar, tegang. Massa dari berbagai tempat di Pontianak berkumpul kawasan Jalan Gajahmada –menunggu komando bergerak. Polisi dan tentara turun ke jalan. Siaga I. Sedangkan orang Tionghoa memilih berkurung di dalam rumah. Sebagian sudah mengungsi. Banyak anak Tionghoa yang tidak masuk sekolah pada hari pertama setelah malam kejadian. Sedangkan orang Dayak turun ke lokasi membaur bersama orang Melayu. Mereka melihat-lihat situasi.

Ending dari kemelut itu, dibuatlah pertemuan tokoh, difasilitasi oleh Polisi Kota Besar Pontianak (Poltabes). Media hanya menulis tentang akhir dari pertemuan itu. Sedangkan dinamikanya tidak disebutkan. Sebuah sumber menyebutkan dalam pertemuan itu sempat mencuat desakan agar orang Tiongho tidak ikut politik! Sejumlah tokoh Tionghoa – Lie Khi Leng, Kardi Kahim, Sutadi, SH, Phang Khat Fu, Lim Kui On, Liang Kia/Anga, Tan Tek Sie, Ateng Tanjaya, dan Setiawan Lim, memilih meminta maaf atas nama pelaku. Permintaan maaf dalam bentuk iklan dimuat di Harian Pontianak Post, Borneo Tribune dan Equator tanggal 8 Desember 2007.

Rupanya permintaan maaf itu dinilai berlebihan. Kalangan Tionghoa sendiri –misalnya Acui Simanjaya, (Mama) Shanty – yang mengirimkan sejumlah surat ke Polda Kalbar, dkk sempat menyampaikan protes terhadap sikap itu. Tidak saja lewat koran, tetapi mereka datang ke rumah Lindra Lie pada tanggal 9 Desember 2007. Mereka yang datang adalah Tan Tjun Hwa, Acui Simanjaya dan Gunawan Lim. Dalam pertemuan itu pembicaraan berkisar soal: mengapa Lie dan kawan-kawan menyampaikan permohonan maaf mencantumkan “Atas Nama Warag Tionghoa Pontianak”.

Namun, pertemuan itu justru berujung ribut. Yang kemudian muncul adalah kasus “pemitingan leher Lie oleh Tan Tjun Hwa”. Kasus ini menggelinding ke kantor polisi.

Setelah kejadian Gang 17 sebenarnya ada kejadian lain. Sekelompok warga yang mengatasnamakan Barisan Umat Islam mengirimkan surat ke DPRD Kota pada Selasa (2/1). Isi surat tersebut meminta “fatwa” DPRD seputar status budaya Tionghoa dan Majelis Adat dan Budaya Tionghoa (MABT). Soal lain yang disinggung dalam surat itu adalah isu sumbangan orang Tionghoa untuk pembangunan bangsa, pembauran, ekonomi hingga politik. Surat itu ditembuskan berbagai pihak.

Lalu, karena tak ada jawaban, pada Senin (7/1) ratusan massa Barisan datang ke DPRD Kota. Permintaan mereka: “Katakan saja, apakah budaya Tionghoa itu, budaya asli Pontianak atau bukan?”.

Mereka juga menganggap tokoh Tionghoa yang menandatangani permintaan maaf sebagai provokator. “Lihat disini, ada sembilan orang yang mengatasnamakan masyarakat Tionghoa. Ini provokator namanya. Kalau polisi berani tangkap mereka,” teriakGusti Surya Dharma, seperti yang dimuat Harian Metro Pontianak, halaman 9, tanggal 8 Januari.

Gusti Surya Dharma adalah Ketua Barisan Umat Islam. Yang disebutkan Gusti itu adalah permintaan maaf yang disampaikan Lindra Lie, dkk.

Punca

Kemenangan Christiandy sebagai Wagub Kalbar dalam Pilkada Kalbar 2007 memang disambut dengan sukacita oleh orang Tionghoa. Ini adalah kejutan. Sejarah di republik ini, orang Tionghoa menjadi wakil gubernur.

Tetapi kalangan tertentu tidak bisa menerima kemenangan itu. Kalangan yang tertentu –misalnya Barisan Umat Islam, sangat kecewa dengan kenyataan ini. Mereka mau calonnya yang menang dan menjadi pemimpin Kalbar. Karena itulah mereka memperlihatkan sikap tidak menerima Tionghoa.

Bahkan kabar yang berhembus, sehari setelah pengumuman hasil sementara Pilkada Kalbar yang menempatkan kantong-kantong Cina di Pontianak, pasangan Cornelis – Christiandy Sanjaya menang, sudah ada keinginan orang tertentu melakukan aksi. Sudah ada ketegangan.

Bagi mereka kekalahan terjadi karena sikap orang Tionghoa yang mendukung Cornelis karena faktor Christiandy. Muncullah tudingan “orang Tionghoa berkhianat”, “orang Tionghoa tidak bisa berterima kasih”, dll.

Bahkan beredar juga kabar bahwa sejumlah orang memancing gara-gara di lingkungan pecinaan – misalnya di Jalan Gajahmada. Sejumlah motor melintas dengan suara yang nyaring. Gas sengaja dibesarkan. Upaya provokasi. Bahkan ada yang berharap terjadi senggolan motor (kendaraan) dengan anak muda Tionghoa yang biasanya suka ngebut di jalur ini, sehingga dengan senggolan itu bisa menjadi alasan untuk ribut, membalas sakit hati.

Sikap-sikap ini sempat membuat Sosiolog Kalbar, Prof Ibrahim Al-Qadrie runsing. Prof Syarif dalam tulisannya di Equator sempat mengingatkan bahwa masalah sebenarnya bukan karena orang Tionghoa, tetapi karena orang Melayu sendiri. Salah orang Melayu yang tidak bersatu. Namun suara sang profesor yang cukup keras itu tidak cukup didengar.

Sejauh ini orang Tionghoa tidak terpancing provokasi-provokasi itu. Mereka tidak melayani dengan kekerasan. Orang Tionghoa mengalah.

Masa Depan

Selama kepemimpinannya sebagai Gubernur Kalbar, Usman Ja’far (UJ) mengakui hubungan antar etnik di Kalbar sangat baik. Namun, pasca kejadian Gang 17, UJ mengakui bahwa masih ada persoalan. Masih ada masalah dalam hubungan antar etnik di Kalbar ini. Bahkan hubungan diramalkan akan semakin kritis.

Saya terpengaruh hipotesis Prof. Syarif Ibrahim Al-Kadrie tentang siklus 20 tahun kerusuhan di Kalbar. Jika ikut hipotesis itu, tahun 2011-an akan terjadi keributan. Menurut saya keributan yang terjadi berikutnya adalah antara Melayu dan Cina. [Baca tulisan berikutnya mengenai hal ini].

Pertama, Saya berpendapat hubungan antar Tionghoa dengan kelompok lain saat ini bukan saja bermasalah, tetapi keadaannya sangat kritis. Saya mengumpamakan seperti kata pepatah: “Ibarat retak menunggu belah”. Itulah yang terjadi sekarang ini. Orang Melayu tertentu terus menekan dan tidak memberi ruang. Sekarang ini mereka menjual tantangan, menunggu orang Tionghoa mau membelinya. Ketika orang Tionghoa melawan, itulah yang ditunggu. Ketika itulah puncak perseteruan akan terjadi. Jadi soalnya sekarang sampai kapan orang Tionghoa bisa bersabar ketika berada di bawah tekanan?
Kedua, orang Melayu tertentu memang sudah hendak menyerang secara orang Tionghoa. Ada beberapa kesempatan mereka manfaatkan. Namun kerusuhan ‘tidak menjadi’ karena orang Melayu itu masih berhitung-hitung. Bukan mereka menghitung kekuatan orang Tionghoa. Tetapi mereka menghitung orang Dayak yang sekarang berada di belakang orang Tionghoa. Hubungan antara orang Tionghoa dengan orang Dayak masih sangat mesra pasca kemenangan Pilkada Kalbar. Ada banyak contoh ketika orang Melayu ribut-ribut terhadap orang Tionghoa, orang Dayak memberikan sinyal: ketidaksukaan mereka terhadap aksi ini.

Menurut saya hitungan itu akan berubah ketika hubungan Tionghoa – Dayak tidak mesra lagi nanti. Pasti kemesraan yang diperlihatkan sekarang tidak akan permanen. Suatu ketika hubungan itu akan bermasalah. Tandanya sudah nampak. Rabu (20/2) orang dari Gereja Stella Maris, Siantan merusak bengkel Union Teknik di samping gereja. Mereka rebutan tanah. Di balik perseteruan ini ada yang melihat pemilik bengkel yang dirusak itu sebagai orang Tionghoa.

Hubungan mesra Cornelis dan Christiandy juga mungkin tidak bisa bertahan selamanya. Mungkin ada kebijakan atau keinginan keduanya yang berbenturan kelak. Nah, ketika itu terjadi, mungkin orang Melayu yang selama ini agak ‘gerun’ terhadap kekuatan orang Dayak di belakang Tionghoa, akan melakukan gerakan.

Ketiga, segregasi yang amat nyata di Kalbar akan memudahkan orang Melayu –dan mungkin komunitas lain, menjadikan orang Tionghoa sebagai ‘musuh bersama’. Tionghoa menganut agama Khonghucu, tampilan fisikal yang berbeda, berbahasa berbeda, menguasai sektor ekonomi, akan menjadikan banyak alasan untuk menyebut mereka sebagai musuh.

Memang ada optimisme bahwa kerusuhan tidak akan mudah terjadi. Misalnya ada pandangan bahwa tidak semua Melayu membenci orang Tionghoa. Ada pandangan bahwa yang sekarang ribut adalah “kelompok pinggiran”, dll. Namun, dalam banyak contoh selalu persoalan besar bermula dari kelompok kecil, dari para individu. Dari kelompok pasar. Selain itu dalam banyak contoh untuk kasus perlawanan kelompok, ada strategi silang diterapkan. Misalnya dalam kasus Dayak melawan Tionghoa di tahun 1960-an, orang dari Kampung A menyerang orang di Kampung C, dan orang dari Kampung C menyerang orang dari kampung A. Orang di kampung B menyerang orang dari Kampung D, dan seterusnya. Sehingga setiap perlawanan yang dilakukan tidak terjadi pada orang yang saling kenal.

Jadi sekarang intinya adalah bagaimana pemerintah, para elit kelompok, dan seluruh masyarakat Kalbar berupaya menyelesaikan persoalan ini seraya membangun komunikasi.
Menurut saya, terbitnya Walikota Pontianak No 127 merupakan upaya untuk menyelesaikan masalah ini –atau setidaknya meredakan masalah. Namun, sekarang agaknya cara itu justru menjadi bumerang. Banyak orang mengomentari kebijakan itu, sementara mereka tidak tahu isi keputusan itu dan apa latar belakang terbitnya kebijakan itu. Pemerintah seperti cerita orang tua dan anaknya yang naik onta. Dinaikkan sendiri salah, dinaikkan berdua juga salah, tidak dinaiki juga salah. Tidak ada yang benar.

Sikap yang seperti ini jelas membuat kita cemas.

4 komentar:

Rafael Budi mengatakan...

Menurut saya, kondisi di Pontianak terjadi karena ada 3 faktor yaitu Sosial Budaya, Ekonomi dan yang terbaru Politik. Untuk yang kedua saya bisa memberikan pandangan. Memang secara ekonomi dikalbar kaum Tionghoa dominan dan kaum lain hanya memegang porsi sedikit. Sy sekarang tinggal di Samarinda Kaltim. Sy melihat banyak perbedaan kalbar dengan kaltim. Disini memang secara ekonomi (perdagangan) masih mayoritas dipegang kaum Tionghoa, tapi kaum atau etnis lain juga tidak mau kalah. Disini etnis lokal dan pendatang lain juga masuk kebidang perdagangan, bukan hanya dalam skala kecil tapi juga perdagangan besar. Etnis Banjar, Bugis, Jawa, Kutai, Padang dan sebagian Dayak mempunyai status ekonomi yang baik disini. Bisa dilihat dibeberapa perumahan elit di Samarinda atau Balikpapan, tidak hanya Tionghoa yang tinggal tapi etnis lain juga. Disini pergesekan sangat kurang, antar suku dan agama juga terlihat rukun, akulturasi budaya terlihat baik. Intinya mereka tinggal disini adalah untuk hidup dan merasakan hidup yang tenang dan aman. Mungkin kalbar perlu belajar dari kaltim. Bersama-sama mengembangkan hidup masing-masing. Jika itu bisa dilakukan pasti kesejahteraan pastilah tercapai.

henk mengatakan...

Salam Sejahtera
Menurut saya Harusnya orang2 yg ngerti politik sosial di kalbar dapat membimbing bukan malah membodohi masyarakatnya yang gak ngerti untuk membenci ETNIS tertentu dengan menghembus-hembuskan perbedaan2 tertentu lalu melakukan perbuatan ANARKIS,DIsini saya ingin mengatakan Kekalahan SOSIAL POLITIK bukan berarti Kekalahan Etnis Tertentu

Unknown mengatakan...

Cocok nya itu, 127 agar di terapkan juga di NKRI ini

sheridan mengatakan...

Sebetulnya masalah yang utama adalah orang melayu tidak kompak. Kelemahan ini digunakan oleh kelompok dayak katholik untuk mrrekrut cina cina dalam rangka mengalahkan kekuatan politik melayu. Kalau tahun 67 an orang cina dibantai oleh dayak dayak karena dianggap tidak mau mendukung dominasi plitik dayak. Sekarang dayak katholik yang di pimpin cornelis malah memanfaatkan orang orang cina agar menang di pilgub. Tetapi di pilgub 2018 cornelis melakukan kesalahan perhitungan akan kekuatan cina. Dia malah merasa diatas angin dengan mencalonkan putrinya sendiri karolin untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur diambil dari dayak lagi. Hasil quick count malah menunjukkan bahwa keduanya jauh tertinggal dari kandidat melayu sutarmidji norsan. Kelihatannya cornelis sengaja tidak memilih cina lagi karena menganngap bahwa madsa dayak dan kaum katholik dan kristen adalah sudah dari cukup untuk memenangkan putrinya. Cornelis malah membuat pernyataan berbahaya yang bisa membuatnya berhadapan dengan hukum dimana dalam pidatonya dihadapan masda dayak bahwa melayu dan islam sudah menjajah dayak beratus tahun bersama belanda.