Informan memberi tahu bahwa mereka tinggal di sini dalam beberapa generasi lalu. Pada mulanya mereka tinggal di rumah panjang. Namun, sekarang tidak lagi. Rumah panjang sudah berganti dengan rumah tunggal.
Mereka berpindah dari daerah Nanga Kantu’. Perpindahan terjadi sekitar 150 tahun lalu. Mereka mengungsi karena terjadi bentrok dengan orang Iban, yang masih terhitung saudara mereka. Bentrok terjadi karena berbagai versi. Ada yang menyebutkan kemelut itu terjadi karena mereka berebut buah labu di atas pelataran (tanjuk). Masing-masing mengaku labu itu milik mereka. Karena tidak ada yang mau mengalah akhirnya mereka perang.
Ketika memetik daftar kata, ada salah seorang anak muda yang duduk di sampai Y Sangga. Dia lebih banyak diam. Hanya sesekali membantu saya menjelaskan maksud pertanyaan kepada informan. Dia kadang meluruskan jika informan mengucapkan kata-kata bukan dalam logat asli Kantu’. Atau sebaliknya kalau dia mencoba memberi tahu saya mengenai bentu pertuturan Kantu’, informan mengingatkan ucapan itu tidak tepat.
Bantuannya sangat penting. Karena itu saya ingin mengetahui mengenai anak muda itu. Dia memberi tahu asalnya dari Kalimantan Tengah, Dayak Ot Danum. Dia kawin dengan orang di kampung itu dan kini menjadi penduduk di sana. Karena interaksi dengan istri dan orang di kampung dia jadi bisa bahasa Kantu’.
Kenyataan ini mengingatkan saya dua hal. Bahwa migrasi di pedalaman Kalimantan terjadi. Orang satu kampung pindah ke kampung yang lain. Jadi, orang pedalaman sebenarnya tidak benar-benar terisolasi. Interaksi penduduk satu kampung dengan kampung yang lain berlangsung intens.
Orang dari sub-suku yang satu menjadi sub-suku yang lain. Jadi, mereka boleh menjadi Kantu’ atau sebaliknya boleh keluar Kantu’. Jadi suku apa anak mereka kelak tergantung di mana anak itu dibesarkan. Bukan karena siapa yang lebih dominan –apakah ibu atau bapak, dalam keluarga. Kelihatannya tidak hanya bisa “Jadi Melayu” saja!
Ketika sampai di penginapan, kami lantas memeriksa kembali rekaman yang dibuat di kampung. Agak menarik bahwa menurut pendamping saya, ketika kami mendengarkan rekaman-rekaman itu, dia mengatakan banyak pengaruh bahasa Indonesia, atau bahasa Melayu. Ada beberapa contoh, misalnya : ......... Padahal tadi waktu rekaman cerita saya sudah wanti-wanti meminta mereka bercakap dalam bahasa Kantu’.
Kenyataan ini membayangkan pada saya mengenai ekologi bahasa, kontinum dialek, peminjaman, emblematic, dan identitas orang Kantu’. Saya tidak sampai pada kesimpulan benar salah. Tetapi saya melihat bentuk-bentuk yang ‘bukan Kantu” digunakan orang Kantu’ dalam berkomunikasi. Pada orang Kantu’ ada kesadaran bahwa ini bahasa mereka dan ini bahasa orang lain.
***
Hari berikutnya saya pergi ke Nanga Kantu’, melalui Badau, tempat yang sering saya dengar namun sebenarnya masih asing. Saya sangat akrab dengan Badau sebagai tempat yang memiliki prosfek cerah. Saya tidak bisa membayangkan jalan mana pergi ke Badau.
Kami berangkat agak siang. Bis mulanya berputar-putar menjemput penumpang. Sebelum akhirnya keluar menuju Badau. Seperti yang dibayangkan, jalannya sempit dan kecil. Tetapi, masih lumayan dibandingkan jalan Sintang – Putussibau. Jalan ini relatif baik, tidak terdapat lubang jalan yang besar. Memang lubang kecil tidak membuat nyaman berkendaraan.
Ada beberapa perbaikan di ruas ini. Jembatan-jembatan diperbaiki. Di tengah perjalanan tampak tumpukan batu dan bekas aspal. Cukup panjang juga. Jadinya perjalanan agak nyaman. Namun ada sedikit gangguan karena beberapa kali bis yang kami tumpangan mogok, masuk angin.
Sepanjang jalan terdapat kampung Iban. Di antaranya terdapat rumah-rumah panjang. Sebagian rumah panjang itu sedang dibangun, atau baru selesai dibangun –jadi tampak masih baru. Saya merasa takjub juga karena jarang sekali saya mendengar pertumbuhan komunitas rumah panjang di Kalbar. Karena kurang makanya rumah panjang di Melapi, tempat tinggal orang Taman, menjadio objek wisata. Saya sendiri tidak punya banyak bayangan mengenai rumah panjang di Kalbar ini. Karena seumur-umur baru naik rumah panjang orang Iban di Kepiat, sebuah kampung di dekat Jongkong, itu pun waktu masih belajar di Madrasah Tsanawiyah (SMP) karena ikut paman yang mengajar di sana. Kalaupun ada bayangan sedikit itu pun melalui beberapa tulisan terdahulu mengenai orang Iban atau Kantuk.
Sepanjang penelitian di kampung-kampung Kalbar baik di sepanjang sungai Sekadau, Sungai Laur, Sungai Kualan, di Meliau, tidak pernah berjumpa rumah panjang. Kalau pun ada hanya ketemu bekas-bekasnya saja. Ini berbeda dengan Sarawak. Ketika saya melakukan penelitian untuk disertasi, setiap kampung ada rumah panjang.
Karena itu saya begitu sepok ketika melintas di jalan depan rumah panjang Melapi, atau ketika melintas di kampung-kampung Iban di sekitar kecamatan Batang Lupar, dan kecamatan Badau.
Sampai di Badau sekitar pukul 16.00 WIB. Bis berhenti di simpang di luar terminal. Menurunkan penumpang. Saya ragu karena Badau yang saya lihat tidak seperti yang dibayangkan. Saya mencari-cari di mana pasarnya, di mana terminalnya. Mana lagi sepi! Ketika kami turun ada beberapa orang tukangan ojek menawarkan jasanya. Dia menyebut nama tempat yang bisa dilayani.
Ketika dia menyebut nama Nanga Kantu’, spontan saya mencoleknya.
“Berapa ke sana?”
“Biasa. Rp 100 ribu,” katanya.
Saya menawar. Namun dia bertahan. Ya, sudah. Saya menerima. Saya pikir hari menjelang malam. Kalau saya menginap di Badau dan baru besoknya ke Nanga Kantuk ikut mobil helak (jenis jep dari Malaysia –high lux) biayanya juga akan kurang lebih. Katanya, di Nanga Kantuk juga ada penginapan. Jalan ke sana tidak bagus. Dia membawa teman tukang ojek lain. Mengapa, khawatir terjadi sesuatu di perjalanan. Karena pulang malam. “Kalau ke Nanga Kantuk sore begini, saya selalu ajak teman,” aku tukang ojek.
Setelah makan, kami berangkat ke Nanga Kantuk. Waktu hampir pukul 17. Tukang ojek memacu motor bebek berplat Malaysia. Sedangkan temannya menggunakan jenis motor besar King. Benar seperti yang dikatakannya, jalan Badau – Nanga Kantu’ rusak. Beberapa kali saya harus turun dari motor ketika melewati kolam di tengah jalan.
Sekitar beberapa menit perjalanan, tiba-tiba ban motor pecah. Masih untung di jalan lurus. Jika pecahnya pas di tikungan, mungkin nahas. Kami berhenti memeriksanya. Malang, rupanya pecah terlalu besar. Sehingga harus diganti. Karena memang tukang ojek siap dengan peralatannya, maka persoalan kecil ini ditangani sendiri. Bongkar ban dan pasang ban dalam memakan waktu juga. Sedangkan waktu terus berjalan. Selesai. Tukang ojek memompa ban. Dia coba. Belum cukup. Dipompa lagi. “Harus terik,” katanya.
Mungkin karena terlalu terik, ban yang sedang dipompa meletus. Tukang ojek melenguh panjang. Saya hanya bisa tersenyum kecut. “Ban ini memang jelek. Kalau ban Malaysia bagus,” ujar tukang ojek. Rupanya bucu (picu) yang jebol.
Untung masih ada satu lagi stok ban. Ban yang bocor dikeluarkan dan dipasang ban baru, lantas dipompa lagi. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini pompaannya tidak maksimal. Cukup bisa bawa satu orang saja. “Nanti, kamu ikut dia (dia menunjukkan ke temannya, red), saya bawa tas saja,” kata tukang ojek pada saya.
Hampir gelap. Kami melanjutkan perjalanan. Naik motor besar di jalan yang keriting (jalan tanah yang bergelombang) agak selesa sedikit dibandingkan naik motor kecil. Dengan motor besar goncangannya tidak terasa amat. Kami melewati kampung-kampung Iban. Tampak mereka duduk-duduk di ruang bagian depan rumah, atau di tangga semen –sebab rumah panjangnya tidak bertiang tinggi. Di beberapa tempat tampak anak-anak Iban bermain di halaman depan rumah mereka.
Kini keadaan benar-benar gelap. Umumnya rumah panjang juga gelap. Ada tiang listrik, namun tidak ada aliran. Nyala lampu baru terlihat ketika kami sampai di Nanga Kantuk, sekitar pukul 19.00 WIB.
Kami berhenti di sebuah warung. Ada beberapa orang duduk di sana. Rupanya tukang ojek sudah kenal dengan pemilik warung. Mereka berbasa basi, menceritakan hal ehwal perjalanan. Sebelum akhirnya mereka membicarakan maksud kedatangan saya.
Pemilik warung menanyakan identitas saya, dan menanyakan maksud kedatangan. Saya juga bertanya tentang dia. Rupanya dia orang Melayu asal Selimbau. Saya menyebutkan keluarga mara yang ada di Selimbau, mungkin dia kenal. Susun-susun susur galur, rupanya hitung-hitung masih keluarga. Saya pikir jalan mudah untuk kegiatan lapangan. Dan biasanya hal seperti ini sangat membantu.
Dia kemudian menceritakan tentang penduduk Nanga Kantuk, tentang penginapan, dan tentang kampung-kampung Kantuk. Informasi yang sangat berharga. Dia juga menawarkan anak angkatnya yang dapat membantu saya mengunjungi kampung-kampung orang Kantuk.
Setelah tukang ojek pulang, saya diantarnya menuju penginapan. Sebuah rumah di bagian hilir berlantai dua. Tak ada plang yang menunjukkan adanya penginapan. Bagian bawah toko dan tempat tinggal pemilik. Sedangkan kamar-kamar kosong di lantai atas.
Pemilik penginapan —suami istri, kelihatan jadi sibuk memasang spray, sarung bantal, mengangkut air untuk WC yang kering, mencoba lampu. “Belum jadi benar,” kata pemilik penginapan.
Lagian, sekarang penginapan agak jarang digunakan. Sejak era kayu berakhir, hanya sesekali saja orang singgah di penginapan ini.
Setelah membongkar barang dan rehat sebentar, saya kembali ke warung. Di sana sudah ada anak angkat pemilik warung. Kami menyusun rencana.
Lantas kemudian kami menuju rumah kepala desa Nanga Kantuk. Letaknya di bagian hulu. Tapi, dia tidak ada di sana.
Lalu, kami menuju rumah Temenggung Kantuk di Nanga Kantuk. Rumahnya berada di depan penginapan.
Temenggung Kantuk, Antonius Suring menyambut kami dengan ramah. Saya mengemukakan tujuan kedatangan dan apa-apa yang saya lakukan di Nanga Kantuk. Dia bersedia membantu.
Menceritakan mengenai sejarah Kantuk, dan mengeluarkan sejumlah dokumen mengenai adat istiadat. Secara khusus dia menceritakan mengenai kisah Kantuk di wilayah ketemenggungan dia.
Ketika saya memerlukan seorang anak muda untuk mentranskripsikan dan menerjemahkan rekaman cerita Kantuk, dia lantas memanggil anaknya, Pilipus Andi.
Panjang cerita, dia kemudian menceritakan bahwa sebelum saya pernah ada orang putih yang melakukan penelitian mengenai Kantuk di kampung lama mereka, dahulu sewaktu dia masih muda. Peneliti itu, Michael R Dove. Dia memuji kesungguhan Dove melakukan penelitian tentang peladangan. Hal-hal kecil ditanyakan, diamati dan dicatat. Temenggung Suring mengaku menemai Dove kala itu.
Tentu saja cerita ini mengingatkan saya pada tulisan Dove mengenai peladangan orang Kantuk. Saya mengingat dalam tulisan ini ada foto rumah panjang, ada gambar-gambar lain. Sayangnya saya tidak membawa tulisan itu, sehingga memungkinkan saya membuat sedikit bandingan. Pasti sekian puluh tahun berjalan keadaan sudah lain.
Bukti paling nyata, kini rumah panjang itu tidak ada. Penghuni rumah panjang sudah membangun rumah tunggal. Tidak lagi di kampung lama terpencil. Kini, penghuni rumah panjang itu sudah tinggal di kota! –sekalipun kota kecil Nanga Kantuk. Rumah orang Kantuk sekarang sudah modern. Bahkan isi rumah Temenggung misalnya, kursi jati! Sebuah gambaran mengenai cita rasa orang Kantuk sekarang.
“Kami, orang Kantuk tidak lagi tinggal di rumah panjang. Lebih baik begini,” kata Temenggung.
Memang diakui ada lebih ada kurangnya kalau tinggal di rumah panjang. Tinggal di rumah panjang membuat orang Kantuk lebih mudah menjalin komunikasi. Tetapi masalahnya, pada kebersihan, pada soal kepercayaan, dan lain-lain. “Namanya kalau ramai, ada-ada saja yang buang sampah sembarang,” ujarnya.
Menurutnya orang Kantuk percaya bahwa mereka harus pindah kalau di rumah panjang itu ada orang yang meninggal berturut-turut. Padahal katanya, kalau sering-sering pindah repot. Tidak pindah, susah juga karena berarti akan tinggal sendiri di rumah yang besar itu. “Kalau sudah tinggal di rumah sendiri-sendiri tidak akan seperti itu,” tambahnya. Bersambung.
Minggu, 24 Februari 2008
Catatan Perjalanan 2: Mengenal Masyarakat dan Bahasa Kantuk di Kalbar
Diposting oleh Yusriadi di 03.58
Label: Orang Kantuk, Perjalanan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar