Minggu, 05 Juni 2011

Sastra Lisan di Kalbar

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Malam itu, beberapa hari lalu, saya tenggelam dalam laporan penelitian Professor Hanapi Dollah, seorang ilmuan dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) tentang sastra lisan di Kalimantan Barat.
Laporan yang dimuat di Jurnal Rumpun Melayu-Polenisia, Edisi 16, Oktober 2002 mengingatkan saya banyak hal yang terjadi belasan tahun lalu.

Dalam laporan itu Prof. Hanapi memaparkan temuan penelitiannya terhadap sastra lisan yang dilakukan di Kalimantan Barat tahun 1997-1999. Penelitian itu dilakukannya bersama beberapa orang lagi. Mereka yang terlibat dalam kegiatan itu antara lain Hadi Kifli (sekarang dia pengusaha sembako yang sukses), Prof. James T. Collins (pembimbing saya), Jo (pemuda asal Daup) dan Profesor Chairil Effendy (Untan Pontianak). Saya juga bagian dari tim itu. Kami berangkat dari Pontianak dalam kurungan kabut tebal dan mencemaskan. Kami sampai di Daup ketika sore menjelang setelah menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan, sambung menyambung.
Membaca synopsis Kisah Pelanduk, Kisah Mak Miskin, Puteri Jadi Ruwai, Puteri Kijang, Burung Klukuk, Pak Saloi, Pak Kiding, Si Morong, Nek Kuntan, Nek Gergasi, Mak Sariande, dll, yang saya buat itu, saya jadi teringat bagaimana waktu itu kami mengumpulkan data lapangan. Kami menjumpai para pencerita yang ramah.
Betapa menakjubkan ketika kami dapat menemui begitu banyak orang yang pandai bertutur cerita lisan. Sesuatu yang tidak dibayangkannya waktu datang.
Cerita yang kami kumpulkan itu kami simpan. Saya, karena bertugas menangani data yang terkumpul di lapangan, menyimpannya di dalam disket. Saya juga memrinnya. Tetapi, kemana benda itu sekarang? Disket sudah berkarat dan berjamur di sana sini. Print outnya juga entah ada di mana. Menyesal? Tentu saja. Sebab saya yakin, jika saya ke Daup sekarang, saya tidak akan menemukan kekayaan itu lagi.
Waktu sudah berlalu. Masa sudah berputar. Saya yakin, sebagian besar penutur mungkin sudah meninggal. Saya yakin sebagian mereka karena termakan usia sudah tidak ‘sepacak’ dahulu bercerita.
Saya yakin koleksi cerita mereka hilang karena mereka mungkin lupa.
Situasi lingkungan sosial sekarang sudah tidak seperti dahulu lagi. Daup sekarang sudah berbeda. Daup sekarang kabarnya sudah terbuka. Sudah ada motor yang bisa masuk. Listrik juga sudah.
Keadaan pertengahan tahun 1990 malah sebaliknya. Daup masih tertutup.
Waktu itu listrik Negara belum ada. Jalan darat hanya jalan setapak. Jalan di depan rumah hanya jalan tembok. Pengangkutan cuma sampan dan motor air. Hanya Babinsa yang menginterogasi saya dan Prof. Hanapi di lokasi yang punya perahu fiber dan speed. (Saya selalu terkenang pada Pak Babinsa yang bertanya macam-macamm berulang-ulang, dan lama; sehingga Prof. Hanapi ingin cepat pulang dari lapangan).
Perubahan lingkungan social ini pasti berpengaruh pada koleksi sastra lisan masyarakat. Mereka kehilangan. Kita juga kehilangan. Tetapi, mau apa lagi. Mungkin ini sudah takdir. Hanya kita sedikit beruntung karena synopsis yang saya buat itu sudah diterbitkan oleh Prof. Hanapi dan kita bisa menjejaki sesuatu yang hilang dari terbitan itu – seperti yang saya lakukan malam itu.* (Borneo Tribune, 4/6/2011)

0 komentar: