Oleh: Yusriadi
Setelah Isya, saya turun ke lantai bawah. Mencari makan.
Di rumah makan ini ada cukup banyak pilihan. Ikan, udang, ayam, tahu, tempe, dll. Saya tidak tahu, masakan apa namanya.
Pemilik warung juga tidak tahu. Malah mereka bingung ketika saya tanyakan, makanan-makanan yang ada itu ciri masalah komunitas mana.
Saya memilih udang.
Setelah itu, saya membawa piring keluar rumah makan. Saya memilih duduk di kursi kayu di luar ruangan. Tempat penumpang menunggu motor penumpang.
Saya pikir di luar lebih segar. Saya dapat melihat bulan di langit. Saya dapat menikmati hembusan angin laut di malam hari.
Di samping saya ada lelaki tua. Dia sedang memotong tali plastik (tali rafia) dan menyimpul ujungnya. Saya tahu tali itu untuk mengikat kantong plastik es. Saya kira lelaki tua ini adalah anggota keluarga pemilik penginapan atau pemilik rumah makan.
Sambil makan saya mengajaknya ngobrol. Dia memperkenalkan diri sebagai Mbah. Terkaan saya salah. Dia bukan anggota keluarga. Ternyata dia pekerja di sini. Sudah lebih 30 tahun dia membantu di sini. Sejak muda. Dia menekankan kata “membantu” karena selama bekerja dia tidak digaji. Tidak ada hitung-hitungannya.
Dia tidak bisa pindah. Dia juga tidak bisa berhenti. Pemilik warung yang dipanggilnya Pak Haji sangat baik, tidak mengizinkan dia berhenti. Dia sudah menjadi bagian dari keluarga Pak Haji. Setiap bulan dia pulang ke kampungnya di sekitar Batu Ampar juga, menjenguk istri. Sekaligus menyerahkan uang yang diberikan Pak Haji.
Saya membayangkan ikatan ‘kerja’ antara Pak Tua ini dengan Pak Haji, sangat tradisional. Didasarkan pertimbangan saling membantu dan kemudian saling tergantung.
Di sini tugas Pak Tua melayani orang yang ingin membeli kelapa parut.
Sekarang pasti sulit menemukan situasi seperti ini. Saya merasakan situasi psikologis yang sulit yang dihadapi Pak Tua. Tetapi saya memahami situasi ini karena dahulu di kampung saya di Riam Panjang, Kapuas Hulu, hal seperti ini biasa. Orang bekerja tidak dibayar. Orang bersedia mengabdi kepada para ‘juragan’, atau orang kaya di kampung. Membantu seberapa yang dapat. Orang yang dibantu juga bersedia memberikan sedapat mungkin apa yang bisa dia berikan. “Harga” tolong menolong ini tidak bisa dinilai dengan materi. Sebaliknya sekarang, orang mengukur semuanya berdasarkan harga material. Tidak ada lagi pengabdian seperti itu.
Saya juga bertanya tentang Sungai Karawang. Sama seperti cerita Fadhli, Mbah memberitahu saya kemungkinan menunggu motor air, menunggu speed atau menggunakan taksi. Mbah mengatakan dia akan membantu saya menghubungi taksi.
“Jam 4 saja pergi. Biar sampainya pagi,” katanya.
Saya terperanjat mendengar saran Mbah. Ya, jam 4 itu ‘kan waktu tidur. Enakan peluk guling. Lagi, saya kira berangkat sepagi itu sangat susah. Di mana saya sarapan? Saya pikir pasti di Sungai Karawang tidak ada warung makan. Saya mau sarapan dahulu di Batu Ampar!
Saya minta jam 07.00 saja.
Pak Tua mengangguk.
Saya selesai makan. Membayar. Lalu naik ke atas. Saya mempelajari lagi kuesioner. Lantas baca novel. Saya sempat duduk di teras penginapan, melihat suasana teluk Batu Ampar malam hari. Melihat lampu-lampu di tanah seberang. Melihat bintang yang berkelipan di langit. Semilir angin teluk mengingatkan saya pada banyak hal.
Saya jadi teringat flat Fahri dan Aisha yang menghadap ke Sungai Nil –yang dalam novel digambarkan keindahan yang luar biasa.
Waw, jarang saya sempat menghayal seperti ini. Saya takjub sendiri.
Rasanya memang tentram dan damai. Saya ingat masa muda. Saya ingat orang-orang dekat saya.
Bersambung.
Kamis, 01 Mei 2008
Perjalanan ke Sungai Karawang, Batu Ampar (4)
Diposting oleh Yusriadi di 07.59
Label: Batu Ampar, Perjalanan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar